Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehWidya Hartanto Telah diubah "5 tahun yang lalu
1
TANGGAPAN AKADEMIK DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Oleh: Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si. Ketua Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada WORKSHOP DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 14 Desember 2018
2
Legal Standing Penyusun Draft RAPERDA SEBAGAI HAK INISIATIF DPRD DIY
Pergeseran atau pengalihan kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang dihasilkan dari Perubahan Pertama UUD 1945 (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1), setidaknya mencatat beberapa hal: Pertama, dengan menggeser kekuasaan legislative dari Presiden ke DPR berarti memperkuat kedudukan dan fungsi DPR sebagai lembaga legisatif. Kedua, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU, berhadapan dengan kewajiban konstitusional DPR dalam proses pembentukan UU. Ketiga, pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR membawa konsekuensi peningkatan peran anggota DPR, khususnya dalam menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan RUU. Demikian pula dengan di Daerah, bahwa DPRD dapat pula mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA). Karenanya saya mengapresiasi langkah DPRD DIY menyiapkan Draft Akademik dan Draft Raperda tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
3
Mengapa Tidak Menunggu Diundangkannya UU Pengelolaan SD Air yang Baru?
Perlu diingat bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015 atas uji materi UU Nomor 7 Tahun 2005 tentang Sumber Daya Air, bahwa UU tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga harus kembali kepada UU No. 11 Tahun 1974. Dilihat dari sisi kebutuhan dan psikologis masyarakat sesungguhnya lebih menghendaki adanya Undang-undang Pengelolaan SD Air (Baru) yang lebih komprehensif dan mampu menjawab berbagai persoalan dan dinamika yang berkembang selama ini, termasuk mengatasi konflik air. Berbagai persoalan tersebut di antaranya mengenai keberadaan masyarakat yang berhubungan langsung dengan SD Air yang sangat vital dalam menjamin hidup dan kehidupannya, persoalan daerah aliran sungai, karst, persoalan privatisasi ataupun perizinan pengusahaan air, persoalan penataan dan/atau penggunaan air, hingga persoalan penegakan hukum atas pengelolaan SD Air.
4
Enam Prinsip Dasar Pengelolaan SD Air
Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air; Negara harus memenuhi hak rakyat atas air, akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri; Kelestarian fungsi lingkungan hidup, menjamin terpenuhinya hak kualitas air dan kuantitas air sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945; Cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, sehingga pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air bersifat mutlak; Prioritas utama dalam pengusahaan atas air diberikan kepada BUMN dan/atau BUMD; Apabila semua batasan tersebut telah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah dapat memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
5
Pengaturan dan Penegakan Hukum Pengelolaan SD Air
Ada baiknya untuk mendisain pengaturan dan penegakan hukum Pengelolaan SD Air, dengan memahami dinamika baru dalam tipe kontrol hokum lingkungan: Pengaturan langsung (direct regulation) Mencakup perintah dan larangan untuk melakukan sesuatu yang tercermin pada mekanisme perizinan maupun "general rules" , lazim dikenal sebagai command and control. Pengaturan tidak langsung (indirect regulation) Bermaksud memberikan pilihan atraktif untuk melakukan perubahan perilaku di bidang pengelolaan SDA- lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk instrumen-instrumen keuangan ("financiele instrumenten"). Pengaturan diri sendiri (self regulation) Sejalan dengan paradigma pengelolaan baru yang terus berkembang, seperti praktek pengelolaan SDA- lingkungan secara sukarela (voluntary environmental practice code) seperti misalnya: ISO yang dikeluarkan oleh International Standardization Organization (ISO). Rene Seerden dan Michiel Helderweg (dalam GH Addink, 1999)
6
Catatan Koreksi Beberapa Pasal
Konsideran selain memuat pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis, ada baiknya mengungkapkan fakta persoalan “kevakuman” undang- undang yang memadai. Teori Hukum Pembangunan dapat membantu dan masuk dalam draft akademis. Teori ini menggunakan pendekatan normatif – sosiologis. Demikian pula dengan dasar hukum rujukan seharusnya tetap mengacu kepada beberapa PP sebagai pelaksanaan UU No. 7/2004 sepanjang tidak bertentangan tidak masalah, termasuk PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan. Asas Pasal 2 Perlu ditambahkan asas keberlanjutan (bisa saja cukup digabungkan ke huruf a atau huruf b, termasuk tambahan perlunya asas keterpaduan sebagai ciri utama pengelolaan SD Air.
