Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

PERKAWINAN CAMPURAN Prof.Dr Zulfa Djoko Basuki,SH MH

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "PERKAWINAN CAMPURAN Prof.Dr Zulfa Djoko Basuki,SH MH"— Transcript presentasi:

1 PERKAWINAN CAMPURAN Prof.Dr Zulfa Djoko Basuki,SH MH
Fakultas Hukum – UI Depok, Februari 2014

2 Pengertian Perkawinan Campuran (GHR)
Menurut Pasal 1 Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR): “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Termasuk di sini, perkawinan berbeda agama, berbeda kewarganegaraan, dan berbeda golongan penduduk (mengingat adanya penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda).” © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

3 Pengertian Perkawinan Campuran (GHR)
Pasal 7 ayat (2) GHR: “Perbedaan agama, suku bangsa, keturunan bukan menjadi penghalang untuk terjadinya suatu perkawinan.” © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

4 Akibat Perkawinan Campuran (GHR)
Pasal 2 GHR : “seorang perempuan yang melangsungkan perkawinan campuran, selama perkawinan itu belum putus, perempuan tersebut tunduk pada hukum suami, baik di bidang hukum publik maupun hukum perdata.” Intinya, karena perkawinan campuran, istri memperoleh status suami. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

5 Pengertian Perkawinan Campuran (UU No. 1/1974)
Pasal 57 UU No 1/1974: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU ini ialah perkawinan antara dua org yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Pengertian Perkawinan Campuran menurut UU No. 1/1974 lebih sempit daripada pengertian yang terdapat dalam GHR karena perkawinan beda agama tidak termasuk dalam pengertian Perkawinan Campuran menurut UU No. 1/1974. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

6 Perkawinan Beda Agama (UU No. 1/1974)
Setelah berlakunya UU No.1/1974 UU No1/1974 tidak mengatur perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Dengan demikian tidak ada lagi perkawinan di luar hukum agama masing-masing, sehingga seharusnya perkawinan beda agama tidak dapat lagi dilakukan. Namun demikian, kenyataannya berbeda. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

7 Perkawinan Beda Agama (UU No. 1/1974)
Dengan berlakunya UU No. 1/1974, ternyata masih dapat dilakukan perkawinan beda agama. Dasar hukumnya: Pasal 66 UU No.1/1974 jo. Pasal 7 ayat (2) GHR. Pasal 66 UU No 1/1974: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yg berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BW, HOCI, GHR, yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur oleh undang-undang ini dinyatakan dinyatakan tidak berlaku.” Oleh karena tidak diatur dalam UU No. 1/1974, maka keputusan Pengadilan Negeri dalam kasus Sumarni v. Medelu menunjuk Pasal 7 ayat (2) GHR yang tidak melarang perkawinan beda agama, selanjutnya memerintahkan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk menikahkan. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

8 Contoh Kasus Perkawinan Beda Agama
Penetapan PN Jak.Tim No.151/PDT/P/19888/PN JKT.Timur, ttgl 21 Maret 1988. Kasus perkawinan beda agama antara Snoek,Cornelis Hendrik (beragama Budha) dan Siti Nur Aeni Isa (beragama Islam). Dalam kasus ini perintah pengadilan diikuti dan perkawinan dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil (KCS). © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

9 Contoh Kasus Perkawinan Beda Agama
Kasus Andi Vonny Gany v Petrus Nelwan (Penetapan PN Jak.Pus No.382/PT/P/1986/PN.JKT.PST, Tgl 11 April 1986, jo Put.MARI No.1400 K/PDT/1986 tgl 20 Januari 1989. Merupakan putusan terakhir diperbolehkannya perkawinan beda agama dengan dasar hukum Pasal 66 UU No.1/1974 jo. Pasal 7 ayat (2) GHR. Sejak 1 Januari 1989 fungsi KCS sebagai instansi yang menikahkan dihapus melalui KEPRES No.12/1983. KCS hanya berfungsi mencatatkan perkawinan dari pihak non Muslim yang telah sah melangsungkan perkawinan menurut hukum agama masing-masing. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

