Tim Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
KD 1. Mendeskripsikan pengertian sistem hukum dan peradilan nasional
Advertisements

POKOK-POKOK HUKUM PIDANA oleh : Susan Fitriasari Heryanto,M.Pd
NORMA-NORMA YANG BERLAKU BERMASYARAKAT, BERBANGSA,
Teori HUKUM PIDANA oleh : YANA INDAWATI,SH.,M.KN
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS)
TINDAK PIDANA (STRAFBAAR FEIT )
POKOK-POKOK HUKUM PIDANA
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
HUKUM PIDANA LANJUTAN Ramdhan Kasim SH.
Asas Asas Hukum Pidana.
Dasar/Alasan Penghapus Pidana
M. Hamidi Masykur, S.H., M.Kn. PEMBIDANGAN HUKUM.
HUKUM PIDANA HPI SKS TIM PENGAJAR HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA Depok, 30 Januari /04/20151.
PERCOBAAN (POGING) PASAL 53
HUKUM YANG DICIPTAKAN MELALUI PUTUSAN PENGADILAN M. Hamidi masykur, S
Asas-Asas Hukum Pidana
Unsur, Jenis dan Pelaku Tindak Pidana
Penyertaan dan Pengulangan dalam Melakukan Tindak Pidana
DASAR-DASAR PERINGAN PIDANA
KEJAHATAN TERHADAP TUBUH
Strafbaar feit Perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana.
Tindak Pidana Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik)
KULIAH 5 Tentang Penggolongan Tindak Pidana.
HUKUM PERBANKAN INDONESIA
PERJANJIAN PERKAWINAN Menurut KUHPerdata
Asas-Asas HUKUM PIDANA 3
KULIAH 8 Percobaan Tindak Pidana (POGING).
Penyertaan Tindak Pidana
Pertemuan ke 2 “SUMBER HUKUM TATA NEGARA”
KELALAIAN MEDIK TUNTUTAN PIDANA ATAU PERDATA
Tim Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia
HPI SKS TOPO SANTOSO, SH.MH
HUKUM PIDANA HPI SKS TIM PENGAJAR HUKUM PIDANA
Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana
Asas nasional aktif Asas ini sering disebut asas personal.
Kajian Hukum Pidana bagi PPAT yang Bermasalah Hukum dalam Menjalankan Profesinya oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta Anggota Bidang Studi Hukum Pidana FHUI/
Pembagian Delik Delik itu dapat dibedakan atas bebagai pembagian tertentu, seperti berikut ini: Delik kejahatan dan delik pelanggaran. Delik materiil dan.
pelanggaran-2 + kejahatan-2  thd norma-2 hk mengenai kepentingan umum
Fachrizal Afandi, S.Psi., SH., MH
KESALAHAN Pengertian 1. Telah melakukan 2. Dapat dipersalahkan
Hukum Pidana Oleh: Riswan Munthe.
HUKUM PIDANA.
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Hukum Pidana Iman Pasu Purba, SH. MH.
Hukum pidana Pengantar ilmu hukum.
Macam-macam Delik.
Sekilas Hukum Pidana Indonesia
PEMBAGIAN TINDAK PIDANA
Percobaan dan Perbarengan dalam melakukan tindak pidana
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
HUKUM PIDANA LANJUTAN YUSRIANTO KADIR.
PEMBIDANGAN HUKUM.
KAUSALITAS 1. Pengertian ? 2. Kapankah diperlukan ajaran kausalitas ?
Dimodifikasi dari bahan kuliah Fully H. R, FHUI
PERCOBAAN (POGING) PASAL 53
ASAS LEGALITAS.
HUKUM PIDANA.
Jenis Delik (1) Kejahatan Pelanggaran (misdrijf) (overtreding)
Terjadinya Perbuatan Pidana
pelanggaran-2 + kejahatan-2  thd norma-2 hk mengenai kepentingan umum
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA
HUKUM PIDANA BAB I PENGANTAR I. PENGERTIAN HUKUM PIDANA Secara Umum
Percobaan dan Perbarengan dalam melakukan tindak pidana
ASAS-ASAS YANG TERKANDUNG DALAM HUKUM PIDANA
Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana
Pidana & Pemidanaan di Berbagai Negara
Sistem Hukum Indonesia ( bahan 05 )
PERCOBAAN (POGING/ATTEMPT)
BAB I PENDAHULUAN Pengertian Hukum Pidana
HUKUM PIDANA HPI SKS TIM PENGAJAR HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA Depok, 30 Januari /09/20191.
Transcript presentasi:

Tim Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia HUKUM PIDANA HPI 10102 3 SKS Tim Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia

KULIAH 1 Arti dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Sumber-sumber Hukum Pidana Di Indonesia Pembagian Hukum Pidana :

Pengertian Hukum Pidana Prof. Moeljatno Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : 1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tidak boleh dilakukan, yg dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tsb; à Criminal Act 2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yg telah diancamkan ; à Criminal Liability/ Criminal Responsibility 1) dan 2) = Substantive Criminal Law / Hukum Pidana Materiil 3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tsb. à Criminal Procedure/ Hukum Acara Pidana

Pengertian Hukum Pidana Prof. Pompe Hukum Pidana adalah semua aturan- aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu

Pengertian Hukum Pidana Prof. Simons Hukum Pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yg menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.

Pengertian Hukum Pidana Prof. Van Hamel Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut

Pembagian Hukum Pidana Hukum Pidana Materiil (Hukum Pidana) Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana)

Ilmu Hukum Pidana & Ilmu-ilmu lainnya Kriminologi Kriminalistik Ilmu Forensik Psikiatri Kehakiman Sosiologi Hukum

KUHP dan Sejarahnya Andi Hamzah - Jaman VOC - Jaman Hindia Belanda - Jaman Jepang - Jaman Kemerdekaan Utrecht -Jaman VOC -Jaman Daendels -Jaman Raffles -Jaman Komisaris Jenderal -Tahun 1848-1918 -KUHP tahun 1915 - sekarang

Statuten van Batavia Hk. Belanda kuno Asas2 Hk. Romawi Jaman VOC Di daerah lainnya berlaku Hukum Adat mis. Pepakem Cirebon

Jaman Hindia Belanda Dualisme dalam H. Pidana 1. Putusan Raja Belanda 10/2/1866 (S.1866 no.55) --> Orang Eropa 2. Ordonnantie 6 Mei 1872 (S.1872) --> Orang Indonesia & Timur Asing Unifikasi : Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie - Putusan Raja Belanda 15/10/1915 Berlaku 1/1/1918 disertai - Putusan Raja Belanda 4/5/1917 (S.1917 no. 497) : mengatur peralihan dari H. Pidana lama --> H. Pidana baru.

Jaman Jepang WvSI masih berlaku Osamu Serei (UU) No. 1 Tahun 1942, berlaku 7/3/1942 H. Pidana formil yang mengalami banyak perubahan

Jaman Kemerdekaan UUD 1945 Ps. II Aturan Peralihan Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini

Jaman Kemerdekaan UU No. 1 Tahun 1946 : Penegasan tentang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia Berlaku di Jawa-Madura (26/2/1946) PP No. 8 Tahun 1946 : Berlaku di Sumatera UU No. 73 Tahun 1958 : “ Undang-undang tentang menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”

SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA KUHP (beserta UU yang mengubah & menambahnya) PerUU Pidana (perUU Hk Pidana ?) di luar KUHP Ketentuan Pidana dalam Peraturan perundang- undangan non-hukum pidana

KUHP Buku I : Ketentuan Umum (ps 1 – ps 103) Pasal 103 à Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku I juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain Buku II : Kejahatan (ps 104 – 488) Buku III : Pelanggaran (ps 489 – 569)

Beberapa UU yang mengubah KUHP (1) UU No.1/1946 : berlakunya KUHP, perubahan beberapa istilah, penghapusan beberapa pasal, penambahan pasal- pasal baru : Bab IX - XVI UU No. 20/1946 : tambahan jenis pidana Ps 10 a KUHP --> pidana Tutupan UU drt No. 8/1955 : menghapus Ps 527 UU No. 73/1958 : menyatakan UU No. 1/1946 berlaku di seluruh Indonesia, tambahan Ps 52a, 142a, 154a UU drt No. 1/1960 : menambah ancaman pidana dari Ps 188, 359, 360 menjadi 5 Tahun penjara atau 1 tahun kurungan

Beberapa UU yang mengubah KUHP (2) Perpu No. 16/1960 : penambahan nilai terhadap beberapa kejahatan ringan : Ps 364, 373, 379, 384, 407 (1) Perpu No. 18/1960 : pidana denda dilipatgandakan 15 X (ditetapkan mjd UU melalui UU No. 1/1961-check) UU No. 1/PNPS/1965 : tambahan Ps 156 a UU No. 7/1974 : tambahan sanksi untuk judi Ps 303 menjadi 10 juta & denda 25 juta, Ps 542 (1) menjadi Kejahatan, Ps 303 bis pidana menjadi 4 tahun, denda 10 juta. UU No. 4/1976 perubahan dan penambahan tentang Kejahatan penerbangan : Ps 3, Ps 4 angka 4, Ps 95a, 95b,95c, Bab XXIX A. UU No. 20/2001 : menghapus pasal-pasal tentang korupsi dari KUHP

UU Hukum Pidana di luar KUHP UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU No. 31/1999 sebagai mana diubah oleh UU No. 20/2001 UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No.7/drt/1955 UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU No …./2010

Contoh UU non hukum pidana yang memuat sanksi pidana UU Lingkungan UU Pers UU Pendidikan Nasional UU Perbankan UU Pajak UU Partai Politik UU pemilu UU Merek UU Kepabeanan UU Pasar Modal etc

Hukum Pidana Umum & Khusus Dasar Pembedaan ??? Hukum Pidana Umum Hukum Pidana Khusus Subyek H.Pidana non militer H. Pidana militer Substansi KUHP & UU yg mengubah TPE, TPK, TPS, H.Pid. militer, H.Pid. Fiskal Tempat pengaturan ??? UU Hukum Pidana yg. Berlaku umum (KUHP, TPE,TPK, TPS, dll) UU non hukum pidana yg. Bersanksi pidana

KULIAH 2 Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Pasal 1 KUHP (1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. (2) Jika ada perubahan dalam perundang- undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan .

ASAS YG TERCAKUP DLM PASAL 1 (1) KUHP Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali : Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yg terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yg dapat dijatuhkan atas delik itu 3 prinsip, sbb:

Asas legalitas mengandung 3 prinsip: 1. Aturan hukum pidana harus tertulis 2. Larangan berlaku surut 3. Larangan penggunaan Analogi

1. Aturan hukum pidana harus tertulis (lex scripta) Aturan hukum pidana harus mrpkn atauran yg dibuat oleh badan legislatif (produk legislatif) Produk legislatif yg dimaksud adl dlm bentuk UU atau Perda Aturan tsb harus jelas rumusannya (lex certa) dan tdk multi tafsir Hukum adat ? Merupakan pengecualian ? Lihat UU Drt No.1/1951 dan R-KUHP Ps. 1 ayat (3)

2. LARANGAN BERLAKU SURUT (non retroaktif) Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang : X mundur (ke belakang) harus ke depan (maju) (Dilarang) ß---------- UU Pidana ---------------à Perlu diketahui kapan suatu tindak pidana terjadi (wkt terjadinya tindap pidana = tempus delicti.

Teori2 Tempus Delicti 1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad) 2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van het instrument) 3. Teori Akibat (de leer van het gevolg) 4. Teori waktu yg jamak (de leer van de meervoudige tijd)

Tempus delicti penting diketahui dalam hal2 : Kaitannya dg Ps 1 KUHP Kaitannya dg aturan tentang Daluwarsa Kaitannya dg ketentuan mengenai pelaku tindak pidana anak : UU Pengadilan Anak

Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut Larangan berlaku surut dalam berbagai ketentuan selain yang diatur dalam Ps. 1 ayat (1) KUHP Internasional: Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut Ps 15 (2) ICCPR àpengecualian, untuk kejahatan menurut hukum kebiasaan international: boleh berlaku surut Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma) Nasional Ps 28i UUD 1945 Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999

Ps 28i UUD 1945 Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

UU No. 39/ 1999 ttg HAM Ps 18 (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang- undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan Ps 18 (3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang- undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka

Pengecualian Larangan Berlaku Surut Ps 1 ayat (2) KUHP à dalam hal tjd perubahan UU yg meringankan bagi tdkw, digunakan UU yg baru Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM) à diperlukan syarat2 ttt, al: pembentukan pengadilan HAM ad hoc dgn persetujuan DPR Perpu 1/2002 & 2/2002 à UU 15/2003 (UU Pemberantasan TP Terorisme) ; UU 16/2003 yang memberlakukan UU No. 15/2003 untuk kasus Bom Bali (UU No. 16/2003 dibatalkan oleh MK)

UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM (bisa berlaku surut ) Penjelasan Ps 43 (2) “Dalam hal DPR Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yg dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yg terjadi sebelum diundangkannya undang- undang ini. (1) Pelanggaran hak asasi manusia yg. Berat yg. terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dg. Keputusan presiden.

UU Pemberantasan TP Terorisme dan Putusan MK MK membatalkan ketentuan berlaku surut dalam UU Pemberantasan TP Terorisme (UU No.16/2003) karena bertentangan dengan UUD 1945

3. Larangan penggunaan analogi Penafsiran diperbolehkan dalam hukum pidana karena diperlukan utk memahami UU hukum pidana yang tidak selalu jelas rumusannya Analogi tdk diperbolehkan krn analogi bukan penafsiran melainkan metode konstruksi Penafsiran yg dikenal dalam huk pidana, sbb:

JENIS-JENIS PENAFSIRAN - Otentik - Sistematis - Gramatikal - Historis - Sosiologis - Teleologis - Ekstensif

Penafsiran Ekstensif Vs Analogi ? Putusan HR 23 Mei 1921 (kasus pencurian listrik di Gravenhage) Putusan Rechtbank Leeuwarden, 10 Des 1919 (pencurian sapi) Taverne Vs para sarjana pidana lainnya (Van Hattum, Simons, Zevenbergen, Van Hamel)

Pendapat Scholten (dan juga Utrecht) Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara penafsiran ekstensif dan analogi. Dalam kedua hal itu hakim membuat konstruksi , yaitu membuat (mencari) suatu pengertian hukum yang lebih tinggi. Hakim membuat suatu kaidah yang lebih tinggi dan yang dapat dijadikan dasar beberapa ketentuan yang mempunyai kesamaan. Mis. Mengambil = mengadakan suatu perbuatan yang bermaksud memindahkan sesuatu benda dari tangan yang satu ke tangan yang lain

Pendapat Scholten (dan Utrecht) PENAFSIRAN EKSTENSIF Hakim meluaskan lingkungan kaidah yang lebih tinggi sehingga perkara yang bersangkutan termasuk juga di dalamnya ANALOGI Hakim membawa perkara yang harus diselesaikan ke dalam lingkungan kaidah yang lebih tinggi

Pasal 1 Ayat (2) KUHP UU dimungkinkan utk berlaku surut 3 syarat memberlakukan surut suatu UU a. terjadi perubahan UU b. perubahan tjd setelah tindak pidana dilakukan c. perubahan menguntungkan bg TSK/TDW 3. Disebut sbg hukum transitoir

Pasal 1 ayat (2) KUHP -+-----------+---------------+----> UU Perbuatan Perubahan UU Apa yg dimaksud dgn Perubahan UU ? Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil tidak terbatas Apa yg dimaksud dgn Paling menguntungkan bg tersangka/terdakwa?

