Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

REGULASI PENETAPAN UPAH MINIMUM PERTEMUAN TERBATAS FORKOM-SIER

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "REGULASI PENETAPAN UPAH MINIMUM PERTEMUAN TERBATAS FORKOM-SIER"— Transcript presentasi:

1 REGULASI PENETAPAN UPAH MINIMUM PERTEMUAN TERBATAS FORKOM-SIER
Agenda Industrial Relations REGULASI PENETAPAN UPAH MINIMUM & PUTUSAN MK NO. 7 TAHUN 2014 Disampaikan oleh ; ATMARI, S.H.,M.H. PERTEMUAN TERBATAS FORKOM-SIER Surabaya, 20 Januari 2016

2 DASAR HUKUM UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
PERATURAN PEMERINTAH N0. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN Intruksi Presiden No. 9 tahun 2013 Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja Peraturan Pelaksanaan Lainnya

3 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH ( Di undangkan tanggal 30 September 2014 )

4 Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Pasal 67 Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi: memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menaati seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan; mengembangkan kehidupan demokrasi; menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah; menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; melaksanakan program strategis nasional; dan menjalin hubungan kerja dengan seluruh Instansi Vertikal di Daerah dan semua Perangkat Daerah.

5 Pembatalan Perda dan Perkada
Bagian Ketiga Pembatalan Perda dan Perkada Pasal 249 Gubernur wajib menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan. Gubernur yang tidak menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Menteri. Bupati/wali kota wajib menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan. Bupati/wali kota yang tidak menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan,ras, antar-golongan, dan gender.

6 Pasal 251 Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota. Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada dimaksud. Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima. Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima.

7 LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KONKUREN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA I. MATRIKS PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KONKUREN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA G. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG TENAGA KERJA NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 1. Pelatihan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja a. Pengembangan sistem dan metode pelatihan. b. Penetapan standar kompetensi. c. Pengembangan program pelatihan ketenagakerjaan, ketransmigrasian, produktivitas, dan kewirausahaan. d. Pelaksanaan pelatihan untuk kejuruan yang bersifat strategis. a. Pelaksanaan pelatihan berdasarkan klaster b. Pelaksanaan akreditasi lembaga pelatihan kerja. c. Konsultansi produktivitas pada perusahaan menengah. d. Pengukuran produktivitas tingkat Daerah provinsi. a. Pelaksanaan pelatihan berdasarkan unit b. Pembinaaan lembaga pelatihan kerja swasta. c. Perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. d. Konsultansi produktivitas pada perusahaan kecil. e. Pengukuran produktivitas tingkat Daerah kabupaten/kota.

8 NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 e. Penetapan kualifikasi instruktur, penggerak swadaya masyarakat (PSM) dan tenaga pelatihan. f. Pengembangan dan peningkatan kompetensi instruktur dan PSM. g. Penetapan standar akreditasi lembaga pelatihan kerja. h. Penerbitan izin pemagangan luar negeri. i. Pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi. j. Pelaksanaan sertifikasi kompetensi profesi.

9 NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 k. Pengembangan sistem, metode, alat dan teknik peningkatan produktivitas. l. Penyadaran m. Konsultansi produktivitas pada perusahaan besar. n. Pengukuran produktivitas tingkat nasional. 2. Penempatan Tenaga Kerja a. Pelayanan antar kerja nasional. b. Pengantar kerja. c. Penerbitan izin lembaga penempatan tenaga kerja swasta (LPTKS) lebih dari 1 (satu) Daerah provinsi. a. Pelayanan antar kerja lintas Daerah kabupaten/kota dalam b. Penerbitan izin LPTKS lebih dari 1 (satu) Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. a. Pelayanan antar kerja di Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota. c. Pengelolaan informasi pasar kerja dalam Daerah

10 NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 d. Penerbitan izin pelaksana penempatan tenaga kerja indonesia swasta (PPTKIS). e. Pengembangan bursa kerja dan informasi pasar kerja nasional dan di luar negeri. f. Perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar g. Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) baru, pengesahan RPTKA perubahan seperti jabatan, lokasi, jumlah tenaga kerja asing, dan kewarganegaraan serta c. Pengelolaan informasi pasar kerja dalam 1 (satu) Daerah provinsi. d. Perlindungan TKI di luar negeri (pra dan purna penempatan) di Daerah provinsi. e. Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah TKA, dan lokasi kerja dalam 1 (satu) f. Penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerja lebih dari 1 (satu) Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. kabupaten/kota. e. Penerbitan perpanjangan dalam 1 (satu) Daerah

11 NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 RPTKA perpanjangan lebih dari 1 (satu) Daerah provinsi. h. Penerbitan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) baru dan perpanjangan IMTA yang lokasi kerja lebih dari 1 (satu) Daerah 3. Hubungan Industrial a. Pengesahan peraturan perusahaan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama untuk perusahaan yang mempunyai wilayah kerja a. Pengesahan peraturan perusahaan dan kerja bersama untuk yang lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. perusahaan yang hanya beroperasi dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.

