MANASIK HAJI BAGI PETUGAS Oleh: Dr. H. ALI ROKHMAD, MPd Disampaiakan pada Acara: PELATIHAN PETUGAS HAJI TERINTEGRASI DI ASRAMA HAJI SUKOLILO SURABAYA 4 JUNI 2017
PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 79 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UU N0 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI Haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amalan seperti: Ihram, wukuf, mabid, thawaf, sai dan amalan lainnya pada masa tertentu demi memenuhi perintah Allah SWT dan menghadap ridhanya. Manasik Haji adalah tata cara pelaksanaan ibadah haji sesuai buku paket tuntunan praktis manasik haji dan umrah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Bimbingan manasik haji dilaksanakan sebelum keberangkatan ke Arab Saudi, selama dalam perjalanan, dan selama di Arab Saudi. (Psl 14 (1). Bimbingan manasik haji dilakukan oleh petugas yang memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 14 (2). Bimbingan jemaah haji paling sedikit meliputi, Bimbingan Pelaksanaan Ibadah Haji atau Manasik Ibadah, Bimbingan perjalanan ibadah haji, Bimbingan kesehatan, dan Hak serta Kewajiban. (Pasal 14 ayat 3).
Proses Bimbingan Jemaah JEMAAH HAJI MANDIRI (dalam ibadah dan perjalanan) Haji Mabrur Masuk Kouta Manasik Ibadah, Perjalanan, Kesehatan, Hak dan Kewajiban Bimbingan Tanah Suci Persyarat Pembimbing: harus lulus sertifikasi atau memahami tata cara ibadah haji, dan sudah haji.
PEMBAGIAN IBADAH DALAM ISLAM No. Ibadah Contoh 1. Maliah Zakat, kifarat dan kurban. Ini dapat digantikan orang lain baik dalam kondisi normal atau tidak normal. 2. Badaniah Mahdah Shalat dan puasa. Ibadah ini tidak dapat digantikan orang lain. 3. Ibadah Murakkabah Ibadah haji, merupkan ibadah khusus. Menurut jumhur ulama selain madzab Maliki, ibadah ini dapat digantikan orang lain ketika yang bersangkutan dalam kondisi lemah atau darurat. (Al-Fiqh wa-Adillatuhu, jilid 3 hal. 38) DIREKTORAT PEMBINAAN HAJI DAN UMRAH
PROSES PELAKSANAAN IBADAH HAJI Ada 3 macam cara pelaksanaan haji: Tamattu’ (bersenang-senang). Maksudnya adalah orang melaksanakan umrah terlebih dahulu dibulan-bulan haji lalu tahallul. Kemudian berihram haji dari Makkah atau sekitarnya pada tanggal 8 atau 9 Dzulhijjah tanpa harus kembali lagi dari miqat semula. Cara ini dikenakan Dam. Ifrad berarti menyendirikan. Maksudnya adalah orang melaksanakan ibadah haji tanpa melaksanakan umrah dan tidak dikenakan Dam. Qiran berarti berteman atau bersamaan. Maksudnya adalah orang melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan dengan sekali niat untuk dua pekerjaan, tetapi diharuskan membayar Dam.
Istitha’ah Menurut istilah adalah kemampuan fisik, kemampuan harta, dan kemampuan pada waktu seseorang hendak mengerjakan haji atau umrah. Berdasarkan firman Allah swt: فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (آل عمران: ٩٧) Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS. Ali Imran: 97)
Dan juga sabda Rasulullah Saw: عَنْ يُوْنُسَ عَنِ الحَسَنِ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ (وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاَ) قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ؟ قَالَ الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ (رواه الدارقطني) Artinya: Dari Yunus dari al- Hasan, berkata: Ketika turun ayat: وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا ada seorang laki-laki bertanya: Ya Rasulullah, apakah yang disebut sabil (jalan) itu? Rasulullah menjawab: bekal dan kendaraan (HR. al-Daruquthni). Dengan dasar al-Qur'an dan hadits tersebut di atas secara umum kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha'ah seseorang baik dalam haji maupun umrah.
Pendapat ulama tentang istitha' ah: A. Imam Malik berpendapat bagi yang sanggup jalan kaki, maka tidak perlu kendaraan dan sudah termasuk mampu, apabila dapat mencari nafkahnya selama dalam perjalanan dan pelaksanaan hajinya, dengan berusaha bekerja walaupun dengan bantuan orang lain serta tanpa meninggalkan biaya yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hal. 635). Keamanan yang dimaksud di sini adalah aman untuk dirinya pada saat melaksanakan haji dan bagi orang yang ditinggalkan selama kepergiannya, sesuai dengan hadits Rasulullah Saw: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ (رواه أبو داود) Artinya: Diriwayatkan dari Abdillah Ibn Amr berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Cukup dosa seseorang yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya. (H.R. Abu Daud)
B. Menurut Imam Syafi'i Istitha'ah dibagi menjadi dua yaitu: 1. Kemampuan pribadinya langsung, (مباشرة) yaitu kemampuan untuk melaksanakan haji oleh dirinya sendiri. 2. Kemampuan dengan bantuan dari orang lain (tidak langsung (غير مباشرة.Yaitu kemampuan untuk melaksanakan haji dengan bantuan orang lain seperti orang tua yang dihajikan oleh anaknya atau orang yang sudah tidak mampu fisik akan tetapi mampu hartanya untuk membiayai orang lain menghajikannya, atau menyertainya berhaji seperti orang buta dengan membiayai seseorang yang akan menuntunnya (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hal. 639). Seseorang orang yang melaksanakan haji dengan biaya orang lain karena mengharapkan jasanya seperti penuntun orang buta. Petugas haji dapat dikatakan (مستطيع) orang yang mampu melaksanakan haji, apabila dianggap cakap dan mampu melaksanakan tugas tersebut.
C. Sebagian ulama mutaakhirin (kontemporer) memandang perlu memasukkan unsur kesehatan, kesempatan, dan keamanan sebagai salah satu unsur yang memungkinkan sampainya seseorang di tempat pelaksanaan haji itu (Imkan al-Wusul) serta segala yang terkait dengan kebijakan pemerintah setempat atau pemerintah Arab Saudi langsung dengan ketentuan perhajian dari negara yang bersangkutan, menjadi salah satu dari unsur kajian istitha’ah (Said bin Abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1427 H/2007 M), Cet. 10, hal. 19-22).
ISTITHA’AH KESEHATAN Sesuai dengan amanat Undang – Undang nomor 13 tahun 2008 bahwa Jemaah haji perlu mendapatkan pembinaan, pelayanan dan perlindungan agar dapat melaksanakan ibadahnya sesuai dengan ketentuan Syariat Islam. Jemaah haji dituntut mampu secara fisik dan rohani agar dapat melaksanakan rangkaian ibadah dan perjalanan haji dengan baik, aman, dan lancar. Pelayanan kesehatan jemaah haji dialakukan sejak dini yang ditujukan untuk mewujudkan isthitha’ah kesehatan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka ditetapkan peraturan Menteri Kesehatan no. 15 Tahun 2016 tentang Istitha’ah Kesehatan Jemaah Haji.
