MANHAJ (METODE) ISTIMBATH HUKUM ISLAM ERA MODERN BAHAN MATERI PERKULIAHAN AIK SMT II Oleh : Rohmat Suprapto,S.Ag,MSI
Memahami Agama Islam: Islam dalam realitas: Realitas masa lalu (sejarah) Realitas masa kini Ajarannya --- Syariah dalam arti luas: Akidah, Syariah (dalam arti sempit): Akhlak Ibadat Muamalat (dalam arti luas)
Dalam Muhammadiyah: Akidah Ibadat Akhlak Muamalat
Beberapa Pengertian Dasar: 1. SYARIAH Syariah dalam arti luas adalah keseluruhan norma yang disyariatkan Allah melalui salah seorang nabi yang mengatur masalah-masalah kepercayaan dan masalah-masalah amaliah. Syariah dalam arti luas identik dengan Islam itu sendiri, yakni Islam dalam dimensi normatifnya, yang disebut juga ad-Din.
Syariah dalam arti sempit: Kumpulan norma yang mengatur tingkah laku konkret, baik norma yang diwahyukan dalam al-Quran dan as-Sunnah, maupun hasil perluasan dan interpretasi terhadap norma dalam al-Quran dan Sunnah. Ada yang membatasi hanya sejauh yang diwahyukan dalam al-Quran dan as-Sunnah
2. Fikih Fikih: Ilmu yang mengkaji norma-norma yasng mengatur tingkah laku konkret yang diwahyukan melalui al-Quran dan as-Sunnah. Kumpulan norma-norma yang mengatur tingkah laku konkret yang disampaikan dalam al-Quran dan as-Sunnah, maupun hasil ijtihad.
Persamaan dan Perbedaan Syariah dalam arti sempit sama dengan fikih dalam arti kedua, yaitu kumpulan norma yang diajarankan dan mengatur tingkah laku manusia baik yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah maupun yang merupakan hasil ijtihad.
Ada pendapat yang ingin membuat pembedaan di mana syariah dalam arti sempit adalah kumpulan norma dan ajaran yang langsung ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah, Fikih adalah kumpulan ajaran hasil perluasan norma-norma dalam al-Quran dan as-Sunnah melalui proses ijtihad.
Menurut al-Gazzali (w. 505/1111) dalam karyanya al-Musta¡fā min ‘Ilm al-U¡ūl, Usul Fikih menyelidiki 4 pertanyaan pokok: Apa hukum syar’i? Di mana hukum syar’i ditemukan. Dengan kata lain apa sumber hukum syar’i? Bagaimana menggali hukum syar’I dari sumber-sumber tersebut? Denghan kata lain bagaiama metode penemuan hukum syar’i? Siapa yanng berwenang melakukan itu semua?
HUKUM SYAR’I Hukum syar’i sapaan/perhatian Ilahi yang ditujukan kepada perbuatan manusia yang memuat tuntutan, alternatif, atau hubungan.
Metode Penemuan Hukum Syar’i Ada tiga metode: Metode bayani Metode kausasi (ta’līlī) Kausasi berdasarkan kausa efisien (al’illah al-fā’ilah) Kausasi berdasarkan kausa finalis (al-’illah al-gā’iyyah / maqāsid asy-sayrī’ah) Metode sinkronisasi (at-taufīqī)
PERNYATAAN HUKUM Dalam metode bayani obyeknya adalah pernyataan hukum yang dilihat dari segi: Jelas-tidaknya Dalalah (cara menunjukkan maksud) Luas-sempitnya cakupan makna Bentuk-bentuk taklif
Dari Segi Jelas-Tidaknya Peernyataan Hukum Pernyataan yang jelas: Zahir Nas Mufassar Muhkam Pernyataan Tidak Jelas: Khafi musykil Mujmal mutasyabih
Ayat Riba الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280) وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ (281) [البقرة/275]
DALALAH Dalālatul-’Ibārah Dalālatul-Isyārah Dalālatul-Iqtidā’ Dalālatud-Dalālah
Dalalah menurut Mutakallimin Manţūq: Manţūq sarih Manţūq gair sarih: Dalālatul-’Imā’ Dalālatul-Isyārah Dalālatul-Iqtidā’ Mafhūm Mafhūm al-muwāfaqah (argumentum a fortiori) Mafhūm al-mukhālafah (argumentum a contrario)
Ayat عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ بَاعَ نَخْلاً قَدْ أُبِّرَتْ فَثَمَرُهَا لِلْبَائِعِ ، إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ [رواه البخاري ومسلم]. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130) [آل عمران/130]
Cakupan makna Pernyataan umum Pernyataan yang mencakup lebih dari satu satuan خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (103) [التوبة/103] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267) [البقرة/267]
Cakupan makna Pernyataan umum Pernyataan yang mencakup lebih dari satu satuan خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (103) [التوبة/103] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267) [البقرة/267]
Pernytaan khusus Pernyataan yang mencakup satu pernyataan (terbatas) يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا [الأحزاب/28]
Pembatasan (Takhsis) عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ [رواه البخاري ومسلم] عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ [رواه البيهقي].
