SISTEM PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT (TIDAL LOWLAND)
Definisi Widjaya Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) mendefinisikan lahan rawa sebagai lahan yang menempati posisi peralihan di antara daratan dan sistem perairan . Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang.
Menurut PP No. 27 tahun 1991, lahan rawa adalah lahan yang tergenang air secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat dan mempunyai cici-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis.
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam.
Gambut P. Yard-Merauke
Terletak di propinsi Sumatera Selatan, Daerah Rawa Pasang Sururt Air Sugihan Kiri berpotensi untuk pemanfaatan cocol tanam padi oleh masyarakat setempat.
Zona I - Rawa pasang surut Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut
Berdasarkan pola genangannya/luapan (jangkauan air pasangnya), lahan pasang surut dibagi menjadi empat tipe: Tipe A, tergenang pada waktu pasang besar dan pasang kecil; Tipe B, tergenang hanya pada pasang besar; Tipe C, tidak tergenang, tetapi kedalaman air tanah pada waktu pasang kurang dari 50 cm; Tipe D, tidak tergenang, pada waktu pasang air tanah lebih dari 50 cm tetapi pasang surutnya air masih terasa atau tampak pada saluran tersier.
Zona II - Rawa lebak peralihan Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai, disebut rawa lebak peralihan. Pada lahan seperti ini, endapan laut yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm di bawah permukaan tanah.
Zona III - Rawa lebak Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hujan di daerah cekungan di pedalaman. Oleh sebab itu, genangan umumnya terjadi pada musim hujan dan menyusut atau hilang di musim kemarau
Major peat areas (in red) in Peninsular Malaysia, Sumatra, Borneo and Papua
Pengertian Tanah Gambut TANAH GAMBUT DAN BERGAMBUT Pengertian Tanah Gambut Tanah di lahan rawa dapat berupa aluvial atau gambut. Tanah aluvial merupakan endapan yang terbentuk dari campuran bahan-bahan seperti lumpur, humus, dan pasir dengan kadar yang berbeda- beda.
Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti dedaunan, ranting kayu,dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang sangat lama (ribuan tahun). Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat.
Tanah gambut secara alami terdapat pada lapisan paling atas Tanah gambut secara alami terdapat pada lapisan paling atas. Di bawahnya terdapat lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan tanah gambut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau tanah bergambut. Disebut sebagai lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm.
Gambut, numpang di atas tanah aluvial, ketebalan gambut bervariasi Tanah aluvial (campuran endapan pasir, lempung, dan humus)
Perdasarkan kedalamnya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu: Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm; Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm; Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200-300 cm; Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm.
Lahan Rawa Potensial dan Sulfat Masam Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit (kadarnya <0,75%), atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman lebih dari 50 cm disebut sebagai lahan rawa potensial. Lahan ini merupakan rawa paling subur dan potensial untuk pertanian. Tanah yang mendominasi lahan rawa tersebut adalah tanah aluvial hasil pengendapan yang dibawa oleh air hujan, air sungai, atau air laut.
Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan aluvial bersulfida dangkal atau sering disebut lahan sulfat masam potensial.
Lahan Salin Sebagian lahan pasang surut sering mendapat pengaruh salinitas air laut terutama pada musim kemarau. Pengaruh salinitas ini bisa terjadi secara langsung karena air laut mengalir ke daratan, masuk melalui sungai pada waktu pasang, atau berlangsung karena adanya intrusi (perembesan).
Lahan pasang surut dgn kadar garamnya lebih dari 0,8% disebut sebagai lahan salin atau pasang surut air asin. Lahan seperti itu, biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. Apabila kadar garam tinggi hanya terjadi pada musim kemarau selama <2 bulan, disebut sebagai lahan salin peralihan. Lahan salin peralihan ditandai oleh banyaknya tumbuhan nipah.
Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove, budidaya tanaman kelapa, dan tambak.
Faktor-faktor Pembatas Lahan Rawa Pasang Surut Faktor pembatas atau penghambat utama pengelolaan pertanian di lahan rawa gambut meliputi: genangan air, kemasaman tanah (pH tanah sangat rendah), adanya zat beracun, rendahnya kesuburan tanah; kondisi fisik lahan seperti bobot isi tanah yang ringan, tingkat kematangan dan ketebalan gambut.
Pada lahan rawa lebak, kendala yg sering dijhadapi terutama adalah datangnya genangan air banjir yang tidak menentu dan mendadak. Pada lahan salin, faktor penghambatnya berupa zat beracun seperti alumunium, besi, pirit (FeS2) dan garam-garam. Kendala biologis yang umum ditemukan di lahan rawa gambut adalah serangan hama tanaman terutama tikus babi hutan dan burung, sedangkan penyakit yang sering menyerang adalah blas dan busuk pelepah.
Penerapan Teknologi Budidaya Pada Lahan Pasang Surut
Pengelolaan lahan rawa bertujuan utk: meningkatkan produktivitas tanah melestarikan kesuburan tanah sehingga pertanian berkelajutan dapat dicapai.
