dr. FX. Sutedjo Widjojo, Sp.S (K) Journal Reading Biomarkers of Alzheimer Disease: Current and Future Applications to Diagnostic Criteria (Reisa Sperling, Keith Johnson, Continuum 2013 American Academy of Neurology) Oleh: Fadhilah Pembimbing: dr. FX. Sutedjo Widjojo, Sp.S (K) PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF FK UNS-RSUD Dr. Moewardi Surakarta 2013 CER-021-0601 July 2009
BIOMARKER Upaya untuk memperoleh biomarker in vivo yang akurat dan berguna pada penyakit Alzheimer telah mengalami perkembangan dalam beberapa dekade terakhir Biomarker pada penyakit Alzheimer dalam kriteria diagnostik dibagi menjadi dua kategori secara luas: (1) petanda (marker) akumulasi amyloid-β (Aβ) dan (2) petanda cedera neurologi atau neurodegenerasi.
Petanda Akumulasi Amyloid-β Penyakit Alzheimer memiliki kaitan dengan penurunan Aβ1-42yang secara umum diduga menggambarkan bahwa terjadi proses polymerase dan penumpukan Aβ dalam otak dalam bentuk plak – plak fibrin. Petanda amyloid dari pemeriksaan LCS maupun pencitraan PET diduga dapat mencerminkan akumulasi amyloid terutama dalam bentuk fibrin Pemeriksaan pencitraan PET amyloid ekuivalen dengan adanya bukti terbentuknya plak amyloid pada saat otopsi Deposit Aβ membentuk sebuah pola karakteristik struktur protein yang disebut beta-sheet menilai positivitas amyloid Hasil negatif tidak terbentuk atau hanya sedikit terjadi deposit amyloid, menandakan kemungkinan gangguan kognitif yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer cukup rendah. Hasil positif peningkatan kadar deposit Aβ sedang hingga berat
Tingkat hasil yang menunjukkan positif deposit amyloid berdasarkan klasifikasi klinis diperkirakan sebagai berikut : Pasien yang didiagnosis demensia Alzheimer secara klinis, 90% positif Pasien MCI diperkirakan 60% positif Pada lansia dengan fungsi kognitif yang baik ternyata didapatkan hasil positif sebesar 30 – 40%, tergantung pada usia dari penelitian kohort tersebut. Amyloid meningkatkan risiko terjadinya demensia Alzheimer
Kasus 1-1 pasien pria berusia 74 tahun yang merupakan profesor dalam bidang linguistic dan tidak kidal dirujuk guna mendapatkan pendapat kedua (second opinion) mengenai penurunan fungsi kognitif secara progresif yang dialami oleh pasien tersebut terjadi perubahan kognisi selama 2 tahun terakhir peningkatan kesulitan dalam memberikan kuliah, sulit untuk menemukan kata – kata, terkadang tersesat pada saat mengendarakan kendaraan di daerah yang ia kenali. Tidak ada perubahan perilaku kecuali pasien tampak lebih menarik diri dari lingkungan sosial Jumlah skor Mini-Mental State Examination adalah sebesar 24 dan sebesar 1,0 pada Clinical Dementia Rating Scale. Hasil pemeriksaan pencitraan MRI menunjukkan adanya atrofi ringan pada korteks frontalis dan parietalis, dengan struktur lobus temporalis medial yang masih dalam kondisi baik. Pemeriksaan pencitraan PET amyloid menunjukkan hasil negatif menurunkan kemungkinan bahwa sindrom klinis pasien tersebut disebabkan oleh penyakit Alzheimer
Kasus 1-2 laki – laki berusia 76 tahun karena hilang ingatan dan gangguan cara berjalan dengan onset yang muncul sejak pasien mengalami jatuh sekitar 4 tahun yang lalu. Dilaporkan bahwa pasien berkeyakinan bahwa ada salah satu anggota keluarga di rumah yang sebetulnya tidak ada Hasil tes Mini-Mental State Examination adalah sebesar 25/30, dan evaluasi neurolopsikologis didapatkan adanya gangguan ingatan episodic ringan. Pemeriksaan PET scan fluorodeoxyglucose adanya temporoparietalis bilateral yang berkaitan dengan hipometabolisme frontalis kiri Dua tahun setelahnya, dilakukan pencitraan PET scan dengan Pittsburgh Compound B (PiB) positif menyebar ke daerah korteks hasil otopsi demensia Lewy body dengan angiopati congophilic yang bermakna, dan hubungan positif antara kadar amyloid-β dengan retensi PiB regional. pemeriksaan PET amyloid yang menunjukkan hasil positif ternyata bisa memiliki hubungan dengan angiopati amyloid cerebral dan demensia Lewy body pemeriksaan ini tidak spesifik untuk mendiagnosis demensia Alzheimer.