Yg menguntungkan bg TSK/TDKW Hal ini tidak dapat ditentukan sec. Umum (in abstracto), dan hanya dapat ditentukan untuk masing2 perkara sendiri (in concreto). Yang menguntungkan bagi TSK/TDKW: sanksi menjadi lebih ringan, diubah menjadi delik aduan, unsur- unsur pokok delik menjadi lebih banyak (ditambah) (Periksa : Utrecht h.228)

Perubahan UU yg dimaksud Pasal 1 ayat (2) KUHP Teori Formil :Ada perubahan undang-undang kalau redaksi undang- undang pidana berubah (Simons) à ditolak oleh Putusan HR 3 Des 1906 , kasus ps 295 sub 2 KUHP, batas dewasa 23 à 21 tahun dlm BW Teori Materiil Terbatas : Tiap perubahan sesuai dg suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang (jadi tidak boleh diperhatikan perubahan keadaan karena waktu) Teori Materiil tidak Terbatas : tiap perubahan – baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang maupun dalam keadaan karena waktu – boleh diterima sebagai suatu perubahan dalam undang-undang à Sesuai HR 5 Des 1921

Perubahan kesadaran/perasaan hukum Menjadi tidak dapatnya dihukum suatu perbuatan Menjadi dapat dihukumnya suatu perbuatan Diperberat/diperingan pidana atas suatu perbuatan. (Baca lebih lanjut dalam buku Lamintang Putusan MA, dalam bag. Berlakunya UU Pidana Menurut Waktu)

Perubahan UU terjadi setelah tindak pidana dilakukan Yang harus diperhatikan: Waktu terjadinya tindak pidana (tempus delictie) Teori2 tempus delicti

Berlakunya Hukum Pidana menurut tempat

Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat Untuk mengetahui hukum pidana negara mana yang digunakan: hukum pidana Indonesia atau hukum pidana negara lain.

Asas2 Berlakunya Hukum Pidana menurut tempat(1) Indonesia menganut asas2 di bawah dibuktikan dgn dasar hukum yg terdapat dalam KUHP: Asas Teritorialitas/ wilayah : Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976 Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2 dan 4 --> Ps 8 KUHP , UU No. 4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat Ps 16 UU 31/1999 Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif : Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP Asas Universalitas : Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976 “melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”

Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Asas teritorial/wilayah berlakunya hukum pidana sesuai tempat terjadinya tindak pidana Pasal 2 dan 3 KUHP KUHP Indonesia TP terjadi di Indonesia Pelaku WNA/WNI Berlaku teori2 locus delicti

UU No.43/2008 tentang Wilayah Negara Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Batas Wilayah Pasal 5 Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Pasal 6 (1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi: a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste; b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste; dan c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. (2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral. (3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana 2. Asas Nasionalitas Aktif/Personalitas Pasal 5 – 6 (perluasan Ps. 5) & 7 KUHP KUHP Indonesia TP terjadi di luar Indonesia Pelaku WNI (perlindungan terhadap WNI) Utk jenis delik kejahatan ( ..?..)

Asas-asas Berlakunya Hukum Pidana 3. Asas Nasionalitas Pasif/Perlindungan Pasal 4 dan 8 KUHP KUHP Indonesia TP terjadi di mana saja (di luar Ind) Pelaku WNA/WNI Melindungi kepentingan negara/nasional

4. Asas universal Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976 “melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank” Untuk melindungi kepentingan dunia

Teori2 Locus Delicti 1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad) 2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van het instrument) 3. Teori Akibat (de leer van het gevolg) 4. Teori Tempat yg jamak (de leer van de meervoudige tijd)

Locus delicti penting diketahui dalam hal2 : Hukum pidana mana yang akan diberlakukan? - Hukum Indonesia atau Hukum negara lain Kompetensi relatif suatu pengadilan - contoh : PN Jakarta Selatan atau PN Bogor

Teori mana yg dipilih ? Van Hamel, Simons : Bergantung sifat dan corak perkara konkret yang hendak diselesaikan Hazewinkel-Suringa, Zevenbergen, Noyon- Langemejer : Mempergunakan 3 teori secara teleologis Periksa buku Utrecht hal 239

Meervoudige locus delicti Surabaya Semarang Cirebon ---- racun --> ----diminum ---> ----- mati A --> B B B Meervoudige locus delicti Hakim diberi kemerdekaan memilih di antara 3 locus delicti ini

Asas2 berlakunya H. Pidana : Beberapa masalah Kapal : a) kapal Indonesia b) kapal perang c) kapal dagang Prinsip ius passagii innoxii (thdp kapal, maka berlaku hk pidana di wilayah mana kapal melintas/lewat) Asas Universalitas : - Kejahatan Terorisme ? - Kejahatan HAM berat ? -tindak pidana terjadi di ZEE dan landas kontinen ?

Asas2 Berlakunya H. Pidana : Pengecualian (2) Ps 9 KUHP : Hukum publik internasional membatasi berlakunya Ps 2,3,4,5, 7, dan 8 KUHP Termasuk yg memiliki imunitas h.pidana : Sesuai perjanjian Wina 18/4/1961 Yg memiliki imunitas : 1) Kepala-kepala negara & keluarganya (sec. resmi, bukan incognito/singgah) 2) Duta negara asing & keluarganya --> konsul : tergantung traktat antar negara. 3) Anak buah kapal perang asing : termasuk awak kapal terbang militer 4) Pasukan negara sahabat yg berada di wilayah negara atas persetujuan negara

Menurut perjanjian Wina 18/4/1961, maka keluarga termasuk memiliki imunitas (hak eksteritorial) Untuk ketua organisasi internasional biasanya dilindungi (tergantung traktat antar negara).

KULIAH 3 Istilah Definisi Cara Merumuskan Tindak Pidana Subjek Tindak Pidana Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak Pidana Istilah Tindak pidana Perbuatan pidana Peristiwa pidana Strafbaar feit Delict / Delik Criminal act Jinayah Apa alasan dan implikasi penggunaan istilah tindak pidana, perbuatan pidana dan peristiwa pidana ?

Tindak Pidana Definisi Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab” Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg kesalahan” Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya dilarang & diancam dengan pidana” Aliran Monistis ………... Aliran Dualistis …………..

Aliran Monistis Tidak memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban Dalam rumusan tindak pidana sekaligus tercakup unsur perbuatan/akibat dan unsur kesalahan/pertanggungjawaban

Aliran Dualistis Memisahkan secara tegas antara perbuatan (pidana) dan pertanggungjawaban pidana Dalam rumusan tindak pidana hanya tercantum unsur perbuatan/akibat tanpa unsur kesalahan

TINDAK PIDANA: Pada dasarnya ada 3 cara merumuskan Tindak Pidana Disebutkan unsur-unsurnya & disebut kualifikasinya (namanya) --> mis, Ps 362 KUHP disebutkan kualifikasinya tanpa disebut unsur-unsurnya --> mis. Ps 184, Ps 297, Ps 351 disebutkan unsur-unsurnya, tidak disebut kualifikasinya --> mis. Ps 167, Ps 209, Ps 322

Subjek Tindak Pidana Korporasi a) Cara merumuskan “Barangsiapa ….” Manusia (natuurlijk persoon) Korporasi adanya kebutuhan untuk memidana korporasi: a) Cara merumuskan “Barangsiapa ….” b) Hukuman : mati, penjara, kurungan (Ps 10 KUHP), hanya dapat dikenakan pada manusia c) Pertanggungjawaban pidana disandarkan pada kesalahan, yang hanya mungkin dimiliki oleh manusia (orang) R-KUHP, UU Hk. Pidana Khusus dan UU non H. Pidana, korporasi: - Badan Hukum - Bukan badan hukum UU TPE, UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU Pencucian Uang ,UU Pemberantasan TP Terorisme Badan Usaha (UU ITE: 11/2008) Badan Publik (UU KIP: No. 14/2008)

Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur2 di luar perumusan - melawan hukum (materil) - Kesalahan dalam arti materiil àdapat dipersalahkan (dicela) sehingga dapat dipertanggungjawabkan (verwijtbaarheid) Unsur2 dalam perumusan A. Unsur Obyektif - perbuatan (aktif/pasif) atau akibat melawan hukum B. Unsur Subyektif -Manusia (pelaku) - kesalahan : (a) kesengajaan; atau (b) kealpaan C. Keadaan D. Syarat tambahan untuk pemidanaan

Apa gunanya unsur (tertulis) ? Secara umum: Untuk memberikan ciri/kekhasan antara satu delik dgn delik lainnya Untuk pembeda suatu delik dgn delik2 yang lain Untuk dibuktikan di persidangan oleh JPU

Tindak Pidana Unsur-unsur (van Bemmelen) Di dalam perumusan (bagian) dimuat dalam surat dakwaan semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik merupakan bagian-bagian, sebanyak itu pula, yang apabila dipenuhi membuat tingkah laku menjadi tindakan yang melawan hukum Tingkah laku/akibat yang dilarang /diharuskan (Bagian Obyektif) Bagian yang terkait dengan bagian obyektif: melawan hukum 3. Manusia/pelaku (Bagian subyektif) 4. Bagian yang terkait dengan pelaku: kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) 5. Keadaan (keterangan mengenai bagian obyektif atau bagian subyektif) 6. Syarat tambahan untuk pemidanaan 4. Bagian yg dapat memperberat/memperingan pidana Di luar perumusan (unsur) : syarat dapat dipidana 1. Melawan hukum (materil) 2. Dapat dipersalahkan (dicela) sehingga dapat dipertanggungjawabkan Umumnya dianggap ada/terpenuhi sehingga tdk perlu dibuktikan, kecuali ada alasan yang kuat bahwa unsur/syarat tsb perlu dibuktikan bhw unsur tsb tdk ada/tdk terpenuhi à akan dibahas lbh lanjut di materi dasar penghapus pidana.

Contoh unsur2 dalam rumusan tindak pidana Pasal 362 KUHP barangsiapa mengambil barang - yg sebagian/ seluruhnya kepunyaan orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum Pasal 338 KUHP barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain

Contoh unsur dalam rumusan tindak pidana Pasal 285 barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan Pasal 359 barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati

KULIAH 4 Tentang Penggolongan Tindak Pidana

Tindak Pidana Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik) Delik Kejahatan & Delik pelanggaran Delik Materiil & Delik Formil Delik Komisi & Delik Omisi Delik Dolus & Delik Culpa Delik Biasa & Delik Aduan Delik yg Berdiri sendiri & Delik Berlanjut Delik Selesai & Delik yg diteruskan Delik Tunggal & Delik Berangkai Delik Sederhana & Delik Berkualifikasi; Delik Berprivilege Delik Politik & Delik Komun (umum) Delik Propia & Delik Komun (umum) Pembagian delik menurut kepentingan yg dilindungi : Lihat judul-judul bab pada Buku II dan Buku III KUHP

Jenis Delik Kejahatan Pelanggaran (misdrijf) (overtreding) dlm. MvT : sebelum ada UU sudah dianggap tidak baik (recht-delicten) Hazewinkel-Suringa : tidak ada perbedaan kualitatif, hanya perbedaan kuantitatif a) Percobaan : dipidana b) Membantu : dipidana c) Daluwarsa : lebih panjang d) Delik aduan : ada e) Aturan ttg Gabungan berbeda KUHP : Buku II Pelanggaran (overtreding) dlm MvT : baru dianggap tidak baik setelah ada UU (wet delicten) Perbedaan dg kejahatan: a) Percobaan : tidak dipidana b) Membantu : tidak dipidana c) Daluwarsa : lebih pendek d) Delik aduan : tidak ada e) Aturan ttg Gabungan berbeda KUHP : Buku III

Jenis Delik D. Formil : yang dirumuskan bentuk perbuatannya --> Ps 362, Ps 263, dll D. Omisi : melakukan delik dg perbuatan pasif a) D. Omisi murni : melanggar perintah dg tidak berbuat, mis. Ps 164, Ps 224 KUHP b) D. Omisi tak murni : melanggar larangan dg tidak berbuat, mis Ps 194 KUHP D. Culpa : Delik dilakukan dg kealpaan, mis. Ps205, Ps 359 D. Materiil : Yang dirumuskan akibatnya à Ps 338, 368, Ps 187, dll Perhatikan dgn seksama unsur2 dalam pasal dlm menentukan delik materiil dan delik formil, krn sering terjadi kerancuan. Secara sekilas spt delik formil tp ternyata delik materiil atau sebaliknya D. Komisi : melanggar larangan dg perbuatan aktif D. Dolus : delik dilakukan dg sengaja, mis. Ps 338, Ps 310, Ps 368

Delik Pro Parte Dolus Pro Parte Culpa Delik yang dalam perumusannya sekaligus mencantumkan unsur kesengajaan dan unsur kealpaan Contoh: Ps 287, Ps480

Jenis Delik Delik Aduan Delik Biasa (bukan aduan) penuntutannya tidak memerlukan pengaduan, mis. Ps 340, Ps 285 Cukup dengan laporan dari setiap orang yang melihat/ mengetahui tindak pidana tsb., tidak harus dengan pengaduan dari korban atau orang2 tertentu penuntutannya memerlukan pengaduan, mis. Ps 310, Ps 284, Ps 367 (2) Harus ada pengaduan dari korban atau orang tertentu yang ditetapkan UU

Delik Aduan Ada 2 jenis: Delik Aduan Absolut Delik Aduan Relatif Ad.1. Delik Aduan Absolut: Delik yang pada hakekatnya/mutlak memerlukan pengaduan untuk penuntutannya Mis. Ps. 284, Ps.351 2. Delik Aduan Relatif: Delik yang pada dasarnya merupakan delik biasa (bukan delik aduan), tetapi karena ada hubungan tertentu antara pelaku dan korban, maka berubah jenisnya menjadi delik aduan Mis. Ps.367 ayat (2)

Terdiri atas satu delik yang berdiri sendiri Delik Berlanjut Delik Berdiri Sendiri Terdiri atas dua atau lebih delik, yang karena kaitannya yang erat mengakibatkan dikenakan satu sanksi kepada terdakwa Untuk pemidanaannya menggunakan ketentuan tentang gabungan TP, yaitu Pasal 64 KUHP Terdiri atas satu delik yang berdiri sendiri Untuk pemidanaannya tidak perlu menggunakan ketentuan tentang gabungan TP; tinggal melihat berapa ancaman pidana dari Pasal yang dilanggar

Delik Berlanjut Masih menjadi perdebatan apakah delik berlanjut (voortgezette delict) sama dengan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) Sebagian sarjana (termasuk Utrecht) menyamakan voortgezette delict dengan voortgezette handeling) dan untuk pemidanaannya memakai ketentuan Pasal 64 KUHP, dengan syarat: Perbuatan –perbuatan timbul dari 1 kehendak Perbuatannya harus sejenis Tenggang waktu antara 1 perbuatan dengan perbuatan yang lain, tidak terlalu lama