Istithaah Kesehatan Jemaah Haji, meliputi: 1. Memenuhi Syarat Istitha’ah Kesehatan Haji 2. Memenuhi Syarat Istitha’ah Kesehatan Haji dengan Pendampingan. 3. Tidak Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji untuk Sementara 4. Tidak Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji
KEDUDUKAN MAHRAM Secara umum dalil-dalil syar’i mengatur, bahwa seorang perempuan yang pergi haji harus disertai mahram itu berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak membolehkan perempuan keluar rumah lebih dari tiga hari, kecuali ditemani mahram atau suaminya. Namun ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengijinkan istri beliau Siti ’Aisyah ra menunaikan ibadah umrah bersama dengan Umi Kultsum, dan pada kesempatan lain, didampingi ’Abd al-Rahman ibn Abi Bakr ra. Berdasarkan riwayat bahwa Siti ‘Aisyah ra. Diijinkan oleh Rasulullah saw melaksanakan ibadah umrah tanpa didampingi mahram laki-laki, tetapi dengan mahram perempuan yang diyakini aman (al-rufqah al-ma’munah).
Imam Malik dan al-Syafi’i mengemukakan bahwa mahram bukan merupakan syarat, sehingga perempuan yang menunaikan haji tidak disyaratkan harus ada mahram. Dasarnya: ذكر عند عائشة : المرأة لا تسافر إلا مع ذي محرم ؟ فقالت : ليس كل النساء تجـد محرما Artinya: “Orang perempuan tidak bepergian kecuali disertai mahram? Beliau (‘Aisyah) berkata: “Tidak semua perempuan menemukan mahram”. Imam Ahmad berpendapat, tidak masalah bagi perempuan melakukan perjalanan jauh tanpa mahram, tetapi harus bersama orang-orang shalih. Al-Auza’i berpendapat, perempuan boleh melakukan perjalanan jauh apabila bersama dengan orang-orang yang adil. Imam al-Syafi’i berpendapat, perempuan boleh melakukan perjalanan jauh apabila bersama dengan perempuan muslimah, yang merdeka, dan dapat dipercaya (Said Ibnu Abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al-Umrah, 2003: 20).
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengatakan bahwa perempuan boleh melaksanakan haji atau umrah fardhu (bukan haji atau umrah sunnah) sendirian, kalau dalam keadaan aman, tidak menimbulkan fitnah dan dapat menjaga dirinya (dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu 1984: 3/31). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagi seorang perempuan yang akan menunaikan ibadah haji atau umrah dapat berangkat tanpa disertai mahram, selama diyakini terjaga keamanannya. Hajinya tetap sah karena mahram bukan merupakan syarat menunaikan ibadah haji.
MIQAT MIQAT ADALAH BATAS MEMULAI MELAKSANAKAN IHRAM HAJI ATAU UMRAH, MIQAT DIBAGI MENJADI 2(DUA), YAITU: MIQAT ZAMANI, ADALAH BATAS WAKTU UNTUK MELAKSANAKAN IBADAH HAJI, MULAI TANGGAL 1 SYAWAL SAMPAI TERBIT FAJAR 10 DZULHIJJAH MIQAT MAKANI, ADALAH BATAS TEMPAT MEMULAI IHRAM HAJI/UMRAH. MADINAH: - DZUL HULAIFAH (BIR ALI|) MESIR, SYAM, MAROKO: - JUHFAH YAMAN: - YA LAMLAM NADIL DAN HIJAZ: - QARNUL MANAZIL IRAK: - DZATU IRQIN
MIQAT DIATAS PESAWAT Menurut ketentuan pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil antarbangsa, setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur laut, melewati kota Dafinah (23º; 16’ N, 41º 51’ E), lalu menurunkan ketinggian di atas kota Nasir (22º 14’ N, 40º 04’ E), dan mendarat di KAA Airport (21º 41’ N, 39º 10’ E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21º; 29’ N, 39º 10’ E), dan cukup jauh dari Makkah (21º 28’ N, 39º 55’ E). Di sekitar garis Tropic of Center, 1 derajat North = 111 km (1’ = 1,85 km) dan 1 derajat East = 108 km (1’ = 1,80 km). Maka dengan eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km di utara Jeddah dan berjarak lurus 84,5 km di barat laut Makkah. Jalur/ rute penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di atas salah satu dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat tempat miqat tersebut, yang relatif paling dekat dengan jalur penerbangan adalah Qarnulmanazil (21º 37’ N, 40º 25’ E). Seperti nama Dzulhulaifah, nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl al-Kabir, dan ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan membentuk sudut siku-siku tepat pada kota Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan (kota Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak lurus Qarnulmanazil ke Makkah yang cuma 56,5km PENGAMBILAN MIQAT GELOMBANG II DIATAS PESAWAT BERADA PADA GARIS SEJAJAR DENGAN QARNUL MANAZIL (As-Sayl al-Kabir) yaitu 21º 37º N, 40º 25ºE
JEDDAH SEBAGAI MIQAT MAKANI JEMAAH GEL. II Bagi orang yang datang ke Makkah melalui udara, sebagian ulama’ berpen- dapat bahwa bandar udara KAAIA Jeddah dapat dijadikan Miqat Makani berdasarkan pendapat Imam Ishak dalam kirtab al-Muhaddab dan sarahnya oleh Imam Nawawi yang menjelaskan bolehnya mengambil Miqat dari mana saja asal mencukupi dua markalah dari Makkah. Selain itu, berdasarkan fatwa syekh Mahmud bin Zaid, ketua Syariah Negara Qatar fatwa Iman Mustafa Al-Zarqa, Abdullah Al- Syakakir, dan Fatwa MUI tahun 1980 yang diku- kuhkan kembali tahun 1981. Jadi miqat di airport Jeddah dibolehkan sebagai miqat Makani dan sah. JEMAAH MENGAMBIL MIQAT GELOMBANG II DI AIRPORT JEDDAH
Miqat Makani dari Jeddah Bagi orang yang datang ke Makkah melalui udara, sebagian ulama berpendapat bahwa Bandara Udara King Abdul Aziz Internasional (Jeddah) dapat dijadikan sebagai miqat makani berdasarkan pendapat Imam Ishak dalam kitab al-Muhaddzzab dan Syarahnya oleh Imam Nawawi yang menjelaskan bolehnya mengambil miqat dari mana saja asal mencukupi 2 (dua) marhalah dari Makkah. (وَأَمَّا) إِذَا أَتَى مِنْ نَاحِيَةٍ وَلَمْ يَمُرَّ بِمِيْقَاتِ وَلاَ حَاذَاهُ فَقَالَ أَصْحَابُنَا لَزِمَهُ أَنْ يُحْرِمَ عَلَى مَرْحَلَتَيْنِ مِنْ مَكَّةَ اِعْتِبَارًا بِفِعْلِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فِي تَوْقِيْتِهِ ذَاتَ عِرْقٍ. Selain itu, berdasarkan Fatwa Syekh Mahmud bin Zaid, Ketua Mahkamah Syari'ah Negara Qatar, Fatwa Imam Mustafa al-Zarqa, Abdullah al-Sakakir, dan Fatwa MUI juga membolehkan Jeddah sebagai miqat makani. Jemaah haji yang melakukan dua miqat memenuhi ihramnya dari miqat kedua tanpa membayar dam.