10 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
Jalan Keluar Menikah di dua instansi: pertama di KUA, setelah itu menikah lagi di Gereja atau sebaliknya . Menikah di luar negeri secara sipil. Setelah kembali di Indonesia, melaporkan ke KCS tempat kediamannya. Dasar hukum: Psl 56 UU No.1/1974. Jalan keluar ini tidak dianjurkan karena merupakan penyelundupan hukum. Bila timbul sengketa antara keduanya, salah satu pihak dapat menuntut pembatalan perkawinan. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

11 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Untuk perkawinan yang dilakukan di luar negeri berlaku Pasal 56 UU No. 1/1974, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum di mana perkawinan dilangsungkan dan tidak melanggar UU ini. Dari segi HPI, sahnya perkawinan yaitu: Apabila memenuhi syarat formal (Pasal 18 AB/locus regit actum) dan syarat materil (Psl 16 AB). Perkawinan sipil yang dilakukan di luar negeri itu hanya memenuhi Pasal 18 AB tapi melanggar Pasal16 AB. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

12 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Dengan tidak adanya ketentuan yang tegas apakah perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri secara menyelundupkan hukum sah atau tidak, seandainyapun dapat diterima bahwa perkawinan itu “sah”, menurut saya perkawinan itu rapuh. Bila terjadi cekcok dan salah satu pihak minta cerai, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan perkawinan karena hanya sah menurut hukum tempat dilangsungkannya perkawinan, tapi tidak sah menurut hukum Indonesia (melanggar Pasal 2 UU No. 1/1974). (Ingatlah perkara Riviere). © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

13 Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan Lama): Terhadap kewarganegaraan anak, dianut asas ius sanguinis secara ketat, yaitu seorang anak akan slelalu ikut kewarganegaraan ayahnya. Apabila ayah adalah seorang WNA, maka anak menjadi WNA, dimanapun anak itu lahir. Tidak dimungkinkan adanya kewarganegaraan ganda, meskipun anak dilahirkan di negara dengan prinsip ius soli. Bila terjadi perceraian antara ibu WNI dengan ayah WNA, hak asuh ada pada ibu dan keduanya tinggal di Indonesia, anak rentan untuk dideportasi. Bagi anak yang berstatus WNA hanya dapat KITAS, yang diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun sejak tanggal masuk ke Indonesia dan dapat diperpanjang paling banyak 5 kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama 1 tahun. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

14 Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Dianutnya asas ius sanguinis secara ketat, selain itu jugamemungkinkan si anak menjadi apatride bila negara ayah menganut ketentuan untuk tidak memberikan kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran. Misalnya: The British National Act 1981 yang menyatakan bahwa seorang anak yang lahir dari orang tua berkewarganegaraan Inggris tidak otomatis menjadi warga negara Inggris kecuali orang tuanya bekerja di Crown Service atau European Community Institution pada saat anak tersebut dilahirkan. Padahal menurut UU No. 62/1958 si anak hanya mendapatkan kewarganegaraan dari ayahnya dan tidak mendapatkan kewarganegaraan dari ibunya (asas ius sanguinis). © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

15 Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Berdasarkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan baru): Anak yang dilahirkan dalam suatu Perkawinan Campuran (lihat definisi Perkawinan Campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974) akan memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas sampai usia 18 tahun/atau telah menikah. Dalam waktu 3 tahun setelah berumur 18 tahun harus memilih jadi WNI atau WNA. Berlaku pula bagi anak yang telah lahir sebelum UU ini diundangkan, tetapi si anak belum berumur 18 tahun. Caranya adalah dengan mendaftar kepada Menhukham melalui pejabat atau Perwakilan RI paling lambat 4 tahun setelah diundangkannya UU ini. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