Delik Selesai Delik Berlangsung terus satu atau beberapa perbuatan yang melangsungkan suatu keadaan yang dilarang Mis: Pasal 221, Pasal 261, Pasal 333 Satu atau beberapa perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat Mis: Pasal 362, Pasal 338

Delik Tunggal Delik Berangkai Delik di mana untuk dapat dipidananya si pelaku maka ybs. cukup melakukan perbuatan tersebut sebanyak satu kali Mis: Pasal 362, Pasal 338 Delik di mana untuk dapat dipidananya si pelaku maka ybs. harus melakukan perbuatan tersebut beberapa kali (berulang-ulang, berturut- turut) Karena harus dilakukan berulang-ulang: bisa berupa pencaharian atau kebiasaan (sebagai unsur yang menentukan untuk dipidananya pelaku) Mis: Pasal 296, Pasal 481

Delik Pokok/sederhana Delik Berkualifikasi Delik pokok yang ditambah dengan unsur yang memperberat pemidanaan mis: Pasal 351 ayat (2), Pasal 363, Pasal 365 ayat (4) Delik Berprevilege Delik pokok yang ditambah dengan unsur yang meringan pemidanaan Mis: Pasal 308. Pasal 364 Delik yang dalam perumusannya mencantumkan unsur2 pokok yang menentukan pemidanaannya Pasal 362, Pasal 351 ayat (1)

Delik Komuna (bukan delik politik) Delik yang mengandung unsur politik Mis: Makar untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107), makar untuk membunuh kepala negara (Pasal 104) Delik yang tidak mengandung unsur politik Mis: pembunuhan orang biasa (Pasal 338), Pencurian mobil (Pasal 362)

Delik Komuna Delik Propria Delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang2 tertentu (subjeknya adalah orang-orang tertentu) Mis: Pasal 308, Pasal 346, Pasal 449 Delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang Cirinya: Subjeknya adalah “barang siapa“ Mis: Delik Pencurian (Pasal 362), Delik Pembunuhan (Pasal 338)

KULIAH 5 Tentang Ajaran Kausalitas Sifat Melawan Hukum

KAUSALITAS 1. Pengertian ? 2. Kapankah diperlukan ajaran kausalitas ? Ilustrasi : B pinjam uang ke rumah A, karena kedatangan B, maka A terlambat ; karena terlambat A mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi; A menubruk C sehingga luka-luka; C dibawa ke RS dan dioperasi oleh dokter D; D meminta E merawat dengan suntikan tertentu; E salah memberikan obat pada C; C mati.

Pengertian Kausalitas Hal sebab-akibat Hubungan logis antara sebab dan akibat Persoalan filsafat yang penting Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab peristiwa lain Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula di suatu masa lalu Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana (bukan makna di atas), tetapi makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu

Pengertian Ajaran Kausalitas Ajaran yang berupaya untuk mencari sebab dari timbulnya akibat Dalam hukum pidana, sebab yang dicari adalah suatu perbuatan Dengan ditemukannya sebab, maka dapat ditemukan siapa yang dapat dipersalahkan dan diminta pertanggungjawabannya

Kapankah diperlukan ajaran Kausalitas/ Jenis delik apa yang memerlukan ajaran kausalitas? Delik Materiil : Delik yang perumusannya melarang timbulnya akibat. Delik ini selesai ketika akibat timbul. mis. Ps. 338, Ps 359, Ps 360, Ps. 368 Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten) : Delik yang terjadi dengan dilanggarnya suatu larangan yang menimbulkan akibat yang dilakukan dengan perbuatan pasif. Ps. 194 KUHP Delik yang dikwalifisir : Delik yang sanksinya mjd lebih berat krn ada penambahan unsur berupa timbulnya akibat. Misal: Ps 351 (1) à Ps 351 (2)/ à Ps 351 (3)

Ajaran Kausalitas Conditio Sine Qua Non/ Ekuivalensi (Von Buri) Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima : Birkmeyer , Mulder Teori-teori menggeneralisasi : teori Adekuat (Von Kries, Simons, Pompe, Rumelin) Teori Relevansi : Langemeijer

Ajaran Conditio Sine Qua Non Semua faktor yaitu semua syarat, yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor ybs. Harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Semua syarat nilainya sama (ekuivalensi) Ada beberapa sebab Syarat = sebab

Pembatasan Ajaran Von Buri Pembatasan ajaran Von Buri oleh Van Hamel [dibatasi dg ajaran kesalahan (dolus/culpa)] Pengkesampingan semua sebab yang terletak di luar dolus atau culpa; dalam banyak kejahatan dolus atau culpa merupakan unsur-unsur perumusan delik.

Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima Birkmeyer : Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine Qua Non . Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadinya akibat. G.E Mulder : Sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat.

Teori-teori menggeneralisasi Von Bar Teori Von Bar ini tidak menyoal tindakan mana atau kejadian mana yang in concreto memberikan pengaruh (fisik/psikis) paling menentukan. Yang dipersoalkan adalah apakah satu syarat yang secara umum dapat dipandang mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin ditemukan dalam rangkaian kausalitas yang ada

Teori-teori menggeneralisasi Von Kries (Teori Adequat Subjectif) Sebab adalah keseluruhan faktor positif & negatif yang tidak dapat dikesampingkan tanpa sekaligus meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai kualitatif/kuantitatif atau berat/ringannya faktor dalam situasi konkret, tetapi dinilai dari makna semua itu secara umum, kemungkinan dari faktor- faktor tersebut untuk memunculkan akibat tertentu. Sebab = syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki kecenderungan untuk memunculkan akibat tertentu, biasanya memunculkan akibat itu, atau secara objectif memperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut. Apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkan akibat tertentu hanya dapat diselesaikan apabila kita memiliki 2 bentuk pengetahuan : (a) hukum umum probabilitas dalam peristiwa yg terjadi / pengetahuan Nomologis yg memadai (b) situasi faktual yg melingkupi peristiwa yg terjadi/ pengetahuan Ontologis/ pemahaman fakta (empirik)

Teori-teori menggeneralisasi Rumelin (Teori Adequat Objectif) : Faktor yang ditinjau dari sudut objektif , harus (perlu) ada untuk terjadinya akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apa yang diketahui atau mungkin diketahui pada waktu melakukan tindakannya, melainkan pada fakta yang objektif pada waktu itu ada, entah diketahuinya atau tidak – jadi pada apa yang kemudian terbukti merupakan situasi dan kondisi yang melingkupi peristiwa tersebut. Simons : Sebab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum pengalaman manusia dapat menimbulkan akibat Pompe : Sebab adalah hal yang mengandung kekuatan untuk dapat menimbulkan akibat

Teori Relevansi Langemeijer Teori ini ingin menerapkan ajaran von Buri dengan memilih satu atau lebih sebab dari sekian yang mungkin ada, yang dipilih sebab-sebab yang relevan saja , yakni yang kiranya dimaksudkan sebagai sebab oleh pembuat undang-undang.

Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid) Arti : - tanpa hak sendiri (zonder eigen recht) - bertentangan dg hak orang lain (tegen eens anders recht) tanpa alasan yg wajar Bertentangan dengan hukum positif

Alasan Pencantuman unsur Melawan Hukum Pada umumnya dalam perundang-undangan , lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum dalam rumusannya Alasan pencantuman sifat melawan hukum dalam perumusan tindak pidana : - untuk melindungi orang2 yg memiliki hak dari tuntutan pidana.

AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM - aliran formil : melawan hukum = melawan UU, sebab hukum adalah UU. - aliran materiil : melawan hukum adalah perbuatan yg oleh masyarakat tidak dibolehkan.

Perbedaan Ajaran Materiil dan Formil AJARAN FORMIL AJARAN MATERIIL melawan hukum tidak selalu menjadi unsur delik, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah menjadi unsur delik hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang- undang saja/ mis, Ps. 49. melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap tindak pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur tersebut mengakui adanya pengecualian / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis

Pembuktian Unsur Melawan Hukum Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur delik, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik. Bila unsur tersebut tercantum dlm rumusan pasal, maka hrs dibuktikan, sedangkan jika tidak tercantum maka tidak perlu dibuktikan. Akan tetapi bila seorang hakim berpendapat bahwa tidak ada unsur melawan hukum dalam arti materiil, maka unsur tersebut harus dibuktikan (dasar penghapus pidana di luar KUHP)

KULIAH 6 Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Pengantar Kesalahan merupakan unsur yg melekat pada pelaku tindak pidana 4 pengertian kesalahan Bentuk-bentuk kesalahan Asas penting dalam pertanggung jawaban pidana

Pengertian Kesalahan Ada 4 pengertian kesalahan (Utrecht): Kesalahan sebagai unsur delik; dalam arti kumpulan (nama generik) yang mencakup dolus dan culpa Kesalahan dalam arti pertanggungjawaban pidana: ketercelaan (verwijtbaarheid) seseorang atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya

3. Kesalahan dalam arti bentuk khusus, yang hanya berupa culpa 4. Kesalahan yang digunakan dalam rumusan delik untuk menetapkan bahwa pidana dapat diancamkan pada pelaku yang bersalah karena telah melakukan tindakan tertentu; mis. Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena bersalah melakukan pembunuhan

Kesalahan sebagai Unsur Delik Dolus Culpa

Dolus/ opzet/ sengaja Apakah sengaja itu ? Teori2 “sengaja” : Sengaja = willen (menghendaki) en weten (mengetahui) (MvT- 1886) Teori2 “sengaja” : (a) teori kehendak (wils theorie) “ opzet ada apabila perbuatan & akibat suatu delik dikehendaki si pelaku” (b) teori bayangan (voorstellings-theorie) “opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yg terang bahwa akibat yg bersangkutan akan tercapai, maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu”

Dolus/ opzet/ sengaja istilah2 dalam rumusan tindak pidana Dengan sengaja : Ps 338 KUHP Mengetahui bahwa : Ps 220 KUHP tahu tentang : Ps 164 KUHP dengan maksud : Ps 362, 378, 263 KUHP niat : Ps 53 KUHP dengan rencana lebih dahulu : Ps 340, 355 KUHP - dengan rencana : (a) saat pemikiran dg tenang ; (b) berpikir dg tenang; ( c ) direnungkan lebih dahulu. - ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan pelaksanaan delik

Bentuk-Bentuk Dolus 1. Dolus sebagai maksud /tujuan (als oogmerk) 2. Dolus dengan kesadaran/keinsyafan kepastian (noodzakelijkheidsbewustzijn) 3. Dolus dengan kesadaran/keinsyafan kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheids bewustzijn/ awareness of probability) 4. Dolus eventualis (kesengajaan bersyarat; opzet met mogelijkheidsbewustzijn/voorwaardelijk opzet/awareness of possibility) Kesengajaan bersyarat: dengan mengetahui dan menghendaki menerima risiko yang besar

lanjutan ….. Ada sarjana yang membedakan bentuk-bentuk dolus menjadi 3 macam,yaitu: sebagai maksud, berkeinsyafan kepastian dan berkeinsyafan kemungkinan (misalnya PAF Lamintang, Tresna, Moeljatno) Mereka menyamakan dolus eventualis dengan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan Dolus eventualis merupakan perkembangan dalam hukum pidana, khususnya dalam hal bentuk-bentuk kesengajaan dan HR Belanda baru menerima kesengajaan bentuk ini setelah PD II

Bentuk-bentuk kesengajaan Sengaja sebagai maksud/ tujuan : - apabila pembuat menghendaki perbuatan dan/akibat perbuatannya; tidak dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya tidak terjadi Tidak harus berupa tindak pidana Sengaja sebagai keinsyafan kepastian : - pembuat yakin bahwa akibat yg dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yg tidak dimaksud Sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan: pembuat sadar bahwa mungkin akibat yg tidak dikehendaki akan terjadi untuk mencapai akibat yg dimaksudnya Kesengajaan berkeinsyafan kepastian dan kemungkinan tidak dapat berdiri sendiri. Selalu bersifat accesoir terhadap kesengajaan sebagai maksud

Dolus eventualis Pelaku dengan kehendak dan kesadaran menerima kemungkinan munculnya akibat yang buruk. Di Jerman disebut billigend in Kauf nehmen: menerima penuh risiko terwujudnya sesuatu kemungkinan Contoh: metro mini maut di Jakarta Utara, naik kuda di jalan ramai di kota London, memainkan pistol à meletus DOOR! dan mengenai org

Arti “dan” diantara unsur dengan sengaja & unsur melawan hukum Van Hamel, simons, pompe : perbedaan itu mempunyai arti. Mis. Ps 406 KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum ; Ps 333 KUHP : dengan sengaja melawan hukum Vos, zevenbergen, langemeijer : tiadanya kata “dan” tidak berarti apa2, semuanya mesti dibaca “dengan sengaja dan melawan hukum” Remelink, van Bemmelen : kata penghubung “dan” tidak mempunyai arti, jadi istilah “dengan sengaja” meliputi pula “melawan hukum.”

Culpa Istilah2 - culpa - schuld - nalatigheid - sembrono - teledor istilah 2 yg digunakan dalam rumusan : - kelalaian - kealpaan - kesalahan - seharusnya diketahuinya - sepatutnya diketahuinya

Pengertian, Jenis, Syarat KUHP : tidak ada definisi ttg culpa MvT : kealpaan di satu pihak berlawanan benar2 dg kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yg kebetulan Pada culpa, unsur menghendaki selalu tidak ada; sedangkan unsur mengetahui sering tidak ada Macam2 Culpa : (a) culpa levis ; culpa lata (b) culpa yg disadari (bewuste) : culpa yg tidak disadari (on bewuste) Syarat adanya kealpaan : (a) Hazewinkel-Suringa : 1) kekurangan menduga-duga; 2) kekurangan berhati-hati (b) van Hamel : 1) tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan hukum; 2) tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan hukum ( c) Simons : pada umumnya kealpaan mempunyai 2 unsur : 1) tidak berhati-hati; 2) dapat diduganya akibat.

Culpa Untuk menentukan ada atau tidaknya culpa pada seseorang, maka harus digunakan tolok ukur yang normal (upaya dan kehati-hatian dari orang yang sama kemampuan dan kecerdasannya dengan pelaku). Apabila pada situasi dan kondisi yang sama dengan pelaku, orang yang sama kemampuan dan kecerdasannya dengan pelaku pada umumnya tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pelaku; berarti pelaku culpa telah melakukan culpa lata (Kelalaian yang besar/berat)

Culpa Culpa Levis (Kelalaian yang kecil/ringan)--- apabila tolok ukurnya adalah upaya dan kehati-hatian yang luar biasa Culpa yang disadari (bewuste culpa) : Apabila pelaku sudah membayangkan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang dilarang, dan karena itu ia juga sudah berupaya agar tidak timbul akibat tsb. (dia tidak menghendaki akibat), namun akibat tetap terjadi Culpa yang tidak disadari (onbewuste culpa): Pelaku sama sekali tidak pernah membayangkan kemungkinan timbulnya akibat yang dilarang; tetapi ternyata terjadi akibat Yang dapat dipidana adalah Culpa Lata, baik yang disadari maupun tidak disadari

Asas penting dalam masalah pertanggungjawaban Geen straf zonder schuld Tiada Pidana tanpa kesalahan : meskipun seseorang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum; namun tanpa adanya kesalahan maka dia tidak dapat dipidana

Dapat dipersalahkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan 3 syarat yang harus dipenuhi: Kemampuan bertanggungjawab Ada hubungan psikis antara pelaku dan perbuatannya , dalam bentuk dolus atau culpa Tidak ada dasar penghapus kesalahan

Kemampuan Bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) Dengan menggunakan penafsiran a-contrario dari MVT tentang tidak mampu bertanggungjawab; maka mampu bertanggungjawab artinya: - pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas; tanpa paksaan - pelaku menginsyafi bahwa perbuatannya melawan hukum dan ia mengerti akibat perbuatannya Dalam praktik, setiap pelaku dianggap mampu bertanggungjawab ; kecuali dapat dibuktikan bahwa pelaku sakit jiwa atau tidak sempurna pertumbuhan akalnya atau cacat dlm pertumbuhan jiwanya.