IHRAM Pelaksanaan Ihram: Diawali dengan mandi sunat. Memakai wangi-wangian pada tubuhnya. Memotong kuku dan merapikan jenggot Memakai kain ihram yang berwarna putih قال يا رسول الله ما يجتنب المحرم من الثياب؟ فقال لا يلبس السراويل ولا القميص ولا البرانس ولا العمامة ولا ثوبا مسه زعفران ولا ورس وليحرم أحدكم في إزار ورداء ونعلين فإن لم يجد نعلين فليلبس خفين وليقطعهما حتى يكونا إلى الكعبين “seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, pakaian apa yang harus dihindari oleh orang yang sedang ihram?’ Beliau menjawab, ‘Janganlah ia memakai celana, baju, sorban, tidak juga pakaian yang terkena minyak za’faron dan wars (sejenis biji-bijian pewarna alami) dan hendaklah seseorang di antara kamu ber-ihram dengan memakai kain dan selendang serta memakai sandal. Jika ia tidak mendapatkan sandal, maka pakailah sepatu (tetapi) potonglah hingga sampai batas mata kaki” (HR. Baihaqi dari Ibn Umar)
Untuk wanita diperbolehkan memakai pakaian apa saja yang diperbolehkan oleh syari’at ketika keluar rumah. عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتِ : الْمُحْرِمَةُ تَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَا شَاءَتْ إِلاَّ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ وَلاَ تَتَبَرْقَعُ وَلاَ تَلَثَّمُ وَتَسْدُلُ الثَّوْبَ عَلَى وَجْهِهَا إِنْ شَاءَتْ. Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wanita muhrim memakai dari pakaian apa saja yang dia kehendaki kecuali pakaian yang terkena wars (tanaman kuning yang dipakai untuk mewarnai kain) atau za’faran, dan tidak boleh memakai burqu’ (sesuatu yang dipakai menutupi wajah sehingga hampir menutup mata), tidak menutup mulut, dan menjulurkan kain di atas wajahnya jika dia menginginkan”. (HR. Al Baihaqi dan dishahihkan di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 4/212)
نَوَيْتُ اْلعُمْرَةَ وَأَحْرَمْتُ بِهَا ِللهِ تَعَالَى. E. Shalat sunat Ihram 2 rakaat F. Niat Ihram (umrah atau haji, atau haji dan umrah sekaligus) di Miqat نَوَيْتُ اْلعُمْرَةَ وَأَحْرَمْتُ بِهَا ِللهِ تَعَالَى. “Aku niat umrah dengan berihram karena Allah ta ‘ala. “ لَبَّيْكَ اَللّٰهُمَّ حَجًّا “Aku sambut panggilanMu ya Allah untuk berhaji” نويت الحج وأحرمت به لله تعالى “Aku niat haji dengan berihram karena Allah ta’ala”
Kembali ke Miqat semula yang telah dilaluinya IHRAM HAJI / UMRAH Menurut ketentuan Manasik, niat ihram wajib dilaksanakan di Miqat. Jika melewati Miqat tanpa niat Ihram maka harus menempuh cara : Kembali ke Miqat semula yang telah dilaluinya Berihram di tempat ia teringat, tidak perlu kembali ke Miqat tetapi wajib membayar dam. Mengambil Miqat yang lebih dekat (bila melewati Bir Ali tanpa niat, dapat berniat di daerah Rabigh). Jika kembali ke Miqat setelah niat ihram maka menurut Imam Malik sah ihramnya dan tidak dikenakan dam asalkan belum melaksanakan salah satu kegiatan ibadah umrah atau haji.
Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali tetap dikenakan Dam baik kembali ke Miqat semula atau tidak (Al Majmu’syarah Mutazab Jilid 7 hal. 68 – 69 ). MERUBAH NIAT Merubah niat dari Haji ke Umrah atau sebaliknya diperbolehkan dan tidak disyaratkan kembali ke Miqat. وقد قام الإمام أحمد رحمه الله: فسخ الحج إلى العمرة عندي ثمانية عشر حديثا صحيحا كلها فى فسخ الحج، ويفسخ الحج إلى العمرة من المفرد والقارن يكون حكمها حكم المتمتعين فى وجوب الدم وغيره (أوضح المسالك، ص 29)
MEMAKAI WANGI-WANIAN SETELAH BERIHRAM Para Ulama sepakat bahwa setelah berihram, haram memakai wangi - wangian (baik di badan maupun pada pakaian ihram). Menurut Madzhab Syafii dan Hambali, boleh mandi dengan menggunakan sabun mandi. Menurut Madzhab Maliki boleh mandi hanya untuk mendinginkan badan bukan untuk membersihkan. Sedangkan menurut Madzhab Hanafi tidak dibolehkan. تحريم مس الطيب بالإتفاق، وكذا قصد شمه عند الحنابلة ويكره عند غيرهم. وتحريم الادهان بالزيوت مطلقا عند أبي حنيفة والمالكية، وبالدهن المطيب عند الحنابلة، دون غير المطيب ودهن الشعر والرأس فقط مطلقا عند الشافعية ولو بغير مطيب. ويجوز الإغتسال ولو بالصابون عند الشافعية والحنابلة. ولا يجوز بالصابون ونحوه عند الحنفية. ويغتسل عند المالكية لتبرّد لا للتنظيف (الفقه الإسلامي وأدلته، ج 3 ص 239)
MENUTUP MUKA DALAM KEADAAN IHRAM A. Bagi Laki-laki ada dua pendapat: Boleh menutup muka (Madzhab Syafi’i, salah satu riwayat Ahmad bin Hambal) Tidak boleh menutup muka (Madzhab Hanafi, Maliki dari salah satu riwayat Ahmad bin Hambal) B. Bagi Wanita jika tidak menimbulkan fitnah sebaiknya tidak menutup muka, tetapi jika menimbulkan fitnah dan khawatir akan jatuh sakit karena debu maka menutup muka diperbolehkan (Al-Mughni Fiqhil Haji wal Umrah hal 118 s/d 120).
(BERSETUBUH SEBELUM TAHALLUL AWAL) PELANGGARAN IHRAM (BERSETUBUH SEBELUM TAHALLUL AWAL) Apabila suami-istri melakukan pelanggaran ihram yaitu bersetubuh sebelum tahallul awal maka batal hajinya dan wajib membayar Dam kifarat menyembelih seekor unta atau sapi atau 7 ekor kambing Apabila pelanggaran tersebut dilakukan setelah tahallul awal, hajinya tidak batal tetapi wajib membayar dam seekor kambing. (al-Mughni fi Fiqhil Haj wal Umrah)
TALBIYAH Lafadz talbiyah yang masyhur sebagaimana lafadz talbiyah yang diucapkan oleh Rasulullah SAW : لَبَّيْكَ اَللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ اِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ A. Hukum Talbiyah Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah membaca talbiyah wajib walaupun hanya satu kali dalam ihram haji atau ihram umrah. Bagi yang meninggalkan dikenakan denda. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hambal hukum membaca talbiyah adalah sunat.
Lanjutan..... B. Waktu Membaca Talbiyah : Talbiyah dibaca setelah niat ihram dari miqat Seseorang yang ihram umrah disunnahkan membaca talbiyah hingga berakhirnya tahallul Seseorang yang berihram haji talbiyahnya berakhir apabila telah melaksanakan salah satu dari tiga amalan setelah wukuf yaitu melontar jamrah, thawaf ifadhah-sa’i dan menggunting rambut Seseorang yang mendahulukan melontar jamrah ‘aqabah, talbiyahnya berakhir setelah lontaran pertama, bagi yang mendahulukan thawaf ifadhah, talbiyahnya berakhir setelah putaran pertama thawafnya, sedangkan yang mendahulukan menggunting rambut, talbiyahnya berakhir setelah pengguntingan selesai. C. Talbiyah dapat saja dibaca sebagai zikir sebelum sampai miqat (sebelum ihram) dan tidak disertai dengan niat haji atau umrah, maka tidak berfungsi sebagai sebagai ikrar ihram.