12 NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 b. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja dan penutupan yang berakibat/berdampak pada kepentingan nasional/internasional. b. Pencegahan dan hubungan industrial, penutupan perusahaan yang berakibat/berdampak pada kepentingan di 1 (satu) Daerah provinsi. c. Penempatan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum sektoral provinsi (UMSP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). penutupan perusahaan di Daerah kabupaten/kota.

13 NO SUB BIDANG PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH KABUPATEN/KOTA 1 2 3 4 5 4. Pengawasan Ketenagakerjaan a. Penetapan sistem pengawasan ketenagakerjaan. b. Pengelolaan tenaga pengawas Penyelenggaraan pengawasan

14 BAB XXIV KETENTUAN PIDANA Pasal 398 Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan apabila pelanggarannya bersifat pidana. BAB XXV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 399 Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang- Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut. Pasal 400 Ketentuan mengenai evaluasi rancangan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dan Pasal 325 berlaku secara mutatis mutandis terhadap evaluasi rancangan Perda tentang tata ruang daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi rancangan Perda tentang tata ruang daerah diatur dalam Peraturan Menteri.

15 BAB XXVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 401 Penegasan batas termasuk Cakupan Wilayah dan penentuan luas bagi Daerah yang dibentuk sebelum Undang-Undang ini berlaku ditetapkan dengan peraturan Menteri. Penegasan batas termasuk Cakupan Wilayah dan penentuan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada perhitungan teknis yang dibuat oleh lembaga yang membidangi informasi geospasial. Pasal 402 Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin. BUMD yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahunterhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

16 BAB XXVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 403 Semua ketentuan mengenai program legislasi daerah dan badan legislasi daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai program pembentukan Perda dan badan pembentukan Perda, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 404 Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Pasal 405 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

17 Pasal 406 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini atau tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Pasal 407 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini. Pasal 408 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

18 UMP-UMK DENGAN UMSP – UMSK
ADALAH SATU KESATUAN Pasal 89(1) UU 13/2003 UPAH MINIMUM UPAH MINIMUM BERDASARKAN SEKTOR DI PROV/KAB-KOTA UPAH MINIMUM BERDASAR WILAYAH PROVINSI DAN KAB-KOTA TERDIRI

19 TDK BOLEH < DARI PERAT - PERUN
IMPLEMENTASI UPAH MINIMUM Psl 90(1) UU 13/2003 DILARANG MEMBAYAR UPAH < UM P sl 90(2) UU 13/2003 YG TAK MAMPU DAPAT DILAKUKAN PENANGGUHAN Psl 91(1) UU 13/2003 KESEPAKATAN PENGUP TDK BOLEH < DARI PERAT - PERUN Psl 91(2) UU 13/2003 KESEP PENGUP < UU BATAL DEMI HUKUM DAN WAJIB MEMBAYAR SESUAI PERAT- PERUN

20 KETENTUAN PIDANA UMP & UMSP / UMK & UMSK SESUAI Psl 185 UU 13 / 2003
MELANGGAR Psl 90 (1) PENGUS DILARANG MEMBAYAR UPAH LEBIH RENDAH DARI UPAH MINIMUM ( sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ) (UMP & UMSP / UMK &UMSK ) DIKENAKAN SANKSI DENDA Paling Sedikit Rp. 100 Juta Paling Banyak Rp. 400 Juta PIDANA PENJARA Paling Singkat 1 TH Paling lama 4 TH DAN / ATAU

21 PENGHASILAN YANG LAYAK ( PP NO. 78 TAHUN 2015 )
Upah tanpa tunjangan (clean wages); Upah pokok dan tunjangan tetap; atau Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. Upah Penghasilan yang layak THR Keagamaan; Bonus; Uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau Uang servis pada usaha tertentu. Pendapatan Non Upah

22 DASAR HUKUM PENETAPAN UMK
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 88 Ayat (4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi Penjelasan Pasal 88 Cukup jelas

23 Lanjutan Pasal 89 (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas : a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. (4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

24 Lanjutan Penjelasan Pasal 89 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya ditetapkan oleh Menteri. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara Bertahap karena kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari Kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. 

