HUKUM SYARA’ (1)
Pengertian Hukum Syara’ Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i POKOK BAHASAN Pengertian Hukum Syara’ Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i Tiga Rukun Hukum Syara’ : (1) Al Hakim, (2) Mahkum alaihi (Mukallaf), (objek hukum) (3) Mahkum fiihi. (sasaran hukum)
Ushul Fiqih adalah metodologi yang ditempuh mujtahid untuk menggali hukum syara’ dari sumber-sumber hukum syara’ (al-Qur’an, hadits, ijma sahabat, qiyas syar’i)
PENGERTIAN HUKUM SYARA’
DEFINISI HUKUM SYARA’ Kata “al hukmu” menurut bahasa, artinya “al man’u”, yakni mencegah. Misalnya ungkapan : حكم الحصان ، أي منع الحصان من الإنطلاق Hakama al hishan, seseorang “menghukum” kuda, artinya, dia mencegah kuda itu dari lari. M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/37
DEFINISI HUKUM SYARA’ Definisi lain : الحكم الشرعي: هو خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء او التخيير او الوضع. Hukum syara’ adalah seruan / firman dari Allah yang terkait dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur hukum. Wahbah Az Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz I hlm. 38.
DEFINISI HUKUM SYARA’ Hukum syara’ menurut istilah ulama ushul fiqih : الحكم الشرعي: هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد بالإقتضاء او التخيير او الوضع. Hukum syara’ adalah seruan dari As Syari’ yang terkait dengan perbuatan-perbuatan hamba, baik berupa tuntutan (iqtidha), pemberian pilihan (at-takhyir), atau penetapan (al-wadh’i) M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9
PENJELASAN DEFINISI HUKUM SYARA’ Hukum syara’ adalah seruan dari As Syari’ yang terkait dengan perbuatan-perbuatan hamba (manusia), baik berupa tuntutan (iqtidha), pemberian pilihan (at-takhyir), atau penetapan (al-wadh’i) Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri’, tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma’, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al-Qur’an saja. Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila.
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I Dari definisi hukum syara’ yang terpilih, yaitu : الحكم الشرعي: هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد بالإقتضاء او التخيير او الوضع. “Seruan pembuat syariah (Allah SWT) yg berkaitan dengan perbuatan manusia, baik berupa tuntutan (iqtidha’), pilihan (takhyir) ataupun wadhi (penetapan). (An-Nabhani, al-Asnawi, al-Ghazali ) Maka hukum syara’ itu ada dua bagian : Pertama, hukum taklifi, yaitu hukum untuk mengatur perbuatan manusia, dengan hukum berupa tuntutan (thalab) dan pemberian pilihan (takhyir). Kedua, hukum wadh’i, yaitu hukum untuk mengatur hukum taklifi itu. Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I Hukum taklifi, meliputi : (1) tuntutan tegas (thalab jazim), yaitu haram dan wajib. (2) tuntutan tidak tegas (thalab ghairu jazim), yaitu sunnah (mandub) dan makruh. (3) pemberian pilihan (takhyir), yaitu mubah. Hukum wadh’i, meliputi 1.sebab, 2.syarat, 3.mani’, 4.sah – batal – fasad serta 5.azimah – rukhsah. Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9
PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I Terdapat dua perbedaan utama : (1) Hukum taklifi merupakan hukum yang langsung mengatur perbuatan manusia. Contoh : sholat 5 waktu hukumnya wajib (hukum taklifi) Sedang hukum wadh’i, hukum yang mengatur perbuatan manusia secara tidak langsung. Contoh : Wudhu adalah syarat sholat (hukum wadh’i)
PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I (2) Hukum taklifi berada dalam kuasa mukallaf (maqdur lil mukallaf). Misalnya : wudhu sebagai syarat sholat, mencuri sebagai sebab hukum potng tangan, dll. Sedang hukum wadh’i, kadang dalam kuasa mukallaf, misalnya wudhu sbg syarat sholat, Kadang tidak berada dalam kuasa manusia. Misalnya tergelincirnya matahari sebagai sebab sholat zhuhur (QS Al Isra` : 78). M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 249-250
PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I TEMA HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I SECARA LEBIH DETAIL AKAN DIBAHAS DALAM KULIAH-KULIAH SELANJUTNYA.
RUKUN-RUKUN HUKUM SYARA’
PENGERTIAN RUKUN-RUKUN HUKUM SYARA’ Yang dimaksud pembahasan Rukun-Rukun Hukum Syara’ (Arkan al hukm as syar’i) adalah pembahasan tentang : (1) Al Haakim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum; apakah Allah SWT ataukah manusia? (2) Al Mahkum ‘alaihi, yaitu membahas siapa yang menjadi objek hukum (mukallaf)=manusia yang terkena beban hukum (3) Al Mahkum fiihi, yaitu membahas apa yang dihukumi (perbuatan manusia).