THAWAF A. Thawaf Umrah, Thawaf Qudum, Thawaf Ifadhah, Thawaf Sunat dan Thawaf Wada. B. Syarat sahnya thawaf: Suci dari hadas besar dan kecil Dimulai dan diakhiri di rukun Hajar Aswad Dilaksanakan sebanyak 7 kali putaran Di dalam Masjidil Haram
D. Posisi Baitullah berada di sebelah kiri E. Membaca doa Thawaf Lanjutan..... C. Jika ragu hitungan putaran thawaf, ambillah hitungan yang lebih sedikit. D. Posisi Baitullah berada di sebelah kiri E. Membaca doa Thawaf F. Shalat sunat Thawaf G. Muwalat (tidak terputus) Dalam pelaksanaan Thawaf, muwalat merupakan syarat menurut mazhab Maliki dan Hambali. Sedangkan menurut mazhab Syafi’I dan Hanafi, muwalat dalam Thawaf adalah sunat. H. Shalat Sunat Thawaf Jika tidak mungkin dilaksanakan di belakang Maqam Ibrahim dapat dilaksanakan dimana saja di Masjidil Haram atau di tanah Haram bahkan bagi yang lupa dapat melaksanakan di tanah air sebagai qadha. (Al-Mughni fi Fighil Haji Wal Umrah hal. 204). .
HUKUM THAWAF IFADHAH Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal waktu awal Thawaf Ifadah adalah lewat tengah malam Nahr tanggal 10 Dzulhijjah, sedangkan akhir waktu Thawaf Ifadah tidak terbatas dan tidak ada ikhtilaf dikalangan para ulama. Menurut Imam Hanafi dimulai setelah terbit fajar pada hari Nahr. Menurut Imam Malik dimulai sesudah terbit matahari pada hari Nahr.
BADAL THAWAF IFADHAH Pada dasarnya thawaf ifadhah adalah rukun haji yang tidak boleh dibadalkan. Tetapi menurut Imam Syihabuddin ar-Ramli, boleh dilakukan badal thawaf ifadhah dengan syarat orang yang dibadalkan dalam kondisi ma'dhub (orang sakit berat yang secara medis tidak mungkin sembuh) dan harus segera meninggalkan Makkah. Sebagaimana pendapat ulama berikut: A. Atha’ bin Abi Rabah: قَالَ ابْنُ المُنْذِرِ اَجْمَعُوْا عَلىَ اَنَّهُ يُطَافُ بِالصَّبِيِّ وَيُجْزِئُهُ قَالَ وَاَجْمَعُوْا عَلىَ اَنَّهُ يُطَافُ بِاْلمَرِيْضِ وَيُجْزِئُهُ إِلاَّ عَطَاء فَعَنْهُ قَوْلاَنِ (اَحَدُهُمَا) هَذَا (وَالثَّانِيْ) يَسْتَأْجِرُ مَنْ يَطُوْفُ عَنْهُ (المجموع, ج 8/60) Artinya: Ibnu Munzir berkata, para fuqaha sepakat (ijma’) boleh membantu anak kecil untuk melakukan thawaf sendiri dan sah tawafnya dan mereka juga sepakat boleh membantu orang sakit untuk melakukan thawaf sendiri dan sah tawafnya, kecuali Atha’ ibn Abi Rabah, menurutnya ada dua pendapat: Boleh membantu mereka untuk thawaf sendiri dan ia boleh juga membayar orang lain untuk melakukan tawafnya (badal).
B. Fatwa al-Ramli: (سُئِلَ) عَنْ حَاجٍّ تَرَكَ طَوَافَ الإِفَاضَةِ وَجَاءَ إلَى مِصْرَ مَثَلًا ثُمَّ صَارَ مَعْضُوبًا بِشَرْطِهِ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَنِيبَ فِي هَذَا الطَّوَافِ أَوْ فِي غَيْرِهِ مِنْ رُكْنٍ أَوْ وَاجِبٍ ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ لأَنَّ الْإِنَابَةَ إذَا أَجْزَأَتْ فِي جَمِيعِ النُّسُكِ فَفِي بَعْضِهِ أَوْلَى(فتاوى الرملى, ج. 2, ص. 409) Artinya: Imam al-Ramli ditanya tentang seseorang yang menunaikan haji meninggalkan thawaf ifadhah, dan dia pulang ke Mesir misalnya, kemudian kondisinya menjadi lemah. Apakah baginya boleh mewakilkan tawaf atau amalan lain baik rukun maupun wajib haji? Lalu ia menjawab: Sesungguhnya orang tersebut boleh mewakilkan thawafnya kepada orang lain, dan bahkan wajib. Karena jika membadalkan seluruh manasik haji dibolehkan, maka membadalkan sebagian itu lebih utama.
C. Fatwa al-Azhar dengan mengutip pendapat Atha’ bin Abi Rabah: وَهُنَاكَ قَوْلٌ لِعَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ يُجِيْزُ النِّيَابَةَ فِى الطَّوَافِ قِيَاسًا عَلَى الإِنَابَةِ فِى الْحَجِّ كُلِّهِ، فَاْلإِنَابَةُ فِى بَعْضِ أَرْكَانِهِ وَوَاجِبَاتِهِ جَائِزَةٌ مِنْ بَابِ أَوْلَى (فتاوى الأزهار, ج. 9, ص. 337). Artinya: Di sana (dalam masalah badal thawaf Ifadhah) terdapat pendapatnya Atha’ bin Abi Rabah yang membolehkan badal thawaf dengan diqiaskan pada badal amalan haji secara keseluruhan. Maka badal sebagian dari rukun dan wajib haji adalah boleh dan lebih utama. D. Fatwa Jadul Hak: يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ إِذَا فَجَأَهَا الْحَيْضُ قَبْلَ طَوَافِ اْلإِفَاضَةِ، وَلَمْ يُمْكِنْهَا الْبَقَاءُ فِى مَكَّةَ إِلَى حِيْنِ انْقِطَاعِهِ أَنْ تَنِيْبَ غَيْرُهَا فِى هَذَا الطَّوَافِ عَلَى أَنْ يَطُوْفَ عَنْهَا بَعْدَ طَوَافِهِ عَنْ نَفْسِهِ، وَأَنْ يَنْوِيَ الطَّوَافَ عَنْهَا نَائِبًا مُؤَدِّيًا طَوَافَهَا بِكُلِّ شُرُوْطِهِ، أَوْ أَنْ تَسْتَعْمِلَ دَوَاءً لِوَقْفِهِ وَتَغْتَسِلَ وَتَطُوْفَ (فتاوى الأزهار, ج. 1, ص. 205). Artinya: Bagi perempuan yang tiba-tiba haid sebelum melakukan thawaf ifadhah dan ia tidak mungkin tinggal di Makkah sampai waktu berhentinya haid, maka ia boleh mewakilkan thawafnya kepada orang lain, setelah orang tersebut melakukan thawaf untuk dirinya sendiri. Orang tersebut niat thawaf untuknya (perempuan) mewakili secara langsung thawafnya dengan segala syaratnya. Atau perempuan itu minum obat agar haidnya segera berhenti, kemudian mandi dan melaksanakan thawaf.
THAWAF IFADHAH BAGI WANITA HAID / NIFAS Jika akan segera pulang ke Tanah Air maka : Segera bersuci atau mandi dan membalut kemaluannya, lalu melaksanakan thawaf sekalipun setelah thawaf darah keluar lagi. Menurut Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah yang bersangkutan tidak dikenakan dam tetapi mazhab Hanafi berpendapat wajib membayar dalam 1 unta atau 7 ekor kambing, dan dalam riwayat lain cukup membayar 1 ekor kambing.
