Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Oleh : Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Oleh : Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum."— Transcript presentasi:

1 Oleh : Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum.
METODE PENEMUAN HUKUM Oleh : Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum.

2 Oleh :Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum.
METODE PENEMUAN HUKUM Oleh :Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum. I. PENDAHULUAN 1. Kata Hukum berasal dari bahasa Arab Hukm (kata jamaknya ahkam) yang berarti putusan (judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (govermment), kekuasaan (authority, Power), hukuman (sentence) dan lain-lain. Asal usul kata Hakam mempunyai arti mengendalikan dengan satu pengendalian. 2. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan kerugian kepada masyarakat maka diperlukan tindakan oleh Pemerintah atau Penguasa untuk penegakan hukum tersebut.

3 3. Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa law in generic tense, is a body of rules of action or cunduct prescribed by controlling authority and having binding legal force. Secara sederhana dikemukakan oleh Sri Sumantri Martosoewignjo bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan definisi Hukum dari Oxford English Dictionary adalah ”law is the body of role, whether formally enacted or customory, whish a state or community recognises as binding on its members or subjects” (Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).

4 4. Utrecht memandang hukum tidak sekedar sebagai kaedah, melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai segi kebudayaan. Dan jika hukum dilihat sebagai kaedah ia memberikan definisi hukum sebagai berikut “hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan- larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan Oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan kerugian kepada masyarakat, maka diperlukan tindakan oleh pemerintah atau penguasa untuk menegakkan hukum tersebut”.

5 5. Dari sudut pandang yang berbeda ini, maka sangat mustahil untuk membuat satu definisi hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam kaitan ini Emmanual Kant sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali beberapa abad yang silam pernah mengatakan bahwa ”noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von rech” (tidak ada seorang yurispun yang mampu membuat satu definisi hukum yang tepat). Demikian Lioyd mengemukakan bahwa ” although much juristie ink has been used in an attemp to provide’ a universally acceptable definition of law” ( meskipun telah banyak tinta para yuris yang habis dipergunakan di dalam usaha untuk membuat suatu definisi hukum yang dapat diterima di seluruh dunia, namun hingga kini, hanya jejak kecil dari niat itu dapat dicapai). Penyebab lain sulitnya memberi definisi hukum yang tepat adalah selain karena sifatnya yang abstrak, juga karena yang diatur oleh hukum itu sangat luas, yakni hampir seluruh segi kehidupan manusia.

6 6. Walaupun diantara para ahli hukum belum mendapat suatu kesatuan mengenai pengertian hukum, tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur sebagai berikut, pertama : hukum merupakan peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, kedua : peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa, ketiga : peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi dan keempat : pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang tegas, kelima : hukum bisa juga berbentuk tidak tertulis berupa kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, keenam : tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagian dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

7 7. Unsur-unsur Hukum: a. Hukum merupakan peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. b. Peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa c. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi d. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang tegas. e. Hukum bisa juga berbentuk tidak tertulis berupa kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. f. Tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagian dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

8 8. Dari berbagai definisi Hukum sebagaimana tersebut di atas, maka secara sederhana dapat di kemukakan bahwa Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang di akui sekolompok masyarakat, disusun oleh orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggota masyarakat dalam suatu negara.

9 9. FUNGSI-FUNGSI HUKUM : a. STANDARD OF CONDUCT. (SANDARAN ATAU UKURAN TINGKAH LAKU ATAU KESAMAAN SIKAP) YANG HARUS DITAATI OLEH SETIAP MASYARAKAT. b. AS A TOOL OF SOCIAL ENGENEERING. HUKUM SEBAGAI ALAT/SARANA UNTUK MEROBAH MASYARAKAT YANG LEBIH BAIK. c. AS A TOOL OF JUSTIFICATION. HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MENYATAKAN BENAR TIDAKNYA SESUATU TINGKAH LAKU. d. AS A TOOL OF SOCIAL CONTROL. SEBAGAI ALAT UNTUK MENGONTROL PEMIKIRAN DAN LANGKAH- LANGKAH MANUSIA AGAR MEREKA SELALU TERPELIHARA MORALNYA, TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN YANG MELANGGAR NORMA HUKUM, SUSILA DAN AGAMA. e. AGAR ADA KEPASTIAN HUKUM DALAM MASYARATKAT (RECHTZEKER HEID).

10 10. PERAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
a. HUKUM TIDAK MERUPAKAN ATURAN-ATURAN YANG BERSIFAT AD HOC HARUS BERSIFAT TETAP. b. HUKUM HARUS DIKETAHUI DENGAN JELAS OLEH MASYARAKAT YANG KEPENTINGANNYA DIATUR OLEH HUKUM ITU. c. HUKUM HARUS DIMENGERTI OLEH UMUM. d. TIDAK ADA KEPUTUSAN YANG SALING BERTENTANGAN. e. TIDAK BOLEH BERLAKU SURUT (RETROAKTIF). f. PENERAPANNYA HARUS MEMPERHATIKAN BUDAYA HUKUM MASYARAKAT. g. HINDARI SERING MERUBAH HUKUM KARENA MASYARAKAT DAPAT KEHILANGAN UKURAN DAN PEDOMAN BAGI KEGIATANNYA. h. HUKUM HARUS ADA LANDASAN JURIDIS, SOSIOLOGIS & FILOSOFIS. i. HARUS BERBENTUK TERTULIS.