25 Lanjutan Permenakertrans RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup layak Pasal 6 ayat (1) Penetapan Upah Minimum oleh Gubernur berdasarkan KHL dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi “ Ayat (3) Dalam Penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi dan rekomendasi Bupati / Walikota

26 FORMULA PERHITUNGAN UPAH MINIMUM
(PP 78 TAHUN 2015 Pasal 44) Latar Belakang Pekerja/Buruh cenderung menuntut UM setinggi mungkin. Pengusaha cenderung menjadikan UM sebagai standar upah yang berlaku di perusahaan tanpa mempertimbangkan masa kerja dan status pekerja lajang atau berkeluarga. Beberapa tahun terakhir, di beberapa daerah, UM ditetapkan tinggi sementara di beberapa daerah lain ditetapkan rendah (terjadi ketidakadilan antar wilayah).

27 FORMULA PERHITUNGAN UPAH MINIMUM
Upah Minimum yang akan ditetapkan adalah upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara Upah Minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat produk donestik bruto tahun berjalan. Formula Penghitungan sbb: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit % ∆ PDBt)} Upah Minimum yang akan ditetapkan Upah Minimum tahun berjalan Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan.

28 UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}
Contoh: UMt : Rp ,- Inflasit : 5% ∆ PDBt : 6% UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)} UMn = Rp ,- + {Rp ,- x (6,83% %)} = Rp ,- + {Rp ,- x 11,5%} = Rp ,- + Rp ,- = Rp ,-

29 Dalam formula tersebut, KHL ada di bagian mana?
Nilai KHL terdapat pada Upah Minimum tahun berjalan (UMt) yang digunakan sebagai dasar perhitungan Upah Minimum yang akan ditetapkan (UMn) Pada umumnya tiap tahun terdapat kenaikan harga jenis kebutuhan yang mempengaruhi nilai KHL. Dalam formula tersebut, dimana terdapat penyesuaian KHL tiap tahunnya? Penyesuaian nilai KHL pada Upah Minimum yang akan ditetapkan tersebut secara langsung terkoreksi melalui perkalian antara Upah Minimum tahun berjalan (UMt) dengan inflasi tahun berjalan (Inflasit).

30 Upah Minimum yang dikalikan dengan inflasi ini akan memastikan daya beli dari Upah Minimum tidak akan berkurang. Hal ini didasarkan jenis-jenis kebutuhan yang ada dalam KHL juga merupakan jenis-jenis kebutuhan untuk menentukan inflasi. Dengan demikian penggunaan tingkat inflasi dalam perhitungan Upah Minimum pada dasarnya sama dengan nilai KHL.

31 Penyesuaian Upah Minimum dengan menggunakan nilai pertumbuhan ekonomi pada dasarnya untuk menghargai peningkatan produktivitas secara keseluruhan. Dalam pertumbuhan ekonomi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain peningkatan produktivitas, pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan modal.

32 PENETAPAN UMP DAN UMK Gubernur wajib menetapkan UMP.
(PP 78 TAHUN 2015 Pasal 45) Gubernur wajib menetapkan UMP. Penetapan UMP dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah Minimum. Gubernur dapat menetapkan UMK. Penetapan UMK dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah Minimum. UMK harus lebih besar dari UMP di Provinsi yang bersangkutan.

33 Bagi daerah yang upah minimum provinsinya masih dibawah KHL, Gubernur wajib menyesuaikan UMP sama dengan KHL secara bertahap paling lama 4 (empat) tahun sejak Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan diundangkan.

34 Dalam hal telah dilakukan peninjauan KHL, gubernur menetapkan UMP dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi. Rekomendasi dewan pengupahan provinsi didasarkan pada hasil peninjauan KHL (yang ditetapkan oleh Menteri) dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

35 Dalam hal telah dilakukan peninjauan KHL, gubernur menetapkan UMK dengan memperhatikan rekomendasi bupati/ walikota serta saran dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi. Rekomendasi bupati/walikota berdasarkan saran dan pertimbangan dewan pengupahan kabupaten/kota. Rekomendasi dan saran serta pertimbangan tersebut didasarkan pada hasil peninjauan KHL (yang ditetapkan oleh Menteri) dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

36 Ketentuan lebih lanjut mengenai UMP dan/atau UMK diatur dengan Peraturan Menteri *
* Catatan: Saat ini ketentuan lebih lanjut mengenai UMP dan/atau UMK diatur dalam Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.

