Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DARI ORBA SAMPAI REFORMASI Dr

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "PEMILIHAN KEPALA DAERAH DARI ORBA SAMPAI REFORMASI Dr"— Transcript presentasi:

1 PEMILIHAN KEPALA DAERAH DARI ORBA SAMPAI REFORMASI Dr
PEMILIHAN KEPALA DAERAH DARI ORBA SAMPAI REFORMASI Dr. Ni’matul Huda, SH, Mhum Bahan Kuliah FH UII 2015

2 Demokrasi & Otonomi di Daerah
Dari sudut demokrasi, dalam arti formal, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materiil otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang bersandingan dengan prinsip negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum. Oleh karena otonomi daerah bertalian dengan demokrasi, maka harus ada lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan demokrasi di daerah.

3 PILKADA DI ERA ORDE BARU
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Di Daerah Pasal 15 : Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Gubernur. Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit- dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. Penjelasan Pasal 16 menyebutkan: Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon, karena hal ini adalah merupakan hak prerogatif Presiden. Menteri Dalam Negeri yang dalam hal ini bertindak atas nama Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah Tingkat II tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon.

4 PILKADA DI ORDE REFORMASI
1. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18: DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur,Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Pasal 39 ayat (1): Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksankan dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri seurang- kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD. Pasal 40 ayat (3): Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.”

5 lanjutan 2. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD): Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NAD dipilih secara langsung setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. 3. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua: pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon dari Majelis Rakyat Papua (MRP). 4. Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

6 lanjutan 5. Menurut Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh: Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. 6. UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI Pasal 11: Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

7 Lanjutan 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota: Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 8. Penjelasan Perppu No. 1 Tahun Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota : pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi .

8 lanjutan 9. Pasal 101 ayat (1) huruf d UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah : DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang memilih gubernur. 10. Pasal 154 ayat (1) huruf d UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah : DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang memilih bupati/wali kota 11. Perppu No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal I: Ketentuan Pasal 101 ayat (1) huruf d dihapus dan Ketentuan Pasal 154 ayat (1) huruf d dihapus.

9 PENETAPAN KEPALA DAERAH DI DIY
UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Gubernur dan Wakil Gubernur tidak dipilih oleh DPRD ataupun rakyat secara langsung tetapi melalui penetapan. Calon bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertahta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur, yang dibuktikan dengan surat pengukuhan yang menyatakan Sultan Hamengku Buwono bertahta di Kasultanan dan surat pengukuhan yang menyatakan Adipati Paku Alam bertahta di Kadipaten. Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD DIY membentuk Panitia Khusus Penyusunan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat 1 (satu) bulan setelah pemberitahuan berakhirnya masa jabatan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.

10 PILKADA DALAM PERPPU NO. 1 TAHUN 2014
Pasal 3 Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang dapat mengikuti Pemilihan harus mengikuti proses Uji Publik. Pasal 4 DPRD Provinsi memberitahukan secara tertulis kepada Gubernur dan KPU Provinsi mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatan Gubernur berakhir. DPRD Kabupaten/Kota memberitahukan secara tertulis kepada Bupati/Walikota dan KPU Kabupaten/Kota mengenai berakhirnya masa jabatan Bupati/Walikota dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatan Bupati/Walikota berakhir.

11 Tahapan Penyelenggaraan Pilkada
Pasal 5 ayat (3) Tahapan penyelenggaraan meliputi: a. pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; b. Uji Publik; c. pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; d. pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; e. penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; f. penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; g. pelaksanaan Kampanye; h. pelaksanaan pemungutan suara; i. penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; j. penetapan calon terpilih; k. penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan l. pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.

12 Keragaman Model Pilkada
Keragaman pengaturan Pilkada disebabkan kebutuhan masing-masing daerah yang direspon oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk desentralisasi asimetris (bidang politik). Pengaturan Pilkada menjelang berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sangat politis, tarik menarik kepentingan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pilkada versi rezim Susilo Bambang Yudhoyono yang dibalut dalam Perppu No. 1 Tahun 2014 juga tidak tepat ‘kemasan’, karena opsi Fraksi Demokrat ditolak secara politik di DPR kemudian dipaksakan diberlakukan dengan Perppu.

13 Sistem Pemilukada di Beberapa Negara dengan Sistem Presidensial
1. First Past the Post System Sistem first past the post ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan Pemilukada dan menduduki kursi kepala daerah. Karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). 2. Preferential Voting System atau Approval Voting System Cara kerja sistem preferential voting atau approval voting adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan Pemilukada langsung dan terpilih menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang terbesar.

14 lanjutan 3. Two Round System atau Run-off System
Cara kerja sistem ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran (run off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut (50%) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama. 4. Sistem Electoral College Setiap daerah pemilihan diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan Pemilukada langsung.

