Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERANCANGAN NASKAH AKADEMIK BERDASARKAN UU NO.12 TAHUN 2011 Disampaikan pada: KICKOFF MEETING BANTEK.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERANCANGAN NASKAH AKADEMIK BERDASARKAN UU NO.12 TAHUN 2011 Disampaikan pada: KICKOFF MEETING BANTEK."— Transcript presentasi:

1 TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERANCANGAN NASKAH AKADEMIK BERDASARKAN UU NO.12 TAHUN 2011 Disampaikan pada: KICKOFF MEETING BANTEK PENYUSUNAN RAPERDA PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN T.A 2017 DIREKTORAT PENGEMBANGAN PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BANDUNG, 12 APRIL

2

3 DATA DIRI NAMA : WIDYASTUTI, S.H.,M.H. (WIWID)
TTL : WONOGIRI, 10 MARET 1970 JABATAN : PERANCANG MERANGKAP KEPALA SUBDIREKTORAT PERENCANAAN, PENYUSUNAN KEBIJAKAN, DAN AKREDITASI PNS : 1997 – SEKARANG UNIT KERJA : DIREKTORAT FASILITASI PERANCANGAN PERDA DAN PEMBINAAN PERANCANG PUU DITJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Tlp : (021) HP. ( )

4 DASAR HUKUM UU NO.12 THN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

5 LAMPIRAN 1 DAN LAMPIRAN II
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

6 PEMBAHASAN MATERI LAMPIRAN I SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
LAMPIRAN II TEKNIK PENYUSUNAN PUU

7 Tujuan pembelajaran Peserta mampu memahami dan menguasai dasar teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan perancangan Naskah Akademik, serta mampu mengaplikasikannya dengan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan.

8 1. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RPUU,RPERDA Provinsi, atau RPERDA Kabupaten/kota. 2. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang undangan. Dalam KBBI Teknik diartikan sebagai pengetahuan tentang cara, metode, atau sistem mengerjakan sesuatu. “Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan” berarti pengetahuan tentang cara atau metode Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

9 BEBERAPA PERATURAN MENGENAI TEKNIK PENYUSUNAN PUU
Buku Pedoman Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Yang Diterbitkan Oleh Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Pada Tahun 1976; Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, RPP, Dan Rancangan Keputusan Presiden; Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Dan Bentuk RUU, RPP, Dan Rancangan Keputusan Presiden. UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

10 LAMPIRAN I TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RUU RPERDA PROVINSI, DAN RPERDA KABUPATEN/KOTA  
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RPUU, RPERDA Provinsi, atau RPERDA Kabupaten/kota.

11 LAMPIRAN I SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BAB VI PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

12 BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan memuat: latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.

13 KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: A. Kajian teoretis. B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

14 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Memuat hasil kajian terhadap: 1.PUU terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, 2.UU dan Perda baru dengan PUU lain, 3.Harmonisasi secara vertikal dan horizontal;serta 4.status dari PUU yang ada, termasuk PUU yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta PUU yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan UU atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap PUU dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau PUU yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi PUU yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Bahan penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan UU, Perda Provinsi, atau Perda Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

15 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis alasan yang menggambarkan peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun B. Landasan Sosiologis. Alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk. Menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. C. Landasan Yuridis. alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

16 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; materi yang akan diatur; C. ketentuan sanksi; dan D..ketentuan peralihan.

17 BAB VI PENUTUP Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. A
BAB VI PENUTUP Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. A. Simpulan Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. B. Saran Saran memuat antara lain: 1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. 2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah. 3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.

18 LAMPIRAN II TEKNIK PENYUSUNAN PUU
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan diperlukan teknik penyusunan agar terdapat suatu standar, baik mengenai bentuk luar (kerangkanya), sistematika, maupun mengenai tata penulisan dan perumusan norma. (Standar “Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan)”. Disebut dengan “teknik” karena seorang perancang peraturan perundang-undangan pada dasarnya sama dengan seorang arsitek bangunan, dalam pengertian harus mampu memberi bentuk pada suatu gagasan, mewujudkan suatu konsep dan perintah yang samar, menjadi rumusan yang konkrit yang bisa memberi makna/arti dalam menata suatu hal atau permasalahan.