Ada empat kunci sukses pengelolaan lahan rawa pasang surut, yaitu (Suryanto Saragih, 2013): Pengelolaan air; Penataan lahan; Pemilihan Komoditas adaptif dan prospektif, dan Penerapan teknologi budidaya yang sesuai.
Dikenal ada 4 model penataan lahan, yaitu : Sistem sawah; Sawah – Surjan; Sawah – Tukungan (gundukan); dan Tegalan/kebun
1. Sistem Sawah Penataan lahan dengan sistem sawah dianjurkan untuk lahan-lahan yang termasuk dalam tipe luapan A atau dekat dengan muara sungai dimana luapan pasang, baik pasang besar (pasang tunggal) maupun pasang kecil (pasang ganda), msh terasa hingga lahan pertanaman atau pada lahan dengan kedalaman pirit dangkal (< 50 cm).
Cara Budidaya Padi Sawah di Lahan Pasang Surut – Aceh Metro
2. Sistem Sawah-Surjan Sistem surjan adalah sistem penanaman yang dicirikan dengan perbedaan tinggi permukaan bidang tanam pada suatu luasan lahan. Dengan perbedaan tinggi, bidang yang tinggi dapat ditanami sayur, buah, rumput, atau palawija lainnya, sedangkan bidang yang rendah dapat ditanami dengan padi.
Penataan lahan dengan sistem Sawah – Surjan dianjurkan: Pada lahan baik tipe luapan A, B, maupun C dengan catatan memiliki kedalaman pirit > 60 cm. Surjan dibuat dengan cara meninggikan sebagian lahan dengan menggali atau mengeruk tanah di sekitarnya. Bagian lahan yang ditinggikan disebut tembokan (raise beds), sedang wilayah yang digali atau di bawah disebut tabukan (sunkens beds).
Lebar tembokan dibuat sekitar 2-3 m dan tinggi 0,50-0,75 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 8-15 m. Saluran (0,5X0,5m) Tembokan Sawah (tabukan) 2-3 m 0,5-0,75m 8 – 15 m 0,5m
Pada sisi kiri dan kanan surjan sebaiknya dibuat saluran dengan lebar 0,5 m dan kedalaman 0,5 m berfungsi menjaga kelembaban surjan atau tempat pengambilan air untuk menyiram tanaman disurjan pada saat diperlukan. Setiap hektar lahan dapat dibuat sekitar 6-10 tembokan (sekitar 0,06 – 0,12 % total lahan) dan 5-9 tabukan
Sistem sawah-tukungan (gundukan) Sistem sawah-tukungan dianjurkan: Untuk lahan tipe B atau C sebagaimana sistem surjan atau pada lahan dengan lapisan pirit yang dangkal.
Tukungan dibuat dengan ukuran 1 x 1 m dengan tinggi 60 – 75 cm, kemudian setiap tahun diperlebar sedikit demi sedikit setiap selesai panen sehingga lambat laun akan terlihat seperti surjan. Penggalian tanah tidak boleh sampai mengangkat lapisan pirit ke permukaan tanah.
Keuntungan membuat sistem tukungan atau gundukan adalah dapat menghemat tenaga dibandingkan sistem surjan, walaupun kemudian sistem tukungan ini lambat laun akan dirubah umumnya secara bertahap menjadi sistem surjan.
Sawah Sawah-Surjan Sawah-Tukungan
Sistem Tegalan/Kebun Sistem tegalan/ kebun dianjurkan pada lahan dengan tipe luapan C atau D karena lahan ini umumnya tidak terluapi oleh air pasang, namun lahan ini juga dapat ditata sebagai lahan sawah tadah hujan. Budidaya lidah buaya di lahan gambut Kalimantan Barat
Jagung tegalan di Balikpapan
Budidaya Kelapa Sawit di Lahan gambut
Pemilihan Komoditas Adaptif dan prospektif Pengalaman menunjukkan bahwa beberapa komoditas pertanian yang prospektif baik berupa tanaman pangan (padi dan palawija) maupun tanaman hortikultura (sayur-sayuran dan buah-buahan) dpt dikembangkan pd lahan rawa pasang surut
Buah-buahan semusim dan tahunan Pengembangan bbp jenis tanaman pd sistem surjan jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan umbi-umbian Palawija Sayur-sayuran tomat, cabai, timun, kacang panjang, pare, terong, buncis, kubis, lobak, bawang merah, waluh, dan aneka sayuran cabut seperti sawi, slada, bayam dan kangkung Buah-buahan semusim dan tahunan semangka, timun dan melon, serta jeruk (pd surjan & tukungan)
Tanaman palawija (Kacang Tanah, Kedelai, Kacang Ijo danJagung) yang ditanam pada sistem surjan di lahan rawa pasang surut
Aneka komoditi hortikultura (sayuran dan buah-buahan) yang dapat dikembangkan pada sistem surjan di lahan rawa pasang surut.
Tanaman padi dan Jeruk pada sistem surjan di lahan rawa pasang surut.
THANKS