Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

POLITIK INDONESIA MENUJU 2019: Kolusi Politik atas nama Demokrasi?

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "POLITIK INDONESIA MENUJU 2019: Kolusi Politik atas nama Demokrasi?"— Transcript presentasi:

1 POLITIK INDONESIA MENUJU 2019: Kolusi Politik atas nama Demokrasi?
SRI BUDI EKO WARDANI [DOSEN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA] KUPANG, 11 JULI 2017

2 Sampai di mana kita hari ini?
Indeks Persepsi Korupsi 2015: Indonesia di peringkat ke-88 dari 198 negara, dengan skor 36 (0 – 100). 2016: Indonesia di peringkat ke-90 dari 176 negara, dengan skor 37. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) IPM Indonesia 2015 sebesar berada di peringkat 113 dari 188 negara, dengan kategori tingkat menengah. UNDP mencatat sejumlah indikator kesenjangan, yaitu: Tingkat kemiskinan dan kelaparan: sekitar 140 juta hidup dengan biaya kurang dari Rp 20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk. Tingkat kesehatan dan kematian: angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Akses layanan dasar: hampir 5 juta anak tidak bersekolah. Gender Development Index (GDI) 2015: nilai IPM untuk perempuan sebesar dan nilai IPM untuk laki-laki sebesar 0.712, yang memberikan nilai GDI 0,926 untuk Indonesia. GDI Indonesia masih di bawah rata-rata Asia Timur dan Pasifik (GDI 0,956). Indeks Ketidaksetaraan Gender (IKG) IKG menunjukkan ketidaksetaraan gender dalam 3 dimensi (kesehatan reproduksi, pemberdayaan, aktivitas ekonomi). Nilai IKG 2015 untuk Indonesia sebesar atau di peringkat 105 dari 159 negara. Indeks Gini Ratio Rasio Gini pengeluaran penduduk Indonesia pada September 2016 adalah 0,394 yang berarti turun 0,003 poin dibandingkan Maret 2016. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2015: IDI mencapai angka 72,82 (0 – 100), yang berarti capaian kinerja demokrasi pada kategori “sedang”. Dipengaruhi oleh kebebasan sipil turun, hak-hak politik naik, dan lembaga-lembaga demokrasi turun.

3

4 ‘Panggung’ Politik Apa yang Kita Saksikan Hingga Hari Ini?
DPR jadi ‘rumah’ untuk pro koruptor DPD jadi ‘rumah’ pro elite partai politik RUU Pemilu tak kunjung selesai karena tarik menarik kepentingan atas isu-isu krusial Polemik uang rakyat untuk bantuan keuangan partai politik (naik 1o kali lipat) Politik identitas Politik kekerabatan dan konflik kepentingan Politisasi birokrasi Partisipasi warga: dari ‘penonton’ (orde baru) ke pemilih (reformasi), menuju partisipan atau sekadar “tim sukses”? Kolusi politik: pertarungan merebut sumber daya politik dan ekonomi melalui kompetisi elektoral

5 Momen Politik Elektoral yang Akan Kita Hadapi (2018 – 2024)
2018: Pilkada serentak (177 daerah) 2019: Pemilu Presiden dan Legislatif secara serentak 2020: Pilkada serentak (daerah yang pilkada pada 2015) 2022: Pilkada serentak (daerah yang pilkada dan 2018) 2024: Pemilu serentak dan Pilkada serentak

6 20 TAHUN REFORMASI POLITIK
Dari Mobilisasi ke Partisipasi Dari Sentralisasi ke Desentralisasi Dari Otoriter ke Oligarki?

7 ORDE BARU: Dua Dekade Mobilisasi Politik
SBEW 2017 ORDE BARU: Dua Dekade Mobilisasi Politik Dekade I: Dekade II: Monoloyalitas PNS Fusi partai politik mereduksi ideologi politik (3 partai) Larangan membentuk partai politik baru (deparpolisasi) Massa mengambang (depolitisasi) Sentralisasi pemerintahan daerah (UU No. 5/1974) Mahasiswa dilarang berorganisasi di kampus (NKK/BKK 1978) Azas tunggal Pancasila untuk partai politik dan ormas Kriminalisasi Golput (tidak memilih dalam pemilu sama dengan berkhianat pada negara) UU Subversi, UU Pers UU Ormas 1985: kooptasi LSM, kontrol negara atas pemikiran dan ideologi Dwifungsi ABRI diformalkan dalam UU Hankam (dominan fungsi sospol)

8 REFORMASI: “Merekayasa” Demokrasi Perwakilan
Sistem Pemilu Proporsional terbuka KPU tetap dan mandiri Sistem Kepartaian Bebas membentuk parpol Tidak ada kontrol pemerintah Sistem Perwakilan Semua wakil dipilih rakyat Dua kamar terbatas (DPR dan DPD)

9 PERUBAHAN MENDASAR SISTEM PEMILU SISTEM KEPARTAIAN SISTEM PERWAKILAN
Fokus pada performa kandidat karena keterpilihan berdasarkan suara terbanyak. “Menghidupkan” hubungan wakil-konstituen yang berdampak mengubah relasi politik hingga akar rumput. SISTEM KEPARTAIAN Kompetitif, multipartai, dan terbuka. Ada kebebasan membentuk parpol tetapi syarat ketat membuat embrio partai baru ‘dimatikan’ sejak pembentukannya. Partai bekerja untuk kepentingan elektoral karena eksistensi partai terkait performa elektoralnya. SISTEM PERWAKILAN Penguatan fungsi-fungsi legislatif dan pemulihan fungsi representasi wakil. Aktivitas mewakili menjadi konkret: pertukaran kepentingan yang saling menguntungkan. Cara instan memperjuangkan kepentingan konstituen.