37

38

39

40 CONTOH PERHITUNGAN UMK Surabaya
UM2016 = UM {UM2015 x (% Inflasi % ∆ PDB2015)} UM2015 : Rp ,- Inflasi2015 : 6,83% ∆ PDB2015 : 4,67% UM2016 = Rp ,- + {Rp ,- x ( 6,83% + 4,67%)} = Rp ,- + {Rp ,- x ( 11,5 %)} = Rp ,- + Rp ,- = Rp ,-

41

42 KEBERADAAN UMSK UU NO. 13/2003 PASAL 89
(1)  Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  88  ayat (3)   huruf  a   dapat  terdiri atas : a.   upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b.   upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. (3)  Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

43 PENETAPAN UMSP DAN UMSK
(PP 78 TAHUN 2015 Pasal 45) Gubernur dapat menetapkan UMSP dan/atau UMSK berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan SP/SB pada sektor yang bersangkutan. Penetapan UMSP dan/atau UMSK dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. UMSP harus lebih besar dari UMP di provinsi yang bersangkutan. UMSK harus lebih besar dari UMK di kabupaten/kota yang bersangkutan.

44 Ketentuan lebih lanjut mengenai UMSP dan/atau UMSK diatur dengan Peraturan Menteri *
* Catatan: Saat ini ketentuan lebih lanjut mengenai UMSP dan/atau UMSK diatur dalam Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.

45

46

47

48

49 STRUKTUR DAN SKALA UPAH PP 78 TAHUN 2015 Pasal 14, 59 dan pasal 63
Struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Struktur dan skala upah wajib diberitahukan kepada seluruh pekerja/buruh.

50 Struktur dan skala upah harus dilampirkan oleh perusahaan pada saat permohonan:
Pengesahan dan pembaruan PP; atau Pendaftaran, perpanjangan dan pembaruan PKB. Tidak menyusun struktur dan skala upah serta tidak memberitahukan struktur dan skala upah kepada pekerja/buruh, dikenai sanksi administratif.

51 Bagi Pengusaha yang belum menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah, wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah serta melampirkannya dalam permohonan PP atau PKB, paling lama 2 (tahun) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan diundangkan.

52 PROFIL STRUKTUR KONTINU DAN SKALA UPAH TUNGGAL
JABATAN SKALA UPAH SUPERVISOR KEPALA BENGKEL SEKRETARIS ADMINISTRASI SATPAM 52

53 PROFIL STRUKTUR KONTINU DAN SKALA UPAH GANDA
JABATAN MIN MID MAKS SPREAD SUPERVISOR 30 % KEPALA BENGKEL SEKRETARIS ADMINISTRASI 20 % SATPAM 53

54 RUMUS PENYUSUNAN SKALA UPAH GANDA
Batas Nilai Minimum (Min) Batas Nilai Maksimum (Max) Rentang, Kisaran (Spread) Nilai Tengah (Mid) Diketahui 54

55 V. HAL-HAL YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH
Pasal 51 dan Pasal 52: Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah terdiri atas: Denda; Ganti rugi; Pemotongan upah untuk pihak ketiga; Uang muka upah; Sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh; Hutang atau cicilan hutang pekerja/buruh kepada pengusaha; dan/atau Kelebihan pembayaran upah.

56 VI. PENGENAAN DENDA DAN PEMOTONGAN UPAH
Pasal 53 s.d Pasal 58: Pelanggaran terhadap PK, PP atau PKB dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam PK, PP atau PKB (berlaku untuk pengusaha maupun pekerja/buruh). Denda tersebut diatas dipergunakan hanya untuk kepentingan pekerja/buruh. Pemotongan upah oleh Pengusaha untuk denda, ganti rugi dan/atau uang muka upah dilakukan sesuai PK, PP atau PKB.

57 VII. SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 59 s.d Pasal 62: Sanksi administratif berupa: Teguran tertulis; Pembatasan kegiatan usaha; Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan Pembekuan kegiatan usaha.

58 Sanksi administratif dikenakan kepada Pengusaha yang:
Tidak membayar THR keagamaan kepada pekerja/buruh; Tidak membagikan uang servis pada usaha tertentu kepada pekerja/buruh; Tidak menyusun struktur dan skala upah serta tidak memberitahukan kepada seluruh pekerja/buruh;

59 Tidak membayar upah sampai melewati jangka waktu.
Tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar denda. Melakukan pemotongan upah lebih dari 50% dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja/buruh.

60 Sanksi administratif dikenakan oleh Menaker, Menteri terkait, Gubernur, Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai kewenangannya berdasarkan hasil pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan. Pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan berdasarkan: pengaduan; dan/atau tindak lanjut hasil pengawas ketenagakerjaan. Menteri terkait, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan pelaksanaan pengenaan sanksi administratif kepada Menaker.

