James W. Fowler Oleh : Bimbingan dan Konseling Eri Susanti (09104241007) Rima Sekarani I.N (09104241008) Vivie Widayati (09104241011) Yuli Nurfahmi (09104241017) Lukluk Miftahul F. (06104244075) Bimbingan dan Konseling Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 2010
Biografi Singkat James Fowler adalah seorang profesor, human development theorist, dan Direktur Pusat Etika dalam Kebijakan Publik dan Profesi di Universitas Emory di Atlanta, Georgia. Ditahbiskan di Gereja Methodis Amerika. Fowler memiliki karir sebagai pendidik agama. Dia memegang posisi mengajar di Harvard Divinity School dan Boston College pada awal 1970, dan telah mengajar di Emory University sejak tahun 1977.Dia adalah seorang ahli di bidang agama dan psikologi, dan etika dan kehidupan publik, dan penulis beberapa buku. Ayahnya adalah Methodis dan ibunya seorang QuakerMy mother, a Quaker, adopted his Methodist. Istrinya, Lurline, adalah seorang Direktur Pendidikan Kristen di Universitas Drew Theological Seminary, Madison, New Jersey.
Konsep Teori Fowler James W. Fowler mengembangkan “Faith Development Theory”. Teori ini lebih menjurus pada psikologi agama. Namun pendekatannya membantu kita memahami tahapan perkembangan kepercayaan individu. Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief) atau agama. Sederhananya bagi Fowler ialah ‘faith’ dimengertinya sebagai sesuatu yang luas dari sekedar ‘kepercayaan’ (belief), walau keduanya sinonim dengan ‘tindak pengartian’ (upaya memberi arti/menjelaskan). Sebab kepercayaan menyangkut mental untuk menciptakan, memelihara dan mentransformasi arti. Hasilnya adalah apa yang disebutnya sebagai ‘kepercayaan eksistensial’.
Kepercayaan eksistensial diawali oleh ‘rasa percaya’ Kepercayaan eksistensial diawali oleh ‘rasa percaya’. Hal tersebut berarti : kepercayaan sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa dirinya bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan pengartian yang dimiliki bersama. kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan kompleks. kepercayaan sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesamanya. Di sini ditentukan mana ‘gambaran penuntun’ mengenai yang ultim yang akhirnya dapat menggerakkan dan menjadi acuan hidup kita. Apa yang disebut percaya tidak sekedar menerima secara taken for granted tetapi belajar secara kritis melalui praksis. Sebab apa yang menjadi isi kognisi (ajaran) sesungguhnya adalah kumulasi dari apa yang dialami dalam hidup sehari-hari.
Perkembangan Individual berdasar Teori Fowler Tahap 0: Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith) Terjadi pada usia 0-3 tahun. Tahapan ini disebut “tahapan primal”. Benih iman terbentuk oleh rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya dan oleh rasa aman yang dialami di tengah lingkungannya. Seluruh interaksi timbal-balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Tahap 1: Kepercayaan Intuitif-Proyektif (Intuitive-Projective Faith) Terjadi pada usia 3-7 tahun Tahapan ini disebut tahapan intuitif proyektif Dunia pengalaman sudah mulai disusun oleh pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuat, namun diangkat ke dalam imajinasi. Anak aktif bertanya, mereka kesulitan membedakan kenyataan dan fantasi. Anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai tokoh yang dikaguminya.
Tahap 2: Kepercayaan Mitis-Harfiah (Mithic-Literal Faith) Terjadi pada usia 7-12 tahun. Tahapan ini disebut “tahapan mistis literal”. Yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok pembinaan agama, sekolah, atau kelompok sekolah berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima. Tahap 3: Kepercayaan Sintetis-Konvensional (Synthetic-Conventional Faith) Terjadi pada usia 12-20 tahun. Muncul kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi rang lain menurut pola pengambilan perspektif antar-pribadi secara timbal balik. Sudah ada kemampuan menyusun gambaran percaya, termasuk kepada Tuhan. Interpersonal yang ada membuat dunia ini menjadi hidup dan individu dapat berpikir tentang hipotetis untuk 'mensintesis' iman yang masih umum.
Tahap 4: Kepercayaan Individuatif-Reflektif (Individuative-Reflective Faith) Terjadi pada usia 20 tahun ke atas. Ditandai adanya refleksi kritis atas semua pendapat,keyakinan,&nilai lama. ‘Individuatif’, saat itulah manusia tidak semata-mata bergantung pada orang lain, tetapi sadar akan tanggung jawab dan komitmen. Ada dua perubahan utama dalam tahap ini: Individuasi dan refleksi kritis. Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (Conjunctive Faith) Terjadi pada usia 35 tahun ke atas. ditandai suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, & ambiguitas dalam hidupnya. Tahap ini melibatkan kemampuan untuk terus bersama sebagai cara untuk mengungkapkan suatu kesadaran baru bahwa kebenaran lebih beragam dan kompleks dibanding yang sebelumnya diyakini. Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang Universalitas (Universalizing Faith) Terjadi pada usia 45 tahun ke atas. Gaya hidup langsung berakar pada kesatuan dengan Tuhan, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Ada rasa keutuhan dan keinginan untuk bertindak berdasarkan apa yang baik bagi semua orang. Mereka memiliki mimpi dan akan bertindak dengan komitmen yang mendalam, seringkali juga dengan biaya pribadi.
Aplikasi Teori Fowler Dalam aplikasinya, perkembangan iman individu biasanya berlangsung dalam konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh beberapa hal berikut, yaitu : Teladan tokoh-tokoh identifikasi Suasana Pengajaran Komunikasi Seorang remaja belasan tahun tentunya akan berbeda dengan orang dewasa dalam menyikapi iman yang ada dalam dirinya. Orang dewasa lebih memiliki kesadaran yang tinggi, sehingga tidak heran jika kita menemukan orang dewasa yang begitu taat beragama, padahal di masa mudanya ia adalah seorang yang acuh tak acuh. Namun tidak menutupi pula, pada usia yang lebih dini, sebelum dikatakan dewasa sepenuhnya, seorang individu sudah berkembang lebih cepat dalam pemahaman imannya.
Dalam kehidupan, tahapan-tahapan perkembangan iman tersebut perlu diperhatikan dalam melakukan pendidikan agama, setidaknya bagi diri sendiri. Dengan mengetahui tahapan-tahapan tersebut, hal tersebut akan mempermudah kita dalam memahami perkembangan iman yang terjadi pada diri sendiri. Apabila terjadi hambatan pada tahap tersebut, kita akan mampu mencari solusinya, meskipun bisa saja dengan campur tangan orang lain.
Daftar Pustaka http://kutikata.blogspot.com/2009/09/tahap-perkembangan-kepercayaan.html http://paroki-sragen.or.id/2006/07/01/mendidik-anak-mulai-dari-iman/ http://www.religiouseducation.net/journal/archive/fowler_v99_4.pdf http://www.keluarga-katolik.net/index.php?option=com_content&view=article &id=94: pendidikan-anak-dalam-keluarga-katolik&catid=41:anak&Itemid=168 http://wikipedia.org/FOWLER/Fowler's_stages_of_faith_development.htm/