Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Cahyaningrum Dewojati
01 WINTER Reading as A Woman Template Cahyaningrum Dewojati
2
02 Adalah batasan umum dalam kritik sastra feminis.
Jonathan Culler: to read as a woman is to avoid reading as a man, to identify the specific defenses and distortions of male readings and provide correctives. Millet: reading as a woman bertugas menganalisis ide-ide pengarang (tentang perempuan) dlm karya sastra
3
03 Mereview konteks historis dan budaya karya sastra
Menjelaskan cara penulis menggambarkan karakter dan motivasinya Mengidentifikasi tokoh dari sudut pandang perempuan Mengungkapkan ideologi penulis: ambivalen, paradoks, antiklimaks, dan antitesis
4
04 Reading as a woman merupakan salah satu cara analisis karya sastra yang melihat sebuah karya dari kacamata perempuan. Reading as a woman dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang aliran feminisme.
5
Diksi Berstereotip Gender: Pelabelan Perempuan dan Laki-Laki
05 Diksi Berstereotip Gender: Pelabelan Perempuan dan Laki-Laki Stereotip merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, stereotip gender dikatakan oleh Fakih (2006: 16) sebagai pelabelan yang bersumber pada pandangan gender. Stereotip gender menimbulkan ketidakadilan pada jenis kelamin tertentu, yang umumnya adalah perempuan dengan stereotip yang telah dilekatkan kepada mereka.
6
Diksi-diksi yang dipakai sering menunjukkan pelabelan yang telah menjadi pandangan masyarakat bahwa perempuan pasif karena selalu menerima tindakan laki-laki. Selain itu, laki-laki aktif melakukan tindakan kepada perempuan.
7
Perempuan sebagai Objek Pasif
Perempuan dikatakan sebagai objek pasif karena selalu menerima perlakuan si subjek aktif. Pasif memiliki arti leksikal menerima saja; tidak giat; tidak aktif (KBBI, 2003: 834). Stereotip ini berkembang dalam masyarakat dan mengklaim bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang memiliki sifat pasif. Sebagai objek pasif, berarti perempuan menerima saja tindakan dari pihak aktif meskipun merugikannya. Sifat pasif perempuan ini didukung oleh embel-embel yang juga dilekatkan kepada perempuan bahwa perempuan lemah sehingga tidak sanggup melawan perlakuan si subjek aktif.
8
Laki-Laki sebagai Subjek Aktif
Dalam masyarakat, stereotip bahwa laki-laki berperan aktif dalam semua kehidupan rumah tangga, publik, dan seksualitas telah berkembang. Laki-laki sebagai subjek aktif menunjukkan segala tingkah laku dan sikapnya terhadap perempuan yang dianggap sebagai objek pasif. Diksi-diksi biasanya menunjukkan stereotip laki-laki sebagai subjek aktif dan mencerminkan perlakuan laki-laki terhadap perempuan.
9
Diksi yang Menunjukkan Dukungan terhadap Perempuan
a. Kuasa Perempuan Pengarang dapat menggunakan diksi-diksi berupa dukungan terhadap perempuan yang salah satunya menunjukkan kuasa perempuan. Kekuatan Perempuan
10
Diksi Profeminis dan Diksi Kontrafeminis
Profeminis Kontrafeminis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. lawan berjuang bertempur suami yang benar, anak yang benar kau seniwati kawin mempunyai kehormatan partner membelai-belai buka baju mata kijang menarik menangkap goblok pelacur tak punya laki
11
Setelah mengetahui karakter tokoh dengan melakukan identifikasi terhadap tokoh, tokoh-tokoh perempuan dapat dicitrakan. Arti leksikal citra dalam KBBI (2003: 216) tokoh-tokoh perempuan merepresentasikan perannya dalam masyarakat dan dalam relasinya terhadap jenis kelamin laki-laki. Selanjutnya, kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat tersebut ditelusuri untuk mengungkap citra perempuan.