AL HAAKIM Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul, bahwa al haakim hanyalah Allah SWT, bukan manusia. Note : inilah perbedaan mendasar Islam dengan demokrasi, yang menetapkan manusia sebagai pembuat hukum Itulah yang disebut prinsip kedaulatan di tangan rakyat (the soveregnity belongs to the people). Prinsip ini bertentangan dengan Aqidah Islam (QS Al An’aam : 57). “Keputusan hukum itu hanya pada Allah, Dialah Dzat yang Maha Memutuskan kebenaran, sedangkan Dialah sebaik-baik Pemberi keputusan”
AL HAAKIM Para ulama menetapkan bahwa al haakim hanyalah Allah SWT, berdasarkan dua dalil : Pertama, dalil aqli, yaitu pembuktian berdasarkan akal bahwa manusia tidak mungkin mampu menetapkan hukum untuk mengatur manusia itu sendiri. Kedua, dalil naqli, Yaitu dalil-dalil nash Al Qur`an atau As Sunnah yang mewajibkan manusia berhukum dengan hukum Allah, atau yang mengharamkan manusia berhukum dengan selain hukum Allah.
AL HAAKIM DALIL AQLI : Bahwasanya manusia mempunyai jangkauan akal yang terbatas. Akal manusia hanya mampu menjangkau fakta yang dapat diindera (al waqi’ al mahsus). Definisi akal : “Proses pemindahan penginderaan terhadap fakta ke dalam otak melalui panca indera, yang kemudian ditafsirkan dengan pengetahuan sebelumnya.” Lihat kitab At Tafkir karya Taqiyuddin An Nabhani.
AL HAAKIM Berdasarkan definisi itu, maka akal manusia tidak mungkin menjangkau suatu perbuatan dipuji Allah atau dicela Allah. Bahwa sholat itu dipuji Allah, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Bahwa zina itu dicela Allah, juga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Pujian dan celaan Allah hanya dapat diketahui lewat wahyu, tak mungkin diketahui oleh akal secara langsung.
AL HAAKIM DALIL NAQLI : Banyak sekali nash Al Qur`an atau As Sunnah yang mewajibkan manusia berhukum dengan hukum Allah, atau yang mengharamkan manusia berhukum dengan selain hukum Allah. QS An Nisaa` : 59, 65; An Nuur : 63, QS Al An’aam : 57; dll. Sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim).
AL MAHKUM ALAIHI (objek hukum) Mahkum alaihi adalah : orang yang perbuatannya terkait dengan Khitaabus Syaari’. =siapa yang dibebani hukum (manusia) Disebut dengan istilah : mukallaf. Mukallaf sesungguhnya adalah seluruh manusia terkena beban hukum Sebab Islam (baik aqidah maupun syariahnya) adalah risalah untuk seluruh manusia tanpa kecuali. Kalau Seruan hukum itu pada semua manusia Lihat QS Al A’raaf : 158; Saba` : 28. قُل يٰأَيُّهَا النّاسُ إِنّى رَسولُ اللَّهِ إِلَيكُم جَميعًا Katakanlah (wahai Muhammad): "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah Pesuruh Allah kepada kamu semuanya, QS Al A’raaf : 158 وَما أَرسَلنٰكَ إِلّا كافَّةً لِلنّاسِ بَشيرًا وَنَذيرًا ﴿٢٨﴾ Dan tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan untuk umat manusia seluruhnya, sebagai Rasul pembawa berita gembira (kepada orang-orang yang beriman), dan pemberi peringatan (kepada orang-orang yang ingkar)
AL MAHKUM ALAIHI (objek hukum) Syarat Mukallaf ada dua : (1) syarat umum mukallaf, maksudnya tidak ada bedanya untuk muslim maupun non muslim yaitu ada 3 syarat : berakal, baligh, dan mampu. (2) syarat khusus mukallaf, yaitu syarat yang khusus, yaitu keislaman seseorang, Untuk perbuatan-perbuatan tertentu yang ditetapkan syara’ , spt shalat, puasa, zakat, haji, menjadi hakim, dll (lih Ushul Fiqih, Hafidz A, hal.86)
AL MAHKUM FIHI= Apa yang dihukumi, yaitu Perbuatan manusia Mahkum fiihi adalah : apa-apa yang terkait dengan Khithaabus Syari’. Apa-apa yang terkait dengan Khitaabus Syari’ adalah : perbuatan manusia. (af’aal) Juga benda-benda yang digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya (asy-yaa`).
sumber KH. M. Shiddiq al-Jawi, M.S.I.