MENDORONG KEBIJAKAN LAYANAN LAYANAN KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI YANG BERPIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN *dr. Delis J Hehi, MARS (*Anggota DPD RI )
PENDAHULUAN Implication of the ICPD (International Congress Population and Development) Programme of Action, 1994 Sasaran Milenium Development Goals (MDGs) UUD 1945 Pasal 28h ayat 1 UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
ICPD PROGRAME OF ACTION Ruang lingkup kesehatan reproduksi adalah : Kesejahteraan fisik mental dan sosial yang utuh Segala yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya. Mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman Mempunyai kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan berapa seringkah.
Mempunyai akses terhadap cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima yang menjadi pilihan mereka dan metode yang mereka pilih. Hak untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang tepat, yang memungkinkan para wanita selamat menjalani kehamilannya dan melahirkan anak. Memberikan kesempatan terbaik kepada pasangan untuk memiliki bayi yang sehat.
Delapan Sasaran MDGs Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan. Mencapai pendidikan Dasar Untuk Semua. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Menurunkan Angka Kematian Anak. Meningkatkan Kesehatan Ibu. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular lainnya. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
UUD 1945 Pasal 28h ayat 1 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pada Bagian Keenam pasal 71 – 77 mengatur tentang kesehatan reproduksi. Pasal 71 ayat 3, mengamanatkan bahwa kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
PENGERTIAN KEMISKINAN Menurut Sar A. Levitan menyatakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Badan Pusat Statistik dan Kementerian Sosial menyimpulkan kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak.
GAMBARAN KEMISKINAN DI INDONESIA Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16% atau 10,36 juta orang, sementara di daerah perdesaan 13,76% atau 17,37 juta orang dari total 27,73 juta orang miskin di Indonesia. (70% perempuan) (Sumber BPS, Januari 2015)
POTRET KESEHATAN DI INDONESIA Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu melahirkan (AKI) naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 angkanya 227 per 100.000 per kelahiran hidup. Angka kematian bayi (AKB) 32 per 1000 kelahiran hidup. AKB di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Singapura (3 per 1000 kh), Brunei Darussalam (8 per 1000 kh), Malaysia (10 per 1000 kh), Vietnam (18 per 1000 kh), dan Thailand (20 per 1000 kh). Target AKB dalam MDGs adalah 23 per 1000 kh.
Secara nasional, jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100 Secara nasional, jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000 penduduk. Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari target 9; Dokter umum tercatat baru mencapai 26,3 dari target 30. Sementara perawat baru mencapai 157,75 dari target 158 dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2014 jumlah tenaga kesehatan 891.897 dari 250 juta penduduk. Sebanyak 435.877 (48%) terpusat di pulau Jawa dan bali
Bank Dunia menyebut alokasi dana kesehatan Indonesia salah satu yang terendah di dunia. Hanya kalah dari Sudan Selatan, Chad, Myanmar, dan Pakistan. Sebagai gambaran, dalam APBN Perubahan 2015, nilai anggaran kesehatan baru sebesar 3,9% dari total belanja Rp 1.984,1 triliun atau senilai Rp 77,3 triliun. Di mana . Amanah UU No.36 Tahun 2009 Pasal 171 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 5% dari APBN (di luar gaji) dan pemerintah daerah 10% dari APBD (di luar gaji) untuk kesehatan. Pasal 171 Ayat (3) mempertegas bahwa 2/3 dari anggaran tersebut harus digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
FAKTOR PENYEBAB UTAMA 1. MINIMNYA PENGETAHUAN / INFORMASI Tingkat pendidikan yang rendah. Dari jumlah penduduk miskin, 70% adalah perempuan dan 12,28% Buta aksara. Kurangnya upaya promotif/sosialisasi. Program pelayanan kesehatan termasuk di tingkat pertama lebih banyak fokus pada upaya kuratif dan rehabilitatif. Sarana / Prasarana Kesehatan yang belum merata dan kurang memadai Dari sekitar 9.599 puskesmas dan 2.184 rumah sakit yang ada, sebagian besarnya masih berpusat di kota-kota besar. Banyak masyarakat di daerah yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan karena tidak adanya fasilitas kesehatan yang disediakan. Alasan lainnya juga karena letak geografis yang sulit dijangkau