11 11. INDIKATOR KESADARAN HUKUM MASYARAKAT
a. ADANYA PENGETAHUAN HUKUM. b. ADANYA PEMAHAMAN HUKUM. c. SIKAP TERHADAP HUKUM d. POLA PERILAKU HUKUM (LEGAL BEHAVIOR). e. TAAT KEPADA HUKUM

12 12. Kondisi Hukum saat ini 1. CRISES (SAAT PENUH BAHAYA)
2. RESCUE (PENYELAMATAN) 3. RECOVERY (PENYEMBUHAN) 4. STABILITY (KESTABILAN) 5. GROWTH (PERTUMBUHAN)

13 II. TENTANG PENEMUAN HUKUM
1. Study tentang ilmu Hukum meliputi 3 dimensi yang tidak boleh ditinggalkan. a. Kaidah-kaidah Hukum Kaidah Hukum yakni peraturan baik yang tertulis maupun lisan yang mengatur bagaimana seyogiyanya menusia berbuat atau tidak berbuat agar kepentingannya terlindungi dari ganggunan pihak lain. b. Sistem Hukum Sistem Hukum yakni merupakan sasaran dari studi ilmu hukum yang pada ilmunya mempunyai ciri-ciri selalu konsisten, mencegah konplik, kontinyu, lengkap, konsepnya fundamental dan mempunyai klasifikasi.

14 c. Penemuan Hukum Penemuan Hukum yakni untuk mengisi kekosongan Hukum
c. Penemuan Hukum Penemuan Hukum yakni untuk mengisi kekosongan Hukum. Sebab peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, oleh karena itu hukumnya di cari, diketemukan, dilengkapi dan dijelaskan dengan jalan penemuan hukum.

15 2. Sasaran studi ilmu hukum
Asas-asas Hukum Kaidah Hukum (Dalam arti luas) Dalam arti sempit (nilai/norm) Peraturan Hukum Konkrit Mencegah konflik Sasaran Studi Ilmu Hukum Konsisten Sistem Hukum Kontinyu Lengkap Konsep fundamental Ada klassifikasi Definisi Penemuan Hukum Sistem Metode Aliran-aliran Prosedur

16 III. TENTANG PENGERTIAN DAN ISTILAH PENEMUAN HUKUM
Pengertian penemuan hukum yang dikemukakan para ahli, antara lain: a. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkongkritan hukum). b. John Z Laudoe, mengemukakan penemuan hukum adalah penerapan ketentuan pada fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena tidak selalu terdapat dalam undang-undang yang ada.

17 c. N.E. Algra dan Van Duyvendjk, mengartikan penemuan hukum sebagai menemukan hukum untuk suatu kejadian kongkrit, dalam konteks ini hakim atau seorang pemutus yuridis lainnya harus dapat memberi penyelesaian yuridis. Selanjutnya dikemukakan bahwa penemuan hukum sebagai kegiatan hakim untuk mempergunakan berbagai macam teknik penafsiran, dan cara menguraikan dengan mempergunakan berbagai macam alasan yang disampaikan kepadanya. Ia juga tidak hanya membuat hukum untuk persoalan yang ada didepannya, tetapi juga untuk kejadian yang sama, yang akan datang. d. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa konkret.

18 2. Peristilahan dalam penemuan hukum
Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum yaitu: a. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya. b. Rechtstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat ditetapkan.

19 c. Rechtshandhaving (pelaksanaan hukum), dapat berarti menjalankan hukum baik ada sengketa/pelanggaran maupun tanpa sengketa. d. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada. e. Rechtsvinding (penemuan hukum atau law making- Inggris), dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Hukum tidak selalu berupa kaidah (das sollen) baik tertulis ataupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa (das sein). Dari perilaku itu sebenarnya dapat digali atau diketemukan hukumnya (vida Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya. Oleh karena itu istilah penemuan hukum dirasakan lebih tepat.

20 3. Dasar Hukum a. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. b. Pasal 14 UU No. 4 Tahun 2004: Pasal 14 ayat (1) menyatakan “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” c. Pasal 23 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, menyatakan: “Segala putusan pengadlan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”

21 d. Pasal 28 UU No. Tahun 2004 Pentingnya Hakim memperhatikan hukum tidak tertulis ini dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) yang menegaskan “ Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.

22 IV. SISTEM PENEMUAN HUKUM
1. Penemuan Hukum Heteronom (Typisch Logicitisch) 2. Penemuan Hukum Otonom (Materiel Juridisch) 3. Subyeknya: a. Orang perorangan b. Ilmuwan/peneliti hukum c. Para penegak hukum d. Direktur perusahaan Swasta/BUMN

23 e. Skema subyek penemuan hukum
Sifat Konfliktif Hakim Hukum Hasil Sumber Hukum Sita Preskriptif Subyek Penemuan Hukum Pembuat UU Hukum Hasil Sumber Hukum Sifat teoritis Peneliti Hukum Hasil Sumber Hukum

24 4. Sumber-sumber Utama dalam Penemuan Hukum
a. Peraturan-perundang-undangan b. Hukum tidak tertulis c. Yurisprudensi d. Perjanjian Internasional e. Putusan Desa f. Doctrine (Pendapat ahli hukum) g. Perilaku manusia