61 Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif, tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak pekerja/buruh. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri * * Catatan: akan dibuat Permenaker baru.

62 Penangguhan UMK Perusahaan yang tidak mampu melaksanakan UMK, dapat mengajukan penangguhan kepada Gubernur Jatim melalui Kadisnakertransduk Prop. Jatim, dengan persyaratan sesuai Kepmen No. KEP/231/MEN/2003 Permohonan penangguhan didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/serikat yang tercatat, dengan disertai : Naskah asli kesepakatan tertulis ; Lap. Keuangan : neraca, perhitungan rugi/laba, untuk 2 tahun terakhir ; Salinan akta pendirian perusahaan ; Data upah menurut jabatan pekerja ; Total pekerja, dan jumlah yang dimohonkan penangguhan ; Pekerbangan produksi dan pemasaran selama 2 tahun terakhir, serta rencana untuk 2 tahun yang akan datang ; Laporan keuangan, perusahaan yang berbadan hukum, harus sudah diaudit oleh Akuntan Publik

63 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

64 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 8 ayat (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Pasal 8 ayat (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Penjelasan ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

65 Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU No
Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung KewenanganMahkamah Agung (“MA”) terkait dengan judicial review adalah sebagai berikut: a. MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. b. MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

66 Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak
Pasal 31A ayat [1] UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: a.   perorangan warga negara Indonesia; b.   kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c.   badan hukum publik atau badan hukum privat.

67 Permohonan judicial review Perma No. 01 /2004 & Perma No. 01 / 2011

68 Keputusan vs peraturan
Keputusan (beschikking) Peraturan (regeling) Selalu bersifat individual and concrete. Selalu bersifat general and abstract. Pengujiannya melalui gugatan  di peradilan tata usaha negara. Pengujiannya untuk peraturan di bawah undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Agung, sedangkan untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi. Bersifat sekali-selesai (enmahlig). Selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).

69 Pengujian Produk Hukum Daerah Oleh MA Dan Pemerintah
No Kategori Mahkamah Agung Pemerintah 1 Jenis review Judicial review Executive review 2 Bentuk review Permohonan keberatan Pengawasan preventif terhadap APBD, pajak dan restribusi daerah serta tata ruang Pengawasa represif terhadap Perda 3 Lembaga yang melakukan review Departemen Dalam Negeri dibantu oleh ; Departemen keuangan Departemen PU Departemen Hukum dan Ham 4 Sifat kewenangan lembaga yang melakukan review Pasif >>> menunggu datangnya permohonan dari pemohon Aktif >>> melakukan pengawasan, evaluasi terhadap seluruh produk hukum daerah yang dikeluarkan

70 5 Kapasitas lembaga Menyelesaikan sengketa peraturan perundang-undangan yang timbul di bawah undang-undang terhadap undang-undang Dalam rangka pengawasan dan pembinaan 6 Dasar hukum kewenangan pengujian Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4/2004 Pasal 31 ayat (1) s/d (5) UU No. 5/2004 PERMA NO. 1 /2011 Pasal 114 ayat (1) s/d (4) UU. No.22/1999 Pasal 145 ayat (1) s/d (4) jo Pasal 136 ayat (4) jo Pasal 218 ayat (1) huruf b UU No. 32/2004 7 Standart pengujian Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku Bertentangan dengan kepentingan umum

71 Bentuk hukum pembatalan Putusan Mahkamah Agung Peraturan Presiden
8 Lama waktu review Permohonan keberatan diajukan ke MA sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan tersebut dan PERMA No.1/2011 tidak memberikan batas waktu Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan Bila Perda dibatalkan, maka Perpres pembatalan harus sudah ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda 9 Waktu eksekusi Paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah putusan yang mengabulkan permohonan keberatan Perda, Perda harus dicabut oleh DPRD bersama Kepala Daerah Paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya pembatalan Perda, kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan perda, selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut 10 Bentuk hukum pembatalan Putusan Mahkamah Agung Peraturan Presiden 11 Upaya hukum Tidak dapat diajukan peninjauan kembali Mengajukan keberatan kepada MA

72 PUTUSAN MK DI BIDANG UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
NO. 115/PUU-VII/2009 NO. 37/PUU-IX/2011 NO. 12/PUU-I/2003 NO. 27/PUU-IX/2011 PUTUSAN MK DI BIDANG UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN NO. 7/PUU-XII/2014 NO. 19/PUU-IX/2011 NO. 68/PUU-XIII/2015 NO. 58/PUU-IX/2011 NO. 100/PUU-X/2012 No. 67/PUU-XI/2013