THAWAF DALAM ‘IDDAH A. Wanita dalam ‘Iddah karena suaminya wafat tidak diperkenankan keluar untuk melaksanakan haji. B. Sebagian ulama ‘salaf membolehkan seorang wanita yang dalam masa ‘Iddah untuk melaksanakan haji atau umrah. Hal ini pernah dilakukan Aisyah dengan saudaranya Umi Kulsum, berangkat ke Makkah melaksanakan Umrah dalam keadaan ‘Iddah karena Umi Kulsum baru saja ditinggal suaminya. (AL-MUMKIN FI FIQLIL HAJI, hal 26)
MEMAKAI WANGI-WANGIAN / BERSOLEK DALAM KEADAAN IHRAM PAKAIAN IHRAM WANITA Yaitu pakaian/busana muslimah yang menutup semua anggota badannya kecuali wajah/muka dan kedua telapak tangan harus terbuka. Namun demikian menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal boleh menutup muka (dengan cadar) jika khawatir timbul fitnah. Sedangkan Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak boleh menutup muka. (Ibid, hal 118) MEMAKAI WANGI-WANGIAN / BERSOLEK DALAM KEADAAN IHRAM Semua ulama Madzhab sepakat bahwa seseorang yang sedang Ihram harus menghindari dari memakai wangi-wangian, bahkan Imam Nawawi menyatakan ‘haram bagi orang yang sedang Ihram’.
THAWAF WADA’ A. Yang diwajibkan Thawaf Wada’ adalah : Setiap orang/jamaah yang akan kembali ke Tanah Air (mazhab Syafi’i). Orang yang tinggalnya diluar Miqat setiap akan meninggalkan tanah haram harus Thawaf Wada’ (mazhab Hanafi). Bagi orang yang akan keluar dari tanah haram sunat melaksanakan Thawaf Wada’ termasuk jamaah haji/umrah (mazhab Maliki). B. Waktu Pelaksanaan Thawaf Wada’ : - Setelah selesai seluruh rangkaian kegiatan haji dan hendak meninggalkan Makkah. Menurut Abu Hanifah seseorang yang telah Thawaf Wada’ kemudian tinggal di Makkah selama satu bulan atau lebih maka Thawafnya sah dan tidak perlu mengulang lagi. (Al-Mughni fi Fighil Hajj wal Umrah hal. 173 – 176 ).
Doa minum air zam-zam اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا وَاسِعًا، وَشِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ وَسَقَمٍ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang luas dan kesembuhan dari segala penyakit dan kepedihan dengan rahmatMu ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih”
SA’I A. Dilaksanakan setelah Thawaf, dimulai dari bukit Safa dan berakhir di bukit Marwah. DIREKTORAT PEMBINAAN HAJI DAN UMRAH
B. Diantara 2 (dua) pilar hijau/lampu hijau disunatkan berlari-lari kecil bagi laki-laki. C. Tidak ada Sa’i sunat
Didahului dengan Thawaf D. Syarat Sahnya Sa’i Didahului dengan Thawaf Dimulai dari bukit Safa dan berakhir di bukit Marwah Memotong/memutus setiap perjalanan antara Safa dan Marwah Menyempurnakan tujuh kali perjalanan Dilaksanakan di tempat Sa’i. E. Menurut mazhab Hanafi jamaah haji yang melaksanakan Sa’i hanya empat perjalanan atau tidak melaksanakan Sa’i hajinya sah tapi wajib membayar dam. Tetapi kalau hanya melaksanakan satu perjalanan, dua perjalanan atau tiga perjalanan maka wajib membayar fidyah setiap perjalanan satu Sho’. Karena Sa’i menurut mazhab Hanafi termasuk Wajib Haji bukan Rukun Haji.
TAHALLUL (ditandai dengan menggunting rambut) Dapat dilaksanakan di bukit Marwah atau di pondokan. Bagi laki-laki dapat menggunting atau mencukur rambut Bagi wanita cukup menggunting rambut saja.
MENCUKUR /MENGGUNTING RAMBUT Mazhab Syafi’i, boleh mendahulukan mencukur/ menggunting rambut sebelum melontar dan tidak dikenakan Dam. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad menyatakan wajib membayar Dam jika mendahului mencukur sebelum melontar jumrah. Pelaksanaan mencukur/menggunting rambut: - Mazhab Hanafi dan Maliki wajib dilaksanakan pada hari Nahar/Tasyriq di Tanah Haram kalau tidak dikenakan Dam. - Mazhab Syafi’i dan Hambali pelaksanaan cukur/gunting rambut tidak dikaitkan dengan waktu dan tempat. (Al Mughni Fi fiqhil Haji wal Umrah, 295 – 296).
WUKUF (الحج عرفة) Berangkat menuju Arafah tanggal 8 Dzulhijjah dengan niat haji bagi haji tamattu Menempati kemah di Arafah yang telah ditentukan. Pelaksanaan Wukuf tanggal 9 Dzulhijjah dari ba’da Zuhur sampai dengan sebelum terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. عَنْ جُبَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ اْلحَجَّ (متفق عليه) “Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Haji itu Arafah, barang siapa mendapatkan (wukuf) di Arafah, maka ia mendapatkan haji .” (H. R. al-Bukhari Muslim) D. Amalan ibadah selama Wukuf: berdoa, membaca al-Quran, Tahlil dan Istighfar serta berzikir.
E. Waktu Wukuf : Menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Syafi’I wukuf dimulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai dengan terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Menurut Ahmad bin Hambal, dimulai sejak terbit fajar tanggal 9 Dzulhijjah sampai dengan tanggal 10 Dzulhijah. F. Kadar lamanya Wukuf : Menurut mazhab Maliki, mendapati sebagian siang dan sebagian malam adalah rukun. Menurut mazhab Syafi’i, mendapati sebagaian siang dan sebagian malam adalah sunat (Al Fiqh A’lal Madzahibil Arba’ah). Menurut Mazhab Hanafi dan Hambali wajib mendapati sebagian siang dan sebagian malam
Lanjutan..... G. Meninggalkan arafah menuju muzdalifah setelah shalat jama taqdim qasar magrib dan isya. H. Wukufnya seseorang yang sedang pingsan atau ayan tidak sah menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, sedang menurut Abu Hanifah dan Imam Malik sah Wukufnya.
MABIT DI MUZDALIFAH Dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah (malam hari). Berzikir dan mencari batu kerikil sebanyak 49/70.
C. Mabit di Muzdalifah dan Mina menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal hukumnya wajib. Sedangkan menurut Abu Hanifah hukumnya sunat. D. Waktu Mabit di Muzdalifah dimulai setelah Maghrib sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijah.
Lanjutan..... E. Kadar lamanya Mabit di Muzdalifah : Antara salat Maghrib dan Isya serta istirahat sejenak walaupun keluar dari Muzdalifah sebelum lewat tengah malam (Mazhab Maliki). Sesaat sebelum lewat tengah malam dan keluar dari Muzdalifah harus setelah lewat tengah malam (mazhab Syafi’i dan Hambali). Keluar dari Muzdalifah harus setelah shalat Subuh tanggal 10 Dzulhijah (Mazhab Hanafi).
MABIT DI MINA Mabit di Mina/perluasan Mina pada malam tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah Amalan ibadah selama mabit di Mina: berdoa, membaca al-Quran, Tahlil dan Istiqhfar serta berdzikir.