19 LANJUTAN Menurut Irawan Sajtipto membentuk peraturan perundang-undangan diperlukan bakat seni tersendiri. Demikian juga pendapat Reed Dickerson seorang Guru Besar Perundang-undangan dari Universitas Indiana USA, mengatakan bahwa “legislative drafting is both a science and an art”. Disebut “science” karena kaidah yang disusun dapat diterapkan secara umum, dan disebut “Art” karena berkaitan dengan rasa berbahasa dan pengetahuan mengenai penafsiran teknis.

20 SISTEMATIKA BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. JUDUL B
SISTEMATIKA BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. JUDUL B. PEMBUKAAN 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup D. PENUTUP E. PENJELASAN (jika diperlukan) F. LAMPIRAN (jika diperlukan)

21 BAB II HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN

22 BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN K
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

23 A. JUDUL

24 A.JUDUL Setiap Peraturan Perundang-undangan harus diberi judul.
Judul memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama Peraturan Perundang-undangan. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri dengan tanda baca. Nama Peraturan Perundang-undangan : dibuat secara singkat dapat berupa satu kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah mencerminkan isi peraturan yang bersangkutan ; tidak boleh disertai singkatan dari nama peraturan yang bersangkutan; Contoh I: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …TAHUN … TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) Contoh II: PERATURAN DAERAH KOTA … NOMOR … TAHUN … LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD)

25 tidak menggunakan akronim dari nama peraturan yang bersangkutan,
Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …TAHUN … TENTANG PROGRAM LEGISLASI NASIONAL ( PROLEGNAS ) Pada judul peraturan perubahan, ditambahkan frasa PERUBAHAN ATAS di depan nama peraturan yang diubah dan nama peraturan tersebut dilengkapi dengan Nomor dan Tahun pengundangan atau penetapannya. NOMOR 2 TAHUN 2011 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN TENTANG PARTAI POLITIK

26 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
Jika peraturan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, diantara kata PERUBAHAN dan kata ATAS disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan telah dilakukan. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …TAHUN … TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS ……….. Jika peraturan yang diubah mempunyai nama singkat,peraturan yang diubah dapat menggunakan nama singkat peraturan yang diubah . PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

27 Pada judul peraturan yang dicabut dan materi peraturan tersebut tidak diatur kembali ditambahkan kata PENCABUTAN di depan mana peraturan yang dicabut. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 PNPS TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI. Catatan : Jika permasalahan atau esensi dari peraturan yang dicabut kemudian masih diperlukan untuk diatur kembali maka keterangan mengenai pencabutan dari peraturan tersebut dirumuskan dalam KETENTUAN PENUTUP suatu peraturan dengan rumusan sebagai berikut : Pada saat ……(jenis peraturan) ini mulai berlaku,…….(jenis peraturan) yang ditulis secara lengkap dengan Nomor, Tahun dan LN/TLN nya atau BN/TBN (untuk peraturan Pusat) atau LD/TLD atau BD (untuk peraturan tingkat Daerah) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

28 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Pada judul Perpu yang ditetapkan menjadi UNDANG-UNDANG, ditambahkan kata PENETAPAN di depan nama Perpu yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa MENJADI UNDANG-UNDANG. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG- UNDANG Pada judul Peraturan Perundang-undangan mengenai pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata PENGESAHAN di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan, dengan ketentuan sebagai berikut : jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi (biasanya untuk perjanjian atau persetujuan yang sifatnya bilateral), nama perjanjian atau persetujuan internasional ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung.

29 UNDANG-UNDANG REPUBLIK IDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG
Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK IDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF PHILIPPINES ON COOPERATIVE ACTIVITIES IN THE FIELD OF DEFENCE AND SECURITY) Jika Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi (biasanya untuk perjanjian atau persetujuan yang sifatnya multilateral) nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

30 B. PEMBUKAAN

31 B.PEMBUKAAN (petunjuk no.14 s/d 16).
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : Frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Frasa ini ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan ditengah marjin pada pembukaan tiap jenis peraturan. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan. Jabatan pembentuk peraturan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan ditengah marjin setelah frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, dan diakhiri tanda baca koma. Contoh: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

32 Konsiderans (petunjuk no. 17 s/d 27).
diawali dengan kata Menimbang. memuat uraian singkat tentang pokok pikiran yang menjadi dasar atau alasan dibuatnya suatu peraturan. Untuk UU atau PERDA biasanya dalam pokok pikiran tersebut memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis (petunjuk no.19) Filosofis : menggambarkan bahwa peraturan yg dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yg meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yg bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sosiologis : menggambarkan bahwa peraturan yg dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Yuridis : menggambarkan bahwa peraturan yg dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