Metode Penemuan Hukum Syar’i Ada tiga metode: Metode bayani Metode kausasi (ta’līlī) Kausasi berdasarkan kausa efisien (al’illah al-fā’ilah) Kausasi berdasarkan kausa finalis (al-’illah al-gā’iyyah / maqāsid asy-sayrī’ah) Metode sinkronisasi (at-taufīqī)
Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 02/MLM/1 Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 02/MLM/1.0/E/2014 tertanggal 09 Rajab 1435 H / 08 Mei 2014 M Tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah 1435 Hijriyah: Tanggal 1 Ramadan 1435 H jatuh pada hari Sabtu Pon, 28 Juni 2014 M, Tanggal 1 Syawal 1435 H jatuh pada hari Senin Pon, 28 Juli 2014 M, Tanggal 1 Zulhijah 1435 H jatuh pada hari Kamis Pahing, 25 September 2014 M, Tanggal 9 Zulhijah 1435 H jatuh pada hari Jumat Kliwon, 3 Oktober 2014 M, Tanggal 10 Zulhijah (Idul Adha) jatuh pada hari Sabtu Legi, 4 Oktober 2014 M.
Metode Kausasi Metode kausasi adalah metode penemuan hukum syar’i dengan memperluas berlakunya suatu ketentuan yang ada dengan menggali alasan hukum (ilat / kausa efisien) hukum tersebut dan diberlakukan kepada kausus yang sama. Atau menentukan suatu hukum dengan berpijak pada kausa finalis (maqasid syariah).
Kausasi berdasarkan kausa efisien (binā’ al- aḥkām ‘alāl-‘illah) Metode kausasi (Metode taʻlīlī) kausa finalis (binā’ al- aḥkām ‘alā maqāṣīd asy-syarīʻah)
Metode kausasi digunakan untuk: Memukan ketentuan (hukum) syariah yang baru Mengubah ketentuan (hukum) yang sudah ada dengan hukum baru karena adanya suatu kemaslahatan yang menghendaki perubahan
Kaidah fiqhiah untuk perubahan hukum: لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكاَمِ بِتَغَيُّرِ الْأَزْماَنِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat dan keadaan
Syarat-syarat perubahan ketentuan (hukum) syar’i: Ada keperluan untuk berubah Hukum itu tidak menyangkut masalah ibadah mahdah (ibadah khusus) Hukum itu tidak bersifat qat’i Hukum baru hasil perubahan itu harus ada dasar syar’inya juga.
Pemenuhan syarat-syarat perubahan hukum syar’i dalam peralihan dari rukyat kepada hisab: Ada kebutuhan mendesak untuk beralih dari rukyat kepada hisab. Penentuan awal bulan (dengan hisab/rukyat) bukan masalah ibadah Hukum rukyat adalah hukum yang ẓannī, bukan qaṭ‘ī Hisab memiliki dalil yang jelas dalam al-Quran dan nadis
Hadis-hais Rukyat عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِىَ الله عَنْهُماَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ [رواه مسلم] Artinya: Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika ia terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR Muslim].
عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْباَنَ ثَلاَثِيْنَ [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم] . Artinya: Dari Abū Hurairah r.a., ia berkata: Nabi saw bersabda: Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan beridulfitrilah ketika melihat hilal pula; jika hilal di atasmu terhalang awan, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari [HR al-Bukhārī, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
Interptretasi Jumhur ulama berpendapat hadis-hadis di atas memerintahkan melakukan rukyat dan dalam hal rukyat tidak dapat dilakukan karena langiut berawan, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari. Pendapat kedua menyatakan bahwa apabila hilal ditutup awal saat langit bendung sehingga tidak dapat dirukyat, maka bulan berjaslan dicukupkan 29 hari Pendapat ketiga menyatakan bahwa makna faqdurū lahu adalah lakukanlah perhitungan hisab. Pendapat ini diikuti oleh Muṭarrif Ibn ’Abdillāh Ibn as-Syikhkhīr (w. 95/714), seorang ulama Tabiin Besar, dan Abū al-‘Abbās Ibn Suraij (w. 306/918), seorang ulama Syafiiah abad ke-3 H dan para penganut hisab lainnya
Menguatkan Pendapat Ketiga Rukyat tidak bisa menyatukan, hanya hisab yang dapat dipakai membuat kalender pemersatu. Penyatuan itu perlu agar terhindari dari kemungkinan berbedanya jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan tempat lain yang jauh seperti Indonesia. Kita perlu sistem penjadwalan tanggal yang dapat menginformasikan tanggal jauh hari sebelumnya.
Analisis Ilat (Kausa) Perintah rukyat adalah perintah berilat Ilatnya adalah keadaan umat yang belum menguasai hisab. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Rida, Muastafa az-Zarqa’ Syaikh Ahmad Syakir Dan lain-lain
Ilatnya disebutkan dalam hadis, عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ الله عَنْهُمَا عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم]. Artinya: Dari Ibn ‘Umar, dari Nabi saw [diwartakan] bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhārī dan Muslim].
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [55: 5] Dalil Hisab الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [55: 5] Artinya: Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan [55: 5].
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [10: 5]. Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui [Q. 10: 5].
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (39) لاَ الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَ اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40) Artinya: Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya [Q. 36: 39-40].
Kesimpulan Realitas alam mengharuskan kita beralih kepada hisab demi menyatukan jatuhnya hari ibadah kita di seluruh dunia, demi mewujudkan kalender Islam pemersatu yang menjadi hutang peradaban selama hampir 1500 tahun, dan agar kita dapat memastikan tanggal jauh hari sebelumnya. Peralihan kepada hisab tidak menyalahi hadis-hadis Nabi saw yang memerintahkan rukyat, melainkan hanyalah menarjih salah satu maknanya yang mungkin dan memperluas cakupan makna tersebut. Peralihan itu juga didukung keabsahannya oleh metode-metode usul fikih seperti metode kausasi yang menganalisis ilat perintah rukyat dan oleh kaidah perubahan hukum yang membenarkan perubahan hukum bilaman syarat-syarat perubahan terpenuhi.
Metode Sinkronisasi (Taufiqi) Obyek Metode Taufīqī adalah Ta’arud Dalil. Az-Zarkasyī (w. 794/1392) dan beberapa ahli usul fikih lain mendefinisikan taarud dalil sebagai, “oposisi dua dalil secara eksklusif.”
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَباَ سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ [رواه مسلم] Artinya: Dari ‘Aṭā’ Ibn Yazīd al-Laiṡī [diriwayatkan bahwa] ia mendengar Abū Sa‘id al-Khuḍrī berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada salat sesudah salat asar sampai matahari terbenam, dan tidak ada salat sesudah salat fajar (subuh) sampai matahari terbit [HR Muslim].