16 Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Keuntungan & kerugian kewarganegaraan ganda terbatas: Keuntungan: Anak-anak bebas tinggal di dua negara, untuk warga negara Indonesia bebas tinggal di Indonesia tanpa perlu takut dideportasi paling tidak sampiu usia 21 tahun, dapat menempuh pendidikan di sekolah-sekolah negeri, dan lain sebagainya. Bila di negara kedua sekolah tidak membayar, dapat menikmatinya. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

17 Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Kerugian: dengan memegang 2 paspor, dapat dikenakan Wajib Militer bila sudah berumur tertentu; ada batasan keluar masuk untuk paspor yang dikeluarkan oleh negara satunya; bila melakukan tindakan-tindakan yang merugikan baik perdata /pidana, akan berlaku ketentuan tertentu pula. Mis.: dipakai “lex fori” atau kewarganegaraan yang efektif sebagai dasar untuk memutus perkara yang dituduhkan. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

18 Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Bagaimana apabila setelah 3 tahun sejak berusia 18 tahun memilih menjadi WNA/WNI? Apabila memilih menjadi WNI berlaku Peraturan Menhukham RI No.M.01-HL.03.01/2006 tentang Tatacara Pendaftraran untuk memperoleh kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 41 dan 42 UU No12/2006 Pasal1-8. dalam peraturan ini yang dimaksud dengan “anak” adalah anak sah dalam Perkawinan Campuran yang lahir sebelum UU No. 12/2006 diundangkan, belum berusia 18 tahun atau belum kawin. Bila syarat-syarat dalam Pasal 2-6 peraturan ini sudah terpenuhi, Menteri menetapkan keputusan memberikan kewarganegaraan RI, paling lambat 30 hari sejak pendaftaran diterima oleh Pejabat atau Perwakilan RI. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

19 Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Apabila memilih jadi WNA tetapi tetap tinggal dan bekerja di Indonesia? Pasal 54 ayat (1d) UU No.6 Tahun 2011 tentang Imigrasi jo. PP No. 31 Tahun 2013: “Kepada orang asing ex-WNI dan ex- subyek anak berkewarganegaraan gandat terbatas dapat diberikan Izin Tinggal Tetap untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu tidak terbatas selama izinnya tdk dibatalkan.” © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

20 Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Untuk itu ia wajib melapor ke kantor Imigrasi setiap 5 tahun dan tidak dikenai biaya. Izin Tinggal Tetap diberikan setelah tinggal tetap di Indonesia selama 3 tahun berturut-turut dan menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemenrintah RI. Izin Tinggal Tetap ini dapat langsung diberikan apabila anak tersebut bekerja/berusaha di Indonesia (Pasal 59 & 60 UU Imigrasi). © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

21 Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Terhadap status suami/isteri. Pasal 19 UU No.12 Tahun 2006 jo. Perat Menhukham No.02-HL.05.01/2006: “WNA yang kawin sah dengan WNI dapat menjadi WNI dengan menyampaikan pernyataan menjadi WNI di depan Pejabat, bila telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.” Bila tidak memungkinkan baginya untuk menjadi WNI karena akan berakibat kewarganegaraan ganda ,ia dapat Izin Tinggal Tetap. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

22 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Pasal 54 ayat (1) UU Imigrasi jo Psl 49 ayat (1) RPP Imigrasi Izin Tinggal Tetap diberikan kepada: Keluarga Perkawinan campuran: suami, istri dan/atau anak dari asing pemegang Izin Tinggal Tetap (dengan catatan izin ini tidak diberikan bila orang asing tersebut tidak memiliki paspor kebangsaan).Bila punya Izin Tinggal Tetap dapat bekerja di Indonesia. Izin Tinggal tetap baru bisa diberikan setelah usia perkawinan mencapai 2 tahun, sudah tinggal menetap di Indonesia selama 3 tahun berturut-turut dan menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah RI. (Pasal 59 dan 60 UU jo. Pasal 152,153 RPP Imigrasi). Izin Tinggal Tetap berlaku untuk 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu tidak terbatas, kecuali dicabut. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