25 V. ALIRAN-ALIRAN PENEMUAN HUKUM
Sebelum tahun 1800 SM Hukum Kebiasaan Sangat beraneka ragam Kurang menjamin kepastian hukum Reaksi terhadap hukum kebiasaan Muncul gerakan kodifikasi LEGISME UU satu-satunya sumber hukum La Baoche de La Loi Hakim sebagai subsumtie Tokoh-tokohnya: Monrtesqueu Robbespierre Fennet J. Rousseau Madzhab Historis (Von Savigny) UU tidak mungkin lengkap dan tuntas Begriff Jurisprudence (Rudolf Van Jherina) Reaksi Terhadap LEGISME UU tidak mampu pecahkan problem masyarakat Interessen Jurisprudence (Rudolf Van Jhering) Terdapat Recht Vacuum Muncul Aliran Socidogische Rechtscule (Hamaker, Hymans) Freirecht Bewegung (Kantoro Wics) Open System Van Het Recht (Paul Scholten) Penemuan Hukum Modern (Problem Oriented) Aliran Studi Hukum Kritis

26 VI. METODE PENEMUAN HUKUM
Subsumptif Gramatikal Sistematis/Logis Historis Teleologis/Sosiologis Komparatif Antisipatif/futuristik Restriktif Ekstensif Otentik/Resmi Interdisipliner Mulitidisipliner Kontrak/Perjanjian Argumentum per Analoglam MPH Argumentum A Contrario Rechtsvervijning Fiksi Hukum Sinonimasi Antitese Terjemahan Restriksi Ampliasi Parereli Deskripsi Enumerasi Archetipasi Ilustrasi Eksemplifikasi INTERPRETASI ARGUMENTASI Individuasi Prinsipal Parafrase dan definisi VERBAL Melengkapi EKSPOSISI TIDAK VERBAL Representasi

27 VII. METODE INTERPRETASI
No. Nama Interpretasi ." Keterangan 01 Gramatikal (objektif) Penafsiran menurut bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya. Contoh: istilah "mengge!apkan barang" (Pasa141 KUHP) diartikan sebagai "menghilangkan atau mencuri barang yang dipercayakan kepadanya 02 Otentik Penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan (memorie an toelichtilnq). rumusan ketentuan Umumnya, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainnya.Contoh: semua kata "penyidik" yang ada dalam KUHAP harus ditafsirkan sesuai dengan bunyi Pasal 1 KUHAP tersebut, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 03 Teologis (Sosiologis) Penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Contoh: Pasal 534 KUHP tentang tindakan mempertunjukkan alat mencegah kehamilan mengalami dekriminalisasi demi tujuan sosiologis (sejalan dengan Program Keluarga Berencana). 04 Sistemtis (logis) Penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya. Contoh: ketentuan tentang pengakuan anak dalam KUH Perdata ditafsirkan sejalan dengan ketentuan Pasal 278 KUHP.

28 05 Historis (Subyektif) Penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah undang-undang). Contoh: kata "Indonesia asli" dalam Pasa! 6 UUD 1945 (sebelum Perubahan Ill) ditafsirkan menurut pemikiran yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1965 06 Komparatif Penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum lainnya. Contoh: syarat-syarat "gugatan kelompok" dalam Pasal 46 UU Perlindungan Konsumen ditafsirkan dengan memperbandingkannya dengan syarat-syarat class action menurut Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure. 07 Futuristis (antisipatif) Penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan undang-undang atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum). Contoh: rumusan delik "pencurian" atas informasi elektronik via internet ditetapkan dengan berpedoman pada rumusan dalam RUU Teknologi Informasi (yang belum secara formal berlaku sebagai sumber hukum).

29 No. Nama Interpretasi Keterangan 08 Restriktif Penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan. Contoh: istilah "tetangga" dalam Pasal 666 KUH Perdata harus berstatus pemilik rumah di sebelah tempat tinggal seseorang 09 Ekstensif Penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan. Contoh: istilah "tetangga" dalam Pasal 666 KUH Perdata ditafsirkan tidak harus si pemilik, tetapi juga mereka yang berstatus penyewa dari rumah di sebelah tempat tinggal seseorang 10 Interdisipliner Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut kejahatan "korupsi", hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana, administrasi negara dan perdata. 11 Multidisipliner Dalam interpretasi multidisipliner, seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Kemungkinan ke depan, interpretasi multidisipliner ini akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini rnula: beragam dan bermunculan. Seperti kejahatan cyber crime, wait cotor crime, terorism, dan lain sebagainya 12 Kontrak Penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Sekarang ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi kontrak yang jelas, dan yang tidak jelas, bahkan terhadap kata-kata yang tampak jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya kepada kehendak para pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan makna yang mereka maksud.

30 VIII. METODE ARGUMENTASI
Menurut Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu: a. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the aplicable sources of law). b. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law). c. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren, yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (Synthesize the aplicable rules of law into a coherent structure). d. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts). e. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply he structure of rules to the facts).