C. Waktu Mabit di Mina dimulai waktu Maghrib sampai C. Waktu Mabit di Mina dimulai waktu Maghrib sampai dengan terbit fajar. Akan tetapi kadar lamanya mabit wajib mendapatkan sebagian besar waktu malam (Mu’dhamullail) berbeda dengan mabit di Muzdalifah yang cukup sesaat. (Fiqih A’lalmadzahibil Arba’ah hal. 665). D. Yang termasuk udzur syar’i (tidak mabit) dan tidak dikenakan membayar dam adalah orang yang menjaga/mengurus orang sakit, orang yang sedang sakit, orang yang khawatir akan jatuh sakit dan orang yang menjaga harta karena takut hilang. (Al Majmu’jidil 8 hal. 247).
Mabit di Perluasan Mina Mabit di perluasan Mina adalah sah, berdasarkan dalil: A. Al-Qur’an: فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (التغابون: 6) Artinya: Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu (QS. At-Taghabun: 6) يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة : 185) Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. Al-Baqarah: 185) Melalui ayat di atas Allah menghendaki agar dalam pelaksanaan ajaran syariat Islam, umat merasakan kemudahan dan keringanan, jangan sampai menemukan kesulitan dan beban yang berat.
B. Mabit di perluasan Mina sah, karena dapat diqiyaskan/ilhaqkan B. Mabit di perluasan Mina sah, karena dapat diqiyaskan/ilhaqkan dengan shalat jum’ah sebagaimana pendapat Muhammad Ulaisi: (وَصَحَّتْ) الْجُمُعَةُ مِنْ مَأْمُومٍ ... (بِرَحْبَتِه) أَيْ مَا زِيدَ خَارِجَ سُوَرِ الْجَامِعِ الْمُحِيطِ بِهِ لِتَوْسِعَتِهِ ... (وَ) بِ (طُرُقٍ مُتَّصِلَةٍ) بِالْجَامِعِ بِلاَ حَائِلٍ مِنْ بُيُوتٍ وَحَوَانِيتَ وَلاَ حَدَّ لَهَا وَلَوْ طَالَتْ كَمِيلَيْنِ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ كَوْنِهَا مُسَاوِيَةً لِلْمَسْجِدِ أَوْ كَوْنِهِ مُرْتَفِعًا عَنْهَا بِحَيْثُ يَصْعَدُ إلَيْهِ بِدَرَجٍ أَوْ كَوْنِهَا مُرْتَفِعَةً عَنْهُ بِحَيْثُ يَنْزِلُ إلَيْهِ مِنْهَا بِدَرَجٍ (محمد عليسى, منح الجليل, ج.2, ص. 454) Artinya: Sah (hukumnya) salat jumat seorang ma`mum … (di halaman) atau bangunan tambahan di luar pagar sekeliling masjid karena perluasan … (dan) di (jalan-jalan yang bersambung) dengan masjid tanpa dipisah oleh rumah atau toko, dan itu tanpa batas meskipun panjangnya mencapai 2 mil. Tidak ada beda antara jalan-jalan tersebut sama rata dengan masjid atau berada di ketinggian yang harus dicapai dengan tingkatan tangga ketika naik atau turun.
C. Fatwa Abdullah bin Baz dan Ustaimin: وَقَدْ أَفْتَى مُحَمَّدُ بْنِ صَالِحٍ العُثَيْمِنْ وَعَبْدُ اْلعَزِيْزِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ بَازْ: إِذَا لَمْ يَجِدُوْا مَكَانًا فِي مِنَى نَزَلُوْا عِنْدَ أَخِرِ خَيْمَةٍ مِنْ خِيَامِ اْلحُجَاجِ وَلَوْ خَارِجَ حُدُوْدِ مِنَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى: فَاتَّقُوْا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ. فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا مَكَانًا سَقَطَ مِنْهُمُ اْلمَبِيْتُ وَلاَشَيْئَ عَلَيْهَا (فتاوى الحج و العمرة, ص. 103) Artinya: Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Abdul Aziz bin Baz berfatwa, jika jamaah haji tidak mendapatkan tempat mabit di Mina sehingga mereka ujung/akhir tenda walapun sudah keluar dari batas Mina, maka gugurlah kewajiban mabit mereka dan bagi mereka tidak dikenakan sangsi (dam).
MELONTAR JAMRAH (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) Waktu melontar diatur oleh Muassasah/Maktab Qobla Zawal C. Ba’da Zawal D. Malam Hari
E. Waktu Melontar Jumrah AqAbah : Lewat tengah malam tanggal 10 Dzulhijah dimulai sampai dengan terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijah (mazhab Syafi’i dan Hambali). Setelah terbit fajar sampai dengan akhir hari Tasyriq tanggal 13 Dzulhijah (Abu Hanifah dan Imam Malik) F. Waktu melontar jumrah Ula, Wushto dan Aqobah pada hari Tasyriq (11, 12, 13 dzulhijjah) : Jumhur ulama mengatakan waktu melontar jumrah hari-hari Tasyriq dimulai setelah tergelicir matahari. Menurut Atho dan Thawus (ulama dari golongan thabi’in) melontar jumrah hari-hari Tasyriq dimulai sebelum Zawal. Imam Rofi’i dan Imam Isnawi dalam mazhab Syafi’i membolehkan melontar jumrah hari-hari Tasyriq sebelum tergelincir matahari dan dapat dimulai sejak terbit fajar (Bahsul Masail NU 1988).
BATU KERIKIL UNTUK MELONTAR JUMRAH Sunat mengambil di Muzdalifah untuk melontar jumrah Aqobah (7 batu kerikil). Untuk melontar jumrah pada hari-hari Tasyrik lebih utama mengambil batu kerikil di tempat lain (jumhur ulama). Makruh mengambil batu kerikil dari masjid, tempat najis dan disekitar jamarat (Fiqhul Ibadat Al Hajj hal. 131).
NAFAR AWAL DAN NAFAR TSANI A. Nafar Awal Dilaksanakan pada tanggal 12 Dzulhijah setelah melontar jumrah dan sebelum terbenam matahari harus meninggalkan Mina (jumhur ulama). Menurut Abu Hanifah, setelah melontar jumrah tanggal 12 Dzulhijah boleh meninggalkan Mina sebelum fajar tanggal 13 Dzulhijah. Menurut Thawus boleh melontar dan meninggalkan Mina tanggal 12 Dzulhijah sebelum Zawal. B. Nafar Tsani Meninggalkan Mina tanggal 13 Dzulhijah setelah melontar jumrah dan akhir melontar jumrah tanggal 13 Dzulhijah sampai dengan terbenam matahari.
Lanjutan... Abu Hanifah membolehkan melontar jumrah hari Nafar tanggal 12 dan 13 sebelum matahari tergelincir.
Tawaf ifadah dan Sa’i dilaksanakan setelah tiba di Makkah (Tahallul Tsani).
DAM Dam menurut bahasa berarti darah, sedang menurut istilah disebut hadyu, yaitu menyembelih hewan di tanah haram dalam rangka memenuhi ketentuan manasik haji. Sebab (illat) dikenakan Dam: Dam Nusuk: karena meninggalkan ketentuan manasik dan bukan karena pelanggaran, dikenakan bagi orang yang mengerjakan haji Tamattu’ atau Qiran. Dam Isa’ah: pelanggaran terhadap ketentuan ibadah haji dan umrah karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan, seperti tidak berihram di Miqat, tidak mabit di Muzdalifah dll. (dikenakan fidyah) Dam Kifarat: pelanggaran terhadap ketentuan ibadah haji dan umrah karena mengerjakan sesuatu yang diharamkan selama ihram, seperti membunuh hewan buruan, hubungan suami isteri sebelum tahallul awal dll. Bagi jemaah yang melakukan hubungan suami isteri sebelum tahallul awal, hajinya fasad/rusak tetapi harus diteruskan, dikenakan kifarat dan masih berkewajiban melaksana-kan tahun berikutnya.
