Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Oleh ABSHORIL FITHRY, SH FH Unair

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Oleh ABSHORIL FITHRY, SH FH Unair"— Transcript presentasi:

1 Oleh ABSHORIL FITHRY, SH FH Unair
ARBITRASE Oleh ABSHORIL FITHRY, SH FH Unair ARBITRASE/BRW/FHUA/08

2 BEBERAPA REFERENSI (1) BUKU
Abdurrasjid Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002. Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional, Radjawali, Jakarta, 1991. …………….,. Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 ……………., The Arbitration Law in Indonesia, dalam Hendarmin Djarab (ed)., Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Arrow, Kenneth, et.al, Barriers to Conflict Resolution, WW Norton Co, 1995. Born, Gary B., International Commercial Arbitration in the United States, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer Boston, Buang, Saleh dan Maimoonah Hamid, Commercial Arbitration, Central Law Books Corp Sdn.Bhd, Kualalumpur, 1998. Kantaatmadja,Komar, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, kertas kerja pada Penataran Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Unpad-Universitas Utrecht, 1989. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

3 BEBERAPA REFERENSI (2) Cheong, Chan Wing, et.al, Current Legal Issues in International Commercial Litigation, Faculty of Law University of Singapore, 1997. Current Legal Issues in International Commercial Litigation, Faculty of Law University of Singapore, 1997. David, Rene, Arbitration in International Trade, Kluwer, 1985. Domke, Martin, Domke on Commercial Arbitration (the Law of Practice of Commercial Arbitration), Revised edition , 1994. Elkouri, Frank, & Edna Elkouri, How Arbitration Works, fifth edition, American Bar Association (ABA), BNA Books, Washington DC, 1997. Emirzon, Joni, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Gramedia, Jakarta, 2000. Fuady, Munir, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Gautama, Sudargo,,Hukum Perdata Internasional, Buku ke-5, Jilid II, Bagian IV, Alumni, Bandung, 1992. ………….., Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal di Indonsia dan Jurisprudensi Indonesia Dalam Perkara Perdata, Alumni, Bandung, 1994. ……………., Aneka Hukum Arbitrase (KeArah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru),Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. ……………, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

4 BEBERAPA REFERENSI (3). Budidjaya,T., Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, Tata Nusa,Jakarta, 2002. Khairandy, Ridwan, et.al., Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Gama Media, Jogjakarta, 1999. Kusumohamidjojo, Budiono, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta, 1998. Law Firm ABNR & Law Firm MKK, Reformasi Hukum di Indonesia (terj. Diagnostic Assesment of Legal Development in Indonesia), World Bank Project – IDF Grant No , Cyber Consult, Jakarta, 1999. Lew, Julian DM (ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Matnus Nijhoff Publishers, Netherlands, 1987. Lillich, Richard B. & Charles N.Brower, International Arbitration in the 21st Century : Towards “Judicialization and Uniformity”, twelfth Sokol Colloquium, Transnational Publishers Inc, Irvington, New York, 1993. Longdong, Tinneke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1998. Lubis, Macneil, Ian R, American Arbitration Law : Reformation, Nationalization, Internationalization, Oxford University Press, Oxford, 1992. Management Action Guides, Handling Conflict by Negotiation (Mengendalikan Konflik dan Negosiasi), alih bahasa Amitya Kumara Suharso, Gramedia, Jakarta, 1997. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

5 BEBERAPA REFERENSI (4). Manchester Open Learning, Handling Conflict and Negotiation, London, 1993. Parris, John,, Arbitration Principles and Practice, Granada, 1983. Peter, Wolfgang , Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements, second edition, Kluwer, the Hague, 1995. Pickering, Peg, How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik), alih bahasa Masri maris, Erlangga, Jakarta, 2001. Putra, Ida Bagus Wyasa, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000. Radjagukguk, Erman, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2001. Rau, Alan Scott, Edward F.sherman, Scott R. Peppet, Processes of Dispute Resolution : The Role of Lawyers, third edition, University Casebook Series, Foundtion Press, New York, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

6 BEBERAPA REFERENSI (5). Sammartano, Mauro Rubino,, International Arbitration Law, Kluwer Law and Taxation Publishers, GA Deventer, 1990. Manan,Bagir, Kata Pengantar, dalam Yuhassarie,Emmy (ed)., Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Lokakarya Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, kerjasama 2002. Redfern, Alan et.al., Law and Practice of International Commercial Arbitration, Sweet&Maxwell, London, 1985. Saleh, Abdurrachman, Arbitrase Islam Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia dan bank Muamalat,1994. Reisman, Micahel W et.al., International Commercial Abitration : Cases, Materials and Notes on the Resolution of International Business Disputes, University Casebook Series,Westbury New York, The Foundation PressInc, 1997. Shahab, Hamid,, Aspek Hukum Dalam Sengketa Konstruksi, Djambatan, Jakarta, 1996. …………….., Menyingkap dan Meneropong Undang Undang Arbitrase No.30 tahun 1999 dan Jalur Penyelesaian Alternatif Serta Kaitannya Dengan UU Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999 dan FIDIC, Djambatan, Jakarta, 2000. Singer,Linda, Settling Disputes, Westview Press, Boulder, 1994. Smith, Vincent Powell,, Aspect of Arbitration : Common Law & Sharia’ Compared, Central Law Book Corporation, Kualalumpur, 1995. Soebagijo, Felix O, (ed), Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

7 BEBERAPA REFERENSI (6). Sumampouw, M, Pilihan Hukum Sebagai Titik Pertalian Dalam Hukum Perdjanjian Internasional, disertasi Tay Swee Kian, Caterina, Resolving Disputes by Arbitration : What You Need to Know, Ridge Books, Singapore University Press, 1998. Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Jogjakarta, 1995. Teply, Larry L., Legal Negotiation in a Nutshell, West Publishing Co, St.Paul, Minn, 1992. Tiong, Tan Ngoh, (eds), Alternatif Dispute Resolution in Bussines, Family and Community : Multy Discipline Perspective, Pagesetters Services, Singapore, 2000. Wijojo, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental Disputes), Airlangga University Press, Surabaya, 1999. Yeo, Tan Min, Role of Public Policy, Overt and Camouflaged in International Litigation and Arbitration, 8th Singapore Conference on International Bussines Law, Yuhassarie,Emmy (ed)., Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Lokakarya Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, kerjasama Pusat Pengkajian Hukum dan Mahkamah Agung RI, 2002. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

8 BEBERAPA REFERENSI (7). ARTIKEL
Abdurrasjid, Prijatna, Future Development of Arbitration and ADR Practices in Indonesia (Privatization of the Judicial System), Jurnal Hukum Bisnis, Vo. 5, 1998. Gautama, Sudargo, Pembatalan Keputusan Dewan Arbitrase Bank Dunia Mengenai Pencabutan Lisensi Penanaman Modal di Indonesia, Varia Peradilan, No.18, Maret 1987. …………….,Kesulitan Dalam Menyusun Perjanjian Arbitrase Dagang Internasional, Varia Peradilan, No. 25, Oktober 1987. …………. , Hukum Manakah Yang Dipakai Untuk Arbitrase Dagang Internasional, Hukum dan Pembangunan, FHUI, Agustus 1989. ………….., Arbitrase WIPO Dalam Bidang Hak Milik Intelektual, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.1, 1997. Harahap, M. Yahya,, Penerapan Klausula Arbitrase serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam dan Luar Negeri di Indonesia, Varia Peradilan, No.61, Oktober 1990. ……………………….., Perspektif Arbitrase di Indonesia, makalah Seminar Nasional Hukum Ekonomi tentang Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Surabaya 18 Maret 1995. , Beberapa Catatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU No.30/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002. Juwana, Hikmahanto, Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam UU Pasar Modal, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 14, Juli 2001. ……………………., Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

9 BEBERAPA REFERENSI (8) Simanjuntak, Ricardo, Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase dan Pengadilan Negeri, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober – Nopember 2002. Suraputra, Sidik, ICSID dan MIGA : Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan Arus Penanaman Modal, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.8, 1999. Setiawan, Konvensi New York 1958, Kekuatan Mengikat Putusan Hakim Asing (Perk.Bontmantel – HR. 14 Nopember 1924, NJ, 1925), Varia Peradilan, No. 13, Oktober 1986. ………….., Eksekusi Putusan Arbitrase Asing : Perma No.1/1990, Varia Peradilan, No.59, Agustus 1990. …………..,Aplikasi dan Implikasinya, Newsletter, No.2, Agustus 1990. …………..,Pengaruh Mandatory Rules Terhadap Kontrak Bisnis Internasional : Catatan Dari Jurisprudensi, Varia Peradilan, No.98, Nopember 1993. ………….., Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak, Newsletter, No.15, Desember 1993. …………..,Kontrak Bisnis Internasional : Choice of Law & Choice of Jurisdiction, Varia Peradilan, No. 107, Agustus 1994. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

10 BEBERAPA REFERENSI (9). Waluyo, Bernadette , Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 9, 1999. Wibowo, Basuki Rekso, Perdamaian Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata, Yuridika, No.1 dan 2, Tahun VIII, Jan-April 1993. ……………., Masalah Petitum Subsider Ex Aequo Et Bono, Yuridika, No.7, tahun IX, Januari-Pebruari 1995. ……………., Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata, Yuridika, No.3, Tahun X, Mei-Juni 1995. ……………., Masalah Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, ProJustitia, FH Unpar, Bandung, April, …………….., Peran Hakim Dalam Pembangunan Hukum, Pro Justitia, FH Unpar, No.4,Oktober 1997. ……………., Klausula Arbitrase, Kompetensi dan Public Policy (Catatan Hukum Sengketa ED.F.Man Sugar Ltd vs. Yani Hariyanto), Yuridika, N0.2&3, Tahun XII, Maret-Juni 1997. ……………., Peran Lawyer Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis : Negosiator ataukah Gladiator (Sebuah Tinjauan Tentang Legitimasi Pilihan Peran Lawyer dan Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa), Yuridika, Vol.14, No.5, September-Oktober 1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

11 BEBERAPA REFERENSI (10) MAKALAH SEMINAR/PELATIHAN
Abdurrasjid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, makalah pada Seminar tentang Arbitrase (ADR) dan E Commerce, Law Offices Remy Darus, Surabaya 6 September 2000. ……………, Arbitrase, makalah dalam Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, kerjasama Pusat Pengkajian Hukum dan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 8-9 Oktober 2002. Badrulzaman, Mariam darus, “E-Commerce Tinjauan Dari Hukum Kontrak Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 12, 2001. Hadjon, Philipus Mandiri, Pengkajian Ilmu Hukum, makalah Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum – Lembaga Penelitian Universitas Airlangga bekerjasama dengan Fakultas Hukum Unair, Juni 1997. Kantaatmadja, Komar, Beberapa Hal tentang Arbitrase, kertas kerja pada Penataran Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Unpad-Universitas Utrecht, Bandung, 1989. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

12 BEBERAPA REFERENSI (11). Moore, Christopher W. , Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) (terj), ICEL & CDR Associates, Jakarta, 1995. Rachmadi, Takdir, Pengembangan Mekanisme Alternative Penyelesaian Sengketa Lingkungan Sebagai Wadah Peran Serta Masyarakat, makalah Seminar Pembangunan Hukum Lingkungan Nasional, Walhi, Bandung, Agustus 1990. Radhi, Teuku Mohamad, Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, makalah Seminar Penyelesaian Sengketa Dagang melalui Arbitrase, Jakarta, 11 Agustus 1990. Rosenfeld, Robert A, Negotiating Settlement in International Business Disputes, paper on International Business Disputes : Prevention, Management and Resolution, San Fransisco, July 29-30, 1004. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

13 BEBERAPA REFERENSI (12). Santosa, Mas Achmad, Court Connected ADR di Indonesia : Urgensi dan Prasyarat Pengembangannya, tt. ………………., Mediasi Lingkungan di Indonesia : Sebuah Pengalaman, ICEL, Jakarta, 1998. ………………, Alternative Disputes Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup, makalah dalam ForumDialog tentang Alternatif Disputes Resolution (ADR),Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman – The Asia Foundation,Jakarta, 5 Agustus 1999. Setiawan, Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasinya Kini, Seminar on International Bussines Law, Petra Christian University, Surabaya, 3-4 May 2000. Sjahdeini, Sutan Remy, “E-Commerce Tinjauan Dari PerspektifHukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 12, 2001. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

14 BEBERAPA REFERENSI (13). HASIL PENELITIAN
Elips, Laporan Studi Komparatif Mengenai Arbitrase di Korea Selatan, Jepang, Hongkong, dan Singapore, 1994. Harahap, M. Yahya, Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan (Alternative Dispute Resolution), penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1995/1996. Longdong, Tinneke Louise Tuegeh, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, disertasi FHUI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Natabaya, HAS, Pengaruh Putusan Arbitrase Asing Terhadap Peningkatan Ekonomi, penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996/1997. Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting, edisi II, Jakarta, 1992. Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung Tentang Arbitrase, 1989. Wibowo, Basuki Rekso, Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis : Suatu Studi di Kotamadya Surabaya, penelitian DPP/SPP Unair, 1996/1997. …………………………,Kompetensi Peradilan Umum Terhadap Putusan Arbitrase, penelitian DIK Suplemen Unair, 2000 ARBITRASE/BRW/FHUA/08

15 BEBERAPA REFERENSI (14). PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) Stb jo Burgerlijk Wetboek (BW) Stb Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB) Stb Undang-Undang No. 5 tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal (LNRI tahun 1968 No.32). Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN RI tahun 1997 No. 68 dan TLNRI No 3699). Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (LNRI tahun 1999 No.42). Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (LN RI tahun 1999 No. 54 dan TLN RI No. 3955). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

16 BEBERAPA REFERENSI (15). Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI. tahun 1999 No. 138 – TLNRI 3872). Undang Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (LN RI tahun 2000 No.242 dan TLN RI No. 4044). Undang Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri (LN RI tahun 2000 No.243 dan TLN RI No. 4045). Undang Undang No.32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (LN RI tahun 2000 No. 244 dan TLN RI No. 4046). Undang-Undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten (LN RI tahun 2001 No. 109 dan TLN RI No. 4310). Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek (LNRI tahun 2001 No. 110 dan TLN RI No. 4113). Undang Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (LN RI tahun No. 85 dan TLN RI No. 4220). Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (LNRI tahun 2003 No. 39 dan TLN RI No. 4279). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

17 BEBERAPA REFERENSI (16). Undang Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LN tahun 2004 No. 2 dan TLN No. 4356). Undang Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Peraturan Pemerintah No.12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (LNRI tahun 1998 No. 15 dan TLNRI No.3731). Peraturan Pemerintah No.13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (LNRI ahun 1998 No. 16 dan TLNRI No.3732). Keppres No. 34 tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

18 BEBERAPA REFERENSI (17). KONVENSI INTERNASIONAL
Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States 1965 jo. UU No. 5/1968 tentang Persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal (LNRI tahun 1968 No.32). Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 jo. Keppres No.34 tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Wilayah Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

19 BEBERAPA REFERENSI (18) PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Mahkamah Agung RI No.225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983 dalam perkara antara Dato Wong Guong dan PT.Metropolitan Timber Ltd vs. Gapki Trading Co. Ltd. Putusan Mahkamah Agung RI No K/Sip/1981 tanggal 22 Pebruari 1982 dalam perkara antara Sutomo qq. PT.Balapan Jaya vs. Ahju Forestry Company Ltd. Putusan Mahkamah Agung RI No. 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam perkara antara Sohandi Kawilarang vs. PT.Maskapai Asuransi Ramayana. Putusan Mahkamah Agung RI No. 794 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam perkara antara Sohandi Kawilarang vs. PT.Asuransi Royal Indrapura. Putusan Mahkamah Agung RI No. 795 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam perkara antara Sohandi Kawilarang vs. PT.Asuransi Indrapura. Putusan Mahkamah Agung No.2944 K/Pdt/1983 tanggal jo. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.2288/Pdt.P/1979 tanggal 10 Juni antara PT.Nizwar vs.Navigation Maritime Bulgare. Putusan Mahkamah Agung RI No K/Pdt/1984 tanggal10 Desember 1985 dalam perkara antara S.M. Pardede vs. Ir. Syafei Juremi dkk; Putusan Mahkamah Agung RI No K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 dalam perkara antara PT.Arpeni Pratama Ocean Line vs. PT.Shorea Mas. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