31 Sedangkan Shidarta menyimpulkan ada (6) enam langkah utama penalaran hukum, yaitu: a. Mengindentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur (pata) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi. b. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term). c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukurn itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren. d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin. g. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir. Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a. Argumentum per analogiam (Analogi) b. Argumentum a contrario (A Contrario) c. Rechtvervijning (Penyempitan atau pengkonkretan hukum) d. Fiksi hukum

32 b. TABEL METODE ARGUMENTASI
No. Nama Argumentasi Keterangan 01 Analogi Mengabstraksikan prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan "seolah-olah" memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Contoh: Pasal 1576 KUH Perdata menyatakan jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Bagaimana dengan hibah ? Apakah hibah juga memutuskan hubungan sewa menyewa. Mengingat tidak ada aturan tentang hibah ini, maka Pasal 1576 KUH Perdata ini dikonstruksikan secara analogi, sehingga berlaku ketentuan penghibahan pun tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. 02 A Contrario Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Contoh: menurut PP No.9 Tahun 1975 seorang janda harus melewati masa iddah minimal 130 hari sebelum dapat menikah kembali. Bagaimana dengan duda? Mengingat hal ini tidak diatur, maka dikonstruksikan secara a contrario bahwa untuk duda tidak ada masa iddah. 03 Rechtvervijning Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan "seolah-olah" mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Biasanya, jika diterapkan sepenuhnya akan memunculkan ketidakadilan. Contoh: Pasal 1365 mengatur tentang kewajiban memberi ganti rugi kepada korban atas kesalahan yang diperbuat dalam hal terjadi onrechtmatigedaad. Bagaimana jika si korban juga mempunyai andil atas kesalahan sehingga menimbulkan kerugian itu? Mengingat hal ini tidak diatur, maka prinsip Pasal 1365 dapat dikonstruksikan menjadi ketentuan baru bahwa si korban juga berhak mendapat ganti rugi, tetapi tidak penuh.

33 04 Fiksi Hukum Sesuatu yang khayal yang digunakan di dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum. Metode penemuan hukum melalui fiksi hukum ini bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode menengah, yaitu setelah berakhimya periode hukum primitif. Esensi dari fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta- fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita. Sebagai contoh menu1rut ajaran legisme, satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Tetapi bagaimana agar hukum kebiasaan dapat dipergunakan, maka kemudian difiksikan bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu atas dasar perintah dari undang-undang.

34 IX. METODE KONSTRUKSI HUKUM
No. MACAM NAMANYA KETERANGAN 1 VERBAL PRINSIPAL Individuasi Parafrase Definisi Penjelasan nama-nama kesatuan individual. Metodeini diterapkan pada kata-kata individual. Suatu nama dijelaskan dengan individuasi, apabila diberi suatu indikasi dengan Individuasi membedakan nama yang bersangkutan dari nama lain yang mungkin mengacaukan. Pada individuasi sering digunakan tempat atau waktu Suatu kata dijelaskan dengan metode parafrase kalau digunakan dalam satu kalimat itu diganti dengan kalaimat lain. Sebagai contoh, untuk menjelaskan kata "kepentingan", maka dibentuklah kalimat yang mengandung kata "kepentingan“ sebagai berikut : Orang mempunyai kepentingan dalam perbuatan atau kejadian. Selanjutnya dibentuk kalimat lain yang tidak mengandung kata "kepentingan" yang maknanya sama, seperti : Perbuatan atau kejadian itu menimbulkan untung rugi. Kemudian kalimat tersebut diganti dengan kalimat berikut : Orang mempunyai kepentingan dalam suatu perbuatan atau kejadian, kalau perbuatan atau kejadian itu mengakibatkan untung atau rugi. Sebuah nama klas dijelaskan dengan definitie per genus et defferentium apabila nama klas yang lebih tinggi dan terdekat disebutkan dan kemudian disebutkan sifat yang membedakun klas yang bersangkutan dengan klas-klas terdekat Iainnya. Dengan definitie per genus et defferentium, luas pengertian sebuah kata ditetapkan, yaitu dibatasi oleh pengertian-pengeriian lain yang mungkin mengacaukan. 2 VERBAL MELENGKAPI Sinonimasi Antitese Dengan sinonimasi, sebuah kata "X" dijelaskan apabila sebuah kata "Y" disebut yang mempunyai arti sama. Metode parafrase menuju kepada sinonimasi kalimat-kalimat penuh. Dengan antitese, kata "X" dijelaskan apabila disebut kata "Y“ yang artinya contradictoir dengan "X". Metode parafrase menuju kepada sinonimasi kalimat-kalimat penuh.

35 Terjemahan Restriksi Ampliasi Paraleli Deskripsi Enumerasi Terjemaahan merupakan bentuk khusus sinonimasi kata “X” dan “Y” yang berasal dari dua bahasa. Dengan restriksi, kata "X" dijelaskan apabila kepada "A' diberi arti yang lebih sempit daripada kepada "Y". Terjadi restriksi apabila sebuah "barang" itu disebut "benda" apabila mernpunyai nilai bagi manusia dan oleh hukum dianggap sebagai satu kesatuan Dengan ampliasi, kata "X" dijelaskan apabila kepada "X" diberi arti yang lebih luas daripada kepada "Y". Terjadi ampliasi apabila termasuk benda adalah "hak". Dengan Paraleli kata “X” dijelaskan apabaila dibandingkan dengan kata “Y” dan ditunjukkan perbedaan dan persamaannya. Paraleli banyak digunakan untuk menjelaskan kata-kata denga arti materiil. Dengan deskripsi suatu kata dijelaskan apabila genus yang tertinggi dan terdekat disebutkan dan suatu sifat-sifat yang membedakan dari klas yang sama. Bedanya dengan definisi hanyalah dalam definsi disebut satu sifat, sedangkan dalam deskripsi lebih banyak. Definisi adalah deskripsi singkat, sedangkan deskripsi adalah definisi yang diperluas. Deskripsi digunakan juga sebagai metode tambahan pada individuasi. Dengan enumerasi sebuah kata dijelaskan apabila klas atau individu disebutkan semuanya yang termasuk di dalamnya.