Petanda Cedera Neuron dan Neurodegenerasi Biomarker cedera neuron atau neurodegenerasi dikategorikan menjadi (1) petanda molekuler terjadinya cedera neuron (2) petanda pemeriksaan pencitraan adanya disfungsi sinaptik (3) petanda pemeriksaan pencitraan adanya kehilangan atau atrofi neuron. Pengukuran tau terfosforilasi (phosphorylated tau / P-tau) 181 diduga dapat merefleksikan cedera sedangkan jumlah tau total pada LCS merefleksikan adanya kematian neuron. Peningkatan P-tau secara bersamaan dengan rendahnya Aβ1-42 dalam LCS diduga merupakan biomarker khas pada Alzheimer
Hyperphosphorylated tau diduga sebagai kontributor utama terbentuknya formasi jalinan kusut neurofibrilar intraneuronal (intraneuronal neurofibrillary-tangle formation), namun belum jelas apakah dapat mencerminkan sepenuhnya mengenai beratnya kelainan dan apakah petanda ini akan tetap dinamis pada stadium lanjut. Peningkatan kadar tau dan P-tau dalam LCS dapat digunakan juga untuk memprediksi perogesivitas kearah demensia pada pasien dengan MCI P-tau juga mengalami peningkatan sebelumnya pada pasien yang normal secara klinis namun karier mutasi pada autosomal dominan penyakit Alzheimer familial.
Kasus 1-3 Wanita kidal berusia 54 tahun dirujuk untuk evaluasi perubahan kognitif dan perilaku. Keluhan ini dirasakan sejak 3 tahun yang lalu, dimana pasien mengalami penurunan minat terhadap hobinya dan untuk olahraga, dan pasien makin mengalami kesulitan dalam memasak masakan yang rumit. pasien sempat dua kali tersesat pada saat mengemudi kendaraan Pasien juga mengeluhkan sempat mengalami episode parestesia bilateral pada tangan dan kaki, dan terkadang pada wajah pasien. Ibu pasien mengalami demensia pada usia lanjut (pada usia awal 80 tahun) namun tidak dilakukan otopsi pada ibu pasien ini. Skor pemeriksaan Mini-Mental State Examination pada pasien adalah sebesar 25. Pemeriksaan neurologis lainnya hanya menunjukkan adanya hiperefleksia ringan yang simetris. Hasil pemeriksaan MRI pada pasien ini menunjukkan adanya atrofi hippocampus ringan untuk usianya, dan adanya atrofi ringan pada korteks temporalis dan parietalis yang lebih besar pada sebelah kiri dibandingkan pada sisi kanan, dan tidak nampak adanya lesi pada substansia alba.
Lanjutan kasus 1-3 pemeriksaan lumbal pungsi dimana hasil dari pemeriksaan tersebut menyatakan tidak ada leukosit, terjadi sedikit peningkatan kadar protein sebesar 64mg/dl, dan rendahnya amyloid-β dalam LCS, serta terdapat peningkatan kadar P-tau pada assay LCS yang diduga sejalan dengan yang ditemukan pada pasien dengan diagnosis penyakit Alzheimer. Kasus ini menggambarkan potensi dari petanda LCS dalam menegakkan diagnosis pada pasien berusia muda dan pada pasien yang datang dengan gejala klinis yang tidak khas.