20 BEBERAPA REFERENSI (19) Putusan Mahkamah Agung RI No.3992 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 dalam perkara antara PT.Batu Mulia Utama vs. SSC. (Sainrapt et Brice Societe Auxiliare D’Enterprises Societe Routire Colas). Putusan Mahkamah Agung No. 1/Banding/wasit/1981 tanggal 14 Mei 1984 antara PT.Multi Plaza Properties vs. Yahya Wijaya. Putusan Mahkamah Agung No.4231 K/Pdt/1986 jo. Putusan Pengadilan Tinggi JakartaNo.512/PDT/1985/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 64/Pdt.G/1984/PN.Jkt.Sel dalam perkara PT.Bakri & Brothers vs.Trading Corporation of Pakistan Ltd. Putusan Mahkamah Agung No.1/Banding/Wasit/1986 tanggal 12 Pebruari 1987 jo.Putusan BANI No. 5/XII-5/85 tanggal 30 Desember antara Zainal Efendivs.Pt. Karya Tehnindo Jaya. Putusan Mahkamah AgungNo.2/Banding/Wasit/1986 tanggal 22 April 1987 jo. Badan PemisahNo.01/IV/P.Arb/1986 tanggal 17 April 1986 antara CV. Lempuing Bengkulu vs.Ny.Hajar Rifai. Putusan Mahkamah Agung RI No K/Pdt/1989 tanggal 9 Nopember 1993 antara Memet Sulaiman qq. PT.Triguna Ikhlas vs. CV.Sinar Surya Kencana. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

21 BEBERAPA REFERENSI (20) Putusan Mahkamah Agung RI No K/Pdt/1990 tanggal 4 Desember 1991 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.485/Pdt/PT.DKI tanggal 14 Oktober 1989 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 736/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst tangghal 29 Juni 1989 antara E.D. F.Man (Sugar) Ltd v.s Yani Hariyanto; Putusan Mahkamah Agung RI No K/Pdt/1990 tanggal 4 Desember 1991 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 486/Pdt/PT.DKI tanggal 14 Oktober 1989 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 499/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst tanggal 29 Juni 1989 antara E.D. F.Man (Sugar) Ltd vs. Yani Hariyanto; Putusan Mahkamah Agung RI No. 12 K/N/1999 jo. Putusan. Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 13 PK/N/1999 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta No. 14/Pailit/1999/ PN Niaga/Jkt.Pst antara PT Enindo dan Kelompok Tani FSSP melawan PT Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporatio Putusan Mahkamah Agung No.3145 K/Pdt/1999 tanggal 30 Januari 2001 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 730/PDT/1998/PT.Sby tanggal 20 Nopember 1998jo.putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.96/Pdt.G/1998/PN.Sbu tanggal 15 Juni 1998 dalam perkara antara Tjong Yenny Sukmawaty vs. .PT. Surabaya Land. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

22 BEBERAPA REFERENSI (21). Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali No. 010 PK/N/2001 tanggal 16 Mei 2001 jo. Putusan Mahkamah Agung dalam Kasasi No. 05K/N/2001 tanggal 19 Pebruari 2001 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.80/Pailit/2000/P.Niaga/Jkt.Pst tanggal 21 Desember 2000jo. Putusan BANI Jakarta No. 5/X-09/ARB/BANI/99 tanggal 19 Oktober 1999, dalam perkara antara PT.Trakindo Utama vs. PT.Hotel Sahid Jaya International. Putusan Mahkamah Agung No. 01/Banding/Wasit/2001 tanggal 2 Maret 2001 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 167/Pdt.P/2000/PN.Jak.Sel tanggal 18 September 2000 jo. Putusan BANI No. 5/V-29/ARB/BANI/2000 tanggal 25 Mei 2000 antara PT.Danareksa Jakarta International vs PT. Ssangyong Engineering & Construction dan PT Murinda Iron Stell. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.764/Pdt.P/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 18 Juni 1997 dalam perkara pengangkatan arbitrator antara T. Dharma Niaga Ltd (Indonesia) dengan Hati Prima Potash Pte.Ltd (Singapore). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/Pdt.G/2002/PN. Jkt.Pst dalam perkara antara Pertamina melawan Karaha Bodas Company LLC dan PT. PLN Persero ARBITRASE/BRW/FHUA/08

23 PENGERTIAN ARBITRASE “……adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak yang bersengketa” (ps. 1 ayat 1 UU No.30/1999). “…..a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are agreed to by the disputing parties and whose decision is binding” (Black’s Law Dictionary, seventh edition, 1999). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

24 PERISTILAHAN Istilah “Arbitrase” berasal dari istilah Arbitrare (bahasa Latin) yang maknanya adalah kewenangan memutus sengketa berdasarkan kebijaksanaan. Arbitration (bahasa Inggris) atau Arbitrage (bahasa Belanda), “Perwasitan” (Penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No.14/1970 tentang Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, sedangkan istilah Arbitrase digunakan dalam UU No.30/1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

25 Penjelasan Pengertian Arbitrase (1)
Sengketa perdata = perdata khusus dalam ruang lingkup hukum perdagangan, (ps. 5 (1) jo. 66 (b) UU No.30/1999 (penjelasan), yang meliputi : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Diluar Peradilan umum = out of (state) court dispute settlement. Ps. 1 ke-1, jo. Ps 3, Ps. 11 (2) UU No.30/1999; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

26 Penjelasan Pengertian Arbitrase (2).
Berdasarkan perj. arbitrase = kesepakatan tertulis para pihak untuk menyelesaikan sengketa yg akan terjadi (pactum de compromi tendo) atau sengketa yg terjadi (acta van compromise). Ps 1 ke-3, Ps. 4 (2), 7, 9 (1,3), 11 (1) UU No.30/1999; Dibuat para pihak bersengketa = subyek hukum menurut hukum perdata maupun hukum publik. Orang perorangan sebagai pribadi maupun, badan hukum perdata maupun badan hukum publik. Ps. 1 (2) UU No.30/1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

27 KOMPETENSI ABSOLUT ARBITRASE
Pasal 5 ayat (1) : “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Ayat (2) : “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

28 Catatan : Norma terkandung ayat (1) : apa yang dimaksud dengan “sengketa perdagangan” dapat ditafsirkan dari penjelasan Pasal 66 huruf “b”, yang meliputi perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan HKI yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak bersengketa. Norma terkanding ayat (2) : secara a contrario, kompetensi aboslut arbitrase mencakup sengketa yang penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perdamaian. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

29 Perhatikan ketentuan pasal 303 UU 37/2004 tentang Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa dalam perkara kepailitan merupakan kompetensi absolut Pengadilan Niaga, meskipun para pihak telah saling mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase. Dengan perkataan lain, adanya perjanjian arbitrase dalam perkara kepailitan, tidak menghilangkan kompetensi absolut Pengadilan Niaga. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

30 Frank Elkouri & Edna Asper Elkouri, How Arbitration Works, Fifth Edition, 1997,
”Arbitration as an institution is not new, having been in use many centuries before the beginning of the English Common Law…………... King Solomon was an arbitrator and the procedure he used was in many respects similar to that used by arbitrators today. Philip II of Macedon, the father of Alexander the Great, in his treaty of peace with the city-states of southern Greece circa BC, specified the used of arbitration in disputes between members over vexed territory”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

31 Mauro Rubino Sammartano, International Arbitration Law, 1990,
”While arbitration is known in the large majority of legal system, in some of them it takes a different shape. Inevitably this sometimes reflects local problems and sometimes a different approach to the entire legal system”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

32 ARBITRASE DI INDONESIA
Eksistensi arbitrase sudah dikenal sejak jaman penjajahan dan diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvoerdering (RV) Stb – 52, Pasal 615 s/d 651. Pada dasarnya hanya berlaku bagi penduduk Hindia Belanda, golongan Eropa. Berdasarkan Ps. 377 HIR/705 RBG, bagi golongan Bumiputera dapat menggunakan arbitrase, dengan syarat melakukan penundukan hukum terhadap RV. Pada saat itu terjadi penggolongan penduduk Hindia Belanda, menjadi 3 golongan, yakni Gol. Eropa, Gol Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa), serta Gol Bumiputera yang masing2 tunduk pada hukum perdata berbeda (Ps. 131 dan 163 Indische Staatsregeling). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

33 SUMBER HUKUM ARBITRASE PERDAGANGAN DI INDONESIA
UU No. 30/1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa (mencabut Pasal 615 s/d 651 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering Stb , Konvensi New York 1958 – Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Keppres No.34/1981; Konvensi Washington 1965 – Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan UU No.5/1968. UU 1/1967 (UUPMA) sebagaimana diubah & ditambah dengan UU 11/1970 yang kemudian dicabut dengan UU No. 25/2007 (UUPM), PERMA No.1/1990 tentang Prosedur Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

34 UU 30/1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENY
UU 30/1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENY. SENGKETA MERUPAKAN SUMBER HUKUM UTAMA ARBITRASE INDONESIA Sistematika : Terdiri dari 11 Bab, 82 Pasal, dilengkapi dengan Penjelasan. Pengaturan Arbitrase dalam 81 Pasal, sedangkan pengaturan Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya (negosiasi, mediasi, konsiliasi) hanya dalam 1 Pasal (yakni pada Pasal 6 saja). Catatan : Arbitrase dilakukan sesuai dengan syarat, prosedur, serta proses yang diatur “hukum acara arbitrase” yang dalam beberapa hal mirip dengan hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan. Adapun pada negosiasi, mediasi dan konsiliasi dapat dilakukan sesuai kehendak para pihak tanpa harus menggunakan hukum acara tertentu. Kecuali mediasi di muka Pengadilan (Perma No.02/2003) yang dilakukan sesuai acara mediasi. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

35 ALASAN UTAMA PARA PIHAK MEMILIH ARBITRASE
Otonomi para pihak yang luas (Partij Autonomie); Spesifikasi Keahlian Arbitrator (Expert in the Subject Matter); Jaminan kerahasiaan subyek, substansi, serta proses berperkara (Private & Confidential) limitasi waktu proses arbitrase (Time Limitation) Putusan arbitrase bersifat final & mengikat (Final & Binding); Eksekutabilitas putusan Arbitrase (Excecutability & Enforceability Arbitration Award). Lintas jurisdiksi pada arbitrase internasional (Trans Jurisditcion) Dll. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

36 Alasan memilih arbitrase, antara lain :
(1). flexibility, (2). focusing on the main issues, (3). speed, (4). cost. Martin Hunter, Freshfileds Guide to Arbitration and ADR : Clauses in International Contracts, 1993, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

37 Alasan memilih arbitrase, :
(1). choice of tribunal; (2). privacy and confidentiality; (3). speed; (4). technical expertise; (5). enforceability of award; (6). cost; (7). Representation; (8) flexibility of procedure; (9). extent of jurisdiction Chaterine Tay Swee Kian, Resolving Disputes by Arbitration : What You Need to Know, 1998, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

38 PENORMAAN PRINSIP PRINSIP ARBITRASE KE DALAM UU 30/1999
Pada dasarnya terdapat universalitas prinsip prinsip umum arbitrase yang berlaku di berbagai negara, kecuali hal-hal spesifik maupun aturan teknis pelaksanaannya yang dapat berbeda antara masing masing negara, Prinsip prinsip arbitrase yang telah dinormakan ke dalam UU (UU 30/1999) menjelma menjadi aturan hukum positip, baik yang bersifat memaksa (dwingen recht) maupun yang bersifat mengatur (regelend recht). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

39 1. OTONOMI PARA PIHAK : A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH FORUM (Choice of Arbitration Forum) Para pihak berdasarkan perjanjian tertulis dapat memilih penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase. Apakah Arbitrase ad hoc ataukah arbitrase institusional (ps. 6 ayat 9), serta apakah Arbitrase Nasional ataukah Arbitrase Internasional (ps. 34 ayat 1). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

40 A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH FORUM (Choice of Arbitration Forum)
CATATAN : Dewasa ini dalam kontrak2 komersial, terutama kontrak internasional, pada umumnya telah mencantumkan “dispute settlement clause” yang memilih penyelesaian sengketa melalui “arbitrase”. Pertimbangannya, selain efisiensi waktu, ekspertise arbitrator, pemeriksaannya tertutup (private & confidential), juga putusannya bersifat final & binding. Putusan arbitrase internasional bersifat “trans jurisdiksi”, sehingga dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di wilayah Negara lain. Sebaliknya para pihak, dalam kontrak kemersial internasional, pada umumnya menghindari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Nasional salah satu pihak (kontraktan). Selain karena alasan ketidakpahaman prosedur dan proses hukumnya, juga karena adanya kekuatiran terjadinya “pemihakan” Pengadilan terhadap pihak (tuan rumah) yang bersengketa. Selain daripada itu, putusan Pengadilan Nasional suatu negara tidak memiliki efek mengikat dan efek eksekutorial di wilayah negara yang lain. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

41 A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH FORUM (Choice of Arbitration Forum)
CATATAN : Pencantuman “dispute settlement clause”, dalam hal ini “arbitration clause” dalam kontrak komersial seringkali dijuluki sebagai “midnight clause”. Artinya, merupakan klausula yang terakhir mendapat perhatian para pihak, setelah mereka merampungkan substansi kontrak lainnya. Hal tersebut karena tujuan utama para pihak mengadakan kontrak adalah untuk melaksanakan kontrak itu sendiri. Mereka justru tidak menginginkan atau menghindarkan terjadinya sengketa. Karena itu, pencantuman “dispute settlement clause” semata-mata sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sengketa di kemudian hari, meskipun sengketa tersebut belum tentu terjadi dan pada dasarnya tidak dikehendaki terjadi. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

42 Alasan memilih arbitrase, antara lain :
Chaterina Tay Swee Kian : “Today, commercial arbitration is widely used by businessmen in fields such a construction, building, engineering, shipping, insurance, banking and finance, transportation, professional practice, etc”. M. Yahya Harahap, 1991, “commercial arbitration” is “a bussines executive court”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

43 ARBITRASE : BENTUK & LINGKUPNYA
DARI SEGI BENTUKNYA, DIBEDAKAN MENJADI DUA MACAM : 1. ARBITRASE INSTITUSIONAL. 2. ARBITRASE AD HOC. DARI SEGI LINGKUPNYA, DIBEDAKAN MENJADI DUA MACAM : 1. ARBITRASE NASIONAL. 2. ARBITRASE INTERNASIONAL. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

44 ARBITRASE LEMBAGA (INSTITUTIONAL ARBITRATION)
Disebut juga sebagai arbitrase permanen yang eksistensinya sengaja didirikan oleh komunitas tertentu dalam rangka untuk melayani kebutuhan jasa penyelesaian sengketa para pihak bersengketa. Misalnya, di Indonesia : BANI, didirikan oleh KADIN. BAMUI, didirikan oleh MUI & BANK MUAMALLAT sekarang berubah menjadi BASYARNAS BAPMI, didirikan oleh BAPEPAM, HKHPM, BEJ, dll BAORI, didirikan oleh KONI, dll ARBITRASE/BRW/FHUA/08

45 LEMBAGA ARBITRASE INTERNASIONAL
American Arbitration Association (AAA) berkedudukan di New York, International Chamber of Commerce Court of Arbitration (ICC) di Paris, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington DC, Stockholm Chamber of Commerce (SCC) di Stockholm, London Court of International Arbitration (LCIA) Permanent Court of Arbitration (PCA) di Hague Netherlands, Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Kualalumpur Regional Centre for Arbitration (KRCA), dll ARBITRASE/BRW/FHUA/08

46 LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI) kemudian berganti menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI). Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Olah Raga Indonesia (BAORI). DLL ARBITRASE/BRW/FHUA/08

47 ARBITRASE AD HOC Arbitrase ad hoc dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan suatu sengketa tertentu yang telah terjadi, sehingga bersifat insidentil atau “case by case”. Karena sifatnya insidentil, maka arbitrase ad hoc dengan sendirinya menjadi bubar setelah sengketa dagang yang diajukan kepadanya telah dijatuhkan putusan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

48 ARBITRASE BERDASARKAN RUANG LINGKUPNYA
DIBEDAKAN MENJADI 2 MACAM : ARBITRASE NASIONAL, DAN ARBITRASE INTERNASIONAL/ASING. UU NO. 30/1999 TIDAK MEMBERIKAN PENGERTIAN YANG JELAS TENTANG APA YANG DIMAKSUD DENGAN ARBITRASE NASIONAL MAUPUN ARBITRASE INTERNASIONAL. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