Sementara itu hadis riwayat al-Bukhārī dari Abū Qatādah Ibn Rib‘ī al-Anṣārī menyatakan bahwa apabila seseorang masuk masjid jangan duduk sebelum melakukan salat dua rakaat (sunat tahiyatul masjid). Lafalnya adalah, عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِىِّ سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِىٍّ الأَنْصَارِىَّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ [رواه البخاري] Artinya: Dari ‘Amr Ibn Sulaim az-Zuraqī [diriwayatkan bahwa] ia mendengar Abū Qatādah Ibn Rib‘ī al-Anṣārī r.a. berkata: Nabi saw bersabda: Apabila seseorang kamu masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum melakukan salat dua rakaat [HR al-Bukhārī]. Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, diedit oleh Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī (Beirut: Dār al-Fikr li aṭ-Ṭibā‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1412/1992), I: 365, hadis no. 288 [827], “Kitāb Ṣalāt al-Musāfirīn …”.
Hadis Zakat Fitrah عَنْ أَبيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ [رواه مسلم].
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ [رواه البخاري ومسل واللفظ له]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ ، وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ [رواه البخاري ومسلم]
Macam-macam Hisab Kata “hisab” berasal dari kata Arab al-¥isāb yang secara harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaan. Dalam al-Quran Allah berfirman: الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لاَ ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ [غافر : 17] Artinya: Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan (pemeriksaan)-Nya [Gāfir (40): 17].
Pengertian Hisab Dalam surat Yunus ayat 5, hisab dipakai dalam arti perhitungan waktu, هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ [يونس: 5] Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat orbit) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) [Yunus (10): 5].
Pengertian Hisab Dalam hadis hisab ujmumnya dipakai dalam artin perhitungan. Tetapi dipakai juga dlm arti hisab astronomi: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم]. Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhārī dan Muslim]
Macam-macam Hisab Secara umum hisab ada dua macam: (1) hisab urfi, yang disebut juga hisab alamah (حساب العلامة) atau hisab adadi/tabular (الحساب العددي) (2) hisab hakiki.
Hisab Urfi Hisab urfi adalah metode perhitungan untuk penentuan awal bulan dengan berpatokan tidak kepada gerak hakiki (sebenarnya) dari benda langit Bulan. Tetapi hisab urfi adalah metode perhitungan bulan kamariah dengan menjumlahkan seluruh hari sejak tanggal 1 Muharam 1 H hingga saat tanggal yang dihitung berdasarkan kaidah-kaidah tertentu dengan mendistribusikan hari-hari tersebut ke dalam bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan tersebut berselang-seling 30 dan 29 hari antara bulan-bulan bernomor urut ganjil dan bulan-bulan bernomor urut genap.
Hisab Urfi Dasar persengan itu adalah hadis Nabi saw, antara lain riwayat an-Nasā’ī berikut, عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قاَلَ قاَلَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الشَّهْرُ يَكُونُ تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَيَكُونُ ثَلاَثِيْنَ ... [رواه النسائى] Artinya: Dari Abū Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Bulan itu ada yang 29 hari dan ada yang tiga puluh hari ... [HR an-Nasā’ī dari Abū Hurairah]
Hisab Urfi Dasar hisabnya adalah: Usia dasar bulan: yaitu jumlah rata-rata hari satu bulan adalah 29,5 hari 44 menit 2,8 detik. Jumlah hari dalam satu tahun adalah: (29,5 hari x 12 bln) + (44 menit x 12 bln) = 354 hari 528 menit. Usia bulan harus bilangan genap, maka 29,5 dikalikan 2 menjadi 59 hari. Ini menjadi usia dua bulan dengan bulan ganjil 30 hari dan bulan genap 29 hari.
Hisab Urfi Jadi jumlah hari dalam satu tahun adalah (6 bln ganjil x 30 hari) + (6 bln genap x 29 hari) = 354 hari. Masih ada sisa 44 menit setiap bulan, di mana selama tiga tahun menjadi 528 menit selama satu tahun, dan menjadi 1 hari 144 menit (3 x 528 menit = 1584 menit. Satu hari = 1440 menit. Jadi 1584-1440 = 144 menit.
Hisab Urfi Jadi dalam tempo tiga puluh tahun jumlah ini menjadi 15840 menit (30 tahun x 528 menit = 15840 menit), atau genap 11 hari (15840 : 1440 = 11 hari). Sisa 11 hari ini harus didistribusikan ke dalam tahun-tahun selama periode 30 tahun, masing-masing tahun ditambahkan satu hari. Bulan yang mendapat tambahan 1 hari dalam suatu tahun itu adalah bulan penutup tahun, yaitu Zulhijah.
