PUSAT PERTUMBUHAN DAN DISPARITAS EKONOMI DAERAH
KUTUB PERTUMBUHAN DAN PUSAT PERTUMBUHAN Konsep pusat pertumbuhan yg dikembangkan oleh seorang ahli geografi “Jacques Boudeville” pada tahun 1966. Konsep tersebut merupakan pengembangan dari konsep kutub pertumbuhan yg dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi Perancis “Francois Perroux” pada tahun 1955. Perbedaan utama : konsep kutub pertumbuhan membicarakan tentang kegiatan ekonomi (khususnya Industri). Adapun konsep pusat pertumbuhan membicarakan tentang lokasi kegiatan ekonomi tersebut
Konsep kutub pertumbuhan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: kegiatan apakah yg mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat?. Konsep pusat pertumbuhan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: Dimana wilayah atau daerah yang mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat ?
Kutub Pertumbuhan Konsep yg dikembangkan “Francois Perroux” pada tahun 1955, mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat berjalan sekaligus pada semua kegiatan ekonomi dalam waktu yg bersamaan. Pertumbuhan yg serentak memerlukan dana dan waktu yg sangat banyak. Oleh karena itu, industri berskala besar sering disebut sebagai “industri penggerak pertumbuhan”
Kehadiran industri skala besar atau industri penggerak akan mendorong timbulnya kegiatan ekonomi lain yg saling berkaitan. Misal: aktivitas industri tektil di sekitar Kota Bandung, mendorong timbulnya aktivitas pakaian jadi, industri pemintalanan benang, toko pakaian (outlet). Semakin banyak aktivitas atau kegiatan ekonomi yg ditimbulkan, akan semakin cepat pula pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.
Pusat Pertumbuhan Konsep pusat pertumbuhan diawali oleh suatu pendapat bahwa kemajuan pembangunan pada suatu negara senantiasa berada pada kondisi tidak seimbang. Ada wilayah yg mengalami kemajuan secara cepat, ada juga wilayah yg lambat. Perbedaan kemajuan ini disebabkan oleh perbedaan potensi sumberdaya alam, manusia maupun sumberdaya keuangan.
Pusat Pertumbuhan merupakan wilayah yang memiliki potensi sangat besar untuk tumbuh dan berkembang. Potensi pertumbuhan pada titik tersebut jauh melebihi potensi pertumbuhan pada titik-titik lain di sekitarnya. Istilah pusat pertumbuhan biasanya identik dengan kota. Kota berfungsi sebagai pusat bagi pengembangan wilayah sekitarnya.
Kota memiliki berbagai kelebihan dalam berbagai bentuk kelengkapan fasilitas, jumlah penduduk, transportasi, aktivitas ekonomi, maka kemajuan pada suatu kota akan menyebar dan mendorong perkembangan wilayah sekitarnya. Salah satu contoh: pusat pertumbuhan di Indonesia adalah Jakarta. Pertumbuhan dan perkembangan Kota Jakarta memberikan pengaruh atau dampak yg sangat besar terhadap wilayah di sekitarnya, terutama Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek)
Pusat Pertumbuhan di Indonesia Bappenas membagi 4 Wilayah Pembangunan Utama (WPU): WPU A, Pusat Utama di Kota Medan. Wilayah ini terdiri dari Wilayah Pembangunan (WP)I, meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. WP II: Provinsi Sumatera Barat dan Riau. WPU B, Pusat utama di Kota Jakarta. Wilayah ini terdiri dari WP III; Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. WP IV; Prov Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan DIY. WP V: Prov Kalimantan Barat
WPU C, Pusat Utama di Kota Surabaya WPU C, Pusat Utama di Kota Surabaya. Wilayah ini terdiri dari WP VI: Prov jatim dan Bali. WP VII: Prov kalteng. Kalsel, dan Kaltim WPU D, Pusat utama di Kota Makasar. Wilayah ini terdiri dari WP VIII; Prov Nusa Tenggara Barat, NTT, Sulsel dan Sulawesi Tenggara. WP IX; Prov Sulteng dan Sulut. WP X: Prov Maluku dan Papua.
DISPARITAS EKONOMI DAERAH Perbedaan ekonomi daerah terjadi di semua negara, termasuk Indonesia (kesenjangan dan disparitas) Di negara maju, disparitas spasial dari proses pembangunan telah terjadi namun tidak begitu mengkawatirkan, karena kesenjangan antara standar hidup di perdesaan dan perkotaan tidak terlalu lebar
Di negara yang sedang berkembang disparitas pembangunan regional terjadi cukup nyata. Kesenjangan pendapatan dan kualitas hidup di wilayah maju dan wilayah terbelakang cukup lebar. Sebagian besar kemiskinan, pengangguran dan kualitas hidup rendah terdapat di wilayah terbelakang Program-program di Indonesia yg telah dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan dan disparitas ekonomi antar daerah oleh instansi lintas sektoral (Bappenas, Depdagri, BPPT) : Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Andalan (KADAL). Poverty Alleviation Trough Rural-Urban Lingkages Program (PARUL), Kawasan Setra Produksi (KSP), dan Program Pengembangan Kawasan Tertinggal (KATING)
Faktor-faktor Ekonomi yg Menyebabkan Disparitas antar Wilayah: Faktor ekonomi yg terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yg dimiliki seperti; lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; Faktor ekonomi yg terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor, contoh; lingkaran setan kemiskinan (cumulative causation of poverty propensity). Ada 2 tipe lingk setan; sumberdaya terbatas dan kondisi masyarakat yg tertinggal. Faktor ekonomi yg terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect (pengaruh menyebar) pembangunan daerah kaya akan memperlambat pembangunan di daerah miskin) dan backwash effect (kurang maju/ kurang mampu daerah miskin untuk membangun). Faktor ekonomi yg terkait dengan ditorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja, dll.
Upaya mengatasi masalah disparitas antar wilayah Mendorong pemerataan investasi: investasi harus terjadi pada semua sektor dan semua wilayah secara simultan, sehingga infrastruktur wilayah bisa berkembang Mendorong pemerataan permintaan (demand); setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan, sehingga dapat menciptakan demand untuk tiap-tiap produk Mendorong pemerataan tabungan; tabungan sangat diperlukan untuk dapat memacu investasi. Jika tabungan meningkat, investasi meningkat.
Tahapan Reformasi Ekonomi dimensi spasial untuk menanggulangi disparitas antar wilayah Tahap Pertama: Redistribusi aset (tanah, kapital, finansial, dll) Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah pedesaan Kebijakan insentif lapangan kerja yg membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota Kebijakan mempertahankan nilai tukar (exchange-rate policy) yg mendorong ekspor pertanian menjadi kompetitif Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijakan perpajakan dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.
Tahap Kedua Pembangunan regional berbasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayah berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing wilayah Kebijakan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah pedesaan Investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis pedesaan yg lebih kuat Industrialisasi berbasis di wilayah pedesaan/ pertanian, serta barang konsumsi lain.