49 di luar wilayah hukum Republik Indonesia,
PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL Pasal 1 (9) UU No.30/1999 “Putusan Arbitrase Internasional” adalah : “….putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

50 PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Bertolak dari rumusan pasal 1 ayat (9) UU No. 30/1999, maka yang dimaksud dengan Arbitrase Internasional adalah Arbitrase yang putusannya dijatuhkan di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia, atau yang menurut hukum Indonesia dianggap sebagai Arbitrase Internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

51 UU No.30/1999 menggunakan istilah “arbitrase internasional”.
UU NO.30/1999 TIDAK MEMBERIKAN BATASAN JELAS TENTANG MAKNA ARBITRASE NASIONAL DAN ARBITRASE INTERNASIONAL UU No.30/1999 menggunakan istilah “arbitrase internasional”. Perma No. 1/1990 menggunakan istilah “arbitrase asing”, Konvensi New York, 1958, menggunakan istilah “foreign arbitration”. masing masing istilah digunakan saling bergantian untuk maksud yang sama (interchangeable). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

52 INTERNATIONAL ARBITRATION
”Naturally , the question can be asked wheter there is a place for international arbitration in addition to national and foreign arbitration, or wheter in reality international arbitration is merely a synonym for foreign arbitration”. “…….for example, Swedish law (Foreign Arbitration Agreements and Awards Act No.147/1929) defines as “foreign” that arbitration which takes place in a foreign country, or in Sweden, but in which one of the parties is not Swedish……....”. “…However, arbitration which takes place in a given state, but contains elements external to that legal system, is generally treated as international arbitration…” “……As we have seen, the recurring definition of international arbitration is based on the different nationality, or domicilie, of the parties to the proceedings MAURO RUBINO SAMARTANO, International Arbitration Law, Kluwer Law and Taxation Publishers, GA Deventer, 1990. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

53 ARBITRASE NASIONAL Secara a contrario, Pengertian Arbitrase Nasional adalah arbitrase yang putusannya dijatuhkan di wilayah Negara Republik Indonesia, atau yang menurut Hukum Indonesia dianggap sebagai Arbitrase Nasional. Arbitrase nasional tidak mengandung “unsur asing” sama sekali. Misalnya, A dan B, keduanya WNI, sepakat memilih forum arbitrase yang berkedudukan di Indonesia, proses arbitrase berlangsung di Indonesia, menggunakan hukum Indonesia, serta menyangkut obyek sengketa di Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

54 B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION VENUE) Ps. 37 (1) UU 30/1999.
Dalam memilih tempat (Negara) penyelenggaran Arbitrase Internasional, perlu dipetirmbangkan faktor faktor : Favourable legal environment . Tempat penyelenggaraan arbitrase di negara yang dinilai telah memiliki sistem hukum & tradisi hukum yang kuat dan dapat dipercaya kehandalannya; Enforceability of arbitration award. Negara yang bersangkutan haruslah negara peserta Konvensi New York 1958, serta memiliki perjanjian bilateral dengan negara para pihak maupun negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase nantinya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

55 B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION VENUE) Ps. 37 (1) UU 30/1999.
Catatan : Adalah sangat beresiko bagi para pihak apabila memilih tempat penyelenggaraan arbitrase internasional di suatu negara yang tidak memiliki stabilitas serta sistem hukum dan tradisi hukumnya masih dinilai lemah, sebagaimana umumnya di negara berkembang. Selain daripada itu, perlu dipastikan apakah negara yang bersangkutan telah meratifikasi Konvensi New York 1958 ataukah tidak. Hal itu sangat terkait nantinya dengan eksekutabilitas putusan arbitrase internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

56 C. Otonomi Para Pihak Memilih Hukum (Choice of Law)
C.1. Memilih Hukum Materiil (ps. 56 ayat 2); Pilihan hukum materiil pada umumnya dijumpai dalam perjanjian diantara pihak-pihak yang dikuasai dan tunduk terhadap hukum materiil yang berlainan. Perjanjian dagang internasional yang bersifat “cross border”. Hukum pilihan para pihak berlaku terhadap perjanjian, akibat hukum yang timbul, maupun sebagai dasar hukum bagi penyelesaian sengketa yang timbul di kemudian hari. Perjanjian dagang internasional mengandung “element asing” Sedangkan, pada perjanjian diantara pihak2 yang tunduk dan dikuasai hukum materiil (nasional) yang sama, maka tidak relevan melakukan pilihan hukum materiil lain. . ARBITRASE/BRW/FHUA/08

57 C.2. Pilihan hukum hanya relevan dengan kontrak dagang internasional,
Pasal 56 (2) jo. Pasal 31 (1) dan 34 (2) UU No.30/1999 mengatur tentang kemungkinan para pihak melakukan pilihan hukum, baik terhadap hukum materiil maupun hukum formil. CATATAN : Persoalan pilihan hukum tidak semata-mata ditentukan berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak serta otonomi para pihak saja, melainkan perlu juga diperhatikan prinsip-prinsip hukum lain yang berlaku. Antara lain tidak boleh melanggar prinsip “dwingend recht”, “openbare orde”, “public policy”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

58 C.3. Memilih Hukum Formil (ps 31 jo. 34 ayat 2);
Pasal 31 (1) : “para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU 30/1999”. Pasal 31 (2) : dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk berdasarkan Pasal 12, 13 dan 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam UU 30/1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

59 C.3. Memilih Hukum Formil (ps 31 jo. 34 ayat 2);
Pasal 31 (3) : Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

60 Catatan Ps. 31 jo. 34 ayat 2. Apabila para pihak bermaksud mengadakan pilihan hukum formil, maka hal itu harus diperjanjikan secara tegas, sepanjang hukum formil yang dipilih tidak bertentangan dengan UU No.30/1999. Pilihan hukum formil, dalam arbitrase internasional harus dilakukan secara hati-hati. Oleh karena apabila hukum formil yang dipilih dalam suatu arbitrase internasional dinilai bertentangan dengan ketertiban umum i.c. UU No.30/1999, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang menolak memberikan pengakuan dan melaksanakan putusan Arbitrase Internasional tersebut di wilayah Republik Indonesia (Vide Pasal 65 jo. 66 huruf “c”). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

61 C.4. Cara Pemilihan Hukum;
Pilihan hukum dilakukan dengan cara : (a). pilihan hukum yang dilakukan secara tegas; (b). pilihan hukum yang dilakukan secara diam- diam; (c). pilihan hukum berdasarkan anggapan; (d). pilihan secara hipotetis. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

62 C.4. Cara Pemilihan Hukum;
Pada pilihan hukum secara tegas kiranya telah jelas tentang apa yang dimaksud dan diinginkan oleh para pihak dalam perjanjian. Para pihak telah dengan tegas memilih suatu hukum tertentu . Pilihan hukum yang dilakukan secara diam-diam, meskipun mengandung sedikit keraguan tentang apa sesungguhnya hukum pilihan para pihak, namun masih dimungkinkan untuk menyelidiki berbagai faktor obyektif untuk dijadikan pedoman dalam menentukan hukum pilihan para pihak. Pilihan hukum secara anggapan dan secara hipotetis menimbulkan keraguan yang semakin tinggi. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

63 C.5. CHOICE OF LAW & APPLICABLE LAW
Hukum Pilihan Para Pihak (law of the parties) berlaku sebagai hukum yang diberlakukan/ diterapkan terhadap sengketa (applicable law/ governing law), termasuk terhadap penyelesaian sengketa yang terjadi atau akan terjadi di antara mereka dan dipergunakan sebagai dasar bagi arbitrator atau majelis arbitrase untuk memutuskan sengketa. C.6.Pilihan hukum hanya dilakukan dalam bidang hukum perjanjian yang bersifat mengatur (regelend recht) dan tidak terhadap hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht). Pilihan hukum dibatasi pada sistem hukum yang memiliki hubungan riil dengan dengan substansi perjanjian (the most characteristic connection). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

64 CHOICE OF LAW WITH A BONAFIDE INTENTION
pilihan hukum tidak dapat diarahkan pada hukum yang tidak kaitannya sama sekali dengan substansi perjanjian. Pilihan hukum juga tidak dapat dilakukan dengan maksud sebagai tindakan penyelundupan hukum. Pilihan hukum harus dilakukan dengan maksud-maksud yang baik (made with a bonafide intention) dari pihak-pihak yang terlibat di dalam perjanjian yang bersangkutan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

65 D. Otonomi Para Pihak Memilih Arbitrator/Arbiter (Choice of Arbitrator) :
D-1, PENGERTIAN ARBITER (Pasal 1 ke-7) : “Arbiter adalah seorang atau lebih yang :DIPILIH OLEH PARA PIHAK YANG BERSENGKETA, atau yang DITUNJUK OLEH PENGADILAN NEGERI, atau OLEH LEMBAGA ARBITRASE, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

66 D. Memilih Arbitrator/Arbiter (Choice of Arbitrator) :
CATATAN : Pemilihan arbitrator pada dasarnya merupakan opsi para pihak bersengketa. Namun apabila opsi tersebut tidak digunakan oleh para pihak, atau karena terdapat hambatan prosedural dalam pemilihannya, maka pemilihan arbitrator dilakukan oleh Pengadilan atau oleh Lembaga Arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

67 D.2. Syarat Syarat Menjadi Arbitrator (ps 12 ayat 1);
(a). cakap melakukan tindakan hukum; (b). berumur paling rendah 35 tahun; (c). tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; (d).tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; (e).memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang paling sedikit 15 tahun. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

68 CATATAN TERHADAP PASAL 12 : SYARAT MENJADI ARBITRATOR
Rumusan Ps. 12 (a) bersifat berlebihan, karena secara otomatis untuk bertindak sebagai arbitrator harus cakap melakukan perbuatan hukum; Rumusan Ps. 12 (b) tidak jelas apa “ratio legis” pengaturan batasan umur minimal arbitrator; Rumusan Ps. 12 (c & d), mengandung “ratio legis” agar tidak terjadi “conflict of interest” antara arbitrator dengan pihak2 berperkara; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

69 CATATAN TERHADAP PASAL 12 : SYARAT MENJADI ARBITRATOR
Rumusan Ps. 12 (e) tidak jelas apa “ratio legisnya” penentuan 15 tahun “pengalaman” dan “menguasai secara aktif di bidang”nya. Persoalan penentuan “15 tahun” dihitung dari mana serta apakah hal itu berlangsung secara terus menerus ? Persoalan lainnya “siapa” yang kompeten menilai adanya “pengalaman” dan “menguasai secara aktif di bidangnya” tersebut ? Apakah semata-mata berdasarkan anggapan ataukah harus dibuktikan melalui sertifikasi keahlian yang diterbitkan oleh asosiasi profesi atau lembaga yang kompeten ? ARBITRASE/BRW/FHUA/08

70 Syarat Sebagai Arbitrator BAPMI.
(a). warganegara Indonesia; (b). cakap melakukan tindakan hukum; (c). berumur paling rendah 35 tahun; (d). memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidangnya paling sedikit 15 tahun; (e). tidak pernah dihukum karena suatu tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan pasti; (f). tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

71 Syarat Sebagai Arbitrator BAPMI.
(g). bukan merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menjadi arbiter oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (h). terdaftar sebagai anggota dari asosiasi, himpunan, ikatan dan/atau bentuk organisasi lain yang telah menjadi anggota BAPMI; (i). berpendidikan minimum sarjana atau setara (j). telah memperoleh ijin orang perorangan profesi pasar modal dari BAPEPAM atau terdaftar sebagai profesi penunjang pasar modal di BAPEPAM; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

72 Syarat Sebagai Arbitrator BAPMI
(k). tidak termasuk dalam Daftar Orang Tercela dan/atau daftar orang yang tidak boleh melakukan tindakan tertentu di bidang pasar modal sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh BAPEPAM dan/atau tidak pernah dihukum karena suatu tindak pidana yang terkait dengan masalah ekonomi dan/atau keuangan; (l). memahami ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal dan bidang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia; (m). memahami Peraturan dan Acara BAPMI; (n). bukan merupakan pejabat di bidang pengawas pasar modal, direksi bursa efek, atau lembaga kliring dan penjaminan, atau lembaga penyimpanan dan penyelesaian; (o). bukan merupakan pejabat aktif dari instansi peradilan, kejaksaan atau kepolisian. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

73 D.3. Kualifikasi arbitrator :
- ekspert sesuai substansi sengketa, - profesionalitas, - berpengalaman, - obyektif dan imparsialitas, - jujur dan tidak tercela, - memiliki reputasi tidak tercela, - non conflict of interest, - dll ARBITRASE/BRW/FHUA/08

74 Garry B. Born, International Commercial Arbitration in the United States, 1994.
Expertise, several arbitrators will ussualy offer the broader range of legal, technical, and other expertise then a single arbitrator; Consistency, several arbitrators are less likely to “drop the ball” by missing or misunderstanding some fundamental point; Communications, several arbitrators are more likely than a single arbitrator to fully comprehend, and convey to the parties that verry comprehend, the issue in the case……. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

75 Garry B. Born, International Commercial Arbitration in the United States, 1994.
“Perhaps the most vital initial step in any arbitration is the appointment of the arbitrator or arbitrators who will resolve the dispute…………”. Several factors are relevant : Cost, the more arbitrators one has, the more the parties can generally expect to pay in arbitrator fees and expences; Convenience, finding dates on which several arbitrators are all avaliable is harder than finding dates on which one arbitrators is avaliable; Speed, although much depends on the individual, one arbitrator can in theory act more quickly than several, since there need not be intra tribunal consultation; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

76 D.4. Single or panel arbitrator (ps.14 dan 15);
> Para pihak bersengketa dapat menyepakati apakah arbitrase dilaksanakan dengan model arbiter tunggal (single) ataukah majelis arbiter (panel). > Pada arbiter tunggal, para pihak harus sepakat atas penunjukan figur arbiter tunggal yang bersangkutan. > Sedangkan pada majelis arbitrase, masing-masing pihak menunjuk seorang arbiter, selanjutnya arbiter yang ditunjuk masing-masing pihak tersebut harus sepakat menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua majelis arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

77 D.5. Larangan Menjadi Arbitrator (ps 12 ayat 2);
“Hakim, Jaksa, Panitera dan Pejabat Peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter”. Penjelasan : ……agar terjamin adanya obyektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Secara a contrario, setelah PURNA TUGAS, maka mereka dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter, sepanjang memiliki keahlian dan pengalaman sesuai dengan substansi sengketa. Serta selalu bersikap profesional, jujur, obyektif, tidak tercela, serta tidak terdapat “conflict of interest” dengan pihak pihak bersengketa. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

78 D.6. Prosedur pengangkatan arbitrator (pasal 13 s/d 19);
Pada prinsipnya arbitrator dipilih oleh para pihak bersengketa, Pada arbiter tunggal, maka arbiter yang bersangkutan harus disepakati oleh kedua belah pihak bersengketa, Pada arbiter majelis, masing2 pihak bersengketa menunjuk seorang arbiter, selanjutnya masing2 arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

79 D.6. Prosedur pengangkatan arbitrator (pasal 13 s/d 19);
Apabila para pihak bersengketa tidak mencapai sepakat menunjuk arbiter (tunggal) atau para arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak tidak mencapai sepakat menunjuk arbiter ketiga (ketua majelis), maka atas permohonan pihak2 bersengketa, Pengadilan berwenang untuk menunjuk arbiter (tunggal) atau arbiter ketiga (ketua majelis), Atau para pihak bersengketa menyerahkan penunjukkan arbiter yang bersangkutan kepada lembaga arbitrase ARBITRASE/BRW/FHUA/08

80 D.7. Campur tangan Pengadilan (pasal 13 s/d 19);
Campur tangan Pengadilan dalam penunjukkan arbiter dilakukan atas dasar permohonan pihak2 bersengketa, karena para pihak gagal mencapai sepakat dalam penunjukkan arbiter, atau para arbiter yang ditunjuk para pihak gagal mencapai sepakat memilih arbiter ketiga, Campur tangan Pengadilan diperlukan untuk mengatasi “kebuntuan prosedural” sebagai akibat tidak tercapainya kata sepakat tentang penunjukkan arbitrator. Campur tangan Pengadilan dalam pemberhentian arbiter juga dilakukan atas permohonan pihak2 bersengketa, karena arbiter yang ditunjuk terbukti memiliki “conflict of interest”, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