12
IDENTIFIKASI BIAS GENDER DAN IDE-IDE FEMINIS
Perbedaan gender menimbulkan masalah dalam masyarakat, yaitu ketidakadilan sosial. Perempuan dengan konstruksi sosial yang telah melekat, selalu menjadi korban ketidakadilan. Ketidakadilan terhadap kaum perempuan ini dilakukan oleh kaum laki-laki yang dikonstruksi memiliki sifat kuat dan perkasa sehingga mereka melakukan praktik subordinasi dan kekerasan terhadap pihak yang lemah (perempuan). Hal ini dinamakan ketidakadilan gender.
13
Posisi perempuan yang berada dalam pihak teropresi membuat jenis kelamin ini selalu menderita dan laki-laki menjadi pemenangnya. Perempuan menginginkan kesetaraan gender yang membuat kedua jenis kelamin tersebut memiliki kesempatan yang sama dan hak yang sama dalam ruang domestik maupun publik. Dalam hal ini, perempuan mengajukan penolakan dengan pemikiran dan tindakan untuk keluar dari kondisi yang telah mengopresinya. Hal ini disebut sebagai ide-ide feminis yang berusaha mendobrak kekuasaan patriarki yang berkembang dalam masyarakat.
14
Ketidakadilan Gender Ketidakadilan gender dalam novel Larasati termanifestasi dalam subordinasi terhadap perempuan dan kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Superioritas laki-laki yang telah mapan dalam masyarakat patriarki membuat mereka mengopresi perempuan. Praktik subordinasi dan kekerasan gender selanjutnya diuraikan secara lebih lanjut di bawah ini. 4.1.1 Subordinasi terhadap Perempuan Ketidakadilan gender salah satunya ialah subordinasi yang berarti penempatan perempuan pada posisi di bawah laki-laki. Subordinasi dilakukan oleh kaum patriarki karena stereotip perempuan sebagai jenis kelamin irrasional dan tidak berpotensi menjadi pemimpin. Oleh karena itu, perempuan diperlakukan sebagai jenis kelamin yang tidak penting. Subordinasi terhadap perempuan dalam novel Larasati hanya ditemukan di dalam ruang publik. Berikut ini diuraikan praktik subordinasi terhadap perempuan yang terjadi di dalam ruang publik.
15
Penyimpangan gender dalam ruang publik dengan menyubordinasi perempuan dipengaruhi oleh pandangan kaum patriarki yang mengotakkan perempuan dalam sektor domestik. Perempuan berada dalam peran gender yang opresif yang memiliki tempat yang lebih rendah atau tidak punya tempat sama 97 sekali di ruang publik, padahal laki-laki dan perempuan secara rasional memiliki potensi yang sama untuk setara dalam kekuasaan, prestise, dan uang.
16
Kekerasan Gender Kekerasan gender merupakan manifestasi dari bias gender yang kemudian melahirkan ketidakadilan gender. Kekerasan gender disebabkan oleh perbedaan peran gender yang kemudian menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan gender 101 ini membuat perempuan sebagai pihak utama yang menjadi korban kekerasan. Dzuhayatin dan Yuarsi (2002: 4) mengatakan bahwa wilayah kekerasan terhadap perempuan dapat didasarkan pada relasi pelaku dengan korbannya. Kategori kekerasan publik didasarkan pada tidak adanya relasi kekerabatan ataupun perkawinan antara pelaku dengan korbannya.
17
Rubenstein (dalam Dzuhayatin dan Yuarsi, 2002: 6) membagi bentuk kekerasan menjadi dua macam, yaitu kekerasan seksual dan kekerasan nonseksual. Hal ini didasarkan pada ada tidaknya unsur kehendak seksual. Kekerasan yang terjadi karena adanya kehendak seksual dinamakan kekerasan seksual dan kekerasan nonseksual berarti kekerasan tanpa adanya unsur kehendak seksual.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.