KULIAH 7 Percobaan Tindak Pidana

Percobaan Tindak Pidana Pengertian Syarat Jenis-jenis percobaan

PERCOBAAN (POGING) PASAL 53 (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54 Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana

POGING (PERCOBAAN) “Permulaan kejahatan yang belum selesai” Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang Poging adalah perluasan pengertian delik Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau membahayakan kepentingan hukum KUHP tidak memberi perumusan/ definisi Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan Pada delik materiil : delik selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang telah timbul atau terjadi

Percobaan dapat Dipidana Percobaan Tindak pidana merupakan lembaga yang memperluas pertanggungjawaban pidana. Pada dasarnya seseorang baru bisa dipidana apabila ia memenuhi semua unsur suatu tindak pidana (delik selesai), tetapi meskipun delik belumk selesai (belum semua unsur dipenuhi), seseorang sudah dapat dipidana jika memenuhi syarat-syarat percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP. Jenis tindak pidana yang percobaannya dapat dihukum adalah hanya kejahatan. Sanksi pidana untuk percobaan lebih ringan 1/3 jika dibandingkan dengan sanksi untuk delik yang selesai.

Pengecualian Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yg merupakan percobaan tindak pidana yg dipidana sbg delik selesai. Hal ini terdapat juga dalam UU Pidana di luar KUHP. Ada juga delik-delik khusus dlm KUHP yg mirip dgn percobaan yaitu makar (ps. 87) dan permufakatan jahat (ps. 88), namun ada syarat dr Ps. 53 yg belum dipenuhi tapi sudah dapat dihukum

Melakukan percobaan kejahatan akan tetapi tidak dihukum Pasal 184 ayat 5 KUHP –perkelahian tanding Pasal 302 ayat 4 KUHP – penganiayaan ringan terhadap binatang Pasal 351 ayat 5 dan Pasal 352 ayat 2 KUHP – penganiayaan biasa dan ringan

Syarat Percobaan yg dapat dipidana Niat Permulaan Pelaksanaan Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

Syarat Pertama NIAT atau “Voornemen” Menurut doktrin dan yurisprudensi :”voornemen” harus ditafsirkan sebagai kehendak, “willen” atau “opzet” Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak melakukan kejahatan Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau hanya opzet dalam arti pertama (sebagai “ogmerk” atau tujuan) ?

Syarat Kedua Permulaan Pelaksanaan “Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan” à een begin van uitvoering Harus ada suatu perbuatan(handeling) apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan pelaksanaan” ? Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya Perlu digunakan penafsiran

Pelaksanaan Kehendak atau Pelaksanaan Kejahatan ? Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak à Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” à TEORI POGING SUBYEKTIF Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan” à TEORI POGING OBYEKTIF

PENDAPAT PARA AHLI DALAM MASALAH TERSEBUT 1.Van Hamel : “apabila dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang kuat dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatannya” 2.Simons melihat dari jenis deliknya : delik materiil atau delik formil. Pada delik formil apabila perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, apabila perbuatan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang; jika ada beberapa unsur maka jika sudah melakukan salah satu unsur Pada delik materril apabila perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan yang menurut sifatnya adalah sedemikian rupa , sehingga secara langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU 3.Vos : ada “permulaan pelaksanaan” apabila perbuatan itu mempunyai sifat terlarang terjadap suatu kepentingan hukum. 4.Pompe : ada “permulaan pelaksanaan” apabila suatu perbuatan yang bagi orang normal memungkinkan terjadinya suatu delik.

Pendapat Hoge Raad Ada “permulaan pelaksanaan” apabila antara perbuatan yang dilakukan dan kejahatan yang dkehendaki oleh seseorang itu terdapat hubungan erat langsung; yaitu apabila seorang melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan kejahatan , perbuatan itu baru dianggap sebagai permulaan pelaksanaan apabila disamping perbuatan itu tidak dibutuhkan lagi perbuatan-perbuatan yang lain untuk menyelesaikan kejahatan.

Teori Subyektif - subjectieve pogingsleer – seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan kejahatan itu pantas dihukum, oleh karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya” Terdapat sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pelaku

Teori Obyektif - objectieve pogingsleer – Seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena “tindakan- tindakannya dinilai telah membahayakan kepentingan-kepentingan hukum”. Teori Objectif ini dibagi menjadi: Teori objectif formil Teori objecti materiil

Pengklasifikasian Teori Objektif Teori Obyektif Formil Seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena “tindakan-tindakannya telah bernilai membahayakan bagi kepentingan-kepentingan hukum”. Teori ini tidak membedakan antara percobaan pada delik formil dan delik materiil Teori Obyektif Materiil membedakan percobaan pada jenis deliknya (delik formil atau delik materiil)

Teori Obyektif Materiil pada Delik Formil “apabila telah dimulai perbuatan/tindakan yang disebut dalam rumusan delik” Teori Obyektif Materiil pada Delik Materiil “segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh UU tanpa pelakunya tersebut harus melakukan suatu tindakan yang lain”

Teori Campuran Teori Subyektif - subjectieve pogingsleer – dan Teori Obyektif - objectieve pogingsleer – (lihat: Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II)

PEMBATASAN TERHADAP TEORI SUBYEKTIF Perbuatan dibedakan : 1. tindakan atau perbuatan persiapan (belum dapat dihukum) 2. tindakan atau perbuatan pelaksanaan (sudah dapat dihukum) Tetapi, pertanyaannya : mana yang merupakan “perbuatan persiapan” dan mana yang merupakan “perbuatan pelaksanaan” ?

CONTOH KASUS A menghendaki untuk membunuh B , untuk melaksanakan maksudnya, A harus melakukan beberapa perbuatan, yaitu : a. A pergi ke tempat penjualan senjata api b. A membeli senjata api c. A membawa senjata api ke rumahnya d. A berlatih menembak e. A menyiapkan sebjata apinya dengan membungkusnya rapat-rapat f. A menuju rumah B g. Sesampai di rumah B, A mengisi senjata itu dengan peluru h. A mengarahkan senjata kepada B i. A melepaskan tembakan ke arah B

MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ? APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB DAPAT DIHUKUM ? 1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan a sudah merupakan “permulaan pelaksanaan” karena telah menunjukkan “kehendak yang jahat” 2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan a à f belum merupakan “permulaan pelaksanaan” karena semua perbuatan itu “belum membahayakan kepentingan hukum si B

Percobaan delik formil “apabila telah dimulai perbuatan/tindakan yang disebut dalam rumusan delik” Hoge Raad arrest tanggal 8 Maret 1920 N.J.1920 “perbuatan menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain” adalah tindakan permulaan dari tindakan pelaksanaan

Percobaan delik materiil “segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus mel;akukan suatu tindakan yang lain” Hoge Raad Arrest 19 Maret 1934, N.J 1934 Eindhovense Brandstichting - arrest

Syarat Ketiga Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri Kapan dikatakan bahwa tidak selesainya pelaksanaan itu “bukan semata- mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”? Tidak selesainya pelaksanaan bukan kehendaknya sendiri. (tidak secara sukarela). Apabila ia membatalkan niatnya secara sukarela/kehendak sendiri – vrijwillige terugterd – maka syarat ke-3 ini tidak terpenuhi. Contoh terpenuhinya syarat ke-3: Tertangkap tangan, korban memberikan perlawanan, dalam kasus pembunuhan korban tidak meninggal karena bantuan medis

Coba bandingkan dengan Pasal 18 RUU KUHP (versi 2008) (1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana. (2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.(percobaan yang dikwalifisir)

Macam2 Percobaan (Doktrin) Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu hal Percobaan yg Tertangguh : Geschosrte Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu perbuatan ia terhalang oleh suatu hal Percobaan yg Tidak Sempurna (tidak wajar) : Ondeugdelijke Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau obyek (sasaran) tidak sempurna. Tidak sempurna : mutlak atau relatif

“Percobaan Tidak Sempurna” telah dirumuskan dalam Pasal 20 R-KUHP (versi 2008) Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

Kasus 1 Seorang yang sedang berdiri di bordes KA, ketika akan diperiksa karcisnya oleh kondektur, ia telah menendang kaki petugas tersebut. Sehingga apabila kondektur tidak dengan cepat berpegang pada tiang besi KA, pasti ia jatuh keluar dan terlindas KA (Arrest HR Tgl 12 Maret 1942)

Kasus 2 Seorang POLANTAS memberi tanda agar sebuah kendaraan bermotor berhenti, karena tidak menyalakan lampu. Pengemudi tetap tancap gas, sehingga kalau petugas tidak menghindar dengan cara melompat ia akan tertabrak (Arrest HR 6 Pebruari 1951)

Kasus 3 Percobaan Pembunuhan Berencana A bermaksud menghabisi nyawa B dengan meletakkan bom di mobil B. Bom meledak sebelum B masuk mobil dan mengakibatkan B luka-luka parah. PASAL YG DIDAKWAKAN Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP ( Percobaan pembunuhan berencana) ANCAMAN PIDANA 15 tahun penjara (lihat Ps. 53 ayat 3)

Mangel am tatbestand (gebrek aan feitelijk tosdracht v/e zaak) Kejadian-kejadian yang mirip dengan percobaan yang tidak sempurna/ tidak wajar di mana salah satu unsur dari kejahatan tertentu itu sebenarnya tidak mungkin ada atau tidak mungkin terjadi Misal: menggugurkan kandungan seorang perempuan yang tidak pernah hamil; mencuri barang yang pencurinya tidak tahu bahwa barang tersebut sebelum dicuri telah diwariskan/diberikan padanya.

Putatif Delict Seseorang mengira bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana, padahal tindakan tersebut tidak dilarang Contoh: Seseorang masuk ke Indonesia dan membawa sejumlah uang kertas asing. Semula ia beranggapan telah mencoba atau melakukan suatu kejahatan. Namun ternyata uang yang ia bawa masih dalam batas ketentuan yang tidak dilarang

Percobaan dalam kealpaan mungkinkah???? Pasal 287 KUHP “…yang sepatutnya ia harus dapat menduga bahwa wanita itu belum cukup umurnya…” Pasal 480 KUHP “…yang sepatutnya ia harus dapat menduga bahwa barang itu diperoleh si penjual dari kejahatan…”

Bidang Studi Hukum Pidana PIDANA dan PEMIDANAAN Bahan kuliah untuk : Program Reguler kelas A, B, C dan D dan Program Ekstensi kelas A dan B Bidang Studi Hukum Pidana FHUI 2009

Pembahasan: Istilah Pengertian Teori-teori pemidanaan Jenis-jenis pidana

Istilah PIDANA Hukum penitensier Sanksi Straf Hukuman Punishment.

PIDANA Nestapa/derita Yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan) Dikenakan pada seseorang Yang secara sah telah melanggar hukum pidana Melalui proses peradilan pidana

Sistem peradilan pidana Tujuan : Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan (preventif) Menyelesaikan kasus2 kejahatan yg terjadi,shg masy puas bhwa keadilan telah ditegakkan dan yg bersalah dipidana (represif) Mengusahakan agar pelaku tidak mengulangi lagi kejahatan (tidak recidive)

Proses Peradilan Pidana (the criminal justice process) Struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan Oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan & lembaga pemasyarakatan) Yang berkenaan dengan penanganan & pengendalian Kejahatan dan pelaku kejahatan.

Pidana sebagai pranata sosial Sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma2 yang berlaku Mencerminkan nilai & struktur masyarakat Merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap ‘hati nurani bersama’ Sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu Selalu berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.

Pengertian Hukum Penitentier (Utrecht II hal. 268) : Segala peraturan positif mengenai sistem hukuman dan sistem tindakan yang memuat: Jenis sanksi atas tindak pidana yang dilakukan Beratnya sanksi itu Lamanya sanksi itu dijalankan oleh pelaku Cara sanksi itu dilakukan Tempat sanksi itu dijalankan Hukuman, menurut pendapat : Moeljatno : Lebih tepat “pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto : Idem. R. Soesilo : Suatu perasaan tidak enak/sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana.

Unsur-unsur atau ciri-ciri pidana Merupakan suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang); Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU (orang memenuhi rumusan delik/pasal). (Muladi & Barda Nawawi Arief, 1982)

PEMIDANAAN Penjatuhan Pidana/sentencing : Upaya yang sah Yang dilandasi oleh hukum Untuk mengenakan nestapa penderitaan Pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana Terbukti secara sah dan meyakinkan Bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Sejarah a. Utrecht I Bab 1 b. Utrecht II Bab 5 Mulai WvS diundangkan yaitu tahun 1915 UU No. 1/1946 tentang KUHP (berlaku berdasarkan asas konkordansi).

Jenis-jenis hukuman yg dpt dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808 Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya utk pelaku pembakar/pembunuh) Dimatikan dgn suatu keris Dicap bakar Dipukul, dipukul dgn rantai (pidana badan/corporal punishment) Ditahan/dimasukkan dlm penjara Kerja paksa pada pekerjaan2 umum. Utrecht I Bab 1 hal. 19 – R. Soesilo hal. 36

Dasar-Dasar Hukuman : Hukum pidana sebagai suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM à melakukan perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/ kemerdekaan orang (pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Merupakan Ultimum Remedium (senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu- satunya/tiada jalan lain).

Siapakah yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan menjalankan pidana itu ? Utrecht I Bab V, hal. 149 – dst : Beysens, pada dasarnya negaralah yang berhak, krn perbuatan tsb bertentangan dgn tata tertib negara (sudut obyektif) & perbuatan yg dpt dipertanggung-jawabkan oleh pelaku (sudut subyektif); Utrecht : Negara sebagai organisasi sosial tertinggi o.k.i. sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat; Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum.

Teori-Teori Pemidanaan/ Tujuan Pemidanaan menurut doktrin TeoriAbsolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis): Hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan; Orang yang salah harus dihukum (E. Kant, Hegel, Leo Polak).

Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat : Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etika) Tidak boleh dengan maksud prevensi tp utk represif. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik. Contoh di Indonesia: Qisas dalam Hukum Islam, Carok dalam masyarakat Madura, Siri dalam masy Ujung Pandang

Teori Relatif/Tujuan (utilitarian) Menjatuhkan hukuman untuk tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan: Hukuman pd umumnya bersifat menakutkan, o.k.i, seyogyanya : Hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi à orang yang “sakit moral” harus diobati. Tekanan pada treatment/pembinaan. Rehabilitasi, individualisasi pemidanaan. Anti punishment, model medis.

