PENGANTAR HAK ASASI MANUSIA Hadi Rahmat Purnama, SH., LL.M
Latar Belakang Sejarah HAM Cyrus Cylinder 539 SM. Magna Charta 1215 Bill of Rights 1689 The American Declaration of Independence 1776 The French Declaration of Rights of Man and Citizen 1789 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948
Generasi HAM Karel Vasak membagi generasi HAM didasarkan atas perkembangan sejarah, yang dibagi atas tiga generasi: Hak-hak di bidang Sipil dan Politik Hak hidup; Hak atas Penyelenggaraan peradilan;Hak atas Privasi;Hak atas Kebebasan beragama;Hak atas Berkumpul denga damai dan berserikat;Hak atas Partisipasi politik;Hak atas Persamaan di muka hukum; danHak atas Perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi.
Hak-hak di bidang Sosial, Budaya dan Ekonomi Hak atas Pekerjaan dan kondisi kerja yang memadai; Hak atas Membentuk serikat pekerja; Hak atas Jaminan sosial dan standar hidup yang memadai termasuk pangan, sandang dan papan; Hak atas Kesehatan;Hak atas Pendidikan; dan Hak atas Bagian dari kehidupan budaya Hak atas pembangunan Hak untuk berpartisipasi, memberikan kontribusi dan menikmati hasil pembangunan serta hak atas lingkungan hidup.
Pembentukan Hukum HAM Internasional Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan Pembentukan standar HAM Internasional Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly) Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council) Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council) Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on Promotion dan Protection of Human Rigths) Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)
Sumber Hukum Internasional HAM Hukum Perjanjian Internasional Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk membentuk hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa kovenan, konvensi, perjanjian dan lain-lain. Hukum Kebiasaan Internasional Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai ‘hukum’. Prinsip Hukum Umum Prinsip Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan berlaku dalam hukum nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari sistem hukum positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.
Putusan Hakim Putusan pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari tiga sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas. Pendapat para ahli hukum internasional Pendapat ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian dan tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan merupakan suatu hukum.
Instrumen Hukum HAM Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3): ”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama ...”
Kewajiban Negara Atas Pemenuhan HAM Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di bawah yurisdikasinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya. (ICCPR Pasal 2 (1) ICESCR Pasal 2(2))
Instrumen Hukum yang Mengikat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) UU No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) UU No. 11 tahun 2005 Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) Melalui UU No. 26 Tahun 2000
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) UU No. 5 tahun 1998 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) UU No. 29 tahun 1999 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) UU No. 7 tahun 1984 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Keppres No. 36 tahun 1990 Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees)
Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials) Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance) Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women) Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender) Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang- sewenang dan Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions )
Pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional mengenai HAM: Perjanjian Hak Asasi Manusia (Instrumen) Badan Pengawas Pelaksanaan Perjanjian Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights) Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic Social and Cultural Rights) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Komite Penghapusan Diskriminasi Ras (Committee on Elimination Racial Discrimination) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on Eliminations Discrimination Against Women) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kenjam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Komite Menentang Penyiksaan (Committee on Against Torture) Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child) Komite Hak Anak (Committee on Rights of the Child)