73 PUTUSAN MK NO. 7/PUU-XII/2014
NOTA PEMERIKSAAN PEG. PENGAWAS NAKER PKWT BIPARTIT GAGAL PERMOHONAN PENGESAHAN DEMI HUKUM MENJADI PKWTT PENETAPAN ? (Produk hukumnya tdk jelas) PENGADILAN NEGERI TUNTUTAN PKWT MENJADI PKWTT TIDAK LAGI MENJADI KEWENANGAN PHI ? LIHAT PUTUSAN MK NO. 7 PUU-XII/2014 PERTIMBANGAN HUKUM DAN AMAR PUTUSAN MULAI HALAN 49

74 Keterangan Hubungan Kerja
Data Karyawan PT. …………………….. Per-tanggal …………………………………….. Total : Karyawan No. Jumlah Karyawan Keterangan Hubungan Kerja 1 Karyawan Perjanjian Kerja Lisan ( PKL ) 2 Perjanjian Kerja Harian Lepas ( PKHL ) 3 Perjanian Kerja Waktu Tertentu ( PKWT ) 4 Perpanjangan PKWT 5 PKWT Kembali 6 PKWTT – Masa Percobaan 7 Perjanjian Magang 8 Perjanjian Dengan Pihak Ke III

75 KESEPAKATAN BERSAMA MENURUT ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN
Asas Kebebasan Berkontrak, bahwa setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan serta peraturan perundang-undangan Asas Itikad Baik, bahwa dibutuhkan kejujuran dalam pelaksanaan suatu perjanjian dan harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat Asas Pacta Sun Servada, bahwa perjanjian yang disepakati, berlaku mengikat bagi kedua belah pihak sebagaimana kekuatan mengikat undang-undang Asas Konsensuil bahwa perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat Asas Berlakunya Perjanjian bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya

76 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ( Burgerlijk Wetboek )
Persetujuan : Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih (1313) Suatu persetujuan diadakan dengan Cuma-Cuma atau dengan memberatkan (1314) Persetujuan Cuma-Cuma : pihak yang satu akan memberikan sesuatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan Persetujuan memberatkan: suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu .

77 Syarat sahnya persetujuan (1320)
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu pokok persoalan tertentu Suatu sebab yang tidak dilarang Persetujuan tidak mempunyai kekuatan jika diberikan karena : kekhilafan, paksaan atau penipuan (1321) Yang tidak cakap membuat persetujuan (1330) Anak yang belum dewasa Orang yang ditaruh dibawah pengampuan Perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan UU dan pada umumnya semua orang yang oleh UU dilarang

78 Persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya (1338)
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas di tentukan di dalamya, melainkan segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau UU (1339) Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan (1347). Penafsiran Perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada karena orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahan untuk mengganti kerugian tersebut (1365) Setiap orang bertanggung jawab, bukan atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atas kesembronoannya (1366).

79 HUBUNGAN KERJA Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan Pekerja / buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. ( Pasal 1 ayat 15 UU No. 13 Tahun 2003 ) 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. ( Pasal 1 ayat 14 UU No. 13 Tahun 2003 )

80 PERJANJIAN KERJA Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
kesepakatan kedua belah pihak; kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. ( Pasal 52 ayat 1,2,3 - UU No. 13 Tahun 2003 )

81 ISTILAH BATAL DAN DAPAT DIBATALKAN
BATAL Batal sering disebut dengan “Batal Karena Hukum” (Vanrechtswege Nietig), mengandung arti bahwa akibat-akibat dari keputusan yang batal berlaku sejak penetapannya itu dikeluarkan (berlaku surut) artinya akibat dari keputusan dianggap tidak pernah ada (dikembalikan pada keadaan semula sebelum ada keputusan) Utrecht tidak setuju dengan istilah “Batal karena hukum” karena dapat menimbulkan salah kesan seolah-olah kebatalannya dapat terjadi dengan sendirinya tanpa perantaraan hakim atau instansi atasan, pada hal hakim dan instansi atasan tetap merupakan instansi yang berwenang mengambil keputusan. DAPAT DIBATALKAN Istilah Dapat Dibatalkan (Vernietigbaar) mengandung arti bahwa akibat-akibat yang timbul dari pembatalan suatu penetapan hanya berlaku setelah pembatalan atau dengan kata lain akibat-akibat yang timbul dari keputusan tersebut tetap sah berlaku sebelum diadakan pembatalan.

