MODEL-MODEL PENYELENGGARAAN PTK
Ada sekurang-kurangnya empat model pendidikan kejuruan yang diterapkan di negara- negara maju.
Pertama; Pendidikan kejuruan ”model sekolah, yaitu pemberian pelajaran (umum, kejuruan, dan nilai/norma/sikap ) sepenuhnya dilaksanakan di sekolah. Model ini berasumsi bahwa segala hal yang terjadi di tempat kerja dapat diajarkan di sekolah dan sumber belajar ada di sekolah. Model ini paling banyak dipraktekkan di Indonesia sebelum repelita VI. Model sekolah ini banyak dikritik karena boros atau tidak efisien, kurang mampu menjaga relevansi, kurang muktahir dan konservatif.
Bahkan ahli ekonomi ketenagakerjaan dari Bank Dunia, Gorge Osacharopolous (1994) menganjurkan agar praktek kejuruan dilaksanakan di tempat kerja (dunia usaha). Lagi pula sumber-sumber di luar sekolah khususnya di dunia usaha jauh lebih muktahir, lebih berkualitas, lebih nyata dan tidak abstrak, lebih kontekstual, dan lebih relevan.
Kedua; Pendidikan kejuruan “model sistem ganda” yaitu kombinasi pemberian pengalaman belajar di sekolah dan pengalaman kerja sarat nilai di dunia usaha. Model ini menganggap bahwa kombinasi pembelajaran di sekolah dan pengalaman kerja di dunia usaha akan memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna, karena yang diajarkan telah dikemas menjadi bahan pelajaran yang tersistem dan terpadu, dan lebih konkret. Model ini telah banyak diprtaktekan di Jerman, Swiss dan Austria. Tamatan model ini umumnya memiliki kemampuan kerja berkualitas tinggi.
Ketiga, Pendidikan “model magang” dengan menyerahkan sepenuhnya kegiatan pelatihan kepada industri dan masyarakat, tanpa dukungan sekolah. Sekolah pada tingkat menengah hanya menyelenggarakan pendidikan yang bersifat komprehensif, termasuk di dalamnya dasar-dasar pendidikan kejuruan.
Pendidikan kejuruan sendiri baru dilakukan pada tingkat politeknik (setelah sekolah menengah). Model seperti ini, misalnya terdapat di Amerika Serikat. Model seperti ini kurang cocok di negara yang sedang berkembang karena “sistem magang“ kurang mampu memenuhi tenaga kerja terampil tingkat menengah.
Keempat, Pendidikan kejuruan dengan model “school-based-enterprise” atau kalau di Indonesia disebut unit produksi. Model ini pada dasarnya adalah mengembangkan dunia usaha di sekolahnya dengan maksud selain untuk menambah penghasilan sekolahnya, juga untuk menambah pengalaman kerja yang benar- benar nyata pada siswanya. Model ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan sekolah kepada industri dalam pemberian pelatihan kerja, dikarenakan pada daerah-daerah tertentu tidak ada industri atau selama kelesuan ekonomi sehingga beberapa industri terpaksa tutup.
Sebenarnya masih banyak pendapat tentang model-model penyelenggaraan pendidikan kejuruan diantaranya Greinert (1994), seorang pakar pendidikan kejuruan dari Jerman, menyebutkan bahwa terdapat tiga model dalam pendidikan kejuruan: model pasar (the market model), model sekolah (the school model), dan model sistem ganda (the dual system model). Pada model pasar, pemerintah tidak terlibat dalam proses kualifikasi kejuruan.
Model ini sering juga disebut model liberal dan langsung diarahkan pada produksi dan pasaran kerja. Sementara itu pada model pendidikan sekolah, pemerintah berperan merencanakan, mengorganisasikan, dan memantau pelaksanaan pendidikan kejuruan. Model pendidikan kejuruan semacam ini juga disebut model birokratik.
Sedangkan model sistem ganda pada dasarnya merupakan perpaduan dari model pasar dan model sekolah. Dalam hal ini, pemerintah berperan sebagai pengawas model pasar. Sistem pendidikan ini disebut "dual system", karena pelaksanaan pendidikan dilakukan di dua tempat, yaitu di sekolah dan dunia usaha.
Di samping tiga model seperti diuraikan di atas, terdapat suatu model kerjasama antara lembaga pendidikan dan industri yang dikembangkan di Amerika Serikat, disebut model pendidikan koperatif (cooperative education). Pendidikan koperatif tersebut mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) dilindungi oleh undang- undang yang kuat, sehingga baik sekolah maupun industri mempunyai ikatan legal yang harus dipatuhi;
(2) memadukan pengajaran yang berorientasi pada lapangan kerja (occupationally oriented instruction) di sekolah dan pengalaman belajar yang berkaitan dengan pekerjaan (work-related learning experience) di industri; (3) kegiatan ini direncanakan dan disupervisi secara baik; (4) adanya pengaturan waktu antara kedua kegiatan secara berlapis-berulang, yang memungkinkan siswa dapat belajar di sekolah sambil bekerja di industri;
(5) pengalaman belajar bekerja harus sesuai dengan program studi atau tujuan karir subyek didik; (6) adanya perjanjian pelatihan siswa (student training agreement) yang ditandatangani oleh siswa, orang tua, koordinator/sekolah, dan supervisor/perusahaan; dan (7) diberikannya upah kepada siswa yang sedang bekerja oleh perusahaan yang bersangkutan (Humbert & Woloszyk, 1983).
Apabila diperhatikan, karakteristik pendidikan koperatif tersebut mirip dengan PSG, tetapi sebenarnya terdapat beberapa perbedaan pokok. Pendidikan Sistem Ganda adalah sistem pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di dua tempat, yaitu di sekolah dan industri (the dual system model).
Pendidikan koperatif merupakan sistem pelatihan di industri, sedangkan basis pendidikannya tetap di sekolah. Dengan perkataan lain, PSG merupakan sistem pendidikan secara keseluruhan, dan pendidikan koperatif merupakan bagian dari sistem pendidikan.
Adapun perbedaan pendidikan koperatif dengan model pendidikan tradisional (the school model), terletak pada penyelenggaraan prakek industri yang lebih terencana, bersistem, dan diperkuat oleh undang-undang. Jadi, pendidikan koperatif ini terletak di antara pendidikan berbasis sekolah dan PSG.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa model penyelenggaraan pendidikan kejuruan: model sekolah, model pasar, model PSG, model magang, model enterprise, serta model pendidikan koperatif. Selama ini, di Indonesia dilaksanakan model PSG untuk semua SMK dengan berbagai-bagai kondisi. Namun pada pelaksanannya masih terdapat beberapa kendala diantaranya adanya: keragaman geografis, keragaman kesiapan dan potensi SMK, keragaman program SMK yang kurang didukung oleh keberadaan industri di daerah yang bersangkutan, kurang efektifnya guru pembimbing dari sekolah, dan instruktur di industri, sulitnya menjalin kerjasama dengan DuDi, serta lemahnya manajemen pelatihan di industri.
Barangkali lebih efisien apabila model PSG ini tidak harus dilaksanakan untuk semua SMK. Setiap sekolah, dengan pertimbangan Majelis Sekolah, diberi kebebasan untuk memilih salah satu diantara beberapa model di atas, tergantung dari kemampuan, potensi, kesiapan, dan lingkungan masing-masing SMK.