Mekanisme diluar konvensi Prosedur Khusus: Tematik dan Mandat Negara Prosedur Khusus: 1503
Prosedur Khusus: Tematik dan Mandat Negara, mempunyai mandat: Melakukan penelitian dan analisa terhadap isu yang sesuai dengan mandat mereka Membuat rekomendasi mengenai perlindungan pelanggaran HAM serta perbaikannya Menerima informasi (spt. Tuduhan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh individu, pemerintah, LSM, dll) Melakukan komunikasi dengan pemerintah jika tuduhan dianggap kredibel dan sesuai dengan mandatnya Melakukan kunjungan ke negara-negara untuk melakukan studi terhadap situasi negara, jika diizinkan oleh pemerintahnnya. Memberikan laporan kepada HRC
Prosedur Khusus: 1503 Prosedur kerahasiaan yang diadopsi oleh ECOSOC pada 1970, sebagai Prosedur untuk Penanganan Komunikasi yang terkait dengan Pelanggaran HAM dan Kebebasan Dasar (dibentuk kembali pada sesi ke-65 HRC tahun 2000) Komplain dapat dilakukan terhadap semua negara, walaupun negara tersebut bukan anggota PBB Kelompok Kerja tentang Komunikasi dibentuk pertahun oleh Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM
MENGITEGRASIKAN INSTRUMEN HUKUM HAM INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL Dalam Pasal 27 dari Konvensi Wina 1969 ditegaskan bahwa negara tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk tidak dapat menjalankan kewajiban perjanjian internasional. Terdapat dua teori untuk menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional: Teori monisme Teori dualisme
Negara dapat memprakteknya dalam berbagai macam cara: Konstitusi, Perundang-undangan nasional, Inkorporasi, Pemberlakuan secara langsung, Interpretasi dalam sistem common law, Jika terdapat kekosongan hukum, dibeberapa negara, jika terjadi kekosongan hukum mengenai HAM, hakim dan advokat dapat mendasarkan pada hukum internasional, putusan kasus-kasus internasional atau pada kasus-kasus dari negara lain untuk dapat menerapkan prinsip dasar dari HAM. Tetapi hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondiri hukum dari negara yang bersangkutan.
Praktik Pengitegrasian Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional di Indonesia Di Indonesia pratik pengesahan atau pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional di dasarkan atas Undang Undang No. 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Indonesia adalah negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa, ”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan: masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara kedaulatan atau hak berdaulat negara hak asasi manusia dan lingkungan hidup pembentukan kaidah hukum baru pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM NASIONAL Negara hukum mempunyai ciri sebagai berikut: Pengakuan dan perlindungan HAM; Peradilan yang bebas dan tidak memihak; Didasarkan pada rule of law.
HAM dan Konstitusi di Indonesia Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang asli Tidak secara langsung terdapat kata-kata HAM, Hak-hak tersebut adalah hak semua bangsa untuk merdeka (alinea pertama pembukaan), hak atas persamaan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)), hak atas pekerjaan (Pasal27 ayat (2)), hak atas penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2)), kebebasan berserikat dan berkumpul (pasal 28), kebebasan mengeluarkan pendapat (pasal 28), kebebasan beragama (Pasal 29 ayat (2)), dan hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).
Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tahun 1949-1950. Di dalam Konstitusi RIS ini setidak-tidaknya terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai HAM secara eksplisit sebanyak 35 pasal dari 197 pasal yang ada. HAM dalam Konstitusi RIS diatur dalam Bab V yang berjudul “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”. Namun hal ini hanya berlaku selama 8,5 bulan karena Indonesia kembali kepada negara kesatuan dan ditetapkanya UUD Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI (UUDSRI) dengan kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan. Terdapat 38 pasal dalam UUDSRI, 1950 (dari keseluruhan 146 pasal, atau sekitar 26 persen) yang mengatur HAM. HAM diatur dalam Bagian V tentang “Hak- hak dan Kebebasan Dasar Manusia”. Namun hal ini hanya berlansung dari 15 Agustus 1950-4 Juli 1959.
HAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL UUD 1945 Perubahan kedua UUD 1945 Bab XA TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tertanggal 13 November 1998 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM UU No. 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan UU No. 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Ras UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Keputusan Presiden No. 40 tahun 2004 tentang RAN HAM Keppres No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Anak
Hak Asasi Manusia UU 39/1999 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
HAK ASASI MANUSIA NASIONAL UU No. 39/1999 Hak Hidup (Pasal 9); Hak untuk Berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10); Hak Mengembangkan Diri (Pasal 11-16); Hak Memperoleh keadilan (Pasal 17-19); Hak Kebebasan Pribaditurut serta dalam Pemerintahan (Pasal 20- 27); Hak atas Rasa Aman (Pasal 28-35); Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36-42); Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43-44); Hak-hak Perempuan (Pasal 45 – 51); Hak-hak Anak (Pasal 52 -66). Sentra HAM FHUI Copyrights©
Kewajiban dasar dari manusia Setiap orang wajib patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM; Kewajiban warga negara wajib turut serta dalam upaya pembelaan negara; Kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain; Kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Pelanggaran HAM UU No. 39 tahun 1999 pelanggaran HAM dirumuskan sebagai berikut: “… setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Pelanggaran HAM Berat Pelanggaran HAM Berat dalam UU No. 26 tahun 2000 (Pasal 7) Kejahatan Genosida (Pasal 8); Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Pasal 9). Sentra HAM FHUI Copyrights©
Pelaku Pelanggaran HAM Aparat negara, misalnya: Penyiksaan oleh aparat keamanan dalam upaya mencari keterangan atau pengakuan seseorang tersangka; Menghalangi orang untuk menyampaikan pendapatnya secara damai; Melakukan penggusuran tanah tanpa melalui prosedur yang seharusnya dan tanpa ganti rugi yang layak. Kelompok kelompok tertentu, misalnya: Melakukan pembunuhan, penganiayaan atau pemusnahan kelompok; Memperlakuan seseorang atau sekelompok orang yang berbeda agama atau ras secara diskriminatif. Masyarakat umum, misalnya: Memberikan upah berbeda karena alasan perbedaan laki-laki dan perempuan; Melakukan pelecehan atau penyiksaan terhadap istri baik fisik atau psikologi; Membiarkan seorang anak terlantar, teraniaya dan menderita. Sentra HAM FHUI Copyrights©
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Tokyo dan Nureunberg Militery Tribunal setelah Perang Dunia II, untuk mengadili penjahat perang Jepang dan Jerman, International Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), untuk mengadili penjahat perang di bekas negara Yugoslavia International Tribunal for Rwanda (ICTR), untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas genosida di Rwanda.
Forum Penyelsaian Sengketa HAM Internasional Criminal Tribunal ICTY, ICTR International Criminal Court Pengadilan Nasional (Ad Hoc HAM)
Struktur Mahkamah Pidana Internasional Pimpinan Mahkamah Lembaga Pengadilan (Chambers) Kantor Penuntut Umum (Office of the Prosecutor) Kantor Panitera (Registry Office)
Para Pihak dan Tindak Kejahatan Pidana Internasional Pihak-pihak yang dapat diperiksa oleh MPI adalah perorangan atau individu. Jenis-jenis kejahatan yang menjadi kewenangan dari MPI dalam Statuta dapat dikategorikan dalam 4 kelompok: Kejahatan Genosida Kejahatan terhadap Kemanusiaan Kejahatan Perang Kejahatan melakukan Agresi
Kejahatan Genosida (Pasal 8 UU No. 26/2000) Kejahatan genosida … adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap Kemanusiaan Pasal 7 Statuta Roma (Pasal 8 UU 26/2000) Kejahatan terhadap kemanusiaan … adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan;
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.
Kejahatan Perang (Pasal 8 Statuta ICC) Pelanggaran Berat (Grave Breaches) Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan dalam HHI Pelanggaran terhadap Pasal 3 bersama Konvensi Jenewa untuk konflik internal
Prinsip Komplementar MPI Prinsip yang paling mendasar dari Statuta Roma adalah prinsip “komplementar” yaitu MPI adalah pelengkap dari yurisdiksi pengadilan nasional. Maksudnya adalah MPI hanya dapat mengabil alih perkara yang merupakan kewenangannya dari pengadilan nasional apabila sistem hukum nasional suatu negara dianggap benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan dan mengadili tindak pidana yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi MPI.
Terimakasih