Prevensi: hukuman dijatuhkan utk pencegahan Prevensi Umum : sebagai contoh pada masyarakat secara luas agar tidak meniru perbuatan/kejahatan yang telah dilakukan. Prevensi Khusus: Ditujukan bagi pelaku sendiri, supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain. Deterrence : menakut/nakuti – serupa dengan prevensi Perlindungan: agar orang lain/masyarakat pada umumnya terlindungi, tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan

Teori Gabungan : Berdasarkan hukuman pada tujuan (multifungsi) retributive/pembalasan dan relative/tujuan. Berdasarkan teori gabungan maka pidana ditujukan untuk: Pembalasan, membuat pelaku menderita Upaya Prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana Merehabilitasi Pelaku Melindungi Masyarakat.

Retributive Justice : Pemidanaan untuk tujuan pembalasan Restorative Justice : Keadilan yang merestorasi à pelaku harus mengembalikan kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban.

Tujuan Pemidanaan : Berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2012: Prevensi umum, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada masyarakat Rehabilitasi & Resosialisasi, memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Supaya mereka bisa kembali ke masyarakat ( LP = Lembaga Pemasyarakatan): ” Mereka bukan penjahat, hanya tersesat, masih ada waktu untuk bertobat .. ”

Tujuan Pemidanaan Restorasi, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai Membebaskan rasa bersalah pada terpidana Pemidanaan tidak dimaksudkan utk menderitakan dan merendahkanmartabat manusia (CAT ... ) Sampai saat ini Hukum Pidana Indonesia belum memiliki Sentencing Guidelines (pedoman yang memuat tentang pemidanaan), tp sudah dirumuskan dalam Pasal 55 R-KUHP 2012.

Jenis - Jenis KUHP (UU No. 1/1946) Pidana R-KUHP (2012) Bab II Buku I Pasal 10 Bab III Buku I Pasal 65 Hukuman/Pidana Pokok : Hukuman mati (death penalty/capital punisment) Hukuman penjara Hukuman kurungan Hukuman denda Hukuman tutupan (khusus utk perbuatan yang patut dihormati) à UU No. 20/1946 B.Hukuman/Pidana Tambahan: Pencabutan hak-hak tertentu Perampasan barang-barang tertentu Pengumuman putusan hakim A. Pidana Pokok : Pidana penjara Pidana tutupan Pidana pengawasan Pidana denda Pidana kerja sosial B. Pidana Tambahan : Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan 3.Pengumuman putusan hakim 4. Pembayaran ganti kerugian 5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat

R-KUHP Pasal 66 dan 87 : pidana mati bersifat khusus, diancamkan secara alternatif. ............ diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Dan dijatuhkan sbg upaya terakhir utk mengayomi masyarakat Pasal 101dan psl. 129/ps.132 : Double track system : individualisasi hukuman, orang yang dalam situasi/kondisi tertentu dapat dijatuhi tindakan : Penempatan di RSJ, bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit (psl. 44 ayat 2 KUHPTindak pidana yang dilakukan oleh anak yg masih di bawah umur.Berdasarkan UU 3/1997 dan RKUHP, anak yg dpt dipidana adlh yg berusia 12-18 thn. Psl. 45-46 KUHP diganti dengan pasal2 dalam UU No.3/1997 : dikembalikan pada orang tuanya, diserahkan pada negara utk dididik, atau diserahkan pada Dep.Sos, organisasi sosial

HUKUMAN/PIDANA MATI Pasal 11 jo Pasal 10 KUHP Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati: A. Dalam KUHP : Pembunuhan berencana Kejahatan terhadap keamanan negara Pencurian dengan pemberatan Pemerasan dengan pemberatan Pembajakan di laut dengan pemberatan. B. Di luar KUHP : Terorisme Narkoba Korupsi Pelanggaran HAM Berat : kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis.

HUKUMAN/PIDANA MATI : Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan (ps. 11 KUHP), tp bdsrkn Penpres No. 2/1964 à ditembak di bagian jantung dan/atau kepala dan tdk dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya). Astini (Maret 2005) : ditembak 3 peluru di dada. Tibo cs. Diluar negeri: kamar gas, penggal, kursi listrik, suntik mati, dsb. Hukuman mati tdk dapat dijatuhjkan pada anak; Pidana mati tidak dapat dilakukan pada org yg setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil. Eksekusi dpt dilakukan jika org gila itu sembuh dan wanita tsb melahirkan.

PIDANA PENJARA Psl. 12 KUHP : Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementara/ pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu ( min 1 hari – selama2nya 15 thn atau dpt dijatuhkan selama 20 thn, tp tdk boleh lebih dr 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di Indonesia disbt sebagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat. Penghuninya disebut narapidana/napi (inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (UU NO. 12/1995).

Catatan Lihat juga Pasal 14a KUHP : (reclassering/lembaga yg mengawasi à BAPAS, Balai Pemasyarakatan) penghukuman/pidana bersyarat/pidana percobaan, dan pelepasan bersyarat. Larangan Kumulasi hukuman, mis. melakukan pencurian, pemerkosaan dan pembunuhan lalu mayat korban dibuang. Ancaman pidananya mengikuti prinsip gabungan tindak pidana Sistem penjatuhan pidana: stelsel kumulasi murni, stelsel kumulasi terbatas, absorsi murni, absorsi yang dipertajam.

PIDANA PENJARA Pidana bersyarat (ps. 14 a-14 f KUHP): Bila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusan dapat memerintahkan untuk tidak menjalani pidana tersebut; kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yg menentukan lain, karena terpidana melakukan tindak pidana sebelum masa percobaannya selesai atau tidak memenuhi syarat-syarat khusus yg ditentukan.

PIDANA PENJARA Sistem Penjara – gevangenisstelsel (Utrecht II hal. 291 - dst): Sistem Pennsylvania, AS : Para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel Terhukum hanya melakukan kontak dgn penjaga sel/sipir penjara Dilakukan peringanan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dpt menerima tamu, tp ia tetap dilarang bergaul dgn terhukum lain. Sistem Auburn, New York, AS : Disebut juga sebagai silent system Para hukuman pada siang hari disuruh bekerja bersama2 tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.

PIDANA PENJARA Sistem Irlandia (Irish System) Berasal dr mark system - penilaian Para hukuman mula2 ditutup terus-menerus, diterapkan hukum yg keras Jika berkelakuan baik, maka hukumannya diperingan: mulai dimasyarakatkan à the rise of Reformatory (Utrecht I, hal. 294-dst): Probation, public work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama2 Secara bertahap diberi kelonggaran utk bergaul satu sama lain Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya Penutupan terus-menerus bertujuan: Terhukum diberikan waktu utk merenung, menyelesali perbuatannya à perbaiki diri Kalau dibiarkan bergaul dgn napi lain à bisa saja menjadi bertambah jahat.

PIDANA PENJARA Sistem Elmira (NY, AS): Sistem Borstal (LONDON, UK): Utk org terhukum yg berusia tdk lbh dr 30 thn. Disbt sbg penjara Reformatory : tempat utk memperbaiki org, mjd warga masyarakat yg berguna. Mirip dgn sistem Irlandia tp titik berat pd usaha2 utk memperbaiki si pelaku: diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yg bermanfaat bg masyarakat. Sistem Borstal (LONDON, UK): Ada ketentuan khusus dr Menkeh, ada perjanjian Khusus utk pelaku yg masih muda yt < dr 19 thn Spt LP Pemuda dan LP Anak laki2 di Tangerang, Banten Sistem Osborne (NY, US) Memilih ’BOS’ – mandor dr kalangan napi sendiri utk mengatur napi : Tamping / building tender.

PIDANA PENJARA Di Indonesia dilakukan ke 5 nya: Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 org/1 sel. Minimum security/ Maximum security/Super Maximum Security (SMS). Napi pd umumnya boleh keluar dr sel pd pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwalnya. Pidana berat à berkelakukan tdk baik, melanggar aturan : dimasukkan dlm sel sendiri = Tutupan sunyi. Boleh bekerja di luar sel secara bersama2 = kerja di kebun/taman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP utk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV, olah raga dsb.

PIDANA PENJARA Boleh saling berinteraksi. Pelepasan bersyarat (PB – reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr hukumannya. Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama2 tp tetap ada pemisahan mutlak : Laki-laki dan perempuan Orang dewasa dan anak di bawah umur Org yg dihukum/ tahanan - org yg dihukum krn upaya preventif Orang militer dan org sipil.

PIDANA KURUNGAN Dilaksanakan di penjara, tp lebih bebas, ada hak pistole à fasilitas lebih. Pidana bersyarat/hukuman percobaan (ps. 14a KUHP) Pelepasan bersyarat (ps. 15 KUHP). PIDANA TUTUPAN UU No. 20/1946 Pidana yg dijatuhkan oleh Hakim dgn mempertimbangkan bhw perbuatan yg dilakukan didasari oleh suatu motivasi yg patut dihormati/dihargai. Tempatnya dipenjara, fasilitas lbh baik, boleh membawa dan menikmati: buku bacaan, radio/tape. 1 yurisprudensi di Jogja

PIDANA DENDA Pasal 30 ayat (1) KUHP Dgn adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur krn pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku td ada di LP Kontroversi nilai mata uang

Pidana Denda Jika denda tdk dibayar, maka diganti dgn pidana kurungan Kurungan penganti denda: Minimal 1 hari dan maksimal 6 bulan Bila ada pemberatan denda, maka kurungan pengganti denda dapat menjadi 8 bulan

Pidana denda Perma:No.2 tahun 2012 batasan tindak pidana ringan (pasal 364,pasal 373,379,384,408 dan 482 Kuhp ) menjadi rp. 2.500.000 Pidana denda yg diancamkan dalam kuhp dikalikan 1000 kali

Pidana Tambahan Pencabutan Hak: psl. 35-38 KUHP Perampasan barang: berupa barang yg diperoleh dr kejahatan atau yg sengaja digunakan utk melakukan kejahatan à Ps. 39 KUHP Pengumuman Putusan Hakim: Ps. 43 KUHP

Tindakan Juga merupakan sanksi pidana Tujuannya lebih bersifat menolong terpidana Menurut KUHP: penempatan org di RSJ Untuk anak2: (menurut UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak)

SISTEM PERADILAN PIDANA Criminal Justice System (SPP) Prof. Mardjono Reksodiputro : SISTEM DLM SUATU MASY UTK MENANGGULANGI KEJAHATAN YG TERDIRI DR LEMBAGA2 (Kepolisian,Kejaksaan,Pengadilan, Pemasyaralatan) SERTA SISTEM PENGENDALIAN KEJAHATAN AGAR BERADA DLM BATAS2 TOLERANSI MASY.

SISTEM PERADILAN PIDANA TUJUAN : MENCEGAH MASY MJD KORBAN KEJAHATAN (preventif); MENYELESAIKAN KASUS2 KEJAHATAN YG TJD, SHG MASY PUAS BHW KEADILAN TLH DITEGAKKAN & YG BERSALAH DIPIDANA (represif); MENGUSAHAKAN AGAR PELAKU TDK MENGULANGI LAGI KEJAHATANNYA (TDK RECIDIVE).

TUJUAN SPP TUJUAN2 SPP YG HARUS DICAPAI : MENEGAKKAN KEADILAN MELINDUNGI MASY MENYELESAIKAN KASUS2 KEJAHATAN RESOSIALISASI PELAKU KEJAHATAN. Integrated Criminal Justice System (ICJS) Terpadu – Online – Access to justice

ASAS-ASAS DLM SPP : EQUALITY BEFORE THE LAW DUE PROCESS OF LAW PROSES YG SEDERHANA & CEPAT EFEKTIF & EFISIEN AKUNTABILITAS : CONTROL MECHANISM & TRANSPARANCY PENGHORMATAN THDP HAM

ASAS-ASAS DLM SPP : MEKANISME PENGAWASAN : INTERNAL EKSTERNAL HORIZONTAL (sesama aparat) VERTIKAL (atasan) PENYELENGGARAAN PIDANA BLM MAKS HKM BERPIHAK PD KEKUASAAN HKM BERPIHAK PD ORG2 YG BERDUIT

Dasar-Dasar Penghapus Pidana (Strafuitsluitingsgronden)

Pengertian karena: Orangnya tidak dapat dipersalahkan Hal-hal atau keadaan yg dpt mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yg dgn tegas dilarang & diancam dengan pidana oleh UU, namun tidak dipidana, karena: Orangnya tidak dapat dipersalahkan Perbuatannya tdk lagi melawan hukum

Dasar Penghapus Pidana didalam KUHP dapat diklasifikasi: Dasar Penghapus Umum Dasar2 penghapus pidana yang berlaku terhadap tiap-tiap delik Dasar Penghapus Khusus Dasar2 penghapus pidana yang hanya berlaku pada delik2 tertentu.

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut KUHP Dasar Penghapus Umum Dasar Penghapus Khusus Pasal 44 KUHP Pasal 48 KUHP Pasal 49 KUHP Pasal 50 KUHP Pasal 51 KUHP Beberapa contoh: Pasal 166 (2) KUHP Pasal 221 (2) KUHP Pasal 310 (2) KUHP

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin yang Diatur Di Luar KUHP berdasarkan keberlakuan Berlaku khusus: Hak mengawas dan mendidik anak dan anak didikl Hak jabatan: dokter yang melakukan terapi Ijin korban: olah raga bela diri à (tinju, karate, taekwondo, wushu dll). Berlaku Umum: Tiada sifat melawan hukum dalam arti materiil Tiada kesalahan dalam arti materiil (mis: AVAS= Afwezigheid van alle Schuld/tidak ada kesalahan sama sekali)

Melawan hukum à dihapuskan Kesalahan -> dihapuskan Dasar Pemaaf: Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin (berdasarkan unsur yg dihapus) Dasar Pembenar: Melawan hukum à dihapuskan Kesalahan -> dihapuskan Dasar Pemaaf: Melawan hukum à tetap ada Kesalahan à dihapuskan

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin Dasar Pembenar: Melawan hukum à dihapuskan Dalam hal ini perbuatannya dianggap tidak melawan hukum, walaupun perbuatannya itu dilarang dan diancam hukuman oleh UU/KUHP. Jadi dlm hal ini perbuatan pelaku dibenarkan/dibolehkan: a. Pasal 48 KUHP (perluasan): Noodtoestand/Keadaan Darurat b. Pasal 49 ayat (1): Noodweer/Bela Paksa c. Pasal 50: Melaksanakan perintah UU d. Pasal 51 ayat (1): Perintah jabatan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. e,tiada kesalahan dalam arti materil

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin Dasar Pemaaf: Melawan hukum à tetap ada Kesalahan à dihapuskan Dalam hal ini perbuatan pelaku tetap dianggap melawan hukum, namun unsur kesalahannya dimaafkan: a. Pasal 44 KUHP: ketidakmampuan utk bertanggung jawab krn sakit jiwa/idiot/imbisil. b. Pasal 48 KUHP: Overmacht/Daya Paksa dalam arti sempit-relatif c.Pasal 49 ayat2 : bela paksa lampau batas d. Pasal 51 ayat (2): Melakukan perintah jabatan yg tidak sah, namun yg diperintah dgn itikad baik menganggap bahwa perintah tersebut sah.