PET 18F-fluorodeoxyglucose (FDG) FDG-PET mengukur metabolisme glukosa di dalam otak dan diduga dapat mencerminkan aktivitas sinaps. Pola karakteristik kelainan pada hasil pemeriksaan FDG yang berkaitan dengan penyakit Alzheimer adalah hipometabolisme temporoparietalis, hipometabolisme frontalis Alzheimer stadium lanjut. FDG-PET memiliki teknologi yang dapat membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis secara tepat, terutama ketika menentukan gangguan kognitif stadium awal yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer FDG tidak dapat mengindikasikan pola spasial dengan jelas yang dapat membedakan antara proses penuaan dengan MCI atau penyakit Alzheimer. pola heterogenitas metabolisme yang tampak pada FDG dapat disebabkan oleh variasi tiap individu (khususnya pada pasien dengan fungsi kognitif yang baik) atau pada kondisi komorbid penuaan, seperti penyakit vaskuler, seperti halnya faktor idiosinkrasi.
MRI Pemeriksaan MRI konektivitas fungsional (fc-MRI) menunjukkan adanya pola disfungsi yang sama dengan yang dilaporkan pada pemeriksaan FDG-PET, terutama mengenai konektivitas pada jaringan region korteks MRI volumetric telah banyak dilakukan pada kasus penyakit Alzheimer. Atrofi otak yang progresif merupakan suatu gambaran khas pada proses neurodegenerasi MRI juga berguna untuk menemukan penyebab lain yang relatif jarang terjadi namun berpotensi untuk disembuhkan pada kasus demensia dan kerusakan kognitif, termasuk penyakit serebrovaskuler dan neoplasma. atrofi otak bukan merupakan tanda yang spesifik untuk penyakit Alzheimer. hilangnya volume hippocampus terjadi pada proses penuaan normal seperti juga pada sklerosis hippocampus dan penyakit neurodegeneratif lain yang menyerupai penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer khas onset tersembunyi dan progresivitas atrofi yang tidak dapat dicegah pada struktur lobus temporalis media dan dengan penipisan korteks, khususnya korteks heteromodal termasuk regio cingulatum posterior, precuneus, parietalis lateral, temporalis dan frontalis. Pasien Alzheimermemiliki manifestasi klinis atipikal pola atrofi yang sesuai dengan defisit yang mereka alami (gangguan visual yang merujuk pada atrofi korteks posterior dan defisit bahasa yang merujukpada atrofi korteks temporalis kiri). Sebuah penelitian terpusat atrofi sebetulnya telah dimulai bertahun-tahun sebelum diagnosis demensia. pada individu dengan kerusakan yang sangat ringan (misal, individu dengan skor Mini-Mental State Examination lebih dari 24) volume struktur lobus temporalis media berkurang sebesar 15% hingga 30% sesuai dengan penelitian otopsi pasien dengan MCI telah mengalami kehilangan 15% neuron pada jalur perforantesnya.
Model Lintasan Biomarker pada Alzheimer Disease Data yang dikumpulkan dari berbagai jenis biomarker dan pemeriksaan pencitraan – yang diperoleh dari penelitian Alzheimer’s Disease Neuroimaging Initiative (ADNI); Australian Imaging, Biomarker and Lifestyle (AIBL) dan beberapa penelitian kohort longitudinal di senter-senter akademik – memfasilitasi pengembangan model hipotetikal temporal dari biomarker-biomarker tersebut dalam suatu spektrum penyakit Alzheimer. Model ini merupakan suatu rangkaian spesifik dari abnormalitas biomarker yang dimulai sebelum munculnya gejala klinis dan suatu rangkaian kurva sigmoid untuk mengkarakterisasi dinamika temporal biomarker-biomarker tersebut
Model ini menyatakan bahwa petanda akumulasi amyloid biasanya pada awalnya abnormal namun menunjukkan bahwa amyloid tersebut mungkin dibutuhkan namun belum cukup kuat untuk menunjukkan diagnosis demensia Alzheimer. tanda disfungsi sinaptik awal yang muncul pada beberapa kelompok risiko genetik yang mungkin mendahului terjadinya akumulasi amyloid. Model ini juga menginformasikan bahwa faktor demografik dapat memperngaruhi jalur temporalis dari kurva hipotetikal ini, termasuk faktor usia, genetik, sosioekonomi seperti edukasi dan indikator kognitif lain.