10 Problem Demokrasi Perwakilan di Indonesia Era Reformasi
Penataan sistem perwakilan politik: regulasi setengah hati Pemilu: prosedural vs transaksi politik programatik Representasi minus akuntabilitas Partisipasi warga: bergerak dari sekadar kehadiran

11 Penataan sistem perwakilan politik: regulasi setengah hati
Perubahan regulasi bidang politik yang mengatur sistem pemilu, sistem kepartaian, dan perwakilan politik didominasi kepentingan konsolidasi elite politik, bukan menuju penguatan konsolidasi demokrasi. Belum ada peta jalan penguatan demokrasi melalui penataan regulasi. Bongkar pasang regulasi tanpa visi bangunan sistem politik demokrasi versi Indonesia. Ruang partisipasi warga masih terabaikan dalam regulasi sistem perwakilan politik. UU Partai Politik disusun dengan asumsi partai sebagai ‘barang privat. UU Pemilu mengatur kampanye sekadar formalistik dan linear. UU MD3 memperkuat posisi/kepentingan elite partai berhadapan dengan otonomi wakil.

12 Pemilu: Prosedural vs Transaksi Politik Programatik
Pemilu merupakan prosedur minimal demokrasi perwakilan. Perubahan sistem pemilu dari tertutup menjadi terbuka menjadi semacam pilihan solusi atas penguatan kedaulatan pemilih untuk melawan oligarki elite. Kompetisi elektoral menjadi pusaran berbagai kepentingan: partai politik, kelompok ekonomi, dan masyarakat sipil. Partai politik berkolusi dengan kelompok ekonomi, sementara masyarakat sipil terfragmentasi beragam kepentingan untuk ‘merebut’ sumber daya politik. Upaya pemaknaan pemilu tidak sekadar prosedural bermunculan dalam beragam aksi (seperti gerakan tagih janji, kontrak politik). Tetapi gerakan kontrol publik pascapemilu masih lemah, dan seringkali justru berhenti pada tataran ‘elite’ LSM, belum menjadi gerakan hingga ke akar rumput.

13 Representasi minus Akuntabilitas
Terjadi ketimpangan representasi dalam lembaga-lembaga politik. Orde Baru menerapkan seleksi pengisian jabatan politik di legislatif, eksekutif, dan birokrasi sesuai kepentingan rezim. Ada peminggiran dan diskriminasi berbasis etnis, ras, dan agama dalam rekrutmen politik yang nepotisme dan kolutif. Kondisi itu masih berlanjut pasca- Orde Baru, baik di pusat maupun daerah. Saluran formal lembaga representasi politik mengalami kemampatan (parpol, legislatif, eksekutif pusat dan daerah). Adanya kebijakan bersifat diskriminatif pada kelompok- kelompok tertentu (perda, keputusan kepala daerah). Kesenjangan aspirasi/kepentingan dalam proses kebijakan. Representasi menjadi tertutup, koruptif, dan politik uang. Akuntabilitas wakil pada konstituennya diselesaikan secara instan ‘langsung di tempat’ sehingga tidak berkembang fungsi kontrol publik.

14 Partisipasi Warga: bergerak dari sekadar kehadiran
Terjadi perluasan dan “ledakan” partisipasi politik yang dipicu perubahan sistem pemilu dan desentralisasi. Indikator tingkat partisipasi adalah persentase pemilih pada tiap kali pemilu, yang rata-rata 60-75%. Bahkan pada pilkada lebih rendah lagi. Tetapi masih bersifat prosedural. Dalam 5 tahun ini, muncul bentuk-bentuk partisipasi warga yang bersifat mentransaksikan program pada para kandidat dan/atau pejabat politik, serta memperluas ruang keterlibatan publik. Masih sporadis, jangka pendek, bias perkotaan, teknologi informasi dan media sosial jadi ‘penggerak’. Mulai tumbuh kesadaran partisipasi tidak sebatas di bilik suara saja, sekadar hadir tidak cukup. Persoalan pesan yang mudah dipahami dan terkait urusan rakyat. Mengapa ‘aksi 212’ bisa massif, sedangkan ‘aksi tolak angket KPK’ tidak? Kendala beragam akses dan keterbatasan informasi masih dihadapi untuk penguatan partisipasi warga. Politik uang masih mengancam partisipasi berbasiskan program.

15 Rute Partisipasi Politik Warga
Penonton (Orba) Pemilih (reformasi): hadir, memilih, selesai Partisipan (demokrasi): tidak sekadar hadir


Download ppt "POLITIK INDONESIA MENUJU 2019: Kolusi Politik atas nama Demokrasi?"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google