MATA KULIAH : TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA, HARTA KEKAYAAN DAN KESUSILAAN DWI ENDAH NURHAYATI
PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA DALAM KUHP GENERAL RULES (ATURAN UMUM) PASAL 1 – 103 BUKU I KUHP WvS) BUKU II KEJAHATAN (MISDRIJVEN) 104-488 BUKU III PELANGGARAN (OVERTREDINGEN) 489-569 SPECIAL RULES (ATURAN KHUSUS) PASAL 104- 569 BUKU II & III
KEPENTINGAN HUKUM (RECHTSBELANGEN/RECHTSGOED) YANG DILINDUNGI DALAM BUKU II & III KUHP MASYARAKAT NYAWA, TUBUH KEKAYAAN JENIS KEPENTINGAN HUKUM KEPENTINGAN INDIVIDU KEHORMATAN KESOPANAN KEPENTINGAN NEGARA
HUKUM PIDANA BAGIAN UMUM: ISTILAH HUKUM PIDANA UMUM DAN BAGIAN KHUSUS, HUKUM PIDANA KHUSUS DAN UU PIDANA KHUSUS HUKUM PIDANA BAGIAN UMUM: ADALAH KETENTUAN-KETENTUAN YANG TERDAPAT DALAM BUKU I KUHP, YANG MEMUAT KETENTUAN-KETENTUAN ATAU AJARAN-AJARAN UMUM (ALGEMENE LEERSTUKKEN) HUKUM PIDANA BAGIAN KHUSUS : ADALAH KETENTUAN-KETENTUAN YANG TERDAPAT DALAM BUKU II dan III KUHP, YANG MEMUAT PERUMUSAN-PERUMUSAN TINDAK PIDANA
DASAR PENGGOLONGAN / PEMBEDAAN TINDAK PIDANA BERUPA ‘KEJAHATAN’ (MISDRIJVEN) DAN “PELANGGARAN” (OVERTREDINGEN) : Romly Atmasasmita : Penggolongan/pembedaan tindak pidana berupa ‘kejahatan’ (Misdrijven) dan pelanggaran (Overtredingen) berasal dari perbedaan antara mala in se dan mala prohibita yang dikenal dalam hukum Yunani. Mala in se adalah: Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Mala prohibita : suatu perbuatan disebut kejahatan karena undang- undang menetapkan sebagai perbuatan yang dilarang. Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah rechtsdelict dan wetsdelict. Rechtdelict (delik hukum) berarti: tanpa undang-undang, tanpa putusan hakim telah dirasakan oleh masyarakat sebagai delik (kejahatan); Wetsdelict (delik undang-undang) berarti undang-undanglah yang menetapkan suatu delik termasuk pelanggaran
Hukum Pidana Khusus adalah : LANJUTAN Hukum Pidana Bagian Khusus Berbeda Dengan Hukum Pidana Khusus (Bijzondere Strafrecht) : Hukum Pidana Khusus adalah : Hukum Pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan- perbuatan khusus. termasuk di dalamnya hukum pidana militer(golongan orang khusus), hukum pidana fiskal dan hukum pidana ekonomi (perbuatan-perbuatan khusus). Adapun kekhususan dari hukum pidana khusus adalah terletak pada ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari hukum pidana umum terhadap kelompok orang dan perbuatan-perbuatan tertentu.