Model hipotetikal biomarker dinamik pada penyakit Alzheimer
Biomarker Amyloid-β (Aβ) diidentifikasikan sebagai assay LCS Aβ42 atau pada pemeriksaan pencitraan positron emission tomography (PET) amyloid (merah) disfungsi sinaptik ditunjukkan oleh PET fluorodeoxyglucose atau MRI fungsional (jingga) garis putus-putus untuk menunjukkan bahwa disfungsi sinaptik dapat terdeteksi pada karier alel *E4 dari gen APOE sebelum terdeteksi deposisi amyloid-β kerusakan neuronal ditunjukkan dengan tau pada LCS atau tau terfosforilasi / phosphorylated tau (hijau) MRI volumetrik (biru) Perubahan biomarker dari normal ke abnormal (axis y) sebagai suatu fungsi dari stadium penyakit (axis x) Lintasan temporalis dari kedua indikator klinis utama ini dulu digunakan untuk menentukan stadium penyakit, kognitif (ungu) dan fungsi klinis (marun)
KRITERIA DIAGNOSTIK BARU Pada tahun 2010, National Institute of Aging and the Alzheimer’s Association (NIA-AA) menetapkan tiga kelompok kerja untuk mengembangkan kriteria baru pada penyakit Alzheimer Masing-masing kelompok berfokus pada salah satu dari tiga fase penyakit Alzheimer (1) fase presimtomatik atau preklinis (2) fase predemensia simtomatik, yang seringkali dianggap sebagai MCI (3) fase demensia.
Kelompok NIA-AA yang bekerja pada fase simtomatik penyakit Alzheimer (misal, MCI dan demensia) biomarker dianggap sebagai suatu pemeriksaan tambahan potensial dalam menegakkan diagnosis Kelompok NIA-AA yang bekerja pada Alzheimer preklinis dan kelompok internasional yang dipimpin Dubois menggunakan kriteria biomarker untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit Alzheimer stadium awal yang lebih baik
Kriteria Klinis Demensia Alzheimer dan Gangguan Kognitif Ringan Akibat Penyakit Alzheimer Kriteria klinis inti untuk demensia Alzheimer meliputi suatu onset yang tersembunyi dan dapat menjadi sesuatu yang berbahaya pada hitungan bulan hingga tahun dengan riwayat terjadinya penurunan fungsi kognitif yang nyata mild cognitive impairment (gangguan kognitif ringan) diberikan pada pasien dengan tanda kerusakan kognitif namun tidak berkembang ke arah demensia Kriteria klinis gangguan kognitif ringan pada kriteria NIA-AA serupa dengan kriteria untuk demensia Alzheimer namun berbeda pada derajat kerusakan fungsional.
Kriteria ini meliputi : (1) hal yang berhubungan dengan perubahan kognisi, yang dapat diidentifikasi oleh pasien, informan atau dokter (2) kerusakan pada satu atau lebih area kognitif yang lebih besar dari yang diduga sesuai dengan usia pasien atau latar belakang edukasional dan dapat dikonfirmasi dengan uji neuropsikologis (3) aktivitas fungsional independen yang masih terpelihara dengan baik. penyakit Alzheimer dikenal sebagai suatu kesatuan rangkaian. Tidak ada titik transisi pasti yang memastikan kapan seorang pasien mengalami perkembangan dari fase MCI ke fase demensia (juga baik dari fase preklinis ke fase MCI).