81 COURT INTERVENTION Istilah “court intervention” merupakan pernyataan yang seringkali ditemukan dalam berbagai literatur tentang arbitrase bahwa : “The courts role therefore should be assist the arbitral tribunal to achieve the purpose of arbitration. Even if a distinction is made between “court intervention” and “court assistance and supervision” as in article 5 and 6 of the UNCITRAL Model Law, its appears that in their respective scopes the two concepts largely overlap”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

82 Mauro Rubino Sammartano
“German law provides for court intervention not only during the appointment of an arbitrator or a challenge, or if parties do not appoint him, but also to hear witnesses or expert, who do not voluntary appear before the arbitrators. Furthermore, the administration oath to witnesses or experts is always done by the courts. The possibility for court to intervene by placing their power to the disposal of the arbitrators is certainly a substansial contribution to a better functioning of arbitral proceedings”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

83 COURT INTERVENTION Simmond K.R. et. al. Commercial Arbitrations Law in Asia and the Pacific, Paris, ICC Publishing SA, 1987, h. 129,mengemukakan tinjauannya di beberapa negara Asia. Di India bahwa : “the Court intervention may be sought to remove an arbitrator for , or in order for an arbitration agreement to cease effect, or to enforce, modify or correct and award and to grant an extension of the time limit for rendering an award. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

84 Di Jepang bahwa : “Court intervention may be sought to appoint or replace the arbitrator, to extend the time limit for rendering an award, to order discovery or the appearance of witnesses. Demikian pula halnya di Malaysia, bahwa : “……In Malaysia, the Courts have the authority to appoint or to remove an arbitrator, to extend the time for rendering an award, to order discovery or the appearance of witnesses” ARBITRASE/BRW/FHUA/08

85 COURT INTERVENTION Pasal II (3) Konvensi New York 1958 yang mengatur :
“The court of contracting state, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or in capable of being performed” . ARBITRASE/BRW/FHUA/08

86 D.8. Opsi Calon Arbitrator
Pasal 16 ayat (1) :Seorang yang ditunjuk sebagai arbitrator memiliki opsi untuk menerima atau menolak penunjukkan tersebut, dengan alasan menyangkut kompetensi serta menyangkut hak & kewajiban masing2, atau alasan spesifik lainnya; Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa seseorang yang telah ditunjuk atau diangkat sebagai arbitrator harus menyatakan secara tegas dan tertulis tentang sikapnya apakah ia menerima atau menolak penunjukkan dan pengangkatan tersebut, dan harus disampaikan kepada para pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak penunjukan dan pengangkatannya sebagai arbitrator. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

87 D Opsi Calon Arbitrato Apabila telah tercapai kesepakatan tertulis antara pihak pihak yang menunjuk dengan arbitrator yang bersangkutan, maka terjadi perjanjian perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik (pasal 17 ayat 1). Arbiter atau para arbiter akan memberikan putusan nya secara jujur, adil, dan sesuai dgn ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang diperjanjian bersama (pasal 17 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

88 D.8. Opsi Calon Arbitrator
Seorang calon arbitrator yang diminta oleh salah satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan ke berpihakan putusan yang akan diberikan (pasal 18 ayat 1). Seorang yang menerima penunjukkan sebagai arbitrator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberitahukan kepada para pihak mengenai penunjukkannya (pasal 18 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

89 D.8. Opsi Calon Arbitrator
Pasal 19 UU No.30/1999 : seseorang menerima penunjukan dirinya sebagai arbitrator sebagaimana dimaksud Pasal 16 UU No.30/1999, maka tidak dapat menarik diri kecuali atas persetujuan para pihak. Pengunduran diri arbitrator diajukan secara tertulis kepada para pihak. Apabila disetujui, maka arbitrator dibebaskan dari tugas sebagai arbitrator, sedangkan apabila tidak disetujui maka pembebasan tugas sebagai arbitrator ditetapkan oleh Pengadilan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

90 D.8. Opsi Calon Arbitrator
Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 16, maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak (pasal 19 ayat 1). Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) yang telah menerima penunjukkan dan pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak (pasal 19 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

91 D.8. Opsi Calon Arbitrator
Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbitrator (pasal 19 ayat 3); Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapatkan persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbitrator ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

92 D.9. Perjanjian Perdata antara Arbitrator dengan Pihak yg Menunjuknya (ps 17 ayat 1);
Peran arbitrator tidak identik dengan peran lawyer, meskipun seorang lawyer dapat saja ditunjuk sebagai arbitrator. Paradigma peran lawyer dan arbitrator berbeda satu sama lain, lawyer subyektif memihak kepentingan klien, sedangkan arbitrator harus tetap independen, obyektif & imparsial. Hubungan lawyer dengan klien atas dasar surat kuasa, sedangkan hubungan arbitrator dengan pihak berperkara berdasarkan perjanjian perdata; Peran lawyer bertindak untuk dan atas nama klien sesuai dengan surat kuasa khusus, sedangkan arbitrator memeriksa dan memutus perkara berdasarkan pengalaman dan keahlian yang dimilikinya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

93 D.9. Perjanjian perdata antara arbitrator dgn pihak yg menunjuknya (ps 17 ayat 1);
Perjanjian perdata antara arbitrator dengan pihak yang menunjuknya menimbulkan hak dan kewajiban secara resiprositas. Arbitrator yang telah menyatakan kesediaannya untuk diangkat sebagai arbitrator berkewajiban untuk memberikan jasa layanan berupa kemampuan melakukan memeriksa dan memutus sengketa sesuai keahlian &pengalamannya. Perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana berlaku bagi ketentuan perjanjian pada umumnya, termasuk segala akibat hukum maupun hak dan kewajiban yang timbul dari adanya perjanjian perdata tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

94 D.9. Perjanjian perdata antara arbitrator dgn pihak yg menunjuknya (ps 17 ayat 1);
Arbitrator berhak mendapatkan imbalan atas jasa dan keahlian yang akan diberikannya yang berupa honorarium maupun berbagai fasilitas lain yang diperlukan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kewajibannya. Konsekuensinya, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi oleh karenanya dapat digugat secara perdata oleh pihak yang dirugikan ke muka Pengadilan; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

95 D.10. Tuntutan Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Terhadap arbitrator dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbitartor akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan (pasal 22 ayat 1); Tuntutan ingkar terhadap arbitrator dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya (pasal 22 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

96 D.10. Tuntutan Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Hak ingkar terhadap arbitrator yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 23 ayat 1); Hak ingkar terhadap terhadap arbitrator tunggal diajukan kepada arbitrator yang bersangkutan (pasal 23 ayat 2); Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan (pasal 23 ayat 3). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

97 D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Arbitrator yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkar berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbitrator yang bersangkutan (pasal 24 ayat 1); Arbitrator yang diangkat dengan penetapan Pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan Pengadilan tersebut (pasal 24 ayat 2). Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukkan seorang arbitrator yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 hari sejak pengangkatan (pasal 24 ayat 3). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

98 D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling lama 14 hari sejak diketahuinya hal tersebut; (pasal 24 ayat 4). Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada arbitrator yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya (pasal 24 ayat 5); Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain, arbitrator yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam UU 30/1999. (pasal 24 ayat 6). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

99 D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oelh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan negeri yang putusannya mengikat kedua pihak dan tidak dapat diajukan perlawanan (pasal 25 ayat 1); Dalam hal Ketua Pengadilan negeri memutuskan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud ayat (1) beralasan, seorang arbitrator pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbitrator yang digantikan (pasal 25 ayat 2); Dalam hal Ketua Pengadilan negeri menolak tuntutan ingkar, maka arbitrator melanjutkan tugasnya (pasal 25 ayat 3). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

100 D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Wewenang arbitrator tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya arbitrator dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan UU 30/1999 (Pasal 26 ayat 1); Arbitrator dapat dibebastugaskan bilamana ia terbukti berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum (pasal 26 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

101 D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap arbitrator (ps 22 s/d 26);
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbitrator meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbitrator pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan arbitrator yang bersangkutan (Pasal 26 ayat 3). Dalam hal seorang arbitrator tunggal atau ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang kembali; (pasal 26 ayat 4); Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar arbitrator (pasal 26 ayat 5). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

102 D.11. Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);
Arbitrator atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbitrator atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut (pasal 21). Sebagaimana halnya hakim dan advokat, juga memiliki imunitas dalam menjalankan kewajiban atau profesinya, sepanjang dilakukan dengan itikad baik; Persoalannya adalah bagaimana mekanisme untuk membuktikan bahwa arbitrator atau majelis arbitrase telah melakukan itikad tidak baik pada saat menjalankan tindakan dalam proses arbitrase hal itu bukanlah merupakan proses yang sederhana ARBITRASE/BRW/FHUA/08

103 D.11 Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);
Persoalan lainnya adalah siapa yang berwenang untuk memberikan penilaian terhadap masalah “ada/tidaknya itikad baik” arbitrator ketika memutus sengketa.Belum lagi muncul persoalan selanjutnya Persoalan lainnya lagi adalah bagaimana dengan status putusan arbitrase yang telah dijatuhkan, apakah secara otomatis batal ataukah dimohonkan pembatalan terlebih dahulu ke Pengadilan ? (lihat pasal 70 s/d 72), Persoalan-persoalan tersebut dalam penjelasan UU No.30 tahun 1999, hanya disebutkan “cukup jelas”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

104 D.12. Berakhirnya tugas & wewenang arbitrator (ps 48 jo. 59 ).
Pasal 73 UU No.30/1999 mengatur bahwa tugas arbitrator berakhir karena : (a). putusan mengenai sengketa telah diambil; (b). jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau (c). para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukkan arbitrator. CATATAN Pasal 73 huruf “a”, meskipun sengketa telah diputus namun tugas Arbiter tidak langsung berakhir, karena Arbiter atau kuasanya masih berkewajiban menyerahkan dan mendaftarkan putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

105 E. Otonomi Para Pihak Memilih Bahasa (Choice of Arbitration Language);
Ps. 28 : keharusan proses arbitrase menggunakan Bahasa Indonesia, KECUALI atas persetujuan arbitrator atau majelis arbitrase, para pihak dapat menggunakan bahasa lain yg disepakati. Pada arbitrase internasional, pemilihan bahasa merupakan soal yg penting, berkenaan dengan perbedaan latar belakang bahasa para pihak. Proses arbitrase, keterangan saksi, serta dokumen bukti dialihbahasakan ke dalam bahasa yang pilih. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

106 E. Otonomi Para Pihak Memilih Bahasa (Choice of Arbitration Language);
Persoalannya adalah : Bahasa yang telah dipilih dan disepakati oleh para pihak, akan digunakan sebagai bahasa resmi dalam proses arbitrase yang bersangkutan. Penggunaan “bahasa asing” harus mendapatkan persetujuan arbitrator yang akan menjalankan proses persidangan arbitrase. Pentingnya pemilihan bahasa dalam proses arbitrase berkaitan dengan kenyataan bahwa antara bahasa yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan konseptual dalam memaknai suatu terminologi dan konsep hukum tertentu sebagai akibat adanya perbedaan latar belakang sejarah, budaya dan sistem hukum masing2. Misalnya konsep “public policy” di negara-negara Anglo American yang maknanya tidak sama persis dengan konsep “openbare orde” atau “orde publique” di negara negara Kontinental, maupun dengan konsep “ketertiban umum” di Indonesia karena masing2 memiliki latar belakang sejarah dan sistem hukum berlainan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

107 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
A. Pengertian Perjanjian Arbitrase (ps. 1 ke-3 ) : “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa KLAUSULA ARBITRASE yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu PERJANJIAN ARBITRASE tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

108 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 3 : “Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Pasal 11 (1). “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADA KAN HAK PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. (2). “Pengadilan Negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN CAMPUR TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UNDANG UNDANG INI”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

109 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 3 jo. 11 mengandung norma yang bersifat memaksa, bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase menentukan kompetensi absolut arbitrase mengadili sengketa, dengan demikian Pengadilan Negeri tidak memiliki kompetensi absolut untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Konsekuensi adanya perjanjian arbitrase maka para pihak telah melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga Pengadilan. Apabila sengketa tersebut oleh salah satu pihak tetap diajukan ke Pengadilan, maka Pengadilan wajib menolak campur tangan atas perkara yang oleh para pihak sebelumnya telah diperjanjikan akan diselesaikan melalui arbitrase. Pengadilan selain terikat pada Pasal 3 jo. 11 UU No.30/1999, juga wajib menghormati pilihan para pihak yang telah mengadakan perjanjian arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

110 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
PERJANJIAN ARBITRASE TIDAK BOLEH MELANGGAR UNDANG-UNDANG. Pasal 303 Undang Undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengatur bahwa : “Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang ini”. Pasal 2 ayat (1) mengatur : “Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya” ARBITRASE/BRW/FHUA/08

111 CATATAN Pasal 303 jo. Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN ARBITRASE
Norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut, meskipun terdapat perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, namun yang berwenang asbolut memeriksa dan memutus sengketa kepailitan adalah Pengadilan Niaga. Kedudukan Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya Pengadilan yang memiliki kompetensi absolut dalam perkara kepailitan tidak dapat tergantikan atau disingkirkan oleh adanya perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Hal tersebut menunjukkan sifat memaksa (“dwingend”) ketentuan tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

112 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
B. Klausula Arbitrase & Perjanjian Arbitrase; Klausula arbitrase (arbitration clause/pactum de compromittendo) merupakan salah salah satu klausula yang terdapat dalam suatu kontrak dan dibuat sebelum terjadi sengketa, sedangkan perjanjian arbitrase (arbitartion agreement/acta van compromise) dibuat tersendiri/ terpisah dengan perjanjian pokoknya namun tetap saling berkaitan. Perbedaan antara klausula arbitrase dengan perjanjian arbitrase hanya terletak pada saat pembuatan serta cara penuangannya, namun pada pokoknya, keduanya memiliki kesamaan yakni kesepakatan para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Dengan adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase maka yang berwenang secara absolut menyelesaikan sengketa adalah lembaga arbitrase yang telah disepakati para pihak. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

113 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
C. Dibuat sebelum & sesudah terjadi sengketa (ps. 7); Kesepakatan para pihak untuk mengadakan perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum terjadi sengketa (arbitration clause/ pactum de compromitendo) sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya sengketa di kemudian hari, maupun dalam perjanjian arbitrase yang dibuat tersendiri setelah terjadinya sengketa (arbitration agreement/acta van compromis). Dalam praktek, mengadakan perjanjian arbitrase setelah terjadi sengketa pada umumnya lebih sulit dilakukan, karena pihak yang posisi hukumnya lemah, cenderung lebih menyukai penyelesaian melalui Pengadilan, dengan maksud untuk memanfaatkan kelambanan proses dan prosedur Pengadilan guna mengulur pemenuhan kewajiban. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

114 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
E. Para Pihak dalam Perj. Arbitrase (ps. 1 ke-2); Para pihak dalam perjanjian arbitrase adalah SUBYEK HUKUM, MENURUT HUKUM PERDATA MAUPUN HUKUM PUBLIK. Subyek hukum perdata meliputi orang dan badan hukum perdata (misalnya PT, Yayasan, dll). Subyek hukum publik meliputi badan hukum publik (misalnya, Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/ Kota). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

115 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
D. Perjanjian Arbitrase Tertulis. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu DOKUMEN YANG DITANDATANGANI PARA PIHAK (ps. 4 ayat 2). Perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak, sedangkan apabila para pihak tidak dapat menanda tangani maka perjanjian tertulis tersebut dibuat dalam bentuk AKTA NOTARIS (Ps. 9 ayat 1 dan 2). CATATAN : Keharusan perjanjian dibuat tertulis dan ditandatangani para pihak masih menggunakan paradigma perjanjian berbasis kertas. Padahal dalam praktek dewasa ini, melalui kegiatan e commerce, maka komunikasi para pihak, termasuk pembuatan perjanjian arbitrase, dapat dilakukan melalui berbagai sarana komunikasi, tanpa para pihak harus melakukan perjumpaan fisik. Misalnya melalui dan lain sebagainya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