23 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Izin Tinggal Tetap berakhir apabila: yang bersangkutan meninggal dunia; yang bersangkutan meninggalkan wilayah RI lebih dari 1 tahun dan tidak bermaksud masuk lagi ke wilayah RI; menjadi WNI Izin Tinggal Tetap dibatalkan karena: yang bersangkutan melakukan tindak pidana terhadap negara; dikenai Tindakan Administrasi Keimigrasian; putus perkawinan dengan WNI, kecuali perkawinan telah berlangsung lebih dari 10 tahun © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

24 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
Mslh Penjaminan Psl 63 UU/6/2011 tentang Imigrasi: “Orang asing yang ada di Indonesia wajib memiliki Penjamin, antara lain untuk: menjamin keberadaannya di Indonesia, bertanggung jawab terhadap kegiatan orang tersebut selama di Indonesia, melaporkan perubahan status keimigrasiannya, membayar biaya kepulangannya bila izin tinggal habis, dan lain sebagainya.” © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

25 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Ketentuan tentang penjaminan tidak berlaku bagi orang asing yang kawin sah dengan WNI, karena pada dasarnya suami/istri bertangung jawab terhadap pasangan atau anak-anaknya. Pasal 150 PP Imigrasi: Permohonan Izin Tinggal Tetap diajukan oleh orang asing atau penjamin ke Kantor imigrasi yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang asing tersebut dengan lampiran: paspor kebangsaan yang masih berlaku; fotokopi Izin Tinggal Terbatas yang masih berlaku; keterangan domisili; Pernyataan Integrasi; Rekomendasi dari kementerian/lembaga pemerintah/non kementerian terkait. Bagi anak yang ikut orang tua dengan melampirkan Surat Penjaminan dari Penjamin, fotokopi Akte kelahiran, Akta Perkawinan orang tua, dan lain sebagainya. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

26 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Bagi ex-subyek anak kewarganegaraan ganda terbatas yang memilih kewarganegaraan asing, melampirkan permohonan dari ayah atau ibu yg WNI, isian formulir penyampaian pernyataan memilih WNA, bukti pengembalian paspor bagi yang memiliki dan bukti pengembalian affidavit (Pasal 150 PP Imigrasi). © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

27 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Sebagai bahan perbandingan, di Malaysia dan Brunei Darussalam; Izin Tinggal Tetap bagi suami istri asing diberikan dengan syarat: pernikahan sah yang diakui oleh negara tersebut. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

28 Perkawinan dan Perceraian WNI yang Dilangsungkan di Luar Negeri
Untuk perkawinan di luar Indonesia, baca dan perhatikan Pasal 56 ayat 1 UU No.1/1974. dari sudut HPI perkawinan itu harus memenuhi Pasal 18 AB (syarat formal) dan Pasal 16 AB (syarat materil) Pasal 56 ayat 2 UU No. 1/1974 : “Dalam waktu 1 tahun setelah suami istri kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Catatan Sipil yang mewilayahi tempat tinggal mereka.” © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

29 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjutan) Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan harus dilangsungkan menurut hukum setempat menimbulkan kesulitan bagi pemeluk Agama Islam, bila di negara tempat perkawinan tersebut berlangsung hanya dikenal perkawinan sipil. Menurut agama Islam, perkawinan tersebut belum sah apabila belum dilaksanakan akad nikah di hadapan penghulu. Begitu pula terhadap perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Instansi Islam tertentu di negara asing. Walau sah menurut agama Islam, tidak akan diakui bila tidak memenuhi ketentuan Apsal 56 ayat 1 UU No. 1/1974. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