36 3 Non Verbal Archetipasi Ilustrasi Eksemplifikasi Representasi Dengan archetipasi sebuah kata dengan arti immateriil dijelaskan apabila ditambahkan gambaran tertentu tentang dunia benda. Ilustrasi adalah setiap metode verbal untuk menjelaskan arti kata Metode eksemplifikasi digunakan untuk menjelaskan sesuatu dengan memberi contoh-contoh. Dengan metode representasi ini, seseorang menjelaskan suatu kata kepada orang lain, apabila ia menyebutkan kata sedang yang lain memperoleh suatu gambaran melalui pancainderanya. Nama suatu barang dijelaskan dengan representasi apabila namanya disebutkan dan barangnya diperlihatkan. Metode representasi hanya dapat diterapkan pada kata-kata yang indikatif untuk sesuatu yang dapat diamati dengan pancaindra. Yang dapat dilakukan dengan metode representasi antara ialah: Nama-nama barang misalnya almari, kursi, payung, kuda dan lain-lain. Nama-nama sifat yang yang empiris, misalnya hijau, lembut, kasar, dingin dan sebagainya. Penyebutan yang egosentris, misalnya aku, kamu, ini sekarang dan lain-lain. Nama kejadian, misalnya gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya.

37 X. METODE PENEMUAN HUKUM ISLAM
No. MACAM KETERANGAN 1. ISTIMBATH Cara-cara menetapkan (mengeluarkan) hukum Islam dari dalil nash, baik dari ayat-ayat Al Qur'an maupun dari as-Sunnah, yang lafadz (perkataannya) sudah jeIas/pasti (qoth'i). Jalan istimbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. Sebagai contoh ketentuan Al Qur'an mengenai Iarangan kawin antara : wanita muslimah dengan pria non muslim, para ulama tidak berbeda pendapat dengan masaIah ini. Karena isinya sudah jelas dan tidak dapat ditafsirkan lain. QS. Al Baqarah ayat 221 menyebutkan sebagai berikut : "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari pada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu” 2. IJTIHAD 2.1. Ijma Cara menggali hukum Islam dari nash (teks), baik dari ayat-ayat Al Qur' an maupun dari as-Sunnah yang memerlukan perenungan yang mendalam, mengingat lafadh (perkataannya) bersifat dzonni (belum pasti). Karena sifatnya belum pasti, sangat mungkin terjadi pemahaman yang berbeda di antara para ulama. Sebagai contoh, mengenai ketentuan seorang pria muslirn boleh kawin dengan wanita ahluI kitab. Dalam QS. Al Maidah ayat 5 menyatakan sebagai berikut : "Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci scbelum kamu", Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang dimaksud ahlul Kitab? Kesepakatan para Mujtahid dari ummat Muhammad sesudah wafat Beliau tentang hukum syara'. Jadi ijma merupakan kesepakatan bulat pendapat dalam ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh para ulama Mujtahid.

38 2.2. Qiyas Memperbandingkan hal yang tidak ada nashnya dengan hal yang yang sudah : ada nashnya dalam hukum syara' yang bersifat pasti, untuk mencari Persamaan alasan hukum. Apabila ada sesuatu kejadian yang belum ada ketentuan hukumnya secara khusus. kernudian dibandingkan dengan kejadian lain yang serupa akan tetapi ketentuan hukumnya telah ada. Akhirnya ditetapkanlah suatu hukum yang telah dinashkan terhadap kejadian lain yang di dalamnya terdapat alasan hukum yang serupa. Dengan kata lain Qiyas adalah menyamakan ha! yang hukumnya tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul dengan hal yang hukumnya terdapat ketentuannya dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul karena adanya persarnaan "illat hukum atau ha! yang melatarbelakangi adanya ketentuan hukum. Misalnya Q.s. Al Maidah : 90 melarang minum khamar, minuman keras yang dibuat dari buah anggur. Ha! yang melatarbe!akangi larangan tersebut atau 'illat hukumnya adalah karena minuman itu. memabukkan. Maka segala minuman yang memabukkan yang dibuat bukan dari buah anggur dapat diqiyaskan hukumnya dengan khamar, seperti tuak yang dibuat dari air bungan enau dan sebagainya, jika berjual beli khamar hukumnya hararn, hukum beriual beli tuak hukumnya juga haram atas dasar qiyas 2.3. Istishlah/Al Masholih Al Murshalah Pertimbangan kepentingan masyarakat. Menentukan hukum atas dasar lstishlah tertuju kepada hal-hal yang tidak diatur ketentuannya daIam Al Qur'an dan Sunah Rasul. Misalnya menetapkan kewajiban membayar pajak perdagangan yang sama sekali tidak disinggung dalam Al Qur'an dan Sunah RasuI dapat dibiarkan atas pertimbangan kepentingan masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan dalam pengeIolaan negara, atau untuk memperoIeh pendapatan negara yang diperlukan untuk kepentingan masyarakat.