116 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 4 ayat (3) mengatur : Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi DALAM BENTUK PERTUKARAN SURAT, maka pengiriman teleks, telegram, faksimile, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan catatan penerimaan oleh para pihak. CATATAN : Pasal 4 ayat (3) telah mengakomodasi kemungkinan pembuatan perjanjian arbitrase melalui berbagai sarana telekomunikasi akibat pesatnya perkembangan e-commerce. Rumusan frasa “dalam bentuk sarana komunikasi lainnya” merupakan antisipasi terhadap kemungkinan munculnya teknologi mutakhir di bidang komunikasi di masa depan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

117 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
F. Pasal 9 ayat (3) Perj. Arbitrase harus memuat : a. masalah yang disengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter dan majelis arbitrase; d. tempat arrbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan dari arbiter, dan h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (Ps. 9 ayat 3). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

118 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 9 ayat (4) mengatur bahwa perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) BATAL DEMI HUKUM. CATATAN : Unsur2 dalam Pasal 9 ayat (3) bersifat limitatif dan imperatif, artinya semua unsur tanpa kecuali harus terpenuhi dan termuat dalam suatu perjanjian arbitrase. Disertai ancaman sanksi dalam Pasal 9 ayat (4), yakni “perjanjian arbitrase batal demi hukum”, apabila terbukti tidak memuat semua unsur Pasal 9 ayat (3). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

119 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
G. Perj. Arbitrase Tertulis & Perkemb. TI/TK/E-C. Berkaitan dengan perkembangan Teknologi Iinformasi/Teknologi Kominukasi maupun E-Commerce, maka kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibuat dalam bentuk pertukaran surat, melalui teleks, telegram, , atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya. Namun hal itu disyaratkan wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak (ps. 4 ayat 3). Karena itu, berdasarkan norma yang terkandung dalam pasal 4 ayat (3), perjanjian arbitrase tidak mutlak harus berbasis kertas serta ditandatangani para pihak di tempat yang sama, dan pada waktu yang sama pula. Melainkan dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

120 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
H. Wewenang Absolut Arbitrase Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (ps. 3). Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADAKAN HAK PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan negeri (pasal 11 ayat 1). Pengadilan negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN CAMPUR TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI DALAM HAL-HAL TERTENTU yang ditetapkan dalam UU ini (ps. 11 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

121 2. PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI DASAR WEWENANG ARBITRASE.
I. Pasal 10, Perjanjian arbitrase TIDAK MENJADI BATAL disebabkan keadaan tersebut di bawah ini : a. meninggalnya salah satu pihak; b. bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi; d. Insolvensi salah satu pihak; e. Pewarisan; f. Berlakunya syarat2 hapusnya perikatan pokok; g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialitugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

122 KETIDAKBATALAN PERJANJIAN ARBITRASE : PASAL 10 “f” dan “h” UU 30/1999
Persoalan hukumnya adalah, khususnya menyangkut apa “reasoning” pengaturan dalam Pasal 10 huruf “f” dan huruf “h”, bahwa perjanjian arbitrase tidak batal karena berlakunya syarat2 hapusnya perikatan pokok serta berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok ??? Hal tersebut berkaitan dengan kedudukan perjanjian arbitrase yang bersifat “assessor” terhadap perjanjian pokoknya; Bukankah kedudukan perjanjian assessor mengikuti perjanjian pokoknya ? Dalam pengertian, bukankah batalnya perjanjian pokok maka secara otomatis menyebabkan batal pula perjanjian assessornya ? Ibaratnya perjanjian pokok sebagai “lokomotip” sedangkan perjanjian arbitrase sebagai “gerbong”nya. Maka apabila lokomotipnya tidak jalan, apakah gerbongnya tetap jalan ? ARBITRASE/BRW/FHUA/08

123 3. PRIVATE & CONFIDENTIAL :
Pasal 27 : “Semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup”. Prinsip ini merupakan daya tarik utama arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis, karena para pihak sejatinya tidak menginginkan publikasi terhadap persona, substansi, proses, obyek sengketa. Terjadinya publikasi dikuatirkan justru dapat merugikan nama baik dan berbagai kepentingan para pihak lainnya. Prinsip ini merupakan “pekecualian” terhadap prinsip “sidang terbuka untuk umum” yang berlaku dalam proses peradilan; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

124 AUDI ET ALTERAM PARTEM :
Pasal 29 : Para pihak yang bersengketa mempunyai hak & kesempatan yg sama dalam mengemukakan pendapat dalam proses arbitrase (audi et alteram partem). Hal ini merupakan wujud prinsip keadilan dan keseimbangan (justice & fairness) dalam proses arbitrase. Arbitrator/Majelis arbitrase wajib mendengar keterangan para pihak yang bersengketa, serta memberikan kesempatan yang sama kepada mereka untuk menggunakan hak dan kewajibannya dalam proses arbitrase. Prinsip ini juga merupakan prinsip umum penyelenggaraan Peradilan pada umumnya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

125 5.LIMITASI WAKTU PROSES ARBITRASE
Proses arbitrase dibatasi waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk (ps. 48 ayat 1). Perpanjangan waktu oleh arbiter atau majelis arbitrase dapat dilakukan atas persetujuan para pihak (ps. 38 ayat 2 jo. Ps. 33). SANKSI : dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya kerugian yang diakibatkan karena keterlambatan tersebut kepada para pihak (Pasal 21). Oleh karena itu, seorang calon arbiter harus mengukur kemampuannya apakah sanggup menyelesaikan sengketa dalam koridor waktu yang telah ditentukan. Sebaliknya ketika telah bersedia ditunjuk sebagai arbiter, maka ia harus melakukan manajemen waktu sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

126 5.LIMITASI WAKTU PROSES ARBITRASE
CATATAN : dibandingkan dengan proses peradilan, maka secara teoritis maupun secara normatif waktu dalam proses arbitrase relatif lebih cepat. Selain dibatasi dalam waktu 180 hari, juga putusannya bersifat final & binding. Sedangkan terhadap putusan Pengadilan masih terbuka dimohonkan banding dan kasasi. Apabila diperlukan penambahan waktu, maka harus ada persetujuan para pihak, oleh karena hal itu akan berdampak pada bertambahnya biaya-biaya yang harus ditanggung oleh para pihak. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

127 Perpanjangan Waktu Proses Arbitrase (Ps. 33 UU 30/1999);
Arbitrator/majelis arbitrase berwenang memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila : diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu atau sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lain nya; atau memang dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan. Perpanjangan waktu diperlukan, mengingat kompleksitas perkara yang diperiksa, sehingga tidak meungkinkan diputus dalam waktu 180 hari. Namun perpanjangan waktu tetap harus mendapatkan persetujuan para pihak berperkara, mengingat perpanjangan waktu beresiko pada biaya-biaya yang harus dipikul para pihak berperkara itu sendiri. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

128 ACARA ARBITRASE Secara umum, prosedur dan proses beracara di forum arbitrase (UU 30/1999) memiliki berbagai kesamaan dengan beracara di forum peradilan (HIR atau RBG). Kecuali hal2 tertentu yang memang merupakan ciri khas arbitrase, antara lain berlakunya prinsip otonomi para pihak untuk memilih forum, memilih hukum, memilih bahasa, memilih arbiter, prinsip private & confidential, prinsip final & binding putusan arbitrase, prinsip resiprositas, eksekutabilitas putusan arbitrase internasional, dll. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

129 ACARA ARBITRASE (1) (pasal 27 s/d 51)
Pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup (ps. 27). Bahasa yg digunakan dalam proses arbitrase adalah Bahasa indonesia, kecuali digunakan bahasa lain (ps.28). Para pihak memiliki hak dan kesempatan yg sama dalam mengemukakan pendapat masing2 (ps. 29 ayat 1). Para pihak yang bersengketa dapat diwakili kuasa dengan surat kuasa khusus (ps. 29 ayat 2); ARBITRASE/BRW/FHUA/08

130 ACARA ARBITRASE (2) Pihak ke-3 di luar perj. arbitrase dapat turut serta menggabungkan diri dalam proses arbitrase, apabila terdapat kepent yg terkait, dan disepakati para pihak yg bersengketa, serta disetujui arbitrator atau majelis arbitrator (ps. 30); Para pihak dalam perjanjian yang tegas & tertulis bebas menentukan acara arbitrase, sepanjang tidak bertentangan dg UU 30/1999 (ps. 31 ayat 1). Apabila para pihak tidak menentukan sendiri acara arbitrase, maka acara arbitrase diselenggarakan menurut UU 30/1999 (ps. 31 ayat 2). Para pihak dapat sepakat memilih acara arbitrase, maka harus ada kesepakatan tentang jangka waktu dan tempat arbitrase (ps.31 ayat 3). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

131 ACARA ARBITRASE (3) Pasal 32 ayat (1) : Atas permohonan salah stau pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa, termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak. Pasal 32 ayat (2) : Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. Penjelasan Pasal 32 : cukup jelas. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

132 ACARA ARBITRASE (4) CATATAN :
Kata-kata “dapat” pada Pasal 32 ayat (1) menunjuk kan bahwa arbiter atau majelis arbitrase secara tentative dapat mengabulkan atau menolak permohonan provisionil, atau putusan sela, termasuk sita jaminan, penitipan barang kepada pihak ketiga, atau penjualan barang yang mudah rusak, yang diajukan pihak berperkara. Hal tersebut bergantung pada alasan dan urgensi permohonan yang diajukan oleh pemohon. Adapun jangka waktu pelaksanaan ayat (1), tidak dihitung dalam jangka waktu 180 hari proses arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 48. Dengan kata lain, diluar jangka waktu 180 hari tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

133 ACARA ARBITRASE (5) Pasal 34 ayat (1) : Para pihak berdasarkan kesepakatan dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase nasional atau arbitrase internasional. Pasal 34 ayat (2) : Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Penjelasan Pasal 34 ayat (2) : memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

134 ACARA ARBITRASE (6) Pasal 35 : Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. CATATAN : Terkait dengan kemungkinan dokumen atau bukti yang diajukan ditulis dalam bahasa berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase. (Vide Pasal 28). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

135 ACARA ARBITRASE (7) Pasal 36 ayat (1) : Pemeriksaan arbitrase terhadap sengketa harus dilakukan secara tertulis. Pasal 36 ayat (2) : Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. CATATAN : Pada umumnya proses arbitrase berlangsung secara tertulis, dimaksudkan agar proses jawab menjawab terdokumentasikan dalam berkas perkara. Mirip dengan proses peradilan perdata melalui proses jawab jinawab, repik, duplik, kesimpulan, dstnya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

136 ACARA ARBITRASE (8) Pasal 37 Ayat (1) : Tempat arbitrase ditentukan arbiter atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak. Ayat (2) : Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan; CATATAN : Norma pada ayat (1) : para pihak berhak memilih dan menentukan tempat arbitrase, namun apabila hal itu tidak dilakukan maka arbiter atau majelis arbitrase yang memilih dan menentukannya. Norma pada ayat (2) : arbiter atau majelis arbitrase mendengar langsung keterangan saksi, atau mengadakan pertemuan dengan saksi diluar tempat arbitrase diadakan. Tidak jelas, apakah pertemuan dengan saksi tersebut dimaksudkan dalam konteks pemeriksaan perkara ? ARBITRASE/BRW/FHUA/08

137 ACARA ARBITRASE (9) Pasal 37 ayat (3) : Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Ayat (4). Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa……..”. CATATAN : Norma ayat (3) : Menurut Hukum Acara Perdata (HIR) jo. Pasal 49 ayat (3) UU No.30/1999, saksi wajib datang, mengangkat sumpah, memberikan keterangan yang benar sesuai pengetahuan dan pendengarannya sendiri (saksi fakta), atau sesuai dengan pengalaman dan keahliannya (saksi ahli). Norma ayat (4) : pemeriksaan setempat dilakukan atas inisiatif arbiter atau majelis arbitrase, atau atas permohonan pihak bersengketa, di tempat dimana barang sengketa berada. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

138 ACARA ARBITRASE (10) Pasal 38 ayat (1) : Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. Ayat (2) : Surat tuntutan minimal harus memuat : > nama lengkap & tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak; > uraian singkat sengketa disertai lampiran bukti2; > isi tuntutan yang jelas. Catatan : Hal tersebut mirip dengan format dan substansi surat gugatan dalam proses peradilan perdata. Tuntutan diajukan secara tertulis minimal harus memuat identitas para pihak bersengketa, posita (fundamentum petendi) maupun petitum (tuntutan yang diajukan). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

139 ACARA ARBITRASE (11) Pasal 39 : Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada Termohon, disertai dengan perintah bahwa Termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban tertulis paling 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon. Pasal 40 ayat (1) : Segera setelah diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon; Ayat (2) : Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasanya menghadap sidang arbitrase, yang di tetapkan paling lama 14 hari terhitung mulai dikeluarkannya perintah itu. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

140 ACARA ARBITRASE (12) CATATAN :
Norma yang terkandung dalam Pasal 39 dan 40 : jawaban Termohon atas tuntutan Pemohon, dibatasi paling lama 14 hari sejak menerima salinan tuntutan tersebut. Kemudian arbiter atau majelis arbitrase menyerahkan jawaban Termohon kepada Pemohon. Selanjutnya arbiter atau majelis arbitrase memerintahkan para pihak atau kuasanya agar hadir dalam sidang arbitrase paling lama 14 hari terhitung mulai dikeluarkannya perintah itu. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

141 ACARA ARBITRASE (13) Pasal 41 : Dalam hal Termohon setelah lewat 14 hari tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2). Catatan : Norma yang terkandung dalam Pasal 41, apabila Termohon tanpa alasan yang sah tidak menyampaikan jawabannya dalam waktu 14 hari, maka Termohon akan dipanggil lagi menghadap sidang dalam waktu paling lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkan perintah itu. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

142 ACARA ARBITRASE (14) Pasal 42 : Termohon dalam sidang pertama dapat mengajukan tuntutan balasan/ rekonpensi. Terhadap tuntutan balasan/rekonpensi diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok perkara. CATATAN Subtansi ketentuan tersebut mirip dengan proses peradilan perdata di Pengadilan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

143 ACARA ARBITRASE (15) Pasal 43 :
Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) Pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. CATATAN : Norma pasal 43 : Pemohon tanpa alasan sah tidak datang menghadap sidang meskipun telah dipanggil secara patut, maka Pemohon dianggap tidak serius dalam tuntutannya. Maka tuntutan Pemohon dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Proses perkara dihentikan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

144 ACARA ARBITRASE (16) Pasal 44 ayat (1) : Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Ayat (2) : Paling lama 10 hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. CATATAN ; Norma yang terkandung, Termohon tanpa alasan sah dianggap mengabaikan panggilan sidang, oleh karena itu sidang dilanjutkan tanpa kehadiran Termohon. Arbiter atau Majelis Arbitrase dalam putusannya (Verstek) akan mengabulkan tuntutan Pemohon, kecuali apabila tuntutan Pemohon tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Hal ini mirip dengan proses peradilan perdata di Pengadilan Negeri. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

145 ACARA ARBITRASE (17) Pasal 45 ayat (1) : dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Ayat (2) : dalam hal usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Catatan : Sebagaimana dalam peradilan perdata, maka penyelesaian damai harus dikedepankan. Apabila para pihak berhasil didamaikan, maka sengketa dinyatakan selesai, para pihak diperintahkan menjalankan akta perdamaian yang bersifat final dan mengikat. Kalau perdamaian di muka Pengadilan para pihaklah yang menyusun dan menandatangani akta perdamaian, namun pada perdamaian di muka arbitrase yang membuat akta perdamaian adalah arbiter atau majelis arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

146 ACARA ARBITRASE (18) Pasal 46 ayat (1) : Pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak berhasil. Ayat (2) : Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing2 serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Ayat (3) : Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter atau majelis arbitrase. CATATAN : Norma yang terkandung Pasal 46, apabila perdamaian tidak berhasil, maka persidangan tetap dilanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan pendirian masing2 disertai bukti yang dipandang perlu. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