Lanjutan ... Macam-macam Dam: Dam tartib wa Taqdir (dilaksanakan secara tertib, tidak boleh memilih), misalnya dam tamattu’ harus meyembelih seekor kambing, jika mampu tidak boleh mengganti dengan puasa. Dam tartib wa ta’dil (dilaksanakan dengan tertib dengan nilai yang sebanding), misalnya menyembelih seekor onta, atau seekor sapi, atau 7 ekor kambing. Dam takhyir wa taqdir (pelaksanaan dam yang boleh dipilih antara meyembelih seekor kambing, puasa tiga hari, atau sedeqah makanan sebanyak tiga sho’ untuk enam orang fakir miskin. Dam tersebut dikenakan terhadap pelanggaran ihram (mencukur rambut, memotong kuku, memakai wangi-wangian, memakai minyak rambut) 4. Dam takhyir wa ta’dil (pelaksanaan dam yang boleh dipilih dengan derajat yang sama / boleh memilih mana yang disukai), seperti membunuh binatang yang halal damnya menyembelih binatang ternak yang senilai.
HUKUM MEMAKAN DAGING DAM Madzhab Hanafi, Hambali dan Maliki membolehan memakan sebagian daging Dam Tamattu’ dan Qiran kecuali Dam Kifarat. Madzhab Syafi’i melarang memakan daging Dam baik Dam Tamattu’, Qiran maupun Dam Kifarat. (Fiqhul Ibadat Al Hajj, hal. 153)
KETENTUAN / SYARAT DAM BAGI HAJI TAMATTU’ Bukan Penduduk Makkah Mendahulukan Umrah dari Haji Umrahnya dilakukan dalam bulan haji Tidak kembali ke Miqat haji (ketika ihram haji) Ihram (niat) haji dan umrahnya untuk satu orang. Apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut maka haji tamattu’ tidak dikenakan dam. (al-Mughni fi fiqhil hajji wal ‘umrah)
KETENTUAN SHALAT DI ARAFAH DAN MINA Bagi pendatang wajib menjama’ dan qasar salat Dzuhur dan Ashar dengan jama’ taqdim, shalat Magrib dan Isya jama’ ta’khir di Muzdalifah. Sedangkan bagi penduduk Makkah sunat menjama’ tidak mengqasar (Abu Hanifah). Menurut Imam Malik dan Syafi’i sunat menjama’ dan mengqasar kecuali penduduk Makkah. Bahkan Imam Ahmad Bin Hambal mengatakan boleh di jama’ qashar dan boleh tidak (Zawal). b. Shalat di Mina - Menurut jumhur ulama, sunat jama’ dan qashar. - Menurut mazhab Hanafi, wajib jama’ dan qashar. - Menurut mazhab Hambali hukumnya jawaz boleh di jama’ qashar dan boleh tidak.
ZIARAH DAN SHALAT DI MASJIDIL HARAM/MASJID NABAWI Makkah dan Madinah, dua kota suci yang masing-masing memiliki kelebihan. Menurut penjelasan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Makkah menjadi Tanah Haram/Tanah Suci berkat do’a dari Nabi Ibrahim dan Madinah menjadi Tanah Haram berkat do’a Nabi Muhammad SAW. إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لَهَا وَحَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ وَدَعَوْتُ لَهَا فِي مُدِّهَا وَصَاعِهَا مِثْلَ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَم لِمَكَّةَ. وَفِيْ رِوَايَةٍ: اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ بِالْمَدِيْنَةِ ضِعْفَى مَاجَعَلْتَ بِمَكَّةَ مِنَ الْبَرَكَةِ (رواه البخاري ومسلم)
C. Nilai/pahala Salat di Masjidil Haram 100 C. Nilai/pahala Salat di Masjidil Haram 100.000 dibanding masjid lainnya. Sedangkan di masjid Nabawi sekali salat 1000 palaha dibanding salat di masjid lain. إن التضعيف فى حرم مكة لا يختص بالمسجد بل يعمّ جميع الحرم. وفى المدينة لا يعمّ حرمها بل ولا المسجد كله، وإنما يختص بالمسجد الذى كان فى عهده صلى الله عليه وسلم (الأشباه والنظائر ص 788) “Pelipatgandaan (pahala) di Tanah Haram Makkah tidak khusus untuk di Masjidil Haram saja, tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. Sedang di Madinah tidak mencakup seluruh Tanah Haram Madinah, bahkan tidak meliputi seluruh bagian Masjid Nabawi, tetapi khusus pada bagian masjid semasa Rasulullah SAW.”
D. Kegiatan ibadah haji hampir seluruhnya di Makkah, namun kegiatan ibadah di Madinah juga memiliki nilai pahala sebanding ibadah haji dan umrah, sebagaimana Hadis Nabi yang menyatakan bahwa shalat di masjid Quba pahalanya sama dengan ibadah umrah dan salat di masjid Nabawi pahalanya sama dengan ibadah haji. قالَ النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ اَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيْهِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ. وَمَنْ خَرَجَ عَلَى طُهْرٍ لاَ يُرِيْدُ إلاَّ مَسْجِدِى هَذاَ لِيُصَلّيَ فِيْهِ كَانَ بِمَنْزِلَةِ حَجَّةٍ (رواه البخاري فى تاريخه
HUKUM BERJALAN DIDEPAN ORANG YANG SEDANG SHALAT DI MASJIDIL HARAM Diantara kekhususan / keistimewaan Masjid Haram adalah ketika seorang sedang shalat dan orang lain (laki-laki/perempuan) lewat didepannya, maka menurut hukum kedua-duanya diperbolehkan. لوصلى فى المسجد والناس يطوفون أمامه لم يكره، سواء مرّ أمامه رجل أو امرأة. وهذا من خصائص مكة (مجموع الفتاوى لا بن تيمية، ج 26 ص 123)
Umrah Berulang-Ulang Saat Haji Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa melakukan umrah berulang-ulang sepanjang memungkinkan, baik di musim haji atau di bulan Ramadlan. Alasan yang dijadikan dasar oleh ulama yang membolehkan umrah berulang-ulang ini adalah karena bagi orang-orang yang jarak tempat tinggalnya amat jauh dari tanah suci (Makkah al-Mukarramah) dan biayanya terbatas, mereka mungkin hanya bisa sekali dapat melakukan haji dan umrah seumur hidupnya. Sedangkan waktu senggang menunggu pelaksanaan ibadah haji masih lama, sehingga sayang kalau tidak dimanfaatkan untuk melakukan umrah-umrah sunnah. Abd al-Rahman al-Juzairi, dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengemukakan: وَيُنْدَبُ اْلإِ كْثَارُ مِنَ الْعُمْرَةِ وَتَتَأَكَّدُ فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِاتِّفَاقِ ثَلاَ ثَةٍ وَخَالَفَ الْمَالِكِيَّةُ Artinya: Dianjurkan memperbanyak atau mengulang-ulang ibadah umrah, terutama di bulan Ramadlan sesuai dengan kesepakatan tiga imam madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), kecuali Imam Maliki yang tidak sependapat.