Dasar Penghapus Pidana Dasar Pembenar Dasar Pemaaf Melawan hukum à dihapuskan Dalam hal ini perbuatannya tidak dianggap melawan hukum, walaupun perbuatannya itu dilarang dan diancam hukuman oleh UU/KUHP. Jadi dlm hal ini perbuatan pelaku dibenarkan/dibolehkan: a. Pasal 48 KUHP b. Pasal 49 ayat (1) c. Pasal 50 d. Pasal 51 ayat (1) Melawan hukum à tetap ada Kesalahan à dihapuskan Dalam hal ini perbuatan pelaku tetap dianggap melawan hukum, namun unsur kesalahannya dimaafkan: a. Pasal 44 KUHP b. Pasal 4b KUHP c. Pasal 51 ayat (2

Pasal 48 KUHP Overmacht (daya paksa dalam arti relatif/sempit) Noodtoestand (keadaan darurat) (perluasan overmacht)

Paksaan (Dwang) Dorongan/kekuatan/paksaan baik psikis maupun fisik yg tidak bisa dilawan Paksaan: a. Vis Absoluta (paksaan absolut): paksaan yang tidak mungkin untuk dilawan (pelaku hanya sebagai alat belaka) b. Vis Compulsiva (paksaan relatif): paksaan yang masih mungkin untuk dilawan, tetapi orang pada umumnya tidak dapat menghindari paksaan itu tanpa membahayakan dirinya

Overmacht (Pasal 48 KUHP) Dorongan/kekuatan/paksaan baik psikis maupun fisik dr manusia yg tidak bisa dilawan (secara relatif) Secara relatif dalam arti paksaan itu masih mungkin untuk dilawan, tetapi orang pada umumnya tidak dapat menghindari paksaan tersebut tanpa membahayakan dirinya Harus memenuhi asas: Subsidaritas & Proporsionalitas

Dua Asas Penting Subsidaritas Proporsionalitas Tiada jalan lain, tindakan tsb adalah satu- satunya jalan Proporsionalitas Keseimbangan antara paksaan dengan tindakan yang dilakukan.

Noodtoestand (Keadaan Darurat) (Pasal 48 KUHP) Pembuat melakukan suatu delik, terdorong oleh suatu paksaan dari luar, pembuat dipaksa untuk memilih, tapi pilihannya seringkali ditentukan oleh situasi/keadaan dan terkadang alam. Terjadi : 1. Pertentangan antara kepentingan hukum 2. Pertentangan antara kewajiban hukum 3. Pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum

Pasal 49 KUHP Pasal 49 ayat (1) Noodweer – Bela Paksa Noodweer Excess – Bela Paksa Lampau Batas

Noodweer - Bela Paksa Pasal 49 ayat (1) KUHP Syarat serangan: Melawan hukum Seketika/langsung atau dikhawatirkan segera akan terjadi Terhadap: badan/tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta bendadiri sendiri/orang lain Ditujukan pada diri sendiri/oranglain Syarat pembelaan: Seketika/langsung Memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas

Dua Asas Penting Subsidiaritas Proporsionalitas Tiada jalan lain, tindakan tsb adalah satu- satunya jalan Proporsionalitas Keseimbangan antara ancaman serangan/serangan dengan pembelaan yang dilakukan.

Noodweer Excess - Bela Paksa Lampau Batas Pasal 49 ayat (2) KUHP Pembelaan tidak memenuhi asas subsidaritas dan proporsionalitas: asas subsidaritas & proporsionalitas dilampaui Yang harus dibuktikan: Pelampauan batas pembelaan diri itu terjadi karena goncangan jiwa Goncangan itu terjadi krn adanya serangan yang melawan hukum (Adanya hubungan kausal antara keguncangan jiwa tsb dgn serangan yg dilakukan).

Pasal 50 KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana Melaksanakan perintah UU contoh: polisi yang berpatroli menangkap seseorang yang tertangkap tangan melakukan pencurian. Polisi yang menembak seorang perampok bersenjata disebuah bank yang tengah beraksi

Pasal 51 (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Syarat-syarat Menjalankan perintah pejabat yang berwenang Perintah yang diberikan oleh pejabat tersebut dalam lingkup hukum publik Contoh: juru sita pengadilan, penangkapan/penyitaan/penahanan yg sah yg dilakukan oleh polisi

Perintah Pejabat Pasal 51 ayat (2) KUHP: Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat/atasan yg tidak berwenang, jadi perintahnya tidak sah: Yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah yang dikeluarkan adalah perintah yang tidak sah Dalam batas-batas lingkungan yg diperintah Ada hubungan antara atasan dan bawahan

Pembedaan Dasar Pembenar & Dasar Pemaaf terkait dgn masalah : Penyertaan: salah satu peserta memiliki dasar pembenar maka peserta lain jg dibenarkan (kolektif), namun dasar pemaaf hanya dimiliki peserta yg punya dasar pemaaf (individual) Bunyi putusan hakim: lihat catatan

Dasar Peringan Pidana

Dasar Peringan Pengertian Bentuk-bentuk peringan pidana (masukkan pasal 45-47)

Dasar Peringan Pidana Umum Khusus

Dasar Peringan Pidana Delik selesai Pelaku memenuhi semua unsur tindak pidana Pelaku diancam dengan pidana lebih ringan dr yg seharusnya/ lebih ringan dr pelaku yang lain Alasan hkm menjatuhkan pidana < (kurang dari) ancaman pid. Utk anak, pengurangan sudah dimulai sejak ancaman pidana.

Dasar Peringan Pidana 1. UMUM : - usia belum dewasa -Tindak pidana yang dilakukan oleh anak/ orang yg blm dewasa Diatur dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak mengganti ps. 45-47 KUHP (lihat ps. 103 KUHP). Ps. 45-47 KUHP tdk berlaku lagi, tp asas2 umum dan aturan2 lain dalam KUHP serta KUHAP ttp dipergunakan jk tdk diatur scr menyimpang oleh UU NO. 3/1997. 2. KHUSUS : Delik yang diperingan (diprevilisir). Contoh: ps. 308.

Permasalahan …… Percobaan melakukan t.p. (ps. 53 KUHP) ? Membantu melakukan t.p. (ps. 57 KUHP) ? Mnrt Utrecht dan RKUHP mrpk dsr peringan. Namun msh diperdebatkan oleh para ahli huk.pid Bkn mrpk dsr peringan karena deliknya belum selesai atau pelaku tdk memenuhi unsur Membantu melakukan t.p. dlm praktek bs dipid lbh berat, krn pelaku b’peran penting (R.Soesilo hlm. 77): Hanya merupakan perluasan dr dpt dipidananya seseorang

Tindak Pidana yang dilakukan oleh org yang masih di bawah umur: Child Delinquency – Juvenile Delinquency (usia dewasa sbg dasar peringan pidana) Tindak Pidana yang dilakukan oleh org yang masih di bawah umur: Anak tsb mampu b’tanggung jawab tp tdk secara penuh “ mampu, tapi tdk secara penuh”. Orang dewasa kecil : ada perlakuan khusus Tidak mampu: ps. 44 KUHP (org gila, imbisil/ idiot)

Child Delinquency – Juvenile Delinquency Alasan anak diancam pidana < ancaman thd dewasa : Ada pengaruh lingkungan (meniru tingkah laku ortu, teman, saudara – mudah dibujuk, kurang kasih sayang dan didikan ortu) Masa remaja : suka main, nongkrong/kumpul2 tanpa aturan, suka melak perbuatan yg mnrt org dws sbg kenakalan/krg ajar, ingin lepas dr aturan, ingin eksistensinya diakui, ingin hidup dgn gayanya sendiri Pengaruh globalisasi dan modernisasi (perilaku konsumtif-media)

Child Delinquency – Juvenile Delinquency Aspek psikologis : Kurang peduli thdp akibat dr perbuatannya (tdk pikir2 dulu) = ketidakstabilan emosi dan kurang matang cara berpikirnya. Suka coba-coba & ikut2an teman. Contoh : minum2an keras, mabuk, corat-coret tembok, kebut2an di jalan, mencuri, memeras, dsb. Istilah : anak nakal – anak delinkuen (anak yang mengalami penyimpangan perilaku).

Child Delinquency – Juvenile Delinquency I. BATAS USIA Anak : seseorang blm cukup umur- msh di bwh umur Terdapat berbagai batasan usia anak : UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak: < 18 thn tmsk anak dlm kandungan Khusus untuk anak yg melak TP berlaku UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak : Mereka yg berusia 8 - < 18 thn dan blm pernah kawin dpt diajukan ke SA. Jika melak T.P. < 18 th tp sdh kawin : Tunduk pd KUHP.

Child Delinquency – Juvenile Delinquency Pasal 4 UU No. 3/1997 : Anak dpt diajukan ke Sidang Anak jk tlh berusia 8 th. Anak yang melak TP < 8 th tdk dapat diajukan ke SA dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Thdpnya hanya dilak pemeriksaan oleh penyidik. Untuk memeriksa apakah ia melakukan TP tsb sendiri atau Tp yg dilakukannya terkait dgn pnyrtaan (deelneming) dgn orng dewasa (ps. 5 uu 3/1997) Jika TP yg dilakukan terkait dgn penyertaan (deelneming) dgn org dewasa (ps. 5 UU 3/1997).

Child Delinquency – Juvenile Delinquency PRINSIP : Pemberian hukuman bg anak itu tujuannya bkn semata2 utk menghukum (not to punish the child) ttp lbh utk mendidik kembali (re-educate) dan memperbaiki (rehabilitate) Memperhatikan kepentingan anak

Child Delinquency – Juvenile Delinquency PERBUATAN YG DPT DIPIDANA : Pasal 1 butir 2 UU NO. 3/1997 – Anak Nakal : Anak yang melakukan tindak pidana Sumber2 Hk. Pidana : KUHP : kejahatan + pelanggaran, co : 362, 285, 351, 359 UU Pidana di luar KUHP : UU 22/97 Narkotika, UU 5/1997 Psikotropika UU Non Pidana tp memuat sanksi pidana : UU 14/1992 Lalu lintas, UU No. 23/2002 ttg Perlind Anak, UU No. 13/2003, dsb. UU Drt. No. 12/1951 -> pemilikan senjata tjm Anak yg melak perbuatan yg dinyatakan terlarang bg anak, baik mnrt p’at p’UUan maupun p’at hkm lain yg hidup dan berlaku dlm masy yg bersangkutan masalah : perbuatan yg bgmn ? Seharusnya disebut dengan jelas.

Child Delinquency – Juvenile Delinquency Ancaman Pidana – Kategori Usia Paling lama ½ (setengah) dr max anc pid bg org dewasa. Max ancaman pid bg org dws – ½. (ps. 26, 27, 28 UU 3/1997) Kategori Usia : 1. 0 – 8 thn : pasal 5 tdk dpt dipertggjwbkan tdk dpt diajukan ke SA hanya dpt dilak pemeriksaan

Ancaman Pidana - Kategori Usia 2. 8 - < 12 thn : pasal 24 dpt dilak pemeriksaan oleh penyidik terkait dgn penyertaan dan dapat diajukan ke SA (sbg saksi yg tdk dpt disumpah – ps. 171 KUHAP) hanya dpt dikenai tindakan Pasal 26 UU No. 3/1997 : melakukan TP yang diancam dgn pid mati atau penjara seumur hdp = dikenai tindakan -> anak negara melakukan TP yang tidak diancam dgn pid mati atau penjara seumur hdp = salah satu tindakan dalam pasal 24.

Ancaman Pidana - Kategori Usia 3.12 - < 18 thn : pasal 26 ayat (3) dan (4) dapat diajukan ke sidang anak dapat dikenai pidana atau tindakan melakukan TP yang diancam dgn pid mati atau penjara seumur hdp = penjara max 10 th

JENIS-JENIS PIDANA Pasal 22 UU 3/1997 : terhadap anak nakal hanya dpt dijatuhkan pidana atau tindakan yg ditentukan oleh UU ini. Pidana : Pasal 23 UU NO. 3/1997 Pidana Pokok : pidana penjara pidana kurungan pidana denda pidana pengawasan Pidana tambahan : perampasan brg2 ttt ganti kerugian

Tindakan Tindakan : Pasal 24 UU No. 3/ 1997 mengembalikan pd ortu diserahkan pd negara diserahkan pd dep.sos/org. sosial kemasy Tindakan dpt disertai teguran Pada anak dpt dikenai pula pidana bersyarat (ps. 29) atau wajib latihan kerja (ps. 28 ayat 3)

Pidana atau Tindakan pada anak sesuai UU No. 3/1997 Tidak ada : Pidana mati Pidana penjara seumur hidup Pencabutan hak2 ttt Pengumuman put pengadilan Jk melakukan spt yg diatur dlm ps. 1 angka 2 hrf a (melakukan tindak pidana), maka : dapat dikenai pidana atau tindakan (Ps. 25 ayat 1) Jika melakukan spt yg diatur dlm ps. 1 angka 2 hrf b (melakukan perbuatan yg dilarang…….), hanya dpt dikenai tindakan saja(Ps. 25 ayat 2).

Tentang Pengadilan Anak KUHP Pasal 45 - 47 UU No. 3/1997 Tentang Pengadilan Anak 1. Tindak pidana saja 1. Tindak pidana atau perbuatan lain …… 2. Batas usia : < 16 th (ps. 45 ) Wkt dituntut < 21 thn. Tdk ada aturan sdh menikah/blm 2. 8 – < 18 dan blm menikah 3. Pidana yg diancamkan thdp org dewasa –1/3 3. Pidana yg diancamkan thdp org dewasa –1/2 4. Jenis pidana : dikembalikan pd ortu diserahkan pd neg dipid biasa (- 1/3) sesuai ps. 10 4. pidana atau tindakan ps. 23 5. Hanya mengatur hk. materiil 5. Mengatur hk. Materiil dan formil

UU No. 3/1997 KUHAP Petugas hukum khusus: penyidik anak, hakim anak, jaksa anak, Tdk ada petugas khusus yang menangani perkara anak Penangkapan = KUHAP - Penahanan lebih pendek Ps. 44 jo ps. 50 Penahanan utk penyidikan: 20 –30 hr Penahanan utk kept penuntutan: 10 – 25 hr Penahanan utk kept pemeriksaan : 15 – 30 hari Pasal 20 dst - Penahanan utk penyidikan: 20 – 40 hr -Penahanan utk kept penuntutan: 20 – 50 hr -Penahanan utk kept pemeriksaan 30 – 90 hari Adanya hak2 khusus Ps. 45 ayat4 Ps. 51 ayat 1 dan 3 Adanya laporan hsl penelitian kemasy Pasal 56 dan 59

R-KUHP 2008 Pidana dan Tindakan bagi Anak Pasal 113 (1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. (2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.

R-KUHP 2008 Pidana dan Tindakan bagi Anak Pasal 114 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55, demi kepentingan masa depan anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan Petugas Kemasyarakatan. (2) Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat : a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya.

R-KUHP 2008 Pidana dan Tindakan bagi Anak Pasal 116 (1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana verbal : 1. pidana peringatan; atau 2. pidana teguran keras; b. Pidana dengan syarat: 1. pidana pembinaan di luar lembaga; 2. pidana kerja sosial; atau 3. pidana pengawasan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pembatasan kebebasan: 1. pidana pembinaan di dalam lembaga; 2. pidana penjara; atau 3. pidana tutupan. (2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan; b. pembayaran ganti kerugian; atau c. pemenuhan kewajiban adat.