82 MUATAN DALAM PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat : a. nama, alamat perusahaan,dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. ( Pasal 54 ayat 1,2 ,3- UU No. 13 Tahun 2003 )

83 BIAYA & PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. ( Pasal 53 - UU No. 13 Tahun 2003 ) Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. ( Pasal 55 - UU No. 13 Tahun 2003 )

84 PERJANJIAN KERJA LISAN ( PKL )
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan : a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah. ( Pasal 63 Ayat 1,2 - UU No. 13 Tahun 2003 )

85 PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU ( PKWT )
Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas : a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. ( Pasal 56 Ayat 1,2 - UU No. 13 Tahun 2003 )

86 BAHASA DALAM PKWT Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. ( Pasal 57 Ayat 1,2,3 - UU No. 13 Tahun 2003 )

87 PKWT TIDAK ADA MASA PERCOBAAN
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. ( Pasal 58 Ayat 1,2 - UU No. 13 Tahun 2003 )

88 JENIS & SIFAT PEKERJAAN PKWT
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. ( Pasal 59 Ayat 1,2 - UU No. 13 Tahun 2003 )

89 WAKTU PKWT Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. ( Pasal 59 Ayat 3,4,5,6,7,8 - UU No. 13 Tahun 2003 )

90 PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI / SEMENTARA SIFATNYA
Didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Dibuat paling lama 3 tahun Diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan Dalam PKWT didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Dapat dilakukan pembaruan Pembaharuan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari kerja Selama tenggang waktu tidak ada hubungan kerja Dalam PKWT para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan pembaharuan dan waktu pembaharuan. ( Pasal 59 ayat 1 huruf a UU No. 13 Tahun 2013 jo Pasal 3 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 )

91 PKWT PEKERJAAN BERSIFAT MUSIMAN
Pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. Hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target dilakukan sebagai pekerjaan musiman. Dilakukan untuk pekerja yang melakukan kegiatan tambahan. Membuat daftar nama pekerja yang melakukan kegiatan tambahan Tidak dapat dilakukan pembaharuan ( Pasal 59 ayat 1 huruf c UU No. 13 Tahun 2013 jo Pasal 4,5,6,7 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 )

92 PKWT PEKERJAAN BERHUBUNGAN PRODUK BARU
Diberlakukan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dealam percobaan atau penjajagan. Dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 tahun. Tidak dapat dilakukan pembaharuan Melakukan pekerjaan diluar kegiatan atau diluar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan. ( Pasal 59 ayat 1 huruf d UU No. 13 Tahun jo Pasal 8,9 Kepmenakertrasn No. 100 Tahun )

93 PERJANJIAN KERJA HARIAN LEPAS
Untuk pekerjaan tertentu yang berubah-rubah dalam waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran. Kurang dari 21 hari kerja dalam 1 bulan. Bekerja 21 hari atau lebih dalam 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT Pekerja harian lepas dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya. Wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis. Perjanjian kerja harian lepas, sekurang – kurangnya memuat :Nama, Alamat pemberi kerja,Nama/Alamat pekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan, besaran upah /imbalan Daftar pekerja/buruh yang disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak mempekerjakan pekerja harian lepas. ( Pasal 10,11,12 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 )

94 PENCATATAN PKWT dicatatkan pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penandatanganan. Pekerja harian lepas yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh. ( Pasal 13,14 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 )

95 AKIBAT HUKUM PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman dibuat untuk lebih satu musim berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. Pekerjaan yang terus menerus dibuat PKWT bukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. Pekerjaan untuk produk baru atau kegiatan baru tidak sesuai dengan jangka waktu atau dilakukan pembaharuan, berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan. Pembaharuan tidak melalui masa tenggang waktu dan tidak diperjanjikan lain, berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut. Pengusaha mengakhiri hubungan kerja, hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaiannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan bagi PKWTT. ( Pasal 15 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 )

96 PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU ( PKWTT )
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. ( Pasal 60 Ayat 1,2, - UU No. 13 Tahun 2003 )

97 BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja berakhir apabila : pekerja meninggal dunia; berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. ( Pasal 61 Ayat 1 - UU No. 13 Tahun 2003 )

98 BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. ( Pasal 61 Ayat 2,3,4,5 - UU No. 13 Tahun 2003 )

99 MENGAKHIRI PKWT SEBELUM PKWT NYA BERAKHIR
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. ( Pasal 62 - UU No. 13 Tahun 2003 )

100 PHK DENGAN PENETAPAN PHI
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. ( Pasal UU No. 13 Tahun 2003 )

101 PHK BATAL DAMI HUKUM Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh ( Pasal UU No. 13 Tahun 2003 )

102 PHK TANPA PENETAPAN PHI
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal : pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau pekerja/buruh meninggal dunia. ( Pasal UU No. 13 Tahun 2003 )