33 jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, tiap pertimbangan dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian dan antara pertimbangan yang satu dan pertimbangan berikutnya mencerminkan alur pikir yang runtut serta menggambarkan suatu sekuen yang runtut. masing-masing pertimbangan diawali dengan abjad, kata bahwa, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh : Menimbang : a. bahwa …………....; b. bahwa ……………; jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut : Contoh : Menimbang : a. bahwa ………….; b. bahwa …………..; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk (UU) menetapkan (Peraturan di bawah UU)

34 untuk konsiderans PP (yang pertama kali ditetapkan) dan Perpres pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan berisi uraian mengenai perlunya melaksanakan ketentuan Pasal (dengan ayat tertentu jika ada) atau beberapa Pasal dari UU yang mendelegasikan.Konsideran untuk PP perubahan tidak mungkin hanya memuat 1 (satu) pertimbangan saja. Contoh untuk PP yang pertama kali ditetapkan. Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal….. Undang-Undang Nomor… Tahun…. Tentang…….. perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang……..; Catatan: Untuk Perpres lihat juga petunjuk no.26. jika terdapat beberapa Pasal dari suatu UU yang mendelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan PP dan materi dari PP yang akan ditetapkan dapat digabung dalam satu PP,maka terdapat 2 (dua) cara dalam merumuskan konsiderans yakni dengan menyebut secara rinci Pasal-Pasal yang mendelegasikan atau hanya dirumuskan secara umum tanpa menyebut secara eksplisit Pasal yang mendelegasikan: Contoh 1: Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal, Pasal….,Pasal…dst Undang-Undang Nomor…. Tahun… tentang……, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang…….; (lihat PP dari UU tentang Jasa Konstruksi) Contoh 2: Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (Lihat PP Nomor 27 Tahun 1983).

35 Dasar Hukum ( petunjuk no. 28 s/d 52 ).
dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan dan peraturan yang memerintahkan pembuatan peraturan. Contoh dasar hukum kewenangan (dari UUD Negara RI Tahun 1945): Pasal 5 ayat (1) dasar kewenangan Presiden mengajukan RUU kepada DPR. Pasal 5 ayat (2) dasar kewenangan Presiden menetapkan PP. Pasal 18 ayat (6 ) dasar kewenangan Pemda menetapkan Perda. Pasal 20 ayat (1) dasar kewenangan DPR membentuk UU. Pasal 22 ayat (1) dasar kewenangan Presiden menetapkan Perpu. Pasal 21 ayat (1) dasar kewenangan Anggota DPR mengajukan usul RUU. Pasal 22D dasar kewenangan DPD mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) dasar kewenangan pembentukan UU pencabutan Perpu.

36 peraturan yang dijadikan dasar hukum hanya peraturan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
peraturan yang akan dicabut dan peraturan yang sudah diundangkan tetapi belum berlaku tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum pencantuman peraturan yang dijadikan dasar hukum harus memperhatikan tata urutan dengan menggunakan angka arab 1, 2, 3 dst dan disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. dasar hukum yang diambil dari UUD ditulis dengan menyebutkan Pasal atau beberapa Pasal yang relevan dan diikuti frasa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dasar hukum yang bukan UUD tidak perlu mencantumkan Pasal, tetapi cukup mencantumkan judul peraturan yang bersangkutan dan dilengkapi dengan pencantuman LN dan TLN yang ditulis di antara tanda baca kurung. Contoh: Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204);

37 dasar hukum yang berasal dari peraturan zaman Hindia Belanda, ditulis terlebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli dalam Bahasa Belanda disertai dengan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23);

38 Diktum (petunjuk no.53 s/d 60). Diktum terdiri atas :
kata Memutuskan yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital, tanpa spasi, diakhiri dengan tanda baca titik dua, dan diletakkan ditengah marjin. Contoh : MEMUTUSKAN: kata Menetapkan; nama Peraturan Perundang-undangan, yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital tanpa disertai frasa ”REPUBLIK INDONESIA” dan diakhiri tanda baca titik. pada UU sebelum kata MEMUTUSKAN dicantumkan frasa Dengan Persetujan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan ditengah marjin Contoh: Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG…………