147 ACARA ARBITRASE (19) Pasal 47 ayat (1) : Sebelum ada jawaban dari Termohon, Pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Ayat (2) : Dalam hal sudah ada jawaban dari Termohon, perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan Termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. CATATAN Norma yang terkandung pada ayat (1), pencabutan tuntutan dapat dilakukan secara sepihak oleh Pemohon sepanjang belum ada jawaban Termohon. Norma ayat (2) : Apabila Termohon sudah mengajukan jawabannya, maka pencabutan tuntutan oleh Pemohon tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan termohon. Perubahan dan penambahan tuntutan hanya diperbolehkan apabila hanya menyangkut fakta, bukan menyangkut dasar hukum permohonan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

148 ACARA ARBITRASE (20) CATATAN :
Pasal 48 ayat (1) : Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Ayat (2) : dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai ketentuan pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang. CATATAN : Norma yang terkandung ayat (1) merupakan prinsip limitasi waktu, artinya putusan arbitrase harus dijatuhkan dalam waktu 180 hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Mengandung prinsip efisiensi penggunaan waktu. Norma yang terkandung ayat (2) membuka kemungkinan perpanjangan waktu, dengan catatan hal itu sebelumnya telah disetujui oleh para pihak bersengketa. Karena perpanjangan waktu akan berdampak bagi para pihak itu sendiri, baik dari segi waktu maupun biaya-biaya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

149 ACARA ARBITRASE (21) Pasal 49 ayat (1) : Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangan. Ayat (2) : Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi dan saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. Ayat (3) : sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah. CATATAN : Norma yang terkandung Pasal 49, saksi atau saksi ahli dihadirkan atas perintah arbiter/majelis arbitrase atau permintaan para pihak bersengketa. Biaya pemanggilan saksi menjadi kewajiban pihak yang meminta. Saksi dan saksi ahli wajib mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan di muka sidang arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

150 ACARA ARBITRASE (22) Pasal 50 ayat (1) : Arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa. Ayat (2) : Para pihak wajib memberikan keterangan yang diperlukan oleh para saksi ahli; Ayat (3) : Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, Ayat (4) : Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

151 ACARA ARBITRASE (23) CATATAN Pasal 50 :
Ayat (1) mengandung norma, bahwa arbiter atau majelis arbitrase secara tentative dapat meminta “legal opinion” kepada saksi ahli mengenai suatu persoalan khusus terkait pokok sengketa; Ayat 2 mengandung norma, bahwa para pihak wajib memberikan keterangan yang diperlukan saksi ahli. Hal ini bedanya dengan proses peradilan, bahwa dalam proses peradilan, pihak yang meminta keterangan kepada saksi ahli adalah pihak berperkara. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

152 ACARA ARBITRASE (24) CATATAN Pasal 50 :
Ayat (3) mengandung norma, melalui arbiter atau majelis arbitrase, para pihak bersengketa diberikan kesempatan menanggapi secara tertulis terhadap “legal opinion” yang telah diberikan oleh saksi ahli. Ayat (4) mengandung norma, atas permintaan pihak berkepentingan, apabila terdapat hal yang kurang jelas menyangkut “legal opinion” tersebut, maka saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang, dengan dihadiri para pihak atau kuasanya. Para pihak bersengketa, dalam sidang, dapat meminta konfirmasi atas “legal opinion” saksi ahli tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

153 ACARA ARBITRASE (25) Pasal 51 : “Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris”. CATATAN : Ketentuan tersebut mengandung norma, bahwa sekretaris (panitera) berkewajiban untuk mencatat dan membuat berita acara tentang jalannya kegiatan pemeriksaan maupun sidang arbitrase. Fungsi berita acara arbitrase sangat penting, hal itu tidak saja berfungsi sebagai dokumentasi pemeriksaan perkara, melainkan juga sebagai bahan bagi arbiter atau majelis arbitrase dalam membuat putusan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

154 PENDAPAT MENGIKAT DAN PUTUSAN ARBITRASE BERSIFAT FINAL & BINDING
Para pihak dalam suatu perjanjian arbitrase berhak untuk memohon pendapat mengikat (bindend advies/binding opinion) dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian (Ps. 52). Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum (Ps. 53). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

155 Penjelasan Pasal 52, mengenai Pendapat Mengikat.
Tanpa adanya suatu sengketapun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya penafsiran ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain2. CATATAN : Dengan telah diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut, maka kedua belah pihak terikat padanya. Oleh karena itu wajib mentaati. Apabila salah satu pihak bertindak bertentangan dengan pendapat mengikat tersebut akan dianggap sebagai tindakan yang melanggar perjanjian. Persoalannya apakah “pendapat mengikat” memiliki kekuatan eksekutorial ? ARBITRASE/BRW/FHUA/08

156 PUTUSAN ARBITRASE (1) Pasal 54 ayat (1), harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; b. Nama lengkap dan alamat para pihak; c. Uraian singkat sengketa; d. Pendirian para pihak; e. Nama lengkap dan alamat arbiter; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

157 i. tempat dan tanggal putusan;
f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; h. amar putusan; i. tempat dan tanggal putusan; j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

158 PUTUSAN ARBITRASE (2) Pasal 54 ayat (2) : “Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan”; Pasal 54 ayat (3) : “Alasan tentang tidak adanya tandatangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan” Pasal 54 ayat (4) : “Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

159 PUTUSAN ARBITRASE (3) CATATAN :
Pasal 54 ayat (1), mengandung norma yang bersifat memaksa (dwingend), dalam pengertian bahwa semua unsur harus termuat dalam putusan arbitrase. Secara umum unsur2 tersebut mirip dengan unsur2 dalam putusan Pengadilan. Kecuali unsur “e”, tentang alamat arbiter yang juga harus dicantumkan dalam putusan arbitrase. Pasal 54 ayat (2) dan (3), mengandung norma, bahwa meskipun salah seorang arbiter karena sakit atau meninggal dunia sehingga tidak mampu menandatangani putusan arbitrase, namun hal itu tidak mengurangi kekuatan berlaku putusan arbitrase. Namun dalam putusan tetap harus dicantumkan alasan tidak ditandatanganinya putusan tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

160 PUTUSAN ARBITRASE (4) Pasal 55 : “Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase” jo. Pasal 57 : “Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup”. Catatan : Ketentuan ini mengandung norma, bahwa sidang pembacaan putusan arbitrase ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase setelah proses pemeriksaan perkara telah dinyatakan selesai, yakni maksimal 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

161 DISSENTING OPINION Ps. 54 (1) huruf “g”;
Putusan arbitrase dapat dijatuhkan secara aklamasi, namun apabila terjadi perbedaan pendapat diantara arbiter, maka putusan dijatuhkan melalui voting; Putusan arbitrase yang dijatuhkan berdasarkan voting harus memuat pendapat arbiter (minoritas) yang melakukan pendapat berbeda (dissenting opinion); Dissenting opinion merupakan wujud demokratisasi dan transparansi proses pengambilan putusan, dimana masing-masing arbiter memiliki kedudukan, peran, maupun hak dan kewajiban yang setara antara satu dengan yang lain; Pemuatan dissenting opinion dalam putusan arbitrase sekaligus merupakan pertanggungjawaban kualitas arbiter maupun kualitas putusan arbitrase; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

162 PUTUSAN BERDASARKAN HUKUM ATAU EX AEQUO ET BONO;
Ps. 56 Ayat (1) : Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Ayat (2) : “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

163 PUTUSAN BERDASARKAN HUKUM ATAU EX AEQUO ET BONO;
Catatan : Yang dimaksud dengan putusan berdasarkan “hukum” adalah hukum pilihan para pihak (bila ada pilihan hukum), atau hukum yang dipilih/digunakan oleh arbiter, yakni hukum di tempat arbitrase diadakan (bila para pihak tidak melakukan pilihan hukum). Penerapan ex aequo et bono dalam putusan arbitrase mengenyampingkan penerapan peraturan perundang-undangan, kecuali hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) tidak dapat disimpangi, melainkan harus tetap diterapkan dalam putusan. Penerapan hukum atau ex aequo et bono harus didasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak telebih dahulu. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

164 PUTUSAN BERDASARKAN HUKUM ATAU EX AEQUO ET BONO;
CATATAN : Mirip dengan proses peradilan perdata di Pengadilan, Penggugat dalam gugatannya secara sepihak dapat mengajukan petitum yang bersifat alternatif, yakni petitum primer (berisi sejumlah tuntutan), serta petitum subsider berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Kalau pada proses peradilan, petitum primer dan petitum subsider dapat diajukan secara simultan - kumulatif. Adapun pada proses arbitrase, apakah putusan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan e x qequo et bono, selain harus diperjanjian, juga diajukan secara alternatif. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

165 KOREKSI PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 58 : “Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan”. CATATAN : Ketentuan ini mengandung norma, bahwa terhadap putusan arbitrase yang sudah diterima masih terbuka kemungkinan diajukan permohonan koreksi atas kekeliruan administratif maupun untuk menambah atau mengurangi tuntutan putusan. Berbeda dengan peradilan perdata, terhadap putusan yang telah dibacakan dalam sidang, sudah tidak mungkin lagi dimohonkan penambahan atau pengurangan tuntutan. Kecuali apabila terjadi kekeliruan adimistratif yang bersifat redaksional, maka hal itu mungkin saja dikoreksi melalui renvooi putusan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

166 PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
Pasal 59 Ayat (1) : “Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri”; Ayat (2) : “Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran”; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

167 PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
Ayat (3) : “Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri”; Ayat (4) : “Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan; Ayat (5) : “Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak”. Catatan : Norma yang terkandung ayat (1) jo. ayat (4) bersifat imperatif, bila dilanggar maka putusan arbitrase menjadi non eksekutabel. Atas kelalaian arbiter atau majelis arbitrase atau kuasanya tersebut, maka pihak yang menang dalam putusan jelas akan merasa sangat dirugikan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

168 FINAL & BINDING PUTUSAN ARBITRASE
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (ps.60).Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan PERINTAH KETUA PENGADILAN NEGERI atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (ps.61). CATATAN : Putusan arbitrase memiliki kekuatan final & mengikat sejak dibacakan dan diberitahukan kepada pihak-pihak berperkara. Putusan arbitrase merupakan putusan tingkat satu-satunya dan terakhir. Tidak terdapat proses banding atau kasasi sebagaimana proses peradilan perdata. Karena itu, secara teoritis, proses arbitrase lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan proses peradilan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

169 CATATAN Pasal 60 & 61 Idealnya suatu putusan arbitrase dijalankan secara sukarela disertai itikad baik oleh pihak yang dikalahkan, mengingat para pihaklah yang memilih forum arbitrase, hukum, tempat, arbiter, bahasa dll, serta memahami sifat “final & binding”nya putusan arbitrase. Namun apabila putusan arbitrase tidak dijalankan secara sukarela, maka Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pihak berperkara, berwenang memerintahkan eksekusi putusan arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

170 PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (Pasal 70)
Pasal 70 mengatur tentang dapat dibatalkannya putusan arbitrase, melalui permohonan yang diajukan oleh para pihak, dengan alasan putusan arbitrase mengandung unsur2 sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

171 PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Penjelasan Pasal 70 : Permohonan pembatalan HANYA DAPAT diajukan terhadap putusan arbitrase yang SUDAH DIDAFTARKAN DI PENGADILAN. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini HARUS DIBUKTIKAN dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka PUTUSAN PENGADILAN INI DAPAT DIGUNA KAN SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN BAGI HAKIM UNTUK MENGABULKAN ATAU MENOLAK PERMOHONAN. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

172 CATATAN TERHADAP PASAL 70
Apakah terdapat “konflik norma” antara Pasal 60 tentang Asas Putusan Arbitrase bersifat Final & Binding dengan Pasal 70 tentang Asas “Dapat Dibatalkannya” Putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri berdasarkan alasan alasan limitatif tertentu ?. Pada satu pihak pasal 60 mengatur bahwa putusan arbitrase bersifat final & binding, namun mengapa pasal 70 justru membuka kemungkinan dapat dibatalkannya putusan arbitrase melalui Pengadilan Negeri ? Hal tersebut pada dasarnya menyangkut persoalan antara tuntutan “kepastian hukum” dan “keadilan”, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

173 CATATAN TERHADAP PASAL 70
Pasal 70 s/d 72 mengatur bahwa upaya hukum pembatalan putusan arbitrase diajukan dalam bentuk “permohonan”. Penggunaan istilah “permohonan” kurang tepat, oleh karena i.c. bukan semata-mata bersifat voluntaria. Lebih tepat digunakan istilah gugatan pembatalan (contentiosa). Mengingat terdapat kepentingan pihak lain i.c. pihak yang menang dalam putusan arbitrase yang juga harus diberikan kesempatan untuk menjawab/menanggapi dalil-dalil “permohonan” a quo. Istilah tersebut sebagaimana digunakan dalam perkara antara Pertamina (Penggugat) vs Karaha Bodas Company (Tergugat) dan PLN (Turut Tergugat). Putusan Mahkamah Agung RI No.01/BANDING / WASIT-INT/2002 tanggal 8 Maret 2002 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.86/Pdt.G/2002 tanggal 27 Agustus 2002 (dimuat dalam Varia Peradilan, No.233, Pebruari 2005). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

174 CATATAN TERHADAP PASAL 70
Secara a contrario, permohonan pembatalan tidak dapat diajukan sebelum putusan arbitrase telah didaftarkan secara resmi ke Pengadilan oleh arbiter atau kuasanya; Apabila menyangkut alasan “a” dan/atau “c”, maka Pemeriksaan Pengadilan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase MENUNGGU putusan Pengadilan Pidana berkekuatan tetap. Apabila menyangkut alasan “b” (Novum), maka Pemeriksaan Pengadilan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat secara langsung dijalankan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

175 CATATAN TERHADAP PASAL 70
5. Secara kasuistis, permohonan pembatalan putusan arbitrase memang didasarkan pada alasan2 dan bukti2 yang kuat, sehingga sifat “final & binding” putusan arbitrase harus dipahami secara “lentur” dan “kontekstual” dengan alasan2 pembatalan dalam Pasal 70; 6. Namun, yang sering terjadi permohonan pembatalan Putusan Arbitrase diajukan dengan “itikad buruk Termohon Eksekusi” yakni sekedar untuk “mengganjal” eksekusi putusan arbitrase ? Dengan alasan bahwa putusan arbitrase tersebut mengandung alasan2 pembatalan sebagaimana dimaksud Pasal 70 UU 30/1999. Misalnya dengan membuat laporan pidana ke Polisi, dengan alasan Pasal 70 huruf “a” dan/atau “c”. Padahal proses pidana mulai dari laporan polisi s/d putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk membuktikan alasan Pasal 70 huruf “a” da/atau “c” tersebut memerlukan waktu bertahun-tahun. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

176 CATATAN TERHADAP PASAL 70
7.Bagaimana Ketua Pengadilan seharusnya menyikapi persoalan tersebut ? a. Apakah eksekusi ditangguhkan dengan alasan adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase ? Jadi harus menunggu adanya putusan Pengadilan pidana berkekuatan tetap menyangkut Pasal 70 huruf “a” dan/atau “c”. b. Ataukah eksekusi putusan arbitrase tetap dijalankan meskipun terdapat permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan ke Pengadilan Negeri ? c. Ketua Pengadilan Negeri memiliki wewenang diskresioner untuk menangguhkan eksekusi atau tetap menjalankan eksekusi yang harus dipertimbangkan secara kasuistis (bukan generalisasi) dengan cermat dan hati-hati terhadap segala resiko dan akibat hukum di kemudian hari dari penggunaan wewenang diskresionernya tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

177 PROSEDUR PERMOHONAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (Pasal 71)
Pasal 71 : “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu PALING LAMA 30 HARI terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Penjelasan Pasal 71 : “cukup jelas”. Konsekuensinya, rumusan redaksional ketentuan Pasal 71 harus dibaca secara tekstual sesuai dengan rumusannya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

178 CATATAN TERHADAP PASAL 71
Tenggang waktu 30 hari bersifat imperatif (harus). Permohonan yang diajukan lewat 30 hari, dianggap “lampau waktu” dan Pengadilan Negeri harus menyatakan permohonan pembatalan “tidak dapat diterima”. Persoalannya adalah, inisiatip siapakah penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri tersebut ? Bertolak dari Pasal 59 (1), jo. Pasal 67 (1) maka penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase merupakan kewajiban arbiter atau kuasanya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