103 PHK DENGAN PERJANJIAN BERSAMA
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama     30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.         ( Pasal 3 - UU No. 2 Tahun 2004 )

104 PENDAFTARAN PERJANJIAN BERSAMA
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.          Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.       Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.                    Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam  ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. ( Pasal 7 - UU No. 2 Tahun 2004 )

105 PEMBORONGAN PEKERJAAN & PPJP
. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.  Perusahaan lain sebagaimana dimaksud harus berbentuk badan hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Hubungan kerja dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan . Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada point 2, dan point 3, tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada point 8, maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada point 7).

106 LANJUTAN Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.  adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b.  perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c.  perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d.  perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada point 1, point 2 huruf a, huruf b, dan huruf d serta point 3 tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

107 PEMBORONGAN PEKERJAAN
Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan

108 PERSYARATAN PEMBORONGAN PEKERJAAN
Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan Asosiasi sektor usaha harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing. Alur sebagaimana dimaksud harus menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan Alur dipergunakan sebagai dasar bagi perusahaan pemberi pekerjaan dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan apabila belum memiliki bukti pelaporan Apabila perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan sebelum memiliki bukti pelaporan, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan. Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis setiap perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan

109 PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis Perjanjian pemborongan sekurang-kurangnya harus memuat: a. hak dan kewajiban masing-masing pihak; b. menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan; c. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya Perjanjian pemborongan pekerjaan harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan Pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani oleh perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima

110 PERSYARATAN PERUSAHAAN PENERIMA PEMBORONGAN
Berbentuk badan hukum Memiliki tanda daftar perusahaan Memiliki izin usaha Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan

111 PEMBORONGAN PEKERJAAN
PERJANJIAN KERJA PEMBORONGAN PEKERJAAN . Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya yang dibuat secara tertulis Hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu Pelaporan jenis kegiatan dan pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan tidak dikenakan biaya

112 PERSYARATAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA / BURUH
Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi Kegiatan jasa penunjang meliputi: a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering) c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh II Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan pelaksanaan   sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain

113 PERJANJIAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA / BURUH
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sekurang-kurangnya memuat: a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan c. hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

114 b. draft perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa
LANJUTAN Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan. Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditandatangani dengan melampirkan: a. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang masih berlaku; dan b. draft perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak dikenakan biaya

115 LANJUTAN Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh telah memenuhi ketentuan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima. Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana pada point 5, maka pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat menolak permohonan pendaftaran dengan memberi alasan penolakan. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dapat melakukan operasional pekerjaannya sebelum mendapatkan bukti pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan

116 LANJUTAN Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak didaftarkan dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Dalam hal izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dicabut, pemenuhan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.

117 PERSYARATAN PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA / BURUH
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;   b. memiliki tanda daftar perusahaan; c. memiliki izin usaha; d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; e. memiliki izin operasional; f. mempunyai kantor dan alamat tetap; g. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.

118 copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
LANJUTAN Izin operasional diajukan permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi tempat pelaksanaan pekerjaan, dengan melampirkan: copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja/buruh; copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT); copy surat ijin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh; copy tanda daftar perusahaan; copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; copy pernyataan kepemilikan kantor atau bukti penyewaan kantor yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan; dan copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan

119 LANJUTAN Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi, menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima. Izin operasional berlaku di seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan

120 LANJUTAN Izin operasional berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Perpanjangan diberikan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dan hasil evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi menyetujui atau menolak.

121 PERJANJIAN KERJA PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
. Setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan pekerja/buruh Perjanjian kerja harus dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan Dalam hal perjanjian kerja jika tidak dicatatkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota Pencatatan perjanjian kerja tidak dikenakan biaya

122 LANJUTAN Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

123 LANJUTAN . Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu yang objek kerjanya tetap ada), sekurang-kurangnya harus memuat: a. jaminan kelangsungan bekerja; b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah Hak-hak pekerja/buruh meliputi: a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja; b. hak atas jaminan sosial; c. hak atas tunjangan hari raya; d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu; e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja; f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa kerja yang telah dilalui; g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya

124 LANJUTAN Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan, maka hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berubah menjadi hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan

125 LANJUTAN Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial

126 LANJUTAN . Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru

127 SEKIAN DAN TERIMA KASIH
SEMOGA BERMAMFAAT ,


Download ppt "REGULASI PENETAPAN UPAH MINIMUM PERTEMUAN TERBATAS FORKOM-SIER"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google