CATATAN Pengadilan anak berada dlm lingkup peradilan umum (ps. 2 UU 3/1997) PA khusus menangani perkara yg dilakukan oleh anak (ps. 3), tdk scr tegas dinyatakan hanya menangani perkara pidana tp dr isisnya dpt disimpulkan demikian Hrs diteliti : akte kelahiran, ijazah, dsb Petugas hkm khusus, ps. 10, 41 dan 53 berhak didampingi penasehat huk dan mendapat bantuan huk (ps. 51. 52), sesuai ps. 21 ayat 1 KUHAP

CATATAN Tsk/tdkw anak dapat ditahan (ps. 45) - tp dipisahkan dr org dewasa. Sesuai ps 36, 37 UU 14/1970. diperiksa dalam suasana kekeluargaan (ps. 42 ayat 1) , hakim, jaksa dll tdk pakai seragam/toga ps. 6 Pemeriksaan dirahasiakan ps. 42 ayat 3 dilakukan dlm sidang yang tertutup utk umum ps. 8, ps. 153 ayat 3 KUHAP, SEMA RI No. 2/1959 Laporan hasil penelitian kemasyarakatan ps. 56 LP anak terpisah dr LP dewasa ps. 60

Takut Disidang, Raju Menangis Kasus RAJU Takut Disidang, Raju Menangis Kontribusi dari Indo Pos    Kamis, 02 Maret 2006 STABAT – Kegaduhan kemarin terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Langkat. Peristiwa itu bermula ketika terdakwa Muhammad Azwar alias Raju dipanggil jaksa agar masuk ke ruangan sidang. Tapi, bocah 8 tahun itu tidak mau. Dia malah menangis sambil menjerit. Rupanya, dia masih trauma karena peristiwa sebelumnya, ketika dijebloskan ke tahanan oleh hakim di pengadilan tersebut. Itu memang masih lanjutan kasus Raju yang jadi berita ramai. Bocah kelas 3 SD tersebut dibawa ke pengadilan karena kasus perkelahian. Sidang kasus itu sempat tertunda, setelah penahanan Raju oleh hakim Tiurmaida H. Pardede direaksi keras banyak kalangan. Sebab, Raju kala itu dijebloskan ke tahanan bersama tahanan dewasa lain. Hal tersebut membuat Raju trauma. Kasus itu sempat menarik perhatian Zannuba Arifah Chofsoh (Yenny Wahid), staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Putri Gus Dur itu pun mendatangi rumah Raju dan memberikan dukungan untuk bocah 8 tahun itu. Hal yang sama dilakukan Komisi Yudisial. Kemarin, Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Langkat, melanjutkan sidang kasus Raju.

Dituduh Main Judi di Bandara, 9 Siswa SD Ditahan (Juli 2009) JAKARTA - Sepuluh anak berusia 11-14 tahun ditangkap di Bandara Soekarno Hatta pada 29 Mei lalu atas tuduhan melakukan perjudian. Akibatnya mereka terpaksa harus putus sekolah karena langsung menjadi tahanan titipan Polres Bandara. Mereka adalah MS (14) pelajar kelas VI SD, MT (12) pelajar kelas II SD, SY (11) pelajar kelas IV SD, BR (14) pelajar kelas VI SD, AR (14) pelajar kelas I SMP, ARH (15) pelajar kelas I SMP, AD (13) pelajar kelas VI SD, RS (11) pelajar kelas II SD, RJ (11) pelajar kelas IV SD, dan IA (14) pelajar kelas SMP paket C. Kesepuluh anak-anak warga Desa Rawa Rengas, Tangerang, itu sering menyemir di Terminal B1 Bandara Soeta. Menurut pengakuan orangtua, mereka tidak diberitahukan soal adanya penangkapan tersebut. Bahkan setelah mengetahuinya dari tetangga mereka, polisi tidak mengizinkan untuk menemui anaknya ditahanan. "Saya malah disuruh bawa KTP, akte, dan KK," ungkap Hindun (35), orangtua AD. Dari pengakuan AD, dirinya bersama teman-temannya juga mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh aparat bandara dan petugas LP. Baru setelah sebulan ditahan mereka mendapat penangguhan penahanan atas bantuan dari LBH Masyarakat.  Kini nasib mereka akan dipersidangkan di PN Tangerang dengan tuduhan tindak pidana pasal 303 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara. Sekjen Komnas PA Arist Merdeka Sirait menyatakan ada banyak kesalahan prosedur dalam penahanan mereka. "Banyak pihak yang melanggar prosedur hingga anak-anak ini terjerumus masuk penjara," ungkapnya di Kantor Komnas PA di Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, pukul 09.00 WIB. Pihaknya pun melihat anak-anak ini awalnya ditangkap karena tuduhan mencuri, namun karena tidak terbukti mereka mengalihkan tuduhannya. (Isfari Hikmat/Koran SI/ful)

Kasus Perjudian di Bandara Soekarno Hatta Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang menyatakan 10 anak yang ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta terbukti melakukan perjudian. Hukumannya adalah mengembalikan mereka ke orang tuanya masing-masing di bawah pengawasan Departemen Sosial. Demikian vonis hukuman yang dibacakan ketua majelis hakim Retno Pudyaningtyas, dalam sidang kasus judi anak-anak. Sidang berlangsung di PN Tangerang, Jl TMP Taruna, Tangerang, Senin (27/7/2009). "Membebaskan terdakwa dari tuntutan dan mengembalikan terdakwa ke orang tua di bawah Departemen Sosial," tegas Retno lalu mengetukkan palu sidang. Di dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan 10 anak-anak itu bersalah. Barang bukti dan kesaksian yang dipaparkan dalam persidangan membuktikan mereka secara sah turut serta melakukan perjudian sebagaimana didakwakan pasal 303 KUHP. Di satu sisi terbukti pula bahwa perjudian tersebut dilakukan bukan untuk mata pencaharian, melainkan hanya sebagai permainan. Merujuk pada pasal 24 UUNo 3/1997 tentang Perlindungan Anak dan janji orang tua untuk mendidik kembali anak-anak mereka serta janji terdakwa tidak mengulangi lagi perbuatan itu, maka majelis hakim membebaskannya dari segala tuntutan."Selain itu para terdakwa juga masih bersekolah dan bila dikenai sanksi pidana akan menghambat proses pendidikan bagi mereka," ujar hakim. Sidang berlangsung tertutup di ruang sidang khusus anak Poerwoto Gandasubrata. Kesepuluh anak tersebut selain didampingi oleh tim advokasi LBH Jakarta juga didampingi oleh Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak (PA), Aris Merdeka Sirait. Kesepuluh anak tersebut yakni Rs(11), Sr (12), Tk(12), Ag (12), Dl (12), Brd (13), Ar (14), Abr (14), If (14), dan Ms (14). Mereka dibekuk Polres Bandara saat bermain macan buram di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Juni 2009.

Dasar Pemberat Pidana

Di Dalam KUHP UMUM : KHUSUS : Delik-delik yg dikualifisir/diperberat. Recidive : Pengulangan tindak pidana Ancaman pidananya + (1/3-nya) (ditambah 1/3), diatur dlm psl. 486,487 dan 488. Pada wkt melakukan tindak pidana melanggar perintah jabatan (abuse of power), psl. 52. Pd wkt melak tp menggu akan bendera kebangsaan,ps 52a KUHP KHUSUS : Delik-delik yg dikualifisir/diperberat. Co. psl. 52a: kejahatan menggunakan bendera RI, 356, 349, 351 ayat (2), 365 (4) dll. Delik-delik tertentu yg dilakukan oleh org ttt dlm keadaan ttt.

Di luar KUHP Pemaksimalan pidana karena dianggap meresahkan masyarakat Penjatuhan pidana yg cukup berat.

PENGULANGAN T I N D A K P I D A N A (R E C I D I V E) Recidive terjadi dlm hal seseorang yg telah melakukan suatu tindak pidana dan yg telah dijatuhi pidana dgn suatu putusan hakim yg berkekuatan hkm tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Recidive merupakan suatu alasan/dasar untuk memperberat pidana.

a. Recidive menurut Doktrin Ada 2 sistem pemberatan pidana berdasarkan recidive : Recidive Umum, Setiap pengulangan tindak pidana apapun dan dilakukan kapanpun. Recidive Khusus, Pengulangan tindak pidana tertentu dan dalam tenggang waktu tertentu pula.

b. Recidive menurut KUHP : 1. Pelanggaran (buku 3) : Ada 14 jenis pelanggaran yg memiliki ketentuan recidive (khusus) Recidive khusus psl. 489, 492, 495, 501, 512 Pelanggaran yg diulangi (yg ke 2) hrs sama dgn yg ke 1 Antara pelanggaran ke 1 dan 2 hrs ada putusan pemidanaan yg tetap Tenggang waktu : Belum lewat 1 atau 2 thn (lihat msg2 pasal) Sejak : adanya putusan pemidanaan yg berkekuatan hukum tetap. Pemberatan : Disebutkan secara khusus dlm tiap2 pasal, jd pengaturannya berbeda2. Co. denda -> kurungan (psl. 489), pidana dilipatgandakan jd 2x (492).

b. Recidive menurut KUHP 2. Kejahatan (buku 2) : a. Recidive khusus : Ada 11 jenis kejahatan, co: psl. 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161 (2), dan 216 (3). Kejahatan yg ke-2 hrs sama dgn yg ke-1. Antara kejahatan ke-1 dan yg ke-2,hrs sdh ada putusan hakim berupa pemidanaan yg tlh berkekuatan hkm tetap. Tenggang waktu : Belum lewat 2 th atau 5 thn (lihat masing2 pasal), sejak : adanya putusan hakim yg b’kekuatan hkm tetap. Pemberatan : disebut secara khusus dlm pasal2nya.

b. Recidive menurut KUHP b. Recidive sistem antara : (Tussen stelsel – psl. 486, 487 dan 488) Syarat recidive menurut pasal 486, 487 dan 488 : 1. Kejahatan yg ke-2 (yg diiulangi) hrs termasuk dalam suatu kelompok jenis dgn kejahatan yg ke-1 (yg terdahulu).

Recidive sistem antara/tussen stelsel Kelompok jenis itu adalah : Kelompok jenis kejahatan dlm psl. 486 adl kejahatan thdp harta benda & pemalsuan; Kelompok jenis kejahatan dlm psl. 487 merupakan kejahatan thdp nyawa dan tubuh; Kelompok jenis kejahatan dlm psl. 488 merupakan kejahatan mengenai penghinaan & yg berkaitan dgn penerbitan/percetakan. Tetapi tetap harus diperiksa dgn seksama apakah pasal yg dilanggar masuk dlm rumusan Pasal 486, 487 atau 488.

Recidive sistem antara/tussen stelsel 2. Antara kejahatan yg ke-1 dan ke-2 hrs sdh ada putusan hakim berupa pemidanaan yg berkekuatan hkm tetap. 3. Pidana yg pernah dijatuhkan hakim terdahulu hrs berupa pidana penjara.

Recidive sistem antara/tussen stelsel 4. Ketika mengulangi, tenggang waktunya: a) Belum lewat 5 thn : Sejak menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara untuk kejahatan yg ke-1; Sejak pidana penjara sama sekali dihapus (mis: krn grasi). b) Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana (penjara) atas kejahatan yg ke-1. Lihat psl 84 jo 78. 5. Pemberatannya : Ancaman pidana +(1/3- nya).

Penyertaan

Penyertaan Terlibatnya lebih 1 orang dalam 1 tindak pidana (sebelum atau saat suatu tindak pidana terjadi) Dasar memperluas dapat dipidananya seseorang; penyertaan dipandang sbg persoalan pertanggungjawaban pidana, penyertaan bukan merupakan suatu delik krn bentuknya tdk sempurna. (Simons, van Hattum, Hazewinkel-Suringa) Dasar memperluas dapat dipidananya suatu perbuatan; penyertaan dianggap suatu bentuk khusus dari tindak pidana, penyertaan merupakan suatu bentuk delik yg istimewa. (Pompe, Mulyatno, Roeslan Saleh)

Golongan Peserta dalam Tindak Pidana menurut KHUP Indonesia a. Pembuat/dader (ps. 55), dipidana sbg pelaku : 1. Yang melakukan/pelaku (pleger) 2. Yang menyuruh lakukan (doen pleger) 3. Yang turut serta (medepleger) 4. Yang mengganjurkan/ penggerak/ pembujuk/pemancing (uitlokker) b. Pembantu/medeplichtige (ps. 56 dan 57) : 1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan 2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Bentuk-bentuk Penyertaan Menyuruh melakukan (doen plegen) Turut melakukan (medeplegen) Menggerakkan (uitlokken, uitlokking) Membantu melakukan (medeplichtigheid)

2. Yang menyuruh melakukan 3. Yang turut melakukan Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikatagorikan sebagai 1. Yang melakukan 2. Yang menyuruh melakukan 3. Yang turut melakukan 4. Yang menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan 5. Yang membantu melakukan

Lanjutan …. No. 1 s.d. 4 dikatagorikan sebagai “pelaku” (pembuat) (Pasal 55 KUHP): - Pelaku: memenuhi semua unsur delik - dianggap sebagai sebagai pelaku: memenuhi sebagian unsur delik sama sekali tidak memenuhi unsur delik Pidananya sama dengan pelaku No. 5 : pembantu (Pasal 56, 57 KUHP)

Golongan Peserta dalam Tindak Pidana menurut KHUP Indonesia 1. Yang menyuruh melakukan: seseorang hendak melakukan tindak pidana, tp tdk mau melakukannya sendiri, melainkan menyuruh org lain utk melakukannya Yang menyuruh diancam pidana sbg pelaku Yang disuruh/pelaku langsung (pelaku materil), tdk diancam pidana krn hilangnya unsur kesalahan (adanya dasar penghapus pidana berupa dsr pemaaf) Yang disuruh hanya menjadi alat belaka, & melakukan tindakan itu krn ketidaktahuan/kekeliruan/adanya paksaan.

1. Yang menyuruh melakukan: Yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan : Ps. 44, orang yang disuruh sakit akal, tdk sempurna pertumbuhan akal/jiwanya; Ps. 48, orang berada dalam keadaan overmacht/daya paksa relatif; Ps. 51 (2), dalam hal menjalankan perintah jabatan yang tdk sah, tp org tsb dengan itikad baik menyangka bahwa perintah itu sah (ada hubungan atasan dan bawahan) AVAS – tiada kesalahan sama sekali Putative/salah kira-salah duga, dwaling Anak yg msh sgt kecil ? Mungkin sj …

2. Turut melakukan Syarat : Kemungkinan : Beberapa org bersama2 melakukan tindak pidana Semua dr mereka yang terlibat memenuhi semua unsur; Ada yg memenuhi semua unsur, ada yg sebagian unsur, bahkan ada yg tdk memenuhi unsur sama sekali; Semua hanya memenuhi sebagian unsur saja; Syarat : Kerjasama secara sadar, tdk perlu ada kesepakatan tp hrs ada kesengajaan utk: bekerja sama dan mencapai tujuan yg sama berupa terjadinya suatu tindak pidana; permufakatan jahat … Kerjasama secara fisik, ada pelaksanaan bersama, perbuatan pelaksanaan à perbuatan yg langsung menyebabkan selesainya suatu delik.