30 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjutan) Contoh: Perkawinan dua orang WNI di Hongkong (lihat buku Hukum Perkawinan). Untuk mengatasi hal tersebut telah dikelaurkan berbagai peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan, antara lain: Peraturan Menteri Agama RI No.1/1994 tanggal 2 April 1994, tentang Pendafataran Surat Bukti Perkawinan yang Dilangsungkan di luar negeri dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Men Luar Negeri RI No.589/1999,tgl 13/ No.182/OT/X/99/01 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan WNI di luar negeri, beserta lampirannya. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

31 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
lanjutan Pasal 1 Peraturan Menteri Agama 1994: “bagi WNI beragama Islam yang telah melakukan perkawinan di luar negri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 1/1974, paling lambat 1 tahun setelah mereka kemabli di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan kepada KUA Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal mereka.” © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

32 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjut) Pasal 2 Peraturan Menteri Agama 1994, berkas-berkas yang perlu dilampirkan untuk pendaftaran perkawinan: foto copy paspor dengan memperlihatkan aslinya; foto copy surat bukti perkawinan; foto copy Sertifikat Nikah dari KBRI atau foto copy Akte Nikah dari KBRI atau Surat Keterangan dari KBRI setempat. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama 1994, apabila pegawai KUA ragu akan keabsahan perkawinan tersebut menurut agama Islam, yang bersangkutan dapat dinikahkan kembali menurut hukum Islam. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

33 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjutan) Dengan keluarnya SKB antara Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri tersebut, hilanglah keragu-raguan mengenai keabsahan perkawinan antara pemeluk agama Islam yang dilangsungkan di laur negeri, karena kini WNI beragama Islam yang ingin menikah dengan sesama WNI atau dengan WNA telah dapat menikah dan mencatatkan perkawinanannya di KBRI atau Perwakilan Indonesia di luar negeri (Pasal 1 dan 2 SKB). Bila perkawinan terjadi di atas kapal laut, dicatat di daerah di mana kapal berlabuh. Apabila tidak ada Perwakilan RI, perkawinan dicatat pada Perwakilan RI yang mewilayahi daerah kapal tersebut berlabuh. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

34 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjutan) Untuk melaksanakan tugas menghadiri, mengawasi dan mencatat pelaksanaan nikah dan rujuk umat Islam di luar negeri diangkat penghulu sebagai pegawai atau petugas yang ditunjuk oleh Perkawinan RI. Untuk mengantisipasi, suatu peraturan di suatu negara yang mewajibkan pencatatan di KCS setempat, agar suatu perkawinan sah baik menurut hukum maupun menurut hukum Indonesia, diadakan pengaturan sebagai berikut: Pernikahan dilangsungkan di bawah pengawasan Penghulu, setelah itu ducatatkan ke KCS setempat; © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

35 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjutan) Tata cara pencatatan sesuai dengan ketentuan negara setempat; Perwakilan RI konsultasi dengan instansi setempat; Bukti perkawinan dari KCS setempat, didaftarkan dalam buku pendaftaran di Perwakilan RI; setelah kembali ke Indonesia, paling lamabt dalam waktu 1 tahun, buktu perkawinan harus dicatatkan di KUA yang mewilayahi tempat tinggal mereka di Indonesia. Petugas Pencatat Nikah wajib mengirim salinan dokumen nikah dari yang bersangkutan ke KUA kecamatan tempat tinggal mempelai perempuan di Indonesia. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

36 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
(lanjutan) Tata Cara Perceraian Alasan-alasan bercerai adalah sama sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP 9/1975 dan KHI. Gugatan perceraian diperiksa di pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal penggugat atau PA Jakarta Pusat. Pelajari lebih lanjut masing-masing mengenai perceraian WNI di luar negeri. © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH

37 © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH
End of Slides © Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH


Download ppt "PERKAWINAN CAMPURAN Prof.Dr Zulfa Djoko Basuki,SH MH"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google