7
Catatan Koreksi Beberapa Pasal
Bab II Perencanaan belum ada mandat hukum legitimasi kewenangan perencanaan pengelolaan di DIY logika hukumnya atribusi kewenangan oleh UU kepada Daerah Daerah (DIY) berdasarkan atribusi dan/atau delegasi dapat pula menegaskan mandate kepada instansi di bawahnya untuk membantu pelaksanaannya. Adakah hasil perencanaan yang selanjutnya harus di akomodasi dalam RTRW – RDTRK, seperti keberadaan CAT, Konservasi Air dalam Karst, Bendungan, embung, mata air, dll. Perlindungan Pasal 11 huruf g harus disandingkan dengan pengaturan kebijakan daerah tentang penetapan insentif dan disinsentif yang mengikuti pajak jasa lingkungan (air) sesuai amanat PP 46/2017.
8
Catatan Koreksi Beberapa Pasal
Pengawetan air Pasal 12 pada dasarnya mengimplementasikan suatu prinsip untuk menahan air selama mungkin di hulu. Namun tidak ada norma yang jelas, tegas mewajibkan pada Kepala Daerah atau instansi untuk membangun sarana prasarana guna menahan air di daerah hulu dan pemetaannya lebih lanjut dengan peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Pasal 13 Mengapa hanya koordinasi? Konteks pengelolaan adalah kejelasan kewenangan yang dilakukan secara terpadu. Pasal 13 ayat (5) penyebutan hutan lindung terlalu sempit kawasan hutan KSA – KPA. Demikian pula harusnya juga berlaku pada air tanah dangkal. Perlu penambahan bagian ketujuh (baru) pada Bab III yaitu dimasukkan cekungan air tanah di DIY sesuai Keppres No. 26/2011 terdapat CAT Sleman, CAT Menoreh dan Wates, dan CAT Wonosari.
9
Catatan Koreksi Beberapa Pasal
Bab IV Ingat prinsip (6 prinsip). Pasal 28 Wilayah sungai Progo, Opak,… ? Apakah ke 3 sungai hanya pengusahaan media atau sebenarnya mencakup pengusahaan materi. Pasal 29 ayat (3) huruf g (hati2 nyelinap) karena kontradiksi dengan huruf a. Atau harus ada ayat tersendiri tentang subyek hukum pelaku pengusahaan. Pasal 30 Ingat prinsip, sehingga harus sudah ditentukan rambu-rambunya bila BUMD bekerjasama dengan swasta. Pasal 51 Perizinan. Perlu diingat fungsi izin, prasyarat (khususnya prasyarat lingkungan), mekanisme, pembatalan dan upaya hukum. Bab XIII Norma larangan. Banyak hal belum masuk sebagai norma larangan, sehingga perlu perbaikan pula pada pasal-pasal sanksi pidana : Pasal 54 (2) ? Pasal 56 ayat (?)? Pasal 60 huruf b/c. Ataupun cukup dengan sanksi administrative.
10
Penegakan hukum administrative yang hanya mengandalkan pendekatan command and control dalam praktek justru hanya menambah beban biaya penegakan dan efektfitasnya diragukan. Demikian pula karena jenis sanksi yang semata bertujuan menghukum (putinief). Karenanya penegakan hukum harus dikombinasikan antara penegakan hokum preventif melalui pengawasan dan penerapan insentif-disinsentif, serta sanksi hukum administrative yang bertujuan perbaikan (reparatoar), menghukum (punitief), dan regresif. SELESAI
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.