39 C. BATANG TUBUH

40 C.BATANG TUBUH (petunjuk no. 61 s/d 95).
Batang tubuh peraturan dikelompokkan ke dalam : Ketentuan Umum; Materi pokok yang diatur ; Ketentuan Pidana (jika diperlukan); Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); Ketentuan Penutup. Pengelompokan materi yang diatur. Pengelompokan materi yang diatur dilakukan sebagai berikut : BUKU, BAB, Bagian, dan Paragraf yang dilakukan atas kesamaan materi yang diatur; BAB dengan Pasal, tanpa Bagian dan Paragraf; BAB dengan Bagian dan Pasal, tanpa Paragraf ; BAB dengan Bagian dan Paragraf yang berisi Pasal Penulisan BUKU diberi nomor urut bilangan tingkat dan judul seluruhnya ditulis dengan huruf kapital . Contoh : BUKU KETIGA PERIKATAN

41 Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim
Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul ditulis dengan huruf kapital. Contoh. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian diberi nomor urut bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf, huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Contoh : Bagian Kesatu Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab, huruf awal kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Paragraf 2 Tugas dan Wewenang

42 Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital. Pasal dapat dirinci dalam beberapa ayat dan setiap ayat hanya memuat satu norma yg disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Contoh : Pasal 4 (1). ……………… (2). ……………… Jika pasal atau ayat yang memuat rincian unsur,dapat dirumuskan dalam bentuk satu kalimat secara utuh dapat juga dirumuskan dengan menggunakan tabulasi. Contoh : Pasal 28 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Contoh rumusan tabulasi : Pasal 28 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi : Presiden ; Wakil Presiden ; dan pejabat negara yang lain, yang disampaikan di dalam atau di luar negeri

43 Jika rincian merupakan kumulatif gunakan kata dan, jika rincian merupakan alternatif gunakan kata atau, dan jika rincian merupakan kumulatif dan alternatif gunakan kata dan/atau. Kata tersebut diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dst Contoh : Pasal 4 (1). ……………… (2). ……………… a. ………………; b. ………………;dan c. ……………… Setiap rincian: harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka; diawali dengan huruf kecil, kecuali untuk nomenklatur tertentu, misal Presiden, Gubernur. rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat.

44 III. 1. a Ketentuan Umum(petunjuk no. 96 s/d 109 ).
Ketentuan Umum diletakkan dalam BAB I dan jika dalam peraturan tidak dilakukan pengelompokan BAB, ketentuan umum diletakkan dalam Pasal 1. Ketentuan umum dapat berisi lebih dari satu pasal. Frasa pembuka berbunyi : Dalam……..(jenis Peraturan) ini yang dimaksud dengan: Ketentuan umum memuat: batasan pengertian atau definisi; singkatan atau akronim yang digunakan; hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan. batasan pengertian atau definisi yang dimuat dalam ketentuan umum, masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab, diawali dengan huruf kapital, dan diakhiri dengan tanda baca titik. batasan pengertian atau definisi tidak perlu diberi penjelasan.

45 III. 1. b Materi Pokok yang Diatur (petunjuk no. 110 s/d 111).
Pembagian materi pokok yang diatur didasarkan pada kriteria : berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi (Contoh pembagian dalam KUHP); kejahatan thd keamanan negara, thd martabat Presiden, thd negara sahabat dan wakilnya, thd kewajiban dan hak kenegaraan, thd ketertiban umum dst. berdasarkan urutan atau kronologis dari tahapan yang dilakukan (contoh pembagian dalam KUHAP); berdasarkan urutan jenjang jabatan, misalnya Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda III. 1. c Ketentuan Pidana (petunjuk no.112 s/d 126). Ketentuan Pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan (dilarang) atau perintah (wajib). Ketentuan Pidana diletakkan dalam bab tersendiri sebelum Ketentuan Peralihan (jika ada) jika tidak ada Ketentuan Peralihan diletakkan sebelum Ketentuan Penutup.

