Mutaba’ah Inspirasi Pagi
Apa Itu Mutaba’ah? Mutaaba’ah berasal dari kata taaba’a, yang memiliki arti: Tatabba’a (mengikuti) Raaqaba’ (mengawasi) Yang dimaksud dengan mutaaba’ah adalah mengikuti dan mengawasi sebuah program agar berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Kata mutaaba’ah sama dengan kata pengendalian di dalam fungsi manajemen.
Perbedaan Mutaba’ah dan Muhasabah Muhaasabah berasal dari kata haasaba, yang berarti antara lain, jaazaa wa ‘aaqaba (mengganjar dan menghukum). Maksudnya adalah mengganjar yang telah menjalankan sebuah program sesuai dengan yang telah direncanakan dan menghukum yang telah menjalankannya tidak sesuai dengan yang telah direncanakan. Berbeda dengan mutaaba’ah, muhaasabah tidak mengikuti dan mengawasi sebuah program agar berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan. Kata itu tidak termasuk dalam fungsi manajemen.
Apakah Mutaba’ah Termasuk Riya? Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar RA menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini melayat orang mati.” Abu Bakar RA menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar RA menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar RA menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW bersabda, “Tidak berkumpul hal-hal ini di dalam diri seseorang kecuali ia akan masuk surga.” Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim (1/421-422 dan 2/382) dan Al Bukhari di dalam Al Adabul Mufrad (hal 157) dari jalan Marwan, yaitu Al Fazari, dari Yazid, yaitu Ibnu Kaisan, dari Abu Hazim Al Asyja’I, dari Abu Hurairah. Al Albani di dalam As-Silisilatush Shahiihah (1/133) mengatakan bahwa hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir di dalam Taarikh-nya (juz 9/288/I) dari jalan itu.
Apakah Mutaba’ah Termasuk Riya? (…) Apakah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah SAW itu berarti Abu Bakar RA telah riya? Tentu tidak! Karena beliau hanya sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan tidak bermaksud riya dengannya. Demikian pula, kita tidak riya hanya karena menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam mutaba’ah. Sebab, hal itu diadakan tidak dengan maksud agar kita riya melainkan agar dapat diketahui apakah kita telah dengan baik menjalankan program-program yang telah direncanakan. Jika kemudian di antara kita ada yang bermaksud riya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mutaaba’ah, itu bukanlah kesalahan mutaba’ah. Yang salah adalah ia yang bermaksud riya. Memang, hadits itu bukan tentang mutaba’ah Rasulullah SAW terhadap para sahabat beliau, tetapi tentang ajaran beliau bahwa hal-hal itu dapat membuat mereka masuk surga. Akan tetapi, di dalam hadits itu terdapat dalil bahwa sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang amal-amal ibadah sebagaimana di dalam mutaba’ah tidak berarti riya.
Mengapa Perlu Menjaga Mutaba’ah? Mutaba’ah (pengawalan) ibadah merupakan suatu elemen yang amat penting dalam proses pembinaan (takwin) seorang muslim, atau dalam arti kata lain membentuk seorang muslim yang berdaya saing yang mampu melakukan pembaharuan untuk kebaikan agama, negara dan bangsa. Mutaba’ah ini sepatutnya diperiksa semasa halaqah atau usrah yang diadakan secara rutin setiap minggu. Mutaba’ah ibadah dapat menyuntik satu kekuatan kepada kita untuk terus beristiqomah, beristimrar dan terus tsabat dalam melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya, untuk beristiqomah dalam melaksanakan perintah-Nya merupakan suatu perkara yang memerlukan keazaman yang bukan sedikit dan usaha yang berkelanjutan.
Contoh Mutaba’ah Amal Ibadah Qiyamullail (termasuk sholat tahajjud) Sholat Shubuh berjamaah Bacaan al-Ma’tsurat Sholat Dhuha Tilawah Al-Qur’an Istighfar Hafalan Al-Qur’an/Hadits Ziarah
Mutaba’ah dalam Praktik Ibadah Mutaba’ah (mengikuti Nabi SAW) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara, yaitu : Pertama : Sebab Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Mutaba’ah dalam Praktik Ibadah (…) Kedua : Jenis Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Mutaba’ah dalam Praktik Ibadah (…) Ketiga : Kadar (Bilangan) Kalau seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah. Keempat : Kaifiyah (Cara) Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
Mutaba’ah dalam Praktik Ibadah (…) Kelima : Waktu Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Mutaba’ah dalam Praktik Ibadah (…) Keenam : Tempat Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i’tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut.
Terima Kasih