Hisab Urfi pada tahun yang mendapat tambahan satu hari usia Zulhijah menjadi 30 hari. Akibatnya tahun-tahun yang mendapatkan tambahan satu hari pada bulan zulhijah ini memiliki usia 355 hari dan disebut tahun kabisat. Sedangkan tahun-tahun yang tidak mendapatkan tambahan satu hari (pada bulan Zulhijah) memiliki usia 354 hari, dan disebut tahun basitat.
Hisab Urfi Tahun-tahun yang mendapat tambahan 1 hari itu selama periode 30 tahun adalah dengan rumusan berikut: tahun-tahun yang angkanya merupakan kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29. jadwal tahun kabisat 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29
Hisab Urfi Kelipatan 30 yang pertama adalah tahun 30 H (zaman Khalifah Usman). Jadi tahun kabisatnya adalah tahun: 32, 35, 37, 40, 43, 46, 48, 51, 54, 56, dan 59 H. Sekarang kita berada pada kelipatan 30 (daur) yang ke-47, yaitu tahun 1410 H. Maka tahun kabisatnya adalah 1412, 1415, 1417, 1420, 1423, 1426, 1428, 1431, 1434, 1436, dan 1439 H.
Hisab Urfi Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam periode 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat, dan dengan demikian tahun basitatnya adalah 19 tahun. Jumlah hari dalam satu kelipatan 30 tahun adalah 10631 hari yang merupakan hasil penjumlahan 19 tahun basitat x 354 hari ditambah 11 tahun kabisat x 355 hari sama dengan 6726 hari + 3905 hari = 10631 hari.
Ringkasnya, menurut hisab urfi Jumlah hari dalam satu tahun untuk tahun basitat adalah 354 hari, dan tahun basitat itu ada 19 tahun selama satu periode 30 tahun. Jumlah hari dalam satu tahun untuk tahun kabisat adalah 355 hari, dan tahun kabisat itu ada 11 tahun dalam satu periode 30 tahun. Jumlah seluruh hari dalam satu peirode 30 tahun adalah 10631 hari. Tahun kabisat adalah tahun-tahun kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29 (namun ada banyak variasi jadwal tahun kabisat).
Ringkasnya, menurut hisab urfi Umur bulan dalam 1 tahun menurut hisab urfi berselang-seling antara 30 dan 29 hari. Bulan-bulan yang bernomor urut ganjil dipatok usianya 30 hari. Bulan-bulan bernomor urut genap dipatok usianya 29 hari, kecuali bulan Zulhijah, pada setiap tahun kabisat diberi tambahan umur satu hari sehingga menjadi 30 hari.
Catatan Ttg Jadwal Tahun Kabisat Yang dikemukakan terdahulu adalah salah satu saja dari rumus tahun kabisat yang ada. Selain dari rumus di atas masih terdapat beberapa pendapat lain tentang penjadwalan tersebut. Ada yang mengganti tahun ke-16 dengan tahun ke-17, sehingga rumusnya adalah, 2, 5, 7, 10, 13, 17, 18, 21, 24, 26, dan 29
Catatan Ttg Jadwal Tahun Kabisat Sekte Ismailiah Bohra mengganti tahun ke-7 dengan 8, 18 dengan 19, dan 26 dengan 27, sehingga rumusnya adalah: 2, 5, 8, 10, 13, 16, 19, 21, 24, 27, dan 29
Catatan Ttg Jadwal Tahun Kabisat Rumus (jadwal) tahun kabisat Pak Darmis adalah: 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27, 29, 30
Kelemahan Hisab Urfi Pertama, dalam hisab urfi pada umumnya ada sisa waktu yang belum dimasukkan ke dalam tahun, yaitu sisa 2,8 detik setiap bulan. Waktu ini memang sangat kecil sehingga dengan mudah bisa diabaikan. Namun, meskipun kecil, untuk waktu lama akan terakumulasi jumlah yang besar. Sampai akhir tahun 1431 H jumlah tersebut telah mencapai 13 jam 20 menit. Jumlah satu hari akan tercapai pada akhir bulan Jumadal Akhir tahun 2572 H, sehingga harus dilakukan lagi koreksi kalender, dan setiap kelipatan 2571,5 tahun akan terakumulasi sisa waktu satu hari.
