Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Hukum dan Gender di Indonesia.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Hukum dan Gender di Indonesia."— Transcript presentasi:

1 Hukum dan Gender di Indonesia

2 Oleh: M. Roddini Nazhifatum Mutahhirah Reza Veronika

3 Pokok-pokok Bahasan Gender Perempuan The Second Human Being
Bias Gender dan Hukum di Indonesia Faktor-faktor Bias Gender dan Hukum Analisis Kasus

4 Gender Kata gender bagi sebagian orang dianggap cukup kontroversial dan ditafsirkan sebagai jenis kelamin, padahal gender merupakan differensiasi yang mengacu pada peran-peran sosial, tanggung jawab, hak, fungsi dan perilaku yang disematkan pada laki-laki dan perempuan dari hasil kontruksi sosial budaya dan lingkungan.

5 Perempuan the second human being
Sekarang ini banyak terjadi isu-isu mengenai ketidakadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Penafsiran perempuan memiliki karakteristik lemah lembut, penyayang dan sabar sedangkankan laki-laki tegas, kuat dan pemberani menyebabkan munculnya persepsi perempuan memiliki posisi nomor dua bagi kehidupan.

6 Penyebab perempuan sebagai the second human being karena adanya:
Stereotype gender Subordinasi penempatan salah satu jenis kelamin lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. Kekerasan (violence).

7 Bias Gender dan Hukum di Indonesia
Inilah yang mempengaruhi adanya diskriminasi gender dalam berbagai bidang salah satunya bidang hukum. Sistem hukum tertulis di Indonesia terdapat bias gender, salah satunya hukum kekerasan yang dulunya kekerasan tidak memilki status hukum dan dengan adanya kaum feminis yang memperjuangkan emansipasi perempuan hingga pada tahun terdapat Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian mendapat perombakan hukum di Indonesia .

8 KUHP tidak ada bab khusus yang membahas mengenai masalah perempuan namun beberapa telah menuliskan pasal-pasal tentang : Perlindungan perempuan dalam bidang kekerasan. Beberapa hukum yang telah disahkan masih lemah dan menguntungkan laki-laki, seperti pada pasal KUHP 285 tentang pemerkosaan yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya yang bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya duabelas tahun” Pasal ini hanya berlaku apabila terjadi pada bukan istri padahal tindak pemerkosaan bisa terjadi pada istri yang disebut sebagai marital rape.

9 Adanya pasal 2 Deklarasi Penghapusan Perempuan menyebabkan para praktisi
Hukum merombak kembali undang-undang yang berkaitan dengan bias gender dan muncullah UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan rumah tangga, sehingga pelaku marital rape dapat dijerat hukum namun masih bersifat delik aduan. Selanjutnya muncul kembali UU No. 21 tahun 2007 tentang perdagangan manusia, hukum tersebut memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).

10 Faktor-faktor Bias Gender dan Hukum
Masih banyak tentang ketidakadilan gender di Indonesia, meskipun pada kenyataannya sudah banyak para penggerak feminism serta komisi CEDAW (Convention on the Elemenination of All Forms of Discrimination Againts Women) yang memantau agar bias gender di Indonesia diminimalisir. Berikut faktor adanya bias gender di masyarakat: Budaya patriarkhi. Kebijakan pemerintah yang baik melalui undang- undang maupun manajemen pemerintah yang kurang responsive gender. Pemahaman norma agama serta teks agama yang terlalu saklek.

11 Analisis kasus Penyimpangan-penyimpangan dalam hukum dan kesetaraan gender di negara ini, dalam pembahasan khususnya adalah hukum perkawinan di Indonesia yang tertera dalam pasal 1 Undang- Undang No. 1 tahun 1974 dimana hukum perkawinan di Indonesia berasaskan monogami dan ditegaskan pada pasal 3 ayat 1 namun pada pasal 3 ayat 2 UU perkawinan, pengadilan memberikan izin kepada suami untuk memiliki istri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kemudian meminta izin di pengadilan setempat (pasal 4 ayat 1 UU perkawinan). Pada pasal 4 ayat 2 berbunyi bahwa pengadilan mengizinkan suami berpoligami apabila: Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Disini terlihat adanya diskriminasi terhadap perempuan, walaupun telah menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama, perempuan masih dianggap sebagai sektor domestik yang mengurus pekerjaan rumah dan anak

12 seperti kasus perceraian yang dilakukan oleh selebritis Indonesia yaitu Ahmad Dhani.
Dalam acara Just Alvin yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi, Ahmad Dhani menyinggung permasalahan perceraiannya dengan Maia Estianty, bahwa mantan istrinya tersebut tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya sebagai seorang istri yang baik dan tidak setuju apabila Ahmad Dhani berpoligami, “saya sudah tidak mampu membimbing Maia lantaran Maia sudah terlalu sibuk dengan karirnya di dunia nyanyi” pernyataan Dhani di Just Alvin.

13 Dalam kasus ini terlihat bagaimana wanita masih dianggap sebagai seseorang yang bekerja di sektor domestik yang tidak memiliki hak untuk bekerja sebagaimana laki-laki dan bagaimana bias gender terlihat pada kasus Ahmad Dhani yang dengan mudahnya mengajukan perceraian ke pengadilan dan Maia yang posisinya sebagai perempuan tidak dapat melakukan banding ke pengadilan.


Download ppt "Hukum dan Gender di Indonesia."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google