Mengenal Filsafat Manusia
Pengertian Filsafat Filsafat merupakan suatu ikhtisar berpikir. Yakni berpikir radikal, dalam arti berpikir mulai dari radix-nya (baca: akar) suatu gejala yang dipermasalahkan. Berpikir untuk mencapai pada akar suatu gejala, berarti juga berikhtiar untuk sampai pada pengertian yang lebih dalam, bukan hasil kedangkalan persepsi. Kemestian berpikir bebas dalam berfilsafat, membuat Betrand Russel melukiskan filsafat sebagai tanah tak bertuan. Karena tanah filsafat adalah ladang tak bertuan, maka siapa saja bebas menggarap pemikirannya.
Kebebasan Berpikir sebagai Prasyarat Kita bisa berpikir atau memikirkan tentang suatu gejala sampai ke akarnya, sejauh kita berpikir secara bebas. Kebebasan berpikir adalah prasyarat mutlak bagi kita untuk berfilsafat. Hanya melalui kebebasan berpikir, kita dapat dituntun membuka gerbang cakrawala filsafat. Kita dapat membuka selubung misteri yang menyelimuti realitas. Sebab, realitas tidak pernah menampakkan wajah aslinya. Ia selalu ditutupi selubung kekuasaan, agama, sejarah dan politik.
Filsafat tidak pernah lahir dari mereka yang pikirannya terkekang Filsafat tidak pernah lahir dari mereka yang pikirannya terkekang. Para filsuf seperti Descartes, Karl Marx, Schopenhauer, Sartre, Michel Foucault atau Hannah Arent misalnya, adalah dilahirkan oleh adanya sikap dan pikiran yang bebas. Tanpa adanya kebebasan berpikir, kita tidak pernah menikmati karya literartur Anna Karenina dari Leo Tolystoy, atau The Plague dari Albert Camus. Dalam konteks kesusastraan Indonesia, tanpa ada kebebasn berpikir, mungkin kita tidak pernah membaca Arus Balik, sebuah novel sejarah dari Pramoedya Ananta Toer misalnya.
Obyek Material dan Formal Filsafat Manusia Dari segi obyek materialnya, antara filsafat manusia dengan ilmu manusia lainnya relatif sama, yakni kajiannya terarah pada manusia. Akan tetapi, dari segi obyek formalnya, dalam hal ini cakupan analisis dan metodenya, filsafat manusia dengan ilmu manusia lain seperti sosiologi, ekonomi, psikologi dan antropologi sangatlah berbeda. Ilmu – ilmu manusia -- sebagaimana yang telah disebutkan tadi – meletakkan manusia, dengan menatap dan membahasnya secara parsial. Dengan kata lain, ilmu manusia hanya mempelajari manusia dari satu aspek saja.
Ilmu manusia lebih mempercayai metode – metode yang berkaitan dengan aspek empiris, sebagai misal penelitian lapangan (field research). Karena berkaitan dengan fenomena yang empiris, maka metode yang digunakan biasanya observasi atau wawancara. Ilmu ini hanya mungkin untuk mempelajari aspek fisik atau materi dari apa yang dialami manusia. Persoalan yang berkaitan dengan aspek spiritual dan metafisik tidak disentuh oleh disiplin ini.
Metode Filsafat Filsafat bersifat interogatif. Artinya, dalam berfilsafat kita senantiasa mengajukan persoalan – persoalan dan mempertanyakan apa yang tampak sudah jelas. Namun demikian, jangan dibayangkan interogasi di sini sama halnya dengan seorang polisi yang menginterogasi seorang pencuri untuk mendapatkan fakta – fakta, melainkan diarahkan pada semua hal yang sifatnya fundamental (manusia). Metode selalu bertanya ini seringkali disebut dengan metode ala Socrates. Yakni memposisikan dirinya sebagai bidan terhadap pasien asuhnya, yang kerap menanyakan kondisi dan keluhan yang dia alami.
Metode dialektika Metode filsafat selalu bersifat dialektis. Dalam pengertian Plato, persoalan – persoalan dikemukakan melalui dialog atau diskusi antara guru dan murid. Kemudian secara perlahan bergerak menuju ke suatau pemecahan. Kemudian, dari sudut pandang Aristoteles, dialektika dipahami hasil dari pengumpulan dan peniliaiaan kritik dari semua opini diperoleh mengenai masalah tertentu. Menurut Hegel, dialektika dipahami sebagai cara yang dimulai dengan memperlawankan atau mempertentangkanbdua gagasan yang berbeda, kemudian mempertemukannya dalam suatu titik sistesis