Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTRAK DUA BAHASA (disampaikan dalam Seminar Hukum Online “Implikasi Hukum Kewajiban Kontrak Berbahasa.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTRAK DUA BAHASA (disampaikan dalam Seminar Hukum Online “Implikasi Hukum Kewajiban Kontrak Berbahasa."— Transcript presentasi:

1 PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTRAK DUA BAHASA
(disampaikan dalam Seminar Hukum Online “Implikasi Hukum Kewajiban Kontrak Berbahasa Indonesia dalam Dunia Usaha” tanggal 8 Oktober 2009) Oleh: Indri Pramitaswari (Mita) SH Partner dari Kantor Hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners ) 1

2 Landasan Hukum Terkait
Pasal 31 UU No. 24/2009 dan Penjelasannya; Pasal 32 ayat (2) UU No. 24/2009 dan Penjelasannya; Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang- undang Hukum Perdata. v1 2

3 Pasal 31 UU No. 24/2009: “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana disebut pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis JUGA dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.” v1 3

4 Penjelasan Pasal 31 UU No. 24/2009:
“Ayat (1): ”perjanjian” adalah TERMASUK perjanjian internasional… Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain DAN/ATAU bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan ORGANISASI INTERNASIONAL yang digunakan adalah bahasa organisasi internasional. Ayat (2): Dalam perjanjian bilateral, nasakah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, DAN/ATAU bahasa Inggris, dan semua naskah itu SAMA ASLINYA.” v1 4

5 Pasal 32 Ayat 2 UU No. 24/2009 dan Penjelasannya:
“Bahasa Indonesia DAPAT digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.” “Yang dimaksud “bersifat internasional” adalah berskala ANTAR BANGSA dan BERDAMPAK INTERNASIONAL.” v1 5

6 Pasal 1320 jo Pasal 1335 jo Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
mengatur 4 syarat sahnya perjanjian, yang salah satunya adalah suatu sebab yang halal/tidak terlarang sebab yang halal/tidak terlarang diartikan sebagai suatu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang atau sebab yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan apabila perjanjian dibuat berdasarkan suatu sebab yang tidak halal/terlarang, maka berdasarkan hukum, perjanjian tersebut menjadi BATAL DEMI HUKUM. v1 6

7 Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
Asas kebebasan berkontrak “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” v1 7

8 PERMASALAHAN HUKUM: Tidak jelasnya isi pasal 31 UU No. 24/2009
Tidak adanya pasal tentang Ketentuan Peralihan tentang persyaratan penggunaan Bahasa Indonesia ini Peraturan Pelaksana (termasuk Peraturan Presiden) baru akan dikeluarkan sampai maksimum 2 tahun setelah tanggal UU No. 24/2009 resiko kemungkinan perjanjian-perjanjian yang “batal” karena tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia v1 8

9 MASALAH KETIDAK JELASAN PASAL 31 UU No. 24/2009
v1 9

10 A. Cakupan kata-kata “lembaga swasta Indonesia” :
Apakah bisa diartikan juga termasuk perusahaan swasta Indonesia? Jika iya, bagaimana dengan: BUMN atau BUMD, karena secara hukum, BUMN atau BUMD tidak termasuk dalam istilah “lembaga negara” ataupun “instansi pemerintah” atau “lembaga swasta Indonesia” yang dipakai di Pasal 31?; cabang-cabang perusahaan asing di Indonesia (seperti: cabang bank-bank asing di Indonesia), karena secara hukum, mereka bukanlah lembaga swasta Indonesia; perusahaan-perusahaan asing yang menjalankan usaha minyak dan gas bumi di Indonesia melalui mekanisme, antara lain: joint operating body, karena secara hukum, mereka bukanlah lembaga swasta Indonesia. v1 10

11 B. Apakah harus dua bahasa dalam satu naskah?
Penjelasan pasal 31 Ayat 2 memungkinkan jika perjanjian tersebut bilateral, maka naskahnya ditulis dalam bahasa Indonesia DAN/ATAU bahasa Inggris; Penggunakan kata-kata “dan/atau” mengindikasikan bahwa para pihak bisa memilih salah satu bahasa saja; UU No. 24/2009 tidak mengatur apakah para pihak dalam perjanjian harus menggunakan satu naskah dengan dua bahasa. v1 11

12 C. Kalau perjanjian tersebut dibuat dalam dua bahasa dalam dua naskah terpisah, bisakah kedua naskah tersebut ditandatangani pada waktu yang berbeda (sesuai kesepakatan para pihak)? UU No. 24/2009 tidak mengatur hal ini sama sekali. v1 12

13 D. Bahasa mana yang dipakai sebagai pedoman/pegangan (terutama jika terjadi perselisihan)?
Kata-kata “semua naskah itu sama aslinya” dalam Penjelasan Pasal 31 mengindikasikan perjanjian yang sama yang dibuat dengan dua bahasa yang berbeda mempunyai kekuatan mengikat yang sama; Bisakah para pihak menyetujui untuk memilih bahasa mana yang berlaku?; UU No. 24/2009 tidak mengatur sama sekali hal ini. v1 13