179 CATATAN TERHADAP PASAL 71
Persoalannya berikutnya adalah bagaimana apabila yang berinsiatif menyerahkan dan mendaftarkan putusan arbitrase itu bukan arbiter atau kuasanya, melainkan atas inisiatif pihak berperkara ? Apakah tindakan tersebut dilarang ? Periksa kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company di Pengadilan Jakarta Pusat, dimana yang mendafatrkan putusan arbitrase Jenewa bukan arbiter atau kuasanya, melainkan kuasa hukum Pertamina, selaku pihak yang berperkara dan dikalahkan dalam putusan Arbitrase Jenewa. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

180 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 72 ayat (1) : Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. CATATAN : Mengandung norma, bahwa yang berwenang membatalkan putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri di tempat kedudukan Termohon (Vide Pasal 1 ke- 4 UU 30/1999). Pasal 72 ayat (2) : Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. CATATAN : Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat hukum pembatalan putusan arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

181 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
(3). Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima; (4). Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; CATATAN : - ayat 3 menetapkan norma terkait limitasi waktu (max 30 hari) bagi Ketua PN untuk memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan Pemohon; - ayat 4 menetapkan norma bahwa terbuka upaya banding ke MA (tingkat pertama & terakhir) terhadap putusan KPN atas permohonan pembatalan putusan arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

182 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
(5). Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. CATATAN : mengandung norma terkait limitasi waktu (max 30 hari) bagi MA untuk memutus permohonan banding terhadap putusan KPN atas permohonan pembatalan putusan arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

183 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Penjelasan Pasal 72. Ayat (1), (3), (5) : cukup jelas. Ayat (2) : “Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan melalui arbitrase”. Ayat (4) : “Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

184 OBYEK PEMBATALAN : PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DAN/ ATAU PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ?
Timbul pertanyaan, apakah kewenangan pembatalan oleh Pengadilan Negeri meliputi putusan arbitrae nasional maupun arbitrase internasional ? Mengingat pasal 70 tidak secara tegas mengatur hal tersebut. Menurut teori jurisdiksi, berlaku ketentuan bahwa jurisdiksi pengadilan nasional terbatas di wilayah negara yang bersangkutan dan tidak berlaku di wilayah negara lain. Bertolak dari teori tersebut, maka kewenangan Pengadilan Negeri membatalkan putusan arbitrase terbatas hanya terhadap putusan arbitrase nasional yang bersangkutan. Adapun pembatalan putusan arbitrase internasional merupakan wewenang Pengadilan di negara dimana putusan arbitrase internasional itu dijatuhkan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

185 OBYEK PEMBATALAN : PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DAN/ ATAU PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ?
Periksa pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI No.01/BANDING/WASIT-INT/2002 tanggal 8 Maret 2002 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.86/Pdt.G/2002 tanggal 27 Agustus 2002, dalam perkara antara Pertamina (Penggugat) vs Karaha Bodas Company (Tergugat) dan PLN (Turut Tergugat). Dalam VARIA PERADILAN, No. 233, Pebruari 2005. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinyatakan tidak berwenang membatalkan putusan arbitrase Jenewa tersebut. Yang berwenang Pengadilan di Negara dimana putusan arbitrase a quo dijatuhkan i.c. Pengadilan Swiss. Pertimbangan didasarkan pada ketentuan Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958 bahwa : “The award has not yet become binding on the parties,or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made” (garis bawah oleh BRW). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

186 RELIGIUSITAS PUTUSAN ARBITRASE DI INDONESIA;
Putusan arbitrase di Indonesia harus memuat irah-irah : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” (ps. 54 ayat 1); Merupakan ciri khas arbitrase di Indonesia. Irah2 memberikan kek. Eksekutorial putusan arbitrase. Sebagai pertanggungjawaban etis religius arbiter/ majelis arbitrase kepada Tuhan YME terhadap putusan yang dijatuhkannya. Namun ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan untuk menilai putusan arbitrase asing yang dimohon kan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun suatu putusan Arbitrase Asing yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia, tidak mencantumkan irah-irah tersebut, namun hal itu tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menolak memberikan pengakuan dan pelaksanaan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

187 NON INTERVENSI PENGADILAN
PN tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (ps. 3); PN wajib menolak & tidak campur tangan di dalam peny. sengketa yg telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI dalam hal hal tertentu yang ditetapkan dalam UU ini. ps 11 ayat (2); CATATAN : Pasal 3 jo. 11 ayat (2) secara imperatif mengatur tentang KETIDAKBERWENANGAN & LARANGAN CAMPUR TANGAN Pengadilan Negeri terhadap perkara yang oleh para pihak telah disepakati akan diselesaikan melalui Arbitrase. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

188 NON INTERVENSI PENGADILAN
Oleh karena itu, apabila salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase mengajukan perkara a quo ke PN, maka PN secara “ex officio”, berdasarkan pasal 134 HIR, lebih dahulu wajib memeriksa kompetensi absolut atas perkara tsb, tanpa bergantung ada/tidaknya eksepsi Tergugat; PN dalam putusan sela memutuskan apakah berwenang absolut mengadili atau tidak berwenang absolut mengadili. Apabila menyatakan berwenang mengadili maka pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan; Apabila menyatakan tidak berwenang mengadili, PN menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet onvangkelijk verklaard) dan menghentikan pemeriksaan terhadap pokok perkara, ARBITRASE/BRW/FHUA/08

189 PN SEBAGAI “SUPPORTING INSTITUTIONS” TERHADAP PROSES ARBITRASE
Peran PN sebagai “state court” diperlukan untuk mengatasi “kebuntuan prosedural” yang mungkin terjadi dalam proses arbitrase, antara lain : PN berwenang menunjuk arbitrator (ps. 13, ps. 14 ayat 3 dan 4, ps. 15 ayat 4, ps 19 ayat 4). PN berwenang mengadili gugatan hak ingkar terhadap arbitrator (ps. 22 s/d 25); PN berwenang mengeksekusi putusan arbitrase : > arbitrase nasional (ps. 59 s/d 64); > arbitrase internasional (ps. 65 s/d 69). PN berwenang membatalkan putusan arbitrase berdasarkan alasan limitatif (ps. 70 s/d 72); ARBITRASE/BRW/FHUA/08

190 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DAN INTERNASIONAL DI INDONESIA
Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri di tempat kedudukan Termohon Eksekusi (Vide Pasal 59 jo. Pasal 1 ke 4) Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Vide Pasal 65). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

191 EKSEKUTABILITAS PUTUSAN ARBITRASE;
Putusan arbitrase seharusnya dijalankan suka rela, karena para pihak berdasarkan perjanjian yang telah memilih forum (arbitrase), hukum, tempat, bahasa, arbitrator; Bila putusan tidak dipenuhi sukarela, maka putusan arbitrase dapat dimohonkan eksekusinya melalui PN setempat (ps. 61); Kewenangan eksekusi Putusan arbitrase nasional oleh PN tempat kedudukan termohon (ps. 61 s/d 64 jo. ps. 1 ke-4); Kewenangan eksekusi Putusan arbitrase internasional di Indonesia oleh PN Jakarta Pusat (ps. 65) jo. PERMA 1/1990; Secara teknis, eksekusi dapat didelegasikan ke PN tempat kedudukan obyek sengketa; Hukum acara eksekusi tidak diatur UU 30/1999, melainkan diatur dalam HIR/RIB atau RBG/RDS serta ketentuan lainnya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

192 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
KEDUDUKAN KPN BERSIFAT STRATEGIS Apabila putusan arbitrase yang dimohonkan eksekusi, dinilai oleh KPN tidak memenuhi syarat Ps. 4 dan 5, serta dinilai bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka permohonan eksekusi ditolak. Terhadap penolakan tersebut bersifat final dan tertutup upaya hukum apapun (ayat 3). CATATAN : Dalam persoalan ini, kedudukan KPN sangat strategis dalam melakukan penilaian tersebut. Untuk menghindarkan subyektifitas penilaian, penilaian tsb hendaknya disertai argumentasi hukum yang cermat. Mengingat apabila KPN menolak eksekusi putusan arbitrase dengan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka penolakan tersebut bersifat final dan menutup upaya hukum apapun. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

193 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
KEDUDUKAN KPN BERSIFAT STRATEGIS KPN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase (ayat 4). Artinya KPN tidak berwenang untuk memeriksa dan menilai substansi putusan arbitrase. Kewenangan KPN sebatas apakah menerima ataukah menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase. CATATAN : Norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut, alasan dan pertimbangan putusan arbitrase merup “ranah kompetensi” arbiter atau majelis arbitrase. Karena itu, KPN tidak wenang memeriksa alasan dan pertimbangan yang dipergunakan oleh arbiter atau majelis arbitrase dalam menjatuhkan putusannya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

194 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
Idealnya putusan arbitrase dijalankan dengan itikad baik dan secara sukarela oleh pihak bersengketa, mengingat para pihaklah yang melakukan pilihan forum arbitrase, pilihan tempat, pilihan hukum, pilihan arbitrator, pilihan bahasa. Apapun putusan arbitrase sepatutnya diterima secara lapang dada dan itikad baik oleh pihak bersengketa, khususnya pihak yang dikalahkan; Namun, Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang melaksanakan putusannya sendiri, karena selain kedudukannya sebagai non state court, juga tidak memiliki alat perlengkapan eksekusi (jurusita, dll). Wewenang eksekusi putusan arbitrase dilimpah kan ke Pengadilan Negeri dan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Ps. 61). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

195 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
Perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri diberikan waktu 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera PN (ayat 1). Persoalannya, adalah SIAPA YANG BERWENANG DAN BERKEWAJIBAN MENDAFTARKAN PUTUSAN ARBITRASE ? Dikaitkan dengan Ps. 59 (1), pihak yang berwenang menyerahkan dan mendafarkan putusan arbitrase ke adalah arbiter atau kuasanya, dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak putusan diucapkan dengan menyerahkan lembaran asli atau salinan otentik putusan arbitrase. Apakah hal itu mengandung pengertian bahwa pihak berperkara atau kuasanya dilarang mendaftarkan putusan arbitrase ? ARBITRASE/BRW/FHUA/08

196 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, KPN memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan 5 serta apakah tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. (ayat 2). Apa yang dimaksud dengan Pasal 4 dan 5 cukup jelas, namun mengenai apa yang dimaksud dengan “kesusilaan dan ketertiban umum” masih memerlukan interpretasi secara kasusistis; Di tiap negara memiliki prinsip dan konsep “ketertiban umum” (public policy, public order, openbare orde, orde publique), namun substansinya bisa berbeda satu dengan yang lain, juga berbeda antara suatu waktu dengan waktu yang lain (berubah dinamis). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

197 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
Perintah KPN ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase (ps. 63). Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah KPN dilaksanakan sesuai pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Ps. 64). CATATAN : prosedur eksekusi putusan arbitrase dilakukan sebagaimana eksekusi putusan perdata PN yang telah berkekuatan hukum tetap dengan mengacu ketentuan HIR/RIB atau RBG/RDS serta peraturan terkait lainnya. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

198 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Dibandingkan dengan eksekusi putusan arbitrase nasional, maka eksekusi putusan arbitrase internasional memiliki dimensi yang lebih kompleks menyangkut masalah pengaturan hukum, prosedur dan proses eksekusi, serta berbagai kendala nya. Pengaturan hukum eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia tidak hanya terdapat dalam perundang-undangan nasional melainkan juga dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. UU No.30/1999 mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase internasional pada pasal 65 s/d 69. Selain daripada itu, pengaturan tentang eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia juga terdapat dalam Konvensi New York 1958 jo. Keppres No.34/1981 ARBITRASE/BRW/FHUA/08

199 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Pasal 65 UU No.30/1999 mengatur bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam penjelasannnya disebutkan “cukup jelas”. CATATAN : Pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan pengadilan satu-satunya di Indonesia yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Kedua, menyangkut ruang lingkup wewenang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meliputi : a. pengakuan putusan arbitrase internasional b. pelaksanaan putusan arbitrase internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

200 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Pada dasarnya suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat dilaksanakan di wilayah suatu negara tertentu harus memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan. Pada umumnya, terdapat perbedaan antara tempat (negara) putusan arbitrase dijatuhkan dengan tempat (negara) putusan arbitrase dilaksanakan. Sebelum suatu putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan maka terlebih dahulu harus dilihat apakah hukum negara yang bersangkutan telah memberikan pengaturannya ataukah tidak. Lebih penting lagi adalah, apakah negara-negara yang bersangkutan merupakan negara peserta atau negara yang turut meratifikasi Konvensi New York 1958 ataukah tidak, serta apakah telah terdapat perjanjian bilateral ataukah tidak. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

201 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Suatu negara yang telah menjadi peserta atau ikut meratifikasi Konvensi New York 1958 berarti membuka pintu bagi kemungkinan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase intrnasional di wilayah hukum negara masing2 Masing-masing negara yang meratifikasi tersebut akan mengatur lebih lanjut dan lebih tehnis dalam perundang-undangan tersendiri yang substansinya tidak selalu sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

202 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 berdasarkan Keppres No.34/1981, dan dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1/1990 (PermaNo.1/1990) tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Perma No.1/1990 dibuat pada waktu jauh sebelum berlakunya UU No.30/1999. Perma No.1/1990 tersebut dimaksud kan untuk mengatur tentang teknis prosedural yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Saat ini, pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia telah diatur dalam UU No. 30/1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

203 KASUS P.T. NIZWAR vs NAVIGATION MARITIME BULGARE
Periksa putusan Mahkamah Agung RI No.2944 K/Pdt/1983 tanggal 20 Agustus 1984, dalam perkara antara PT.Nizwar (Indonesia) sebagai Pemohon Kasasi/dahulu Termohon melawan Navigation Maritime Bulgare, Varna, Chervenoermeiski (Bulgaria) sebagai Termohon Kasasi/dahulu Pemohon. Sengketa tersebut sebelumnya telah diputus oleh Arbitrase di London, PT.Nizwar dihukum untuk membayar uang sejumlah ,39 US dollar kepada Navigation Maritime Bulgare tersebut. Selanjutnya oleh Navigation Maritime Bulgare putusan arbitrase tersebut dimohonkan pelaksanaan setelah mendapat fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penetapannya No.2288/1979 P tanggal 10 Juni 1981, yang intinya memerintahkan agar PT.Nizwar memenuhi isi putusan arbitrase London tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

204 KASUS P.T. NIZWAR vs NAVIGATION MARITIME BULGARE
PT.Nizwar mengajukan kasasi terhadap Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, tanpa disertai dengan risalah/memori kasasi, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menyatakan permohonan kasasi PT.Nizwar tersebut tidak dapat diterima. Namun yang menarik dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung tersebut antara lain menyatakan :”………Keppres No.34/1981 dan lampirannya tentang pengesahan “Convention on the Recoqnition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya……………”. Pertimbangan aquo, kemudian ditindaklanjuti Mahkamah Agung dengan menerbitkan PERMA No.1/1990. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

205 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Konvensi New York 1958 dalam pasal-pasalnya tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “recognition” tersebut. Perma No.1/990 maupun UU No.30/1999 juga tidak memberikan penjelasan secara eksplisit tentang apa yang dimaksud dengan istilah “pengakuan”. Lagi pula pada penjelasan pasal 65 hanya menyebutkan “cukup jelas”. Padahal suatu putusan arbitrase internasional hanya dapat dieksekusi di wilayah hukum Republik Indonesia setelah sebelumnya mendapatkan pengakuan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Secara implicit UU No.30/1999 menguraikan tentang pengertian :”pengakuan” dengan jalan menetapkan syarat-syarat putusan arbitrase internasional yang dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

206 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Pasal 66 menetapkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut : (a). Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Republik Indonesia terikat pada perjanjian, bik secara bilateral mupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional; (b). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud huruf “a” terbatas pada pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; (c). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf “a” hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; ARBITRASE/BRW/FHUA/08

207 EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
(d). Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan (e). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf “a” yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hany dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

208 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “a” BERKAITAN DENGAN PRINSIP RESIPROSITAS PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL Substansi Pasal 66 “a” di atas menyangkut tentang penerapan prinsip resiprositas diantara negara-negara yang telah mengadakan perjanjian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di wilayah negara masing-masing. Tanpa adanya bukti berupa perjanjian tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memasang “palang pintu” untuk menutup permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di wilayah hukum Republik Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