39 2.4. Ihtishan Mengambil ketetapan yang dipandang Iebih baik sesuai tujuan hukum Islam, dengan jalan meninggalkan dalil khusus untuk mengamalkan daIil umum. Misalnya Islam mengajarkan agar hak milik perorangan dijamin dan hanya dibenarkan untuk dilepaskan dengan jalan sukarela pemiliknya. Akan tetapi jika kepentingan umum mendesak,dimungkinkan penguasa mencabut hak milik perorangan dengan paksa, meskipun seharusnya dengan memberikan ganti rugi kecuali jika untuk itu memang tidak dimungkinkan. Misalnya mencabut hak milik tanah perorangan untuk pelebaran jalan dan pembuatan waduk air guna mengairi tanah-tanah tandus dalam rangka penyuburan dan peningkatan produksi pangan. 2.5. Ihtishab Melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum adanya ketentuan lain yang mebatalkannya. Misalnya dalam perjanjian utang piutang yang telah terjadi, tiba-tiba pihak berutang mengatakan telah membayar kembali hutangnya, padahal tanpa saksi atau alat bukti lainnya. Dalam hal seperti ini, atas dasar istishab, ditetapkan bahwa pihak berutang masih belum membayar kembali utangnya jika pihak berpiutang rnenvangkal pernvataan pihak berutang tersebut 2.6. Al Urfu Sesuatu yang dikenal oleh orang banyak dan dikerjakan, baik berupa perkataan, perbuatan maupun keengganan. Sementara ulama ada yang menyamakan dengan adat kebiasaan, karena ia merupakan sesuatu hal yang biasa dikerjakan atau diucapkan oleh mereka. Dengan demikian hal-hal yang tidak bertentangan dengan ketentuan syara' dapat dikokohkan tetap berlaku bagi masyarakat yang mempunyai adat istiadat tersebut. Maka bagi ummat Islam, hukum adat setempat masih dapat dipandang berlaku, selagi tidak bertentangan dengan ketentuan nash Al Qur'an dan Sunah Rasul. Misalnya berjualbeli buah-buahan dengan cara tebasan dengan ketentuan pernbeli memetik sendiri yang merupakan adat kebiasaan dalam muamalat. Hal seperti ini dapat dibenarkan karena memang teIah menjadi adat kebiasaan yang diterima masyarakat, dan pihak-pihak bersangkutan tidak ada yang merasa dirugikan serta tidak bertentangan dengan ketentuan nash Al Qur'an dan Sunah Rasul,

40 XI. PENEMUAN HUKUM MODERN
Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, di bawah pengaruh eksistensialisme dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie automaat. Dasar pemikiran atau pandangan ajaran ini di antaranya adalah: 1. Posotivisme undang-undang/legisme sebagai model subsumptie automaat tidaklah dapat dipertahankan. 2. Yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. 3. Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan. 4. Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama

41 5. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia, maka dalam menemukan hukum harus diperhatikan pula perkembangan masyarakat dan perkembangan tekhnolgi. 6. Metode penafsiran yang digunakan terutama teologis, yang lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang, daripada bunyi kata-katanya saja. Sebagai contoh penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 20 April 1990, bahwa pernikahan melalui telepon antara suami dan calon isteri yang berjauhan tempat tinggalnya dinyatakan tetap sah.

42 XII. TUGAS DAN PERANAN HAKIM
1. Hakim sebagai Penegak Keadilan - Lihat surat An Nisa ayat 58 - Pasal 4 (1) UU No. 4 Tahun 2004, Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa - Keppres No. 17 Tahun 1994 tentang Repelita ke 16 bidang Hukum, Hakim dalam mengambil keputusan di samping senantiasa harus berdasarkan pada hukum yang berlaku, juga berdasarkan atas keyakinan yang seadil-adilnya dan sejujur- jujurnya - Harus memakai hati nurani

43 2. Hakim sebagai Penegak Hukum
Azas legalitas sebagai pegangan utama Hakim tidak boleh terikat pada bunyi UU semata, tapi harus mempu menciptakan hukum melalui putusan-putusannya. Tidak saja menjaga ketertiban, melainkan juga berfungsi sebagai pengawas UU dan juga berfungsi sebagai paedagogis terhadap pihak-pihak yang bersengketa, termasuk masyarakatnya. 3. Hakim sebagai Pencipta Hukum Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan dengan benar dan adil Sebagai dinamisator peraturan perundang-undangan dengan cara menggunakan metode penafsiran dan kontruksi dan berbagai pertimbangan sosio kultural berkewajiban menghidupkan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Melakukan koreksi terhadap kemungkinan kekeliruan atau kekosongan hukum, Hakim wajib menemukan Hukum dan menciptakan hukum untuk mengisi hukum tersebut. Melakukan penghalusan terhadap peraturan perundang-undangan, tanpa penghalusan peraturan-peraturan perundang-undangan begitu keras sehingga tidak mewujudkan keadilan atau tinjauan tertentu terwajar. 43

44 XIII. PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM 1. Perlunya Penemuan Hukum
- Kekosongan Hukum (Leemten in Het recht) - Konflik antar norma Hukum (Antinomi Hukum) - Norma Hukum yang kabur (voge normen) (norma yang tidak jelas) 2. Antinomi Hukum dapat diselesaikan dengan asas - Lex posteriori derogat legi priori (UU yang kemudian yang di pakai) - Lex Specialis derogat legi generalie - Lex superiori derogat legi inferiori (yang lebih tinggi yang dipakai)

45 Interpretasi - - Gramatikal, Historis, Teologis/sosiologis, Futuristik
Ekstentif, Authentik, Indisipliner, Multi indisipliner, dll Metode Kontruksi - Argumentasi peranalogian (analogi) (Psl 1576 KUHPerdata) jual beli tidak untuk sewa menyewa - Argumentum a contrario - Penyempitan Hukum (Rechtverfijning) 3. METODE Fiksi Hukum PENEMUAN HUKUM oleh HAKIM Metode Hermanitik - Ilmu atau seni menginterpretasikan teks atau sesuatu. - Kata teks atau sesuatu ini, mengarah kepada tek hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno atau ayat-ayat dalam kitab suci, hasil ijtihad para ahli hukum Islam yang menjadi obyek yang ditafsirkan Metode Usil Fiqih/Instimbat Hukum -