14 E. Bagaimana dengan naskah perjanjian:
Untuk transaksi-transaksi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, BUMN ataupun perusahaan swasta Indonesia diluar wilayah Republik Indonesia, seperti misalnya: obligasi RI atau obligasi PLN yang ditawarkan untuk masyarakat internasional (bukan di Indonesia) – yang notabene bukanlah “perjanjian internasional” sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31?; Yang dibuat berdasarkan hukum asing? Jika Pasal 31 diterapkan secara menyeluruh, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah: “tidak ada pengecualian” dan oleh karenanya, Bahasa Indonesia tetap harus dipergunakan. Dengan interpretasi seperti ini, maka bisa terjadi dampak negatif atas “komersialitas” dari instrumen/transaksi Indonesia yang dipasarkan di pasar Internasional. v1 14

15 F. Bagaimana dengan perjanjian-perjanjian di mana salah satu pihaknya adalah Perseroan Terbatas yang 100% atau sebagian besar dimiliki asing. Jawaban atas pertanyaan ini pada dasarnya sama dengan pertanyaan huruf E sebelumnya. v1 15

16 G. Apakah konsep “DAPAT menggunakan Bahasa Indonesia” untuk forum internasional di luar negeri (Pasal 32 Ayat 2 UU No. 24/2009) bisa diterapkan secara luas sehingga bisa mencakup produk tulisan, seperti: naskah perjanjian, dan tidak hanya pembicaraan internasional saja? Jika memang usul ini dapat diterima, maka ada baiknya hal ini dimasukkan dalam peraturan- peraturan pelaksana UU No. 24/2009 ini. v1 16

17 TIDAK ADANYA KETENTUAN PERALIHAN UNTUK MASALAH PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM NASKAH PERJANJIAN
v1 17

18 Isi UU ini tidak pernah disosialisikan kepada masyarakat sebelumnya;
Untuk masalah yang menimbulkan dampak yang sangat luas seperti ini, seharusnya diberikan suatu periode untuk pengalihan (contoh: UU tentang Perseroan Terbatas); Menurut kami, intensi adanya ketentuan peralihan ini sebenarnya sudah terimplikasi dalam Pasal 41 ayat (2) UU No. 24/2009 yang menyatakan bahwa “pengembangan, pembinaan dan pelindungan (bahasa dan sastra Indonesia) dilakukan secara BERTAHAP, SISTEMATIS DAN BERKELANJUTAN….”. Namun sayangnya, Pasal 72 UU No. 24/2009 tidak mengimplementasikan maksud tersebut. v1 18

19 MASA “VAKUM” ANTARA UU NO
MASA “VAKUM” ANTARA UU NO. 24/2009 DAN PERATURAN PELAKSANANYA VS RESIKO KEBATALAN PERJANJIAN v1 19

20 Dengan tidak jelasnya posisi UU No
Dengan tidak jelasnya posisi UU No. 24/2009 (sebagaimana diilustrasikan dengan paparan beberapa pertanyaan di atas), akan timbul multi interpretasi di kalangan masyarakat pada umumnya dan praktisi hukum pada khususnya. Akibatnya adalah keabsahan perjanjian dengan pihak-pihak Indonesia menjadi semakin tidak pasti karena adanya resiko “BATAL” nya perjanjian karena dianggap tidak memenuhi/melanggar Undang-undang, meskipun berdasarkan interpretasi pihak yang digugat, pelanggaran tersebut tidak ada. Resiko di atas mempunyai dampak MATERIAL dalam dunia usaha di Indonesia, karena akan sangat sulit untuk mencari investor asing yang mau menanam modalnya atau meminjamkan uang ke pihak Indonesia, kalau ada resiko perjanjiannya dapat dianggap “BATAL”. v1 20

21 KESIMPULAN DAN SARAN Dengan adanya berbagai permasalahan di atas, Pemerintah harus sesegera mungkin membuat peraturan pelaksana yang memperjelas dan memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut dan tidak menunggu sampai masa 2 tahun yang diberikan UU tersebut berakhir. Dan, jika dimungkinkan, menunda keberlakuan Pasal 31 UU No. 24/2009 (dan mungkin pasal-pasal lain yang terkait) sampai naskah peraturan-peraturan pelaksanaannya hampir selesai, sehingga masa vakum antara UU dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya menjadi tidak terlalu lama. v1 21

22 SEKIAN DAN TERIMA KASIH.
Hadiputranto, Hadinoto & Partners is a member firm of Baker & McKenzie International, a Swiss Verein with member law firms around the world. In accordance with the common terminology used in professional services organizations, reference to a “partner” means a person who is a partner, or equivalent, in such a law firm. Similarly, reference to an “office” means an office of any such law firm. 22


Download ppt "PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTRAK DUA BAHASA (disampaikan dalam Seminar Hukum Online “Implikasi Hukum Kewajiban Kontrak Berbahasa."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google