UU PIDANA KHUSUS (BIJZONDERE WETTEN) : LANJUTAN UU PIDANA KHUSUS (BIJZONDERE WETTEN) : ADALAH UU PIDANA SELAIN KUHP, YANG MERUPAKAN INDUK PERATURAN HUKUM PIDANA. KEDUDUKAN SENTRAL DARI KUHP INI TERUTAMA KARENA DI DALAMNYA DIMUAT KETENTUAN-KETENTUAN UMUM DARI HUKUM PIDANA DALAM BUKU I, YANG BERLAKU JUGA TERHADAP TINDAK-TINDAK PIDANA YANG TERDAPAT DI LUAR KUHP, KECUALI APABILA UU MENENTUKAN LAIN (PASAL 103 KUHP) YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI UU PIDANA KHUSUS : UU YANG TIDAK DIKODIFIKASIKAN (UU LALU LINTAS, UU NARKOTIKA, UU KORUPSI DSB) PERATURAN-PERATURAN HUKUM ADMINISTRASI YANG MEMUAT SANKSI PIDANA (UU POKOK AGRARIA, UU PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN) UU YANG MEMUAT HUKUM PIDANA KHUSUS
BEBERAPA AKIBAT PENTING DARI PEMBAGIAN DELIK KEJAHATAN DAN PELANGGARAN DALAM KUHP Dalam hal kejahatan unsur sengaja atau kealpaan harus dibuktikan, sedangkan dalam pelanggaran biasanya unsur sengaja atau kealpaan itu tidak perlu dibuktikan; Dalam hal pelanggaran, yang mencoba (poger) dan yang membantu (medeplichtige) tidak dapat dihukum, dalam hal kejahatan pembuat kedua delik ini dihukum; Pasal 59 KUHP, mengandung ancaman terhadap pengurus dan komisaris suatu badan hukum karena disangka telah melakukan delik, hanya berlaku dalam hal pelanggaran saja; Pengaduan sebagai syarat penuntutan sesuatu delik hanya ditentukan untuk perkara kejahatan saja; Dalam hal concursus, maka ada pembedaan pemidanaan untuk kejahatan dan pelanggaran.
LANJUTAN Dalam hal verjaring (daluwarsa) untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan pidana, maka ditetapkan verjaring kejahatan lebih lama daripada pelanggaran Pasal 78 dan 84; Afkoop (penebusan penuntutan pidana) hanya dapat dilakukan terhadap delik pelanggaran yang diancam pidana denda saja Pasal 82; Dalam hal delik pelanggaran dan kejahatan yang terjadi karena alpa, maka penyitaan barang sebagai hukuman tambahan hanya dapat dilakukan apabila dengan tegas diatur dalam undang-undang; sedangkan dalam hal delik kejahatan senantiasa dapat dirampas asal kepunyaan si terpidana; Hak (dari jaksa) untuk menuntut secara pidana terhadap seorang WNI yang melakukan delik kejahatan di luar negeri (prinsip nasional aktif);
LANJUTAN MENURUT PASAL 7 KUHP, ATURAN PIDANA DALAM UU RI BERLAKU BAGI PEGAWAI NEGERI INDONESIA YANG MELAKUKAN SALAH SATU DELIK KEJAHATAN YANG TERSEBUT DALAM BAB XXVIII BUKU II DI LUAR NEGERI; PENADAHAN (HELING) BARANG-BARANG YANG DIPEROLEH KARENA KEJAHATAN SAJA YANG DAPAT DIHUKUM; ATURAN–ATURAN ISTIMEWA MENGENAI “TURUT SERTA” (BIJZONDERE DEELNEMINGSVOOSCHRIFTEN) YANG DITENTUKAN DALAM PASAL 61 DAN 62 KUHP HANYA BERLAKU BAGI KEJAHATAN SAJA.; PEMBAGIAN DELIK SEBAGAI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN BERPENGARUH PULA TERHADAP KETENTUAN DALAM HUKUM ACARA.
REFERENSI : KUHP SUDARTO, 1986, KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA, ALUMNI, BANDUNG. _______ , 1990, HUKUM PIDANA I, YAYASAN SUDARTO FAK.HUKUM UNDIP, SEMARANG. WIRJONO PRODJODIKORO, 2003, TINDAK-TINDAK PIDANA TERTENTU DI INDONESIA, REFIKA ADITAMA, BANDUNG ROMLY ATMASASMITA, PERBANDINGAN HUKUM PIDANA, MANDAR MAJU, BANDUNG, 1996, HAL,49