46 4. Syarat utama melakukan Kontruksi
Menurut Rudolph Von Jhering syarat untuk melakukan konstruksi hukum: - Meliputi materi hukum positif Kontruksi Hukum disini harus mampu meliput semua bidang hukum positif yang bersangkutan - Tidak boleh membantah dirinya sendiri didalam pembuatan kontruksi, tidak boleh ada pertentangan logis didalamnya - Faktor Estetika Kontruksi kiranya mengandung faktor keindahan yaitu kontruksi tidak merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan kontruksi diharapkan dalam belantara perundang-undangan itu muncul kejelasan-kejelasan

47 Tidak semata-mata bersifat legalistik (La Bouche De La Loi) Tidak sekedar memenuhi syarat formal hukum, putusan hakim harus mendorong kebaikan dan harmonisasi dalam pergaulan masyarakat 5. Putusan Hakim Yang sesuai dengan Metode Penemuan Harus mempunyai visi pemikiran kedepan Hakim (Visioner) yang mempunyai kebaranian melakukan terobosan hukum Harus Peka terhadap nasib dan keadaan bangsa dan negaranya terutama rakyat pencari keadilan

48 6. NORMA LUHUR YANG ESSENSIAL MENJADI PEGANGAN BAGI HAKIM
1. Norma Kemanusiaan Norma ini menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia mewakili keluhuran pribadi. 2. Norma Keadilan Adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya. 3. Norma Kepatutan Equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam memberlakukan UU dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya, kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia 4. Norma kejujuran Setiap penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus/menangani hukum serta melayani justitiable yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan 48

49 7. TANGGUNG JAWAB HAKIM 1. Hakim dipanggil untuk melakukan justisialisasi dari pada hukum, dalam arti putusannya harus mencerminkan keadilan. 2. Penjiwaan hukum, dalam arti hakim melalui putusannya tidak boleh lalai sedikitpun dalam menjaga ketertiban (membela) hukum. 3. Pengintegrasian hukum, seorang hakim harus mampu menegakkan keputusannya dalam keseluruhan sistem hukum. 4. Totalisasi hukum, hakim harus mampu menempatkan keputusannya dalam keseluruhan kenyataan sosial ekonomis serta nilai moral dan relegius yang hidup ditengah masyarakat. 5. Personalisasi hukum, putusan hakim harus memberikan pengayom kepada pencari keadilan, bukan sebaliknya justru merugikan atau menyengsarakan mereka. 6. Memberi Edukasi, setiap putusan yang dijatuhkan harus dapat memberi nilai-nilai pendidikan kepada hakim yang lain 49

50 8. KENDALA EKSTERNAL DAN INTERNAL DALAM MEMUTUS PERKARA
Eksternal: 1. Tekanan dari pihak eksekutif dan legislatif 2. Peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan 3. Masih banyak masyarakat yang buta hukum (Budaya Hukum) 4. Tekanan dari salah satu pihak yang berperkara (suap) Internal: 1. Masih banyak Hakim kurang menguasai hukum acara dan materil 2. Tekanan dari kalangan Hakim sendiri, terutama Hakim yang lebih tinggi kepada Hakim yang lebih rendah. 3. Sarana dan prasarana yang belum memadai. 4. Sistem dan prosedur yang belum jelas 5. Buku-buku perpustakaan yang kurang mendukung 6. Pola Bindalmin tidak jalan

51 9. PROSEDUR PENERAPAN HUKUM
Peristiwa yang diajukan dalam gugatan Penggugat Penemuan Hukum Peristiwa konkrit yang harus dikonstair/dibuktikan Peraturan yang cocok dengan peristiwa konkrit PUTUSAN Peristiwa konkrit Peristiwa Fakta yang telah dibuktikan Huum Yuridis dalam jawaban Tergugat

52 XIV. TAHAPAN HUKUM ACARA
Pendaftaran Perkarta Penetapan Majelis Hakim Pendahuluan Penetapan hari sidang Panggilan kepada pihak-pihak yang berperkara Penetapan verskot biaya perkara Berita Acara Prodeo Mengkonstatasi Peristiwa Tahapan Hukum Acara Penentuan Mengkualifikasi peristiwa konkrit Mengkonstitusi hukumnya Sukarela Putusan berkekuatan hukum tetap Pelaksanaan Putusan tidak dijalankan secara suka rela Paksa (eksekusi) Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir Eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan

53 XV. Teori pemeriksaan Perkara
1. Tehnik analitik (yuridis geometris) - Hanya dipakai dalam perkara-perkara berat. - Harus menguasai hukum acara yang benar dan hukum materiel yang cukup. - Output tekhnis ini adalah keadilan & kepastian hukum - Kalau tidak ada hukumnya pakai contra legem - Setiap contra legem harus pakai Bacis Common ide - Sering dipakai dalam perkara-perkara yang kasusnya berlapis.