15 lanjutan 5. Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria
Seorang calon kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada apabila calon bersangkutan dapat meraih suara sederhana dan mengumpulkan sedikitnya 25% dari 2/3 suara dari daerah pemilihan yang ada. Sistem ini merupakan sistem yang memperhatikan kepentingan legitimasi dan efisiensi sekaligus secara proporsional. Sekalipun seseorang dipilih oleh sekurang-kurangnya seperempat dari total pemilih (25 persen) tetapi karena persebarannya sangat luas sehingga representasi pemilih dapat diselamatkan.

16 Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Sistem
Model two round system memang akan mendapatkan hasil yang relatif maksimal di mana pemilih yang hilang akan diminimalisir. Akan tetapi resiko model ini adalah biaya dan waktu yang diperlukan cukup banyak. Model first past the post memiliki legitimasi yang sangat rendah tetapi sangat efisien. Bisa jadi dengan first past the post calon kepala daerah yang menang hanya memperoleh suara kemenangan tipis. Model preferential voting atau juga disebut approval voting sesungguhnya menjadi penengah dari kedua sistem di atas. Dalam hal ini, pemilih diminta untuk melakukan approval untuk satu, dua, atau tiga. Sistem ini tidak begitu rumit dan dilakukan hanya dalam satu putaran. Tetapi karena model ini seperti multiple choice, tidak semua orang bisa memahami bahwa seseorang bisa memilih dua atau tiga sekaligus.

17 Implikasi Pemilukada Dua Putaran
Selama berlangsungnya UU No. 32 Tahun 2004, desain Pemilukada dua putaran menimbulkan implikasi sbb: (1)Kandidat yang bertarung di dalam Pemilukada harus menyediakan biaya, tenaga dan waktu ekstra ketat. (2)Pemilukada dua putaran cenderung melahirkan fragmentasi sosial di dalam masyarakat yang kian ketat. (3) Cenderung melahirkan divided government atau pemerintahan yang terbelah. (4)sistem pemilukada dua putaran juga hanya memberikan jalan mulus bagi incumbent. (5)sistem Pemilukada dua putaran juga mempengaruhi penurunan angka partisipasi pemilih. (6)Pemilukada dua putaran memberikan ruang bagi peningkatan jumlah Golput.

18 Problem-problem Elektoral yang Ditimbulkan oleh Penggunaan Sistem Dua Putaran
Terjadi penguatan intervensi pemerintah pusat dalam menetapkan pasangan calon yang memenangkan Pemilukada. Misalnya adanya keputusan pembatalan pasangan terpilih oleh pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri. Munculnya arogansi partai besar pasca pelaksanaan Pemilukada, jika Pemilukada dimenangi oleh partai kecil. Munculnya strong man atau orang kuat dibalik kepala daerah terpilih. Munculnya fenomena calon tunggal yang disebabkan oleh adanya dominasi dan hegemoni yang merupakan gabungan antara kekuasaan dan modal. Munculnya ancaman perang adat, sebagai bentuk ketidakpuasan kelompok yang kalah dalam Pemilukada. Munculnya fenomena jeratan birokrasi, di mana calon yang memenangkan Pemilukada dianulir dengan keputusan pengadilan yang bersifat memihak dan tidak netral.

19 Pilkada Yang ‘Selaras’ dengan Pancasila & UUD 1945
Sila ke IV Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pilkada tidak langsung atau melalui DPRD nampaknya yang lebih mendekati ke arah yang dikehendaki sila keempat Pancasila & Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Mengapa masyarakat menolak Pilkada oleh DPRD?

20 DISTORSI DEMOKRASI Desain Pemilukada secara langsung menurut UU No. 32 Tahun 2004 jika dikaitkan dengan saluran pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Presiden dan tidak kepada masyarakat di daerah ataupun DPRD menimbulkan ‘distorsi demokrasi’. Rakyat di daerah yang telah memilihnya secara langsung ataupun melalui wakilnya yang juga dipilih langsung oleh rakyat tidak dapat meminta pertanggungjwaban kepada Kepala Daerah. Untuk apa ada DPRD di daerah? Desain ‘negara kesatuan’ yang tidak sinkron dengan desain demokrasi lokalnya. Seharusnya kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggungjawab kepada rakyat melalui wakilnya di DPRD, supaya hak politik rakyat untuk mengontrol kekuasaan yang dimandatkan kepada Kepala Daerah dapat diawasi oleh wakil-wakilnya yang ada di DPRD. Agar DPRD tidak ‘dimandulkan’.


Download ppt "PEMILIHAN KEPALA DAERAH DARI ORBA SAMPAI REFORMASI Dr"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google