Kelemahan Hisab Urfi Kedua, di dalam kalender hisab urfi tidak terdapat keseragaman tentang penjadwalan tahun kabisat. 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27, 29, 30 2, 5, 8, 10, 13, 16, 19, 21, 24, 27, 29
Kelemahan Hisab Urfi Ketiga, menurut ‘Abd ar-Rāziq kalender hisab urfi tidak memenuhi tiga dari tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kalender kamariah Islam terpadu
Kelemahan Hisab Urfi Keempat, kelemahan lain dari kalender berdasarkan hisab urfi adalah cara menentukan awal bulan di belakang hari, karena untuk menentukan awal bulan, misalnya awal bulan Muharam tahun 1432 H, harus diketahui secara pasti tanggal 1 Muharam tahun 1 H. Masalahnya adalah bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan tanggal 1-1-1 H bertepatan dengan hari Kamis 15 Juli 622 M dan ada yang mengaggapnya jatuh pada hari Jumat 16 Juli 622 M.
Data Hilal Muharam tahun 1 H Konjungsi (G) terjadi hari Rabu, 14 Juli 622 M, pukul 08:36 waktu Mekah. Matahari terbenam : 19:06 Bulan terbenam : 19:22 Usia Bulan (G) : +10 jam 31 menit Mukus hilal : +16 menit Elongasi (T) : +04o 56’ 30” Tinggi Bulan (T) : +01o 52’ 41” Tinggi matahari : –01o 26’ 54” Busur rukyat : +03o 20’ 28” (3,3o) Lebar hilal : +00o 00’ 04” (0,06’)
Kelemahan Hisab urfi Kelima, tidak sejalan dengan sunnah Nabi saw yang berpuasa Ramadan lebih banyak 29 hari. Sementara menururt hisab urfi Ramadan selamanya berusia 30 hari.
Kelemahan Hisab urfi عن عَبْدِ اللَّهِ بن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قال: ما صُمْتُ مع رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تِسْعاً وَعِشْرِينَ أَكْثَرُ مِمَّا صُمْتُ معه ثَلاَثِينَ [رواه أحمد والترمذي والبيهقي والدارقطني وقال ابن حجر روي بإسناد جيد] . Dari ‘Abdullah Ibn Mas‘d (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Puasa yang saya lakukan 29 hari bersama Rasulullah saw lebih banyak daripada puasa yang saya lakukan bersamanya 30 hari [HR Ahmad, at-Turmuzi, al-Baihaqi, ad-Daraqutni, at-Tabarani, dan menurut Ibn Hajar sanadnya baik).
قِيلَ لِعَائِشَةَ يا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ هذا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ قَالَتْ وَمَا يُعْجِبُكُمْ مِنْ ذلكَ لَمَا صُمْتُ مع رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تِسْعاً وَعِشْرِينَ أَكْثَرُ مِمَّا صُمْتُ ثَلاَثِينَ [رواه أحمد وداود الطيالسي] (Diriwayatkan dari) ‘²’isyah bahwa ia pernah ditanya: Wahai Ummul Mukminin, bulan kali ini hanya 29 hari? ‘²’isyah menjawab: Apa dari masalah ini yang mengherankan kamu? Sungguh-sungguh puasa yang saya lakukan bersama Rasulullah saw 29 hari lebih banyak dari puasa yang saya kerjakan 30 hari [HR Ahmad dan Dawud at-Tayalisi]
عن أبي هُرَيْرَةَ قَال مَا صُمْنَا عَلىَ عَهْدِ رَسُوْل اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرُ مِمَّا صُمْنَا ثَلاثِينَ [رواه ابن ماجه] . Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkah bahwa) ia berkata: Kami berpuasa pada masa Rasulullah 29 hari lebih banyak dari berpuasa 30 hari [HR Ibn Majah].