54 2. Tehnik Equatable (Komistis-keadilan deduktif)
- Tentukan isi pokok terlebih dahulu. - Susun pernyataan yang sifatnya umum. - Apakah benar sifolan pewaris yang wafat tanggal ? - Apakah benar para penggugat ahli warisnya ? - Apakah benar objek sengketa merupakan barang waris? - Apakah benar barang waris sudah dialihkan kepada pihak ketiga dengan cara hibah atau jual beli ? - Berapakah bagian masing-masing yang diperoleh ahli waris? Tentukan alat-alat bukti penggugat dan apa saja alat-alat bukti Penggugat - Saring alat-alat bukti itu apakah memenuhi syarat formil dan materil ?

55 - Analisis pertanyaan tersebut di atas satu persatu dan kaitkan dengan alat bukti (uji alat bukti masing-masing siapa yang benar). - Jika alat-alat bukti sudah ditentukan mana yang lebih kuat dan benar, maka gabungkan dengan petitum gugatan dan sekaligus menjawab petitum tersebut, diterima atau ditolak. - Output dari pemeriksaan model ini adalah keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. - Banyak di praktekkan dalam hukum benda

56 3. Tehnik silogisme, metode penerapan induktif.
- Cari fakta-fakta sebanyaknya dalam surat gugat, jawab menjawab & Replik duplik dan fakta-fakta yang di dapat dalam persidangan. - Kwalifikasikan fakta-fakta itu, mana yang sudah diakui dan mana yang belum diakui. - Fakta-fakta yang belum diakui secara bulat harus dibuktikan. - Apabila fakta-fakta itu sudah diakui maka langsung menjadi fakta yuridis. - Setelah di konstatir, ternyata ada yang terbutki maka disebut fakta konkrit yang telah dibuktikan. - Cari rolenya pada peristiwa konkrit itu. - Kalau sudah ketemu rolenya, disebut fakta yuridis. - Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuji kebenarannya, maka dapat disimpulkan bahwa dalil-dalil gugatan adalah benar. - Banyak dipakai dalam hukum orang (personal rech).

57 XVI. KONSTRUKSI PUTUSAN
1. Kepala putusan a. Putusan b. Nomor putusan c. Bismillah d. Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Duduknya perkara a. Surat gugat (hal-hal yang menyangkut pokok saja). b. Tanggapan dan jawaban para pihak, Replik dan Duplik cukup disingkat saja. c. Fakta-fakta kejadian atau hal-hal yang terjadi dalam persidangan (cukup ditulis segala sesuatu terurai dalam BAS di anggap termuat dalam putusan ini)

58 3. Tentang Hukumnya a. Di sini argumentasi hakim dipertaruhkan dalam mengkonstatir, mengkwalifisir dan mengkonstituir segala peristiwa. b. Putusan harus mengandung racio desisendi dan abiter dectum. c. Semua alat-alat bukti penggugat dan tergugat harus dipertimbangkan secara terperinci satu persatu. d. Kalau pakai pendapat para pakar harus dipakai kata-kata “yang diambil alih sebagai pendapat majelis”. e. Boleh pakai dalil-dalil hukum syara’ (Qur’an, Hadits dan Qoul Ulama) dan harus singkron dengan dalil gugat, satu sama lain harus tersusun secara kronologis.

59 4. Tentang Amar Putusan a. Tegas dan Lugas. b. Terperinci dan jelas maksudnya c. Perhatikan sifat amar putusan - Konstitutif - Declaratoir - Condemnatoir Ini penting karena menyangkut eksekusi putusan

60 5. Bahagian Penutup a. Kapan putusan dijatuhkan dalam sidang terbuka untuk umum. b. Nama Majelis Hakim juga Panitera c. Rincian biaya perkara d. Harus bermaterai. 6. Sistem Pembuatannya : a. Kertas A4 70 gr b. 1,5 Spasi c. Margin 4,3,3,2 d. Jenis Huruf Arial 12 pt e. Identitas Melawan bukan lawan d. Tidak boleh pakai Tip Ex tapi renvoy apabila ada kesalahan

61 XVII. TEORI PENJATUHAN PUTUSAN
Menurut MACKENZIE ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara: 1. Teori Keseimbangan Keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan UU dan kepentingan pihak-pihak yang berperkara, seimbang dalam Pembuktian dan seimbang dalam mengadakan perdamaian 2. Teori pendekatan seni dan intuisi Teori ini banyak dipakai dalam hukum Pidana dan jarang dipakai dalam hukum Pedata, sebab instink & naluri Hakim yang selalu mengandung nilai-nilai subyektif.

62 3. Teori pendekatan Keilmuan Teori ini menghendaki agar Hakim dalam putusan yang diambil harus di laksanakan secara sistemik dan penuh kehatian-hatian tidak boleh didasarkan pada intuisi dan instink belaka tapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum. 4. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim akan dapat membantunya dalam memutus suatu perkara. Harus dipikir dampak dari putusan yang dijatuhkan itu. 5. Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat terhadap semua pertimbangan yang berkaitan dengan pokok perkara yang relevan disengketakan, yang kemudian mencari peraturan yang relevan dengan fakta yuridis yan ditemukan.

63 XVIII. HAKIM PENGADILAN AGAMA YANG DIHARAPKAN
1. Intelektual 2. Profesional 3. Integritas moral yang solid 4. Berkemampuan 5. Demokratis dan persuasif XIX. MELAKUKAN PEMBINAAN 1. Pra training service 2. In training service 3. Tour of area & duty 4. Kesejahteraan yang cukup 5. Reward & punishment 63

64 XX. PENUTUP SEKIAN TERIMA KASIH 64


Download ppt "Oleh : Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google