46 Dalam merumuskan Ketentuan Pidana perlu diperhatikan:
asas-asas umum ketentuan pidana dalam KUHP (Pasal 103) yang menentukan ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII berlaku juga bagi perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh UU ditentukan lain. lamanya pidana ditentukan maksimumnya yang dirumuskan: dipidana dengan pidana penjara paling lama…….. (angka dengan huruf) tahun dan pidana denda paling banyak ………… (jumlah uang dengan huruf). untuk tindak pidana tertentu (yang dikatagorikan exstra ordinary crimes misalnya korupsi-terorisme-narkoba-pencucian uang) dapat saja disamping pidana maksimum dirumuskan juga pidana minimumnya yang dirumuskan : dipidana dengan pidana penjara paling singkat…….. (angka dengan huruf) tahun dan pidana denda paling sedikit……. (jumlah uang dengan huruf). Sifat tindak pidananya dirumuskan dengan jelas kejahatan atau pelanggaran dan pidana yang dijatuhkan untuk kumulatif (dan), alternatif (atau), atau kumulatif alternatif (dan/atau). Catatan: dalam teknik yang dimuat dalam Lampiran II UU.No.12 Tahun 2011 untuk denda secara tegas dirumuskan pidana denda.

47 Ketentuan Pidana hanya dimuat dalam UU atau Perda
Ketentuan Pidana hanya dimuat dalam UU atau Perda. Dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU NO.12 Tahun 2011 diatur secara eksplisit ketentuan pidana dalam Perda ditentukan untuk pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak RP ,00 (lima puluh juta rupiah) (ayat (2) dan dalam ayat (3) ditentukan dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sbgmn dimaksud pada ayat (2) sesuai dgn yang diatur dlm Peraturan Perundang-undangan lainnya. Ketentuan ini sudah dimuat dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi tanpa klarifikasi pidana kurungan untuk yang mengacu pada ketentuan Peraturan Perundang- undangan lainnya (pd ayat (3)). Subyek pelakunya harus dirumuskan secara jelas berlaku bagi siapapun (setiap orang) atau untuk subyek tertentu (misalnya pegawai negeri, orang asing, hakim, jaksa dsb). Ketentuan Pidana tidak boleh diberlakukan surut.

48 III. 1. d Ketentuan Peralihan (petunjuk no.127 s/d 135 ).
Tidak semua Peraturan Perundang-undangan memerlukan Ketentuan Peralihan. Ketentuan Peralihan diperlukan jika materi yang akan diatur dalam peraturan yang dibuat telah diatur dalam peraturan sebelumnya, dan materi tersebut diatur lagi dengan ketentuan yang berbeda. Dengan demikian dalam Ketentuan Peralihan yang diatur adalah bagaimana hubungan hukum atau tindakan hukum yang belum selesai prosesnya yang semula dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan yang lama, harus diselesaikan berdasarkan peraturan yang baru. Ketentuan ini perlu agar tidak merugikan pihak-pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan ,menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

49 III. 1. e Ketentuan Penutup(petunjuk no.136 s/d 159 ).
Ketentuan Penutup diletakkan pada Bab atau Pasal terakhir dari suatu peraturan. Ketentuan Penutup memuat : penunjukkan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; (jika ada) nama singkat (jika ada) dan bukan singkatan atau akronim, kecuali singkatan atau akronim tersebut sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian. status peraturan yang sudah ada (dicabut dan dinyatakan tidak berlaku atau untuk peraturan pelaksanaannya biasanya masih dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan…(jenis Peraturan ybs) ini. Frasa “atau belum diganti yang baru” tidak digunakan lagi. Ketentuan tsb untuk menghindari adanya kefakuman hukum);

50 Dalam UU No.12 Tahun 2011 rumusan untuk pernyataan masih berlakunya peraturan pelaksanaan dirumuskan : masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. saat mulai berlaku peraturan (bisa ditentukan pada tanggal diundangkan atau pada tanggal yang secara eksplisit ditentukan dalam peraturan yang bersangkutan atau menyerahkan pada peraturan lain yang tingkatanya sama atau yang lebih rendah). pencabutan peraturan harus disebutkan secara jelas judulnya, Nomor dan Tahun pengundangan atau penetapan dan LN/TLN atau BN/TBN atau LD/TLD atau BD/TBDnya.