Penyebab MCI dan demensia selain penyakit Alzheimer penyakit otak dan sistemik yang dapat mempengaruhi fungsi kongnitif penyakit vaskuler, selain dari penyakit neurodegeneratif, termasuk depresi Biomarker dapat memegang peran penting dalam diagnosis banding penyakit Alzheimer sebagai penyebab utama dari gangguan klinis.
Kriteria Penelitian untuk Penyakit Alzheimer Preklinis Aspek paling kontroversial dari kriteria NIA-AA adalah pendapat untuk mengenali suatu stadium penyakit Alzheimer presimtomatik atau preklinis baru Stadium ini merupakan suatu fase penyakit Alzheimer “silent” ketika proses patofisiologis di otak telah dimulai namun belum ada tanda kerusakan klinis. Fase preklinis penyakit didefinisikan dengan perubahan biomarker, namun stadium penyakit Alzheimer preklinis dapat ditandai dengan tanda perubahan kognitif atau perilaku dari status awal pasien atau hasil yang buruk pada uji kognitif istilah preklinis untuk mengenali bahwa pasien dapat menunjukkan perubahan kognitif dan perilaku yang sangat ringan yang dapat mendahului MCI selama beberapa tahun namun biasanya tidak dikonsultasikan ke dokter.
Pengaruh Biomarker terhadap Kriteria Diagnostik kelompok NIA-AA menyatakan biomarker ke dalam dua kategori utama: (1) biomarker yang dapat menggambarkan akumulasi Aβ peptida – baik Aβ1-42dalam LCS maupun pemeriksaan pencitraan PET amyloid (2) biomarker dari cedera neuronal, yang meliputi tau dalam LCS, FDG-PET dan MRI volumetris. Biomarker dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan perkembangan penyakit ke stadium selanjutnya (misal, MCI ke demensia).
Dalam kriteria penelitian preklinis kerangka penentuan stadium berdasarkan biomarker dilakukan untuk mengkarakterisasi pasien dengan peningkatan risiko perkembangan ke MCI dan demensia. Stadium 1 dikarakteristikkan sebagai suatu amyloidosis serebral Stadium 2 amyloidosis dengan neurodegenerasi Stadium 3 adalah pasien dengan amyloidosis, neurodegenerasi dan tanda perubahan kognisi atau periaku yang sangat ringan namun belum cukup kuat untuk didiagnostik sebagai MCI.
Menggabungkan Pemeriksaan Biomarker dalam Praktek Klinis masalah utama mengenai pemeriksaan biomarker pada praktek klinis Walaupun telah dilakukan standarisasi assay LCS, pemeriksaan pencitraan PET dan pengukuran MRI volumetris, namun belum ada pemeriksaan yang divalidasi dengan layak, nilai normatif yang ditetapkan dan metrik kalibrasi untuk beberapa biomarker. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuat biomarker-biomarker ini lebih mudah diinterpretasi oleh dokter dalam kondisi klinis apapun.
Kesimpulan dan Rencana Selanjutnya di Masa yang Akan Datang Pengembangan diagnosis dan biomarker penyakit Alzheimer telah mengalami perkembangan selama dekade terakhir ini. Diharapkan biomarker-biomarker ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai patofisiologi penyakit Alzheimer selama pasien hidup dan menjelaskan hubungan antara patologi dan manifestasi klinis penyakit . Banyak penelitian masih perlu dilakukan untuk menstandarisasi biomarker yang ada untuk memberikan manfaat optimal dalam kondisi klinis, untuk mengembangkan biomarker yang lebih sensitif dan spesifik sebagai diagnosis awal, untuk melacak progress penyakit dan untuk memonitor respon terhadap terapi selanjutnya.
TERIMA KASIH