Jabir ra meriwayatkan bahwa suatu ketika ‘Aisyah ra meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk melakukan umrah setelah hajinya, karena pada saat umrah sebelumnya ia batal karena kedatangan haid sebelum melakukan thawaf. Walaupun ia ditanggung dapat dua pahala juga karena telah melakukan haji dan umrah sekaligus sesuai saran Nabi Saw, tetapi ia belum puas sebelum melakukan ibadah umrah tersendiri. Karena itu setelah ia suci dan selesai thawaf haji, ia berkata kepada Rasulullah Saw: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنْطَلِقُوْنَ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَأَنْطَلِقُ بِالْحَجِّ؟ فَأَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِىْ بَكْرٍ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا إِلَى التَّنْعِيْمِ فَاعْتَمَرَتْ بَعْدَ الْحَجِّ فِىْ ذِى الْحِجَّةِ (رواه البخارى) Artinya: “Wahai Rasulullah Saw, apakah mereka pergi menunaikan ibadah haji dan umrah sedangkan aku hanya dapat ibadah haji saja? Rasulullah Saw kemudian memerintahkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar untuk keluar menemani Aisyah pergi ke Tan’im, kemudian Aisyah pun melakukan ibadah umrah setelah haji di musim haji itu”( HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan hadis Aisyah riwayat al-Bukhari tersebut sebagian ulama memahaminya bahwa sesungguhnya ibadah umrah itu boleh dilakukan dua kali dalam satu tahun bahkan dua kali dalam satu bulan. Hal ini memperkuat pendapat bolehnya melakukan umrah berulang-ulang pada musim haji atau pada bulan suci Ramadlan. Meski demikian, jamaah disarankan untuk menjaga kesehatan agar pada saat wukuf serta rangkaian manasik lainnya, baik yang rukun maupun yang wajib, kondisi kesehataannya tetap terjaga, terlebih mengingat kondisi saat ini sangat menyulitkan, di mana jumlah jemaah haji mencapai jutaan orang.
BADAL HAJI Badal Haji atau menghajikan orang lain ada dua pendapat : A. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i dan Ahmad menyatakan bahwa seseorang yang istitha'ah sebelum sakit harus dibadalkan hajinya (Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Kairo: Hajar al-Thiba’ah, 1998 M), Juz V, hal. 119) Dengan dasar hadits Rasulullah: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يُقْضَى عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ (أخرجه مالك والشافعي والشيخان) Artinya: Dan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu Sesungguhnya seorang perempuan dari suku Khasam bertanya, wahai Rasulullah sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk melaksanakan haji, sedangkan ayahku sudah sangat tua dan tidak mampu naik kendaraan. Apakah saya boleh menghajikan dia? Rasulullah menjawab: Ya" (HR. Malik, al-Syafi’i dan Bukhari Muslim)
B. Imam Malik berpendapat bahwa seseorang tidak dapat dibadalkan B. Imam Malik berpendapat bahwa seseorang tidak dapat dibadalkan haji, karena ibadah haji harus istitha'ah dengan diri sendiri bukan istitha'ah dengan perantara orang lain (Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Kairo: Hajar al-Thiba’ah, 1998 M), Juz 5, hal. 120). Berdasarkan hadits tersebut para Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang boleh dibadalkan haji, mengingat istitha'ah menjadi syarat wajibnya haji. Apakah orang yang sudah tua renta, orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya termasuk mustathi' (mampu) apabila mempunyai mubdil (orang yang membadalkan) (Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab, (Madinah: Maktabah Salafiyah, t. th), Juz. 7, hal. 100)
Hukum Melaksanakan Tarwiyah (8 Dzulhijjah) Para ulama sepakat bahwa hukum bermalam di Mina pada hari tarwiyah ini adalah sunnah, bukan wajib, sehingga jika jemaah haji tidak menginap di Mina pada hari tarwiyah ini hajinya tetap sah dan tidak dikenakan dam (Lihat juga Syaikh Muhyiddin al-Nawawi al-Syafi’i, al-Iidlah fi al-Manasik, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, h. 91). Pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) jemaah haji disunnahkan untuk shalat 5 waktu (dzuhur, ashar, maghrib, Isya’ dan subuh) serta menginap di Mina, sebelum kemudian bertolak menuju Arafah menjelang siang hari. Dalam kitab karangan Ibn Qudamah, al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H, Juz III, h. 431 disebutkan: وجملة ذلك أن المستحب أن يخرج محرما من مكة يوم التروية فيصلي الظهر بمنى ثم يقيم حتى يصلي بها الصلوات الخمس ويبيت بها لأن النبي صلى الله عليه و سلم فعل ذلك كما جاء في حديث جابر وهذا قول سفيان و مالك و الشافعي و إسحاق وأصحاب الرأي ولا نعلم فيه مخالفا وليس ذلك واجبا في قولهم جميعا.
Artinya: “Dianjurkan keluar Makkah dalam keadaan ihram pada hari tarwiyah, lalu shalat dzuhur di Mina dan tinggal di sana hingga melaksanakan 5shalat lima waktu dan menginap di sana, karena Nabi SAW melaksanakan hal itu sebagaimana dalam hadits Jabir. Ini adalah pendapat Sufyan, Malik, Syafi’I, Ishaq dan Ahli Ra’y. kami tidak melihat ada yang (berpendapat) beda dalam hal ini, dan dalam pendapat mereka, hal itu (mabit di Mina) bukanlah suatu kewajiban”. Meski demikian, jemaah disarankan untuk menjaga kesehatan agar pada saat wukuf serta rangkaian manasik lainnya, baik yang rukun maupun yang wajib, kondisi kesehataannya tetap terjaga, terlebih mengingat kondisi saat ini sangat menyulitkan, di mana jumlah jemaah haji mencapai jutaan orang.
PERBEDAAN WANITA DAN PRIA DALAM IBADAH HAJI A. Tidak diperbolehkan membuka kepalanya B. Tidak mengeraskan suaranya ketika membaca Talbiah C. Tidak Idtiba’ (tidak terbuka ketiaknya) ketika ihram, tidak lari- lari kecil ketika Tawaf dan Sa’i D. Tidak mencukur rambutnya ketika Tahallul kecuali menggunting E. Memakai pakaian berjahit dan bertangkup, memakai sepatu, tidak memakai kaos tangan F. Tidak diperbolehkan mendekat apalagi mencium Hajar Aswad ketika dalam keadaan penuh sesak dengan kaum laki-laki G. Dalam keadaan haid atau nifas tetap diperbolehkan melakukan semua amalan haji kecuali Tawaf H. Jika datang haid atau nifas setelah Tawaf Ifadah maka diberi dispensasi (Rukhsah) tidak melakukan Tawaf Wada’
HIKMAH HAJI DAN UMRAH Merupakah rukun Islam sebagai penurtup dan Penyempurna dari keislaman seseorang di hadapan Tuhan. Hikmahnya, hanya dapat diperoleh bagi yang melakanakan haji sesuai tata urutan rukun dan wajib haji yang dilaksanakan; Hikmah tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari2, namun secara umum hikmah haji dapat membebaskan seseorang dari dosa2 yang pernah diperbuatnya sehingga kembali ke fitrah kesuciannya sebagaimana ia waktu dilahirkan. (Kayaumi waladathu ummuhu) Mengantarkan kepada kenikmatan surga. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ (رواه البخاري و مسلم)
“Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur selain surga” الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة “Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur selain surga” TERIMAKASIH
YANG BELUM ABSEN TPHI TPIHI ABSEN : 1,13,26,32,37,43,57,83 4,34,35,36,44,46,53,60,83,23,29