51 D.PENUTUP

52 D.PENUTUP. (petunjuk no. 160 s/d 173 ).
Penutup merupakan bagian akhir suatu peraturan yang memuat : perintah pengundangan dan penempatannya (dalam LN, BN, LD atau BD) ; penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan yang memuat: tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; nama jabatan yang ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca koma ; Contoh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan pejabat; dan nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat . Contoh : (seharusnya) SUSILO BAMBANG YUDHOYONO bukan DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYNO (sebagaimana yang ada selama ini). Presiden terdahulu walaupun memiliki gelar, untuk penandatanganan peraturan tidak pernah mencantumkan gelar tersebut. pengundangan peraturan; unsur-unsur yang dimuat sama dengan unsur dalam penandatanganan pengesahan atau penetapan (point 2) Penulisan LN/TLN-BN/TBN atau LD /BD ditulis secara lengkap dengan huruf kapital.

53 E. PENJELASAN 174.Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan. 175.Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika diperlukan. 176.Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

54 lanjutan 177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. 178.Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 179.Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan Peraturan Perundang-undangan.

55 lanjutan 180. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital. Contoh: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA

56 lanjutan 181.Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. 182.Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital. Contoh: UMUM PASAL DEMI PASAL

57 LANJUTAN 181.Penjelasan PUU memuat: 1.Penjelasan umum; 2.Penjelasan pasal demi pasal 182.Rincian penjelasan umum dan pasal demi pasal diawali dengan angka romawi dan ditulis dengan huruf capital. 183.Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai: 1.latar belakang pemikiran, 2. maksud, dan 3.tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.

58 lanjutan Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.

59 lanjutan 186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau e. tidak memuat rumusan pendelegasian

60 lanjutan Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan. 188. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang tidak tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas. Seharusnya: Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9

61 Lanjutan Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir. 190. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. Contoh: Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum. Ayat (3) Ayat (4)

62 LANJUTAN 191. Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada istilah/kata/frasa tersebut. Contoh: Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ayat (4)

63 F.LAMPIRAN 192. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.

64 LANJUTAN 194. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi. Contoh : LAMPIRAN I LAMPIRAN II 195. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. Contoh: LAMPIRAN I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN … TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

65 LANJUTAN 196.Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. Contoh: TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 197.Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

66 DISKUSI

67 LATIHAN A. 8 KELOMPOK ANGKA LAMPIRAN II (PENJELASAN DAN LAMPIRAN)
BERIKAN CONTOH : a. yg sesuai dengan teknik (10 PUU); b. yg belum sesuai (10 PUU) D. PRESENTASI KELOMPOK.

68 PENDELEGASIAN KEWENANGAN
BAB II HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN

69 LANJUTAN 198. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. 199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang- Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Contoh: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 48 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang-Undang.

70 LANJUTAN 200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … . Contoh 1: Pasal … (1) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.

71 lanjutan 202.Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh: Pasal … (1) … . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 203.Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan … . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.

72 lanjutan 204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh: Pasal ... (1) (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

73 lanjutan 205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam ….” Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Pasal 57 (1) … . (2) … . (3) … . (4) … . (5) … . (6) … . (7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

74 lanjutan 206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang- undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan ...” Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

75 lanjutan 207.Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut. Contoh: Diambil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal 76 (1) (2) (3) (4) (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

76 lanjutan 208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.

77 Lanjutan Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko. Contoh 1: Pasal … Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Contoh 2: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pasal 24 Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati.

78 lanjutan 211.Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. 212.Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.

79 lanjutan 213.Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. 214.Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang- Undang.

80 lanjutan 215.Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya.

81 DISKUSI

82 Latihan 8 KELOMPOK B. BERIKAN CONTOH: YG SESUAI DENGAN TEKNIK
BELUM SESUAI DENGAN TEKNIK RPP TTG PERENCANAAN KEHUTANAN DARI UU KEHUTANAN (PENGESAHAN TAHAPAN) C. PRESENTASI KELOMPOK.

83 PENYIDIKAN B. PENYIDIKAN 217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 218.Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

84 LANJUTAN 219. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan. Contoh: Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana.

85 DISKUSI

86 LATIHAN 8 KELOMPOK B. BERIKAN CONTOH; YG SESUAI DENGAN TEKNIK
BELUM SESUAI DENGAN TEKNIK RPP TTG PERENCANAAN KEHUTANAN DARI UU KEHUTANAN (PENGESAHAN TAHAPAN) C. PRESENTASI KELOMPOK.

87 MATURNUWUN


Download ppt "TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERANCANGAN NASKAH AKADEMIK BERDASARKAN UU NO.12 TAHUN 2011 Disampaikan pada: KICKOFF MEETING BANTEK."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google