TEORI INTERTEKSTUAL
Karya sastra kapan pun ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pan-dangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain, yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan. Dalam hal ini, sastra dipandang sebagai “reka-man” terhadap pandangan masyarakat berke-naan dengan segala sesuatu yang melingkupi kehidupannya.
Teori interteks memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri. Dalam arti, proses penciptaan teks selalu dapat dirunut hubungannya dengan teks-teks lain baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada teks yang proses penciptaan sekaligus konsekunsi pembacaannya dapat dilakukan tanpa sama sekali berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya yang ditelaah. Sebuah karya tidak dapat dilepaskan dengan teks-teks lain yang telah ada, sehingga dalam upaya memahami sebuah karya sastra kita juga harus mengenal dan memahami karya atau teks-teks lain yang terkait. Penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahan sehingga pembe-rian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Luxemburg mengartikan interteks sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Baik kegiatan pengarang maupun pembaca akan mendasarkan diri dan mengaitkan dengan teks-teks lain.
Inrtekstualitas berkaitan dengan sikap pem-baca dalam membaca teks sastra. Interteks dapat memberi bimbingan kepada pembaca untuk memandang teks-teks terda-hulu sebagai sumbangan pada sutau kode yang memungkinkan efek siginifikansi yang bermacam-macam. Berdasarkan pengalaman kesastraan yang di-miliki, pembaca akan dapat mengidentifikasi unsur-unsur teks lain pada karya yang baru.
Dengan demikian, dalam proses pembacaan-nya, seorang pembaca akan “membongkar” teks-teks yang pernah dikenalnya yang kemu-dian dihubungkan dengan teks yang dihadapi. Berhadapan dengan sebuah teks pada haki-katnya pembaca tidak hanya membaca teks yang dibaca saja, melainkan “berdampingan” dengan teks-teks lain sehingga interpretasi terhadapnya tidak dapat dilepaslkan dari teks-teks lain tersebut.