209 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “b” TENTANG ARBITRABILITAS
Substansi Pasal 66 “b” UU No.30/1999 menyangkut soal arbitralitas putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan di Indonesia apakah menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan ataukah tidak. Tolok ukur yang dipergunakan bukan bagaimana menurut hukum yang berlaku di negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan, melainkan menggunakan tolok ukur menurut hukum yang berlaku di Indonesia sebagai tempat putusan arbitrase internasional tersebut dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

210 Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan substansial antara hukum di negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut hukum di negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan substansi sengketa merupakan “sengketa komersial” sehingga termasuk dalam kompetensi arbitrase, namun bisa jadi dipihak lain ternyata menurut hukum Indonesia dinilai bukan termasuk sengketa perdagangan. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

211 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “b” TENTANG ARBITRABILITAS
Tolok ukur tentang pengertian “ruang lingkup hukum perdagangan” menurut hukum Indonesia adalah dengan menggunakan interpretasi sistematis dan interpretasi ekstensif terhadap substansi Pasal 5 dengan 66 (b) UU No.30/1999. Pasal 5 (1) hanya menyebutkan secara umum “sengketa perdagangan” tanpa penjelasan apapun tentang apa yang dimaksudkannya. Adapun pasal 66 (b) memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan yaitu meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

212 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “b” TENTANG ARBITRABILITAS
Namun apabila ditelaah lebih jauh, ternyata tidak jelas apa batas-batas dari sengketa di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Karena masing-masing istilah memiliki elastisitas interpretasi secara dinamis sejalan dengan perkembangan waktu dan perubahan masyarakat. Akibat ketidakjelasan batas-batas dari apa yang dimaksud dengan “ruang lingkup perdagangan” tidak menutup kemungkinan akan dipergunakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk bertindak semena-mena memasang “palang pintu” dengan cara menafsirkan secara subyektif pengertian “ruang lingkup hukum perdagangan” sebagai alasan untuk menolak setiap permohonan pengakuan putusan arbitrase internasional di Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

213 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “b” TENTANG ARBITRABILITAS
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk menilai dan menafsirkan secara obyektif, apakah sengketa yang telah diputus oleh arbitrase internasional dan dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan tersebut menurut hukum Indonesia termasuk ke dalam ruang lingkup hukum dagang atau tidak . Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk menilai dan menafsirkan secara obyektif, apakah sengketa yang telah diputus oleh arbitrase internasional dan dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan tersebut menurut hukum Indonesia termasuk ke dalam ruang lingkup hukum dagang atau tidak. Penafsiran tersebut sudah seharusnya bertumpu pada perkembangan ilmu hukum terkini serta dikaitkan dengan perkembangan dalam kegiatan praktek perdagangan sehari-hari. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

214 CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c” TENTANG KETERTIBAN UMUM
Pasal 66 (c) : Dalam bahasa Belanda disebut sebagai “openbare orde”, dalam bahasa Perancis disebut sebagai “ordre public”, dalam bahasa Jerman disebut sebagai “vorbenhaltklausel”, sedangkan di negara-negara dengan sistem common law menggunakan istilah “public policy”. Istilah “policy” dipergunakan untuk menunjukkan adanya pengaruh besar dari faktor-faktor yang bersifat politis dalam hal menentukan ada atau tidaknya ketertiban umum. Tinneke Louise Tuegeh Longdong, sebagaimana mengutip Sudargo Gautama, mengemukakan bahwa banyak penulis yang telah mencoba untuk menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban umum, meskipun demikian hingga kini masih banyak pertentangan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ketertiban umum. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

215 CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c” TENTANG KETERTIBAN UMUM
Masalah ketertiban umum sangat penting, oleh karena fungsinya menyangkut tentang pengenyampingan berlakunya hukum asing dan putusan arbitrase asing yang seharusnya dilaksanakan. Dengan alasan bertentangan dengan sendi asasi sistem hukum yang berlaku di negara tempat dimana putusan arbitrase internasional tersebut dimohonkan pelaksanaannya. Pasal V (2) “b” Konvensi New York 1958 : “ the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country”. Penggunaan prinsip “ketertiban umum” oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana diatur Pasal 66 © jo. 65 UU No.30/1999 adalah dimaksudkan sebagai “filter” untuk menyaring dan menilai secara obyektif terhadap setiap permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di wilayah hukum Republik Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

216 CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c” TENTANG KETERTIBAN UMUM
Meskipun tidak ada kesatuan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban umum, namun pada dasarnya mereka berpendirian bahwa ketertiban umum memegang peran penting dalamarti bahwa setiap sistemhukum negara manapun memerlukan semacam veiligheidskiep atau rem darurat yang disebut dengan istilah ketertiban umum. M.Sumampouw mengemukakan bahwa,meskipun system hukum dari setiap negara mengenal konsepsi tentang ketertiban umum, namun sebaiknya dipergunakan seirit mungkin dan hanya sebagai pengecualian. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

217 CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c” TENTANG KETERTIBAN UMUM
Oleh karena apabila setiap kali menggunakan ketertiban umum sebagai alasan untuk mengenyampingkan berlakunya hukum asing maka akan mengakibatkan hukum perdata internasional tidak berkembang (Sudargo Gautama, menggambarkan bagaimana seharusnya penggunaan prinsip tersebut……public policy only as a shield, not as a sword). Menurut pendapat saya, adalah merupakan sikap yang berlebihan apabila berpendirian tentang superioritas hukum nasional terhadap hukum asing. Padahal kita tidaklah mungkin hidup secara soliter dengan mengasingkan diri dari pergaulan hidup antar negara, melainkan dalam kenyataannya kita berada dalam pergaulan hidup antara negara secara internasional dengan system hukumnya yang berbeda-beda. Lebih-lebih dewasa ini, dengan terjadinya globalisasi kegiatan perdagangan yang melibatkan berbagai negara, dengan keragaman sistem hukum masing-masing. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

218 CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c” TENTANG KETERTIBAN UMUM
Dalam kaitannya dengan syarat bahwa putusan arbitrase internasional tidak bertentangan dengan “ketertiban umum” juga diatur dalam Pasal 4 (2) Perma No.1/1990. Istilah “ketertiban umum” penjelasannya terdapat dalam rumusan Perma No.1/1990, Pasal 4 (2) yakni : “sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia”. Namun apa pengertian serta sejauh mana batas-batas dari “sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia” dalam ketentuan tersebut ternyata tidak terdapat penjelasan lebih jauh lagi. Dalam keadaan demikian, maka pengertian serta batas-batasnya akan ditentukan melalui interpretasi berdasarkan situasi dan kondisi kasus per kasus. Sebagai konsekuensinya, apabila suatu putusan arbitrase internasional dinilai sebagai telah bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia, maka putusan tersebut tidak dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di wilayah Republik Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

219 CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c” TENTANG KETERTIBAN UMUM
Menurut Setiawan, fungsi ketertiban umum pada dasarnya adalah sebagai pengawal dari “the fundamental moral convictions or policies of the forum” dan berkaitan langsung dengan “the principle of territorial souvereignity”. Penggunaan prinsip ketertiban umum tersebut “escape clause” sesuai dengan istilah Sudargo Gautama hendaknya terbatas : “only as a shield and not as a sword”. Dalam pengertian, untuk melindungi sendi-sendi asasi seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia, dan bukannya digunakan sedemikian rupa bagaikan sebilah pedang untuk melumpuhkan terhadap setiap kemungkinan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di wilayah hukum Republik Indonesia. Tiong Min Yeo mengemukakan bahwa : “…..public policy generally works in a negative way. It opposes the application of foreign law or more precisely, it is exception to the choice of law rule that would ordinarily mandate the application of foreign law”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

220 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “d” SOAL EKSEKUATUR
Substansi Pasal 66 “d” UU No.30/1999 menyangkut syarat bahwa Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan persyaratan tersebut, dikaitkan dengan Pasal 65 tampak bahwa pengadilan yang berwenang memberikan eksekuatur adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedudukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat penting dan menentukan berkenaan dengan pemberian atau penolakan eksekuatur terhadap permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional. Artinya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak hanya terbatas berwenang dalam memberikn eksekuatur melainkan sebaliknya juga berwenang untuk menolak pemberian eksekuatur terhadap permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

221 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “d” SOAL EKSEKUATUR
Eksekuatur akan diberikan atau sebaliknya ditolak sepenuhnya bergantung pada apakah permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia telah memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dan 67 UUNo.30/1999. Meskipun tidak disebutkan secara tegas, namun bila dikaitkan dengan Pasal 66 huruf “e” dapat ditafsirkan secara a contrario bahwa Termohon Eksekusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 huruf “d” adalah menyangkut perorangan atau badan hukum perdata dan bukan menyangkut negara Republik Indonesia. Apabila Termohon Eksekusinya adalah menyangkut negara Republik Indonesia maka diperlukan persyaratan dan prosedur yang berbeda sebagaimana diatur secara tersendiri dalam Pasal 66 “e” UU No30/1999. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

222 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “d” SOAL EKSEKUATUR
Substansi pasal 66 “e” UU No.30/1999 mengatur syarat apabila putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf “a” Pasal 66 a quo adalah menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Aturan ini memberikan wewenang eksekuatur kepada Mahkamah Agung sebagai puncak badan peradilan karena termohon akibat serta konsekuensi eksekusi putusan arbitrase internasional tersebut menyangkut kepentingan negara. Dalam hal Termohon Eksekusi adalah negara Republik Indonesia, merupakan ujian yang cukup berat dan dilemmatis bagi Mahkamah Agung berkenaan dengan pemberian atau penolakan eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

223 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “d” SOAL EKSEKUATUR
Dikuatirkan dapat menimbulkan “conflict of interest”, karena di satu pihak kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga negara Republik Indonesia sedangkan di pihak lain yang bertindak sebagai Termohon Eksekusi adalah negara Republik Indonesia. Secara teoritis bisa saja terjadi bahwa Mahkamah Agung bersikap konsisten dengan undang-undang yakni tetap akan memberikan eksekuatur. Namun, pada bagaimana kenyataan prakteknya, saya termasuk orang meragukan kemungkinan Mahkamah Agung mampu bersikap konsisten dengan hal tersebut. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

224 CATATAN TERHADAP PASAL 66 “d” SOAL EKSEKUATUR
Alasan pokoknya adalah terjadinya “conflict of interest”. Kecil kemungkinan Mahkamah Agung Republik Indonesia akan memberikan eksekuatur eksekusi putusan arbitrase internasional terhadap Negara Republik Indonesia sebagai pihak termohon eksekusinya. Apabila sudah menyangkut kepentingan negara, maka Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara cenderung akan lebih menonjolkan pemihakannya kepada kepentingan negara (parochial principle). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

225 PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL (Ps. 67)
(1). Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh Arbiter atau Kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. CATATAN PASAL 67 (1) : Ketentuan tersebut mengandung norma bahwa putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia, harus lebih dahulu diserahkan & didaftarkan oeh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

226 PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL (Ps. 67)
(2). Penyampaian berkas permohonan disertai : (a). Lembar asli atau salinan otentik putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentikasi dokumen asing dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; (b). Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan Arbitrase Internasional sesuai dengan ketentuan perihal otentitikasi dokumen asing dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; (c). Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara dimana putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

227 CATATAN 67 AYAT 2 Pasal 67 ayat (2) huruf “a” dan “b” mengandung norma tentang keharusan dilakukannya otentikasi trhadap dokumen asing dan penterjemahan secara resmi naskah putusan arbitrase internasional maupun naskah perjanjian arbitrase dari bahasa asing yang digunakan ke dalam naskah yang menggunakan Bahasa Indonesia melalui penterjemah tersumpah. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat kesesuaian makna antara bahasa asing yang digunakan dalam naskah aslinya dengan naskah terjemahannya dalam bahasa Indonesia. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

228 CATATAN 67 AYAT 2 huruf “C”, MENSYARATKAN :
a. “keterangan”, b. Yang dibuat oleh perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara dimana putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa c. Negara Pemohon, d. terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan e. Negara Republik Indonesia, f. Perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

229 KONSEKUENSI SYARAT PASAL 67 AYAT 2 huruf “C”
Konsekuensinya, apabila menurut “keterangan” yang dibuat oleh Perwakilan Diplomatik Negara Republik Indonesia di negara dimana putusan arbitrase asing dijatuhkan, ternyata antara Negara Asal Pemohon Eksekusi dengan Negara Republik Indonesia tidak terdapat perjanjian bilateral maupun multilateral menyangkut masalah Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing maka Putusan Arbitrase Asing tersebut tidak dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan nya di wilayah Negara Republik Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, penting mendapatkan perhatian saat para pihak melakukan pemilihan forum dan tempat arbitrase (choice of forum & choice of arbitration venue). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

230 PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Pasal 68 ayat (1) : “Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud Pasal 66 huruf “d” yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi”; ayat (2) : “Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf “d” yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi. ayat (3) : “Mahkamah Agung mempetimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung”. ayat (4) : “Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf “e”, tidak dapat diajukan upaya perlawanan”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

231 CATATAN TERHADAP PASAL 68
Norma ayat (1), pemberian eksekuatur oleh Ketua PN Jakarta Pusat terhadap putusan arbitrase internasional bersifat “final and binding”. Norma ayat (2), (3) dan (4), penolakan pemberian eksekuatur oleh Ketua PN Jakarta Pusat terhadap putusan arbitrase internasional dapat dimohonkan kasasi ke Mahakamah Agung. Setelah permohonan kasasi tersebut diputus oleh Mahkamah Agung, tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Namun timbul pertanyaan, bagaimana kalau terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut kemudian dimohonkan peninjauan kembali ??? Oleh karena hakekat “perlawanan” adalah berbeda dengan “peninjauan kembali”. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

232 PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Pasal 69 ayat (1) : “Setelah Ketua PN Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua PN yang secara relatif berwenang melaksanakannya”; ayat (2) : “Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi”; ayat (3) : “Tatacara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tatacara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata”. CATATAN : Norma ayat (1), menyangkut pendelegasian wewenang eksekusi dari Ketua PN Jakarta Pusat kepada Ketua PN setempat (domisili Termohon Eksekusi atau tempat kedudukan obyek sengketa). Norma ayat (2) dan (3), menyangkut tindakan sita eksekusi terhadap harta kekayaan termohon eksekusi yang dijalankan sebagaimana berlaku pada praktek peradilan berdasarkan HIR/RIB maupun RBG/RDS. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

233 14. BIAYA ARBITRASE Pasal 77 :
ayat (1) : Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah. ayat (2) : Dalam hal tuntutan hanya dikabul kan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

234 14. BIAYA ARBITRASE Pasal 76 ayat (1) : Arbiter menentukan biaya arbitrase. ayat (2) : Biaya sbagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. honorarium arbiter, b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter, c. biaya saksi dan saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa, dan d. biaya administrasi. ARBITRASE/BRW/FHUA/08

235 CATATAN MENGENAI BIAYA ARBITRASE (Ps 76 & 77)
Konsekuesi biaya berkenaan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yang menyangkut honorarium arbitrator, biaya perjalanan dan yang lainnya yang dikeluarkan oleh arbitrator (misal : akomodasi, lumpsum, telekomunikasi dll) maupun biaya saksi dan saksi ahli (honorarium, transportasi, akomodasi, lumpsum, telekomunikasi, dll), biaya adiministrasi dibebankan kepada pihak yang berperkara (Vide Ps.77). Berlainan dengan proses di Pengadilan, hakim justru dilarang mendapatkan honorarium, biaya perjalanan maupun lainnya dari pihak berperkara, karena semua dibebankan kepada Negara. Para pihak hanya diwajibkan membayar biaya adimistrasi/perkara. Adapun menyangkut saksi atau saksi ahli, maka pihak berperkara yang wajib menanggungnya (Vide Pasal 49 ayat 2). ARBITRASE/BRW/FHUA/08

236 AKHIRNYA………….. Thank U, Dank U, Kamsiah, Arigato Gozaimazu,
Terima kasih, Matur Nuwun, Nedo Nrimo, ……………….CAAAAAPPEEEK DEH !!! ARBITRASE/BRW/FHUA/08


Download ppt "Oleh ABSHORIL FITHRY, SH FH Unair"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google