2. AKSES LAYANAN YANG TERBATAS Sarana / Prasarana kesehatan yang terbatas dan belum merata. Dari sekitar 9.599 puskesmas dan 2.184 rumah sakit yang ada, sebagian besarnya masih berpusat di kota-kota besar. Banyak masyarakat di daerah yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan karena tidak adanya fasilitas kesehatan yang disediakan. Alasan lainnya juga karena letak geografis yang sulit dijangkau
Distribusi Nakes yang belum merata Beberapa daerah masih banyak yang kekurangan tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis. 52,8% dokter spesialis berada di Jakarta, sementara di bagian timur Indonesia lainnya hanya sekitar 1-3%. Awal 2014, Indonesia telah memiliki 350ribu bidan. Kebutuhan bidan yang ideal adalah satu bidan untuk 1.000 warga, sehingga idealnya 240ribu bidan. Program satu bidan satu desa yang digagas Kementerian Kesehatan penerapannya kurang berjalan baik. Daerah terpencil sangat kekurangan bidan. Disamping itu, sebagian bidan yang ditempatkan di daerah terpencil belum terlatih
Anggaran dan kebijakan publik yang belum optimal Tahun 2014, pemerintah hanya mengalokasikan 2,4 % dana APBN untuk bidang kesehatan. Padahal UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 mengamanatkan dana kesehatan 5% dari APBN. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana (pasal 73). Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan (pasal 74).
Selain itu, program pemerintah kadang kurang terarah dan tidak kontinu untuk mengatasi masalah ini. Ganti menteri ganti, ganti fokus ganti program. Sehingga program tidak berkesinambungan dan bersasaran.
SOLUSI KEBIJAKAN BAGI PEREMPUAN MISKIN Pentingnya upaya promotif berupa sosialisasi dan edukasi bagi perempuan miskin yang TEPAT SASARAN DAN TEPAT BAHASA
Akses Layanan Kesehatan Reproduksi yang mudah dan gratis Pemerataan dan peningkatan sarana/prasarana kesehatan ibu dan anak di Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), Polindes hingga pelosok tanah air. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), Pelayanan KB, Posyandu dan Unit Transfusi Darah yang merata dan dapat terjangkau oleh seluruh penduduk
Peningkatan dan Pemerataan SDM Tenaga Kesehatan Pemerataan dan Peningkatan kapasitas SDM tenaga kesehatan terlatih khususnya dalam kesehatan reproduksi secara berjenjang dan berkelanjutan khususnya daerah terpencil dan perifer. Program 1 desa 1 polindes 1 bidan harus dipenuhi. Insentif / tunjangan khusus bagi tenaga kesehatan di daerah perbatasan, terpencil, terbelakang dan kepulauan untuk memastikan ketersediaan dokter / bidan di seluruh desa / dusun.
Anggaran Kesehatan dan Kebijakan Publik Yang Pro Poor Mendorong Anggaran Kesehatan hingga mencapai 5% dari belanja APBN, dan 10% dari belanja APBD sesuai amanat UU No.36/2009, dimana 2/3 dari total anggaran kesehatan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, bukan untuk insfrastruktur seperti yang selama ini banyak dilakukan pemerintah daerah Memasukkan fasilitas pelayanan dan edukasi kesehatan reproduksi ke dalam indikator Standar Pelayanan Minimum (SPM) agar menjadi prioritas. Meningkatkan sosialisasi pelayanan dan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi pada masyarakat, khususnya yang jauh dari akses seperti di pedesaan.
Kordinasi lintas departemen dan lintas sektoral terkait , antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyusunan program yang terarah dan kontinyu untuk penanganan masalah layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Perlunya mekanisme punishment dan reward bagi pemerintah daerah lewat kebijakan anggaran.
KESIMPULAN Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi adalah hak dasar warga negara Layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi prioritas dalam mencapai sasaran MDGs dan memenuhi amanat UUD 1945 dan UU No.36 Tahun 2009 Kebijakan publik pro perempuan miskin, harus ditunjang political will pemerintah, anggaran yang responsif gender, serta perhatian bersama stakeholders