3. Yang menggerakkan, membujuk, memancing, menganjurkan : Syarat : Ada kesengajaan utk menggerakkan org lain melakukan tindak pidana; Dgn upaya2 yang diatur secara limitatif dalam ps. 55 ayat (1) butir 2 KUHP : pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan, pengaruh, kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu daya atau dgn memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan. Ada yg tergerak utk melakukan tindak pidana dgn upaya2 di atas; Yg digerakkan dpt dipertanggungjawabkan mnrt Hukum Pidana; Yg menggerakkan bertanggung jawab terhadap akibat yg timbul.

Jenis Penggerakan Penggerakan yg berhasil Penggerakan yg berhasil sampai dlm taraf percobaan yg dpt dipidana – psl 53 Pasal 163 bis Penggerakan yg gagal, psl. 163 bis Penggerakan tanpa akibat : mengundurkan diri – yg digerakkan melakukan tindak pidana lain. Tanggung jawab penggerak : sebatas perbuatan yg digerakkan beserta akibat2nya (ps. 55 ayat 2)

Pasal 163 bis Penggerakan yang gagal (mislukte uitlokking/ poging tot uitlokking = mencoba menggerakkan) Penggerakan tanpa akibat (zonder gevolg gebleven uitlokking) - Pemidanaan terhadap penggerak: maksimal 6 tahun penjara atau denda Rp. 4500,- tetapi tidak boleh lebih berat daripada: pidana untuk percobaan TP à kalau percobaannya dapat dipidana pidana karena melakukan TP à dalam hal percobaan melakukan TP (yaitu kejahatan) tidak dapat dipidana

5. Membantu melakukan psl. 56 – 57 KUHP Dilakukan dgn sengaja: tdk ada niat utk melakukan tindak pidana, tdk ada kepentingan lbh lanjut, hanya sekedar membantu saja. Dibagi atas : Membantu sebelum tindak pidana dilakukan dan pada saat tindak pidana dilakukan Sarana: kesempatan, daya upaya, keterangan Yang dipidana hanya jika membantu melakukan kejahatan (ps. 56 dan 60) Ancaman pidana: -1/3

Membantu Melakukan (Pasal 56, 57 KUHP) Harus dilakukan dengan sengaja Menurut Pasal 56, ada 2 jenis: 1. Membantu sebelum TP dilakukan sarananya: kesempatan, daya upaya (alat), keterangan 2. Membantu pada saat TP dilakukan sarananya: boleh apa saja Yang dipidana hanya membantu melakukan kejahatan (lihat Pasal 56 dan Pasal 60 KUHP) Ancaman pidana maksimal bagi seorang pembantu: pidana bagi pelaku kejahatan dikurangi 1/3-nya

Tambahan Tindakan2 sesudah tindak pidana terjadi: Psl. 221, 223, 480, 481, 482, 483 Penyertaan mutlak perlu : Ps. 149, 238, 279, 284, 345. Penyertaan dalam penyertaan

Gabungan Tindak Pidana (Samenloop-Concursus)

GABUNGAN TINDAK PIDANA Tujuan adanya ketentuan gabungan Tindak pidana adalah untuk memberikan pedoman bagi Hakim dalam menjatuhkan hukuman, jika terjadi perkara yang terdiri dari beberapa tindak pidana; Bukan gabungan tindak pidana bila beberapa tindak pidana terjadi namun tindak pidana2 tersebut telah diatur dalam satu pasal. Mis Ps. 339; 363; 365 KUHP. Gabungan tindak pidana dapat dilakukan lebih dari 1 orang

Pengertian Beberapa tindak pidana, yang dilakukan dengan 1 atau lebih perbuatan Di antara beberapa tindak pidana itu belum ada putusan Hakim Beberapa tindak pidana tsb akan diadili sekaligus

Pengaturan dalam KUHP 1. Concursus Idealis (eendaadsche samenloop), Psl 63: 2. Voortgezette Handeling, Psl. 64: 3. Concursus Realis (meerdaadsche samenloop), Psl. 65-71:

Concursus Idealis (eendaadsche samenloop) Psl 63 KUHP (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda- beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Concursus Idealis/Eendaadsche Samenloop. Ruang Lingkup Concursus Idealis/Eendaadsche Samenloop. Menurut R. Sianturi terdapat pembagian atas CI, sbb: Concursus Idealis Homogenius, dengan 1 perbuatan melanggar satu peraturan pidana yang sama beberapa kali, co: satu tembakan mengenai 2 orang sekaligus, 2x melanggar Ps. 338 KUHP Concursus Idealis Heterogenius, dengan 1 perbuatan melanggar beberapa peraturan pidana yang berbeda, co: memperkosa wanita di taman; melanggar Ps. 285 dan Ps. 281 sekaligus dengan 1 perbuatan.

Stelsel Pemidanaan 1. Untuk Concursus Idealis : Absorpsi Murni, dijatuhkan 1 jenis pidana saja yakni yang terberat (Ps. 63 ayat 1); 2. Ps. 63 ayat (2) : lex specialis derogat legi generali, co: seorang Ibu yang membunuh anak krn takut ketahuan telah melahirkan, tidak dikenai Ps. 338 tapi Ps. 341 KUHP.

Voortgezette Handeling, Psl. 64 KUHP (1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu. (3) Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.

Concursus Realis (meerdaadsche samenloop) Pasal 65-71 (1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana. (2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang trerberat ditambah sepertiga.

Ruang Lingkup 2. Concursus Realis/Meerdaadsche Samenloop Concursus Realis Homogenius, melakukan beberapa perbuatan dan dengan perbuatan2 tsb melanggar suatu ketentuan pidana beberapa kali, co: dalam 1 bulan membunuh 3x, jd 3x melanggar Ps. 338. Concursus Realis Heterogenius, beberapa perbuatan melanggar beberapa peraturan pidana yang berbeda, co: hari ini mencuri, besok menganiaya, minggu depan memperkosa, dst, melanggar Ps. 362, 351, dan 285.

Stelsel Pemidanaan 1. Ps. 65 ayat (1): kejahatan dgn ancaman pidana pokok sejenis: kumulasi terbatas, seluruh pidana yg diancamkan secara kumulasi tp tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3. 2. Ps. 66 ayat (1) : concursus realis berupa kejahatan dgn ancaman pidana pokok yg tdk sejenis : kumulasi terbatas; 3. Ps. 66 ayat (2); jo ps. 30 KUHP

Stelsel Pemidanaan 4. Ps. 67 : jika salah satu tindak pidana dijatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka tidak boleh dijatuhkan pidana lainnya kecuali pencabutan hak-hak tertentu 5. Ps. 69: pidana mati, penjara SU, penjara sementara waktu (ps. 340) à pidana mati 6. Ps. 70 : kejahatan dgn pelanggaran atau pelanggaran dgn pelanggaran : kumulasi murni.

Pasal 70 bis KUHP Concursus realis Kejahatan-kejahatan ringan: psl 302 (1), psl 352, psl 364, psl 373, psl 379, psl 482 Dianggap sebagai pelanggaran Tetapi: jika dijatuhkan pidana penjara maksimal 8 bulan

Pasal 71 KUHP (Delik yang tertinggal) Jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama. Contoh: A melakukan TP : - Pencurian (Psl. 362) pada tgl. 1 Mei ’98 - Penganiayaan (Psl. 351 (2)) pd tgl. 6 Juni ’98 - Penipuan (psl. 378) pd tgl. 4 Juli ‘98 Tertangkap pada bln Agustus ’98, diadili pd bln Desember ’98 dan dijatuhi pidana penjara 6 tahun

Lanjutan … Kemudian diketahui bahwa pada tgl. 15 Juni 1998, A bersama B melakukan pembunuhan (psl. 338) thd. X Berapa pidana maksimal untuk A atas pembunuhan thd. X Rumus: Pidana maks utk TP yang diketahui belakangan (P2) = Pidana maks jika diadili sekaligus (Ps) – Pidana yang telah dijatuhkan (P1)

Menurut MvT ada 3 syarat : Ruang Lingkup 3. Perbarengan Tindakan Berlanjut (Voortgezette Handeling), Ps. 64 KUHP : Suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa perbuatan, di mana perbuatan tsb terdapat hubungan sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut. (Absorbsi murni) Menurut MvT ada 3 syarat : Tindakan2 tsb harus timbul dari suatu kehendak jahat Masing2 tindakan itu haruslah sejenis Tenggang waktu antara masing2 tindak pidana tidak terlalu lama.

Perbuatan Berlanjut (Pasal 64 KUHP) seseorang melakukan beberapa perbuatan Perbuatan tsb. masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran Antara perbuatan2 itu ada hubungan sedemikian rupa shg harus dipandang sbg satu perbuatan berlanjut.

Harus ada 1 keputusan kehendak Masing-masing perbuatan harus sejenis Makna: “ ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” Menurut MvT harus dipenuhi 3 syarat: Harus ada 1 keputusan kehendak Masing-masing perbuatan harus sejenis Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama

Pemidanaan Perbuatan Berlanjut Pasal 64 (1): prinsipnya sistem absorpsi Pasal 64 (2): ketentuan khusus untuk pemalsuan dan perusakan mata uang Pasal 64 (3): ketentuan khusus untuk kejahatan ringan co. 3X penipuan ringan sbg perbuatan berlanjut; tidak diancam pidana 3 bln penjara (psl. 379), ttp. 4 th penjara (psl 378)

Dasar penghapus penuntutan…………… Dasar penghapus penuntutan……………. Gugurnya Hak Menuntut (dasar2 utk menghapus penuntutan) Vervolgingsuitsluitingsgronden

Pengantar Apabila tjd TP maka negara mpy hak utk menuntut seseorang ke Pengadilan. Hak utk menuntut itu dpt gugur/hapus krn bbrp hal: Hal yg diatur di dalam KUHP Umum Ne bis in idem Psl. 76 Meninggalnya tsk/tdkw Psl 77 Daluwarsa penuntutan psl. 78-81 Penyelesaian di luar sidang ps. 82 Khusus Tdk adanya aduan dlm delik aduan (delik aduan ada jangka waktunya) psl. 72-75

B. Di luar KUHP: Abolisi Amnesti

gugurnya hak menuntut pidana Bab VIII Buku I KUHP gugurnya hak menuntut pidana 1. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap-BKHT (de kracht van een rechterlijk gewijsde) mengenai tindakan (feit) yang sama – ne bis in idem – (Pasal 76 KUHP); 2. Tersangka/terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP); 3. Perkara telah daluwarsa (Pasal 78 KUHP); 4.Terjadi penyelesaian perkara di luar persidangan “afdoening buiten proces” (Pasal 82 KUHP).

nebis in idem Pasal 76 KUHP Kracht van gewijsde zaak (KGZ) “Nemo debet bis vexari “orang tidak dapat dituntut untuk kali keduanya karena satu perbuatan (feit) yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatan itu telah dijatuhkan Putusan hakim* yang tidak lagi dapat diubah atau ditiadakan (ooherroepelijk) Putusan hakim di sini mrpk keputusan hakim yg menyangkut pokok perkara, bukan Putusan Sela

Ne Bis In Idem seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya berdasarkan suatu perbuatan; apabila terhadap perbuatan tsb telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

3 syarat Ne Bis in Idem 1. Perbuatannya adalah satu perbuatan 2. Orangnya adalah satu orang tertentu 3. Sudah ada putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap

Putusan hakim Penghukuman (veroordeling) àjika semua unsur tindak pidana terpenuhi dan tidak ada dasar penghapus pidana. Pembebasan (keputusan bebas, “vrijspraak”) – tidak terbukti/tidak terpenuhi sebagian atau semua unsur. Lepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging): - terbukti tapi bukan merupakan suatu tindak pidana (menurut KUHAP)

Apakah “perbuatan” atau feit itu? “Perbuatan” dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi (misdadig voorval); “Perbuatan” dalam arti perbuatan yang menjadi pokok dakwaan (de handeling zoals die is te laste gelegd); “Perbuatan” dalam arti perbuatan materiil (Materiele handeling).

Diganggunya satu kepentingan hukum yang sama dengan cara yang sama Van Bemmelen Diganggunya satu kepentingan hukum yang sama dengan cara yang sama

Ne bis in idem dalam penyertaan Dalam hal penyertaan apabila salah seorang peserta sdh dijatuhi pidana, maka peserta lain yg belum dipidana masih dapat dituntut dan tdk melanggar asas ne bis in idem. Jadi asas ini hanya berlaku untuk peserta yang telah dituntut. Lihat kasus hal. 218 (buku II Utrecht) HR 23 Juli 1935, NJ 1936, hal. 173, W Nr. 12987 dan tertanggal 3 Juni 1935, Nj 1936, Nr. 57.

DALUWARSA PENUNTUTAN Daluwarsa penuntutan Dasar hukum: Psl. 78 dan 79 KUHP Psl. 78 KUHP Tenggang daluwarsa: 1. Pelanggaran dan Kejahatan dgn cetak: sesudah 1 tahun; 2. Kejahatan dgn sanksi denda, kurungan atau pidana penjara =/<3 tahun: sesudah 6 tahun 3. Kejahatan dgn sanksi penjara > 3 tahun: sesudah 12 tahun 4. Kejahatan dgn sanksi mati atau seumur hidup: sesudah 18 tahun; 5. Anak < 18 tahun saat melakukan Tindakpidana – 2/3

Mulai menghitung daluwarsa Psl. 79 KUHP: Tenggang daluarsa dihitung sejak sehari sesudah perbuatan dilakukan (delik formil dan materiil sama); Tenggang à jangka waktu di mana pelaku masih bisa dituntut/dimintai pertanggung jawaban pidana. Jika tenggang waktu itu telah lewat maka ia tdk dapat dituntut. Kecuali: Pemalsuan dan perusakan uang sehari setelah penggunaannya; Psl. 328, 329, 330 dan 333 sehari setelah dibebaskan atau meninggal; Psl. 556 – 558a hari sesudah daftar-daftar dipindah ke kantor tsb.

Mulai penghitungan DP Pasal 79 Tenggang Daluwarsa (TD) mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan. TD + 1 hari Pasal 78 1. Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: ”sesudah 1/6/12/18 (- 2/3 u <18 tahun)...”; M D + 1 hari

Makna “sesudah perbuatan dilakukan”. Ada 2 pendapat: Sesudah perbuatan dilakukan Sesuai dgn deliknya. Mempersoalkan “waktu terjadinya tindak pidana” – tempus delichtie – Antara Delik Formil dengan Delik Materiil adalah berbeda; Harus diartikan sesudah tindak pidana selesai atau sempurna sehingga berbeda antara delik formil dengan delik materiil. Catatan: tambahkan catatan dr Remmelink hal. 437 dan Utrecht hal. 240-dst

Sehingga… Tempus Delicti (TD) + 1 hari + Masa Daluwarsa (MD) + 1 hari = Daluwarsa Penuntutan (DP) Contoh : A mengedarkan uang palsu (Psl 245 KUHP) 1 – 1 – 1961 TD à 1 – 1 – 1961 awal menghitung : Pasal 79 KUHP : 1 – 1 – 1961 + 1 hari = 2 – 1 – 1961 Pasal 78 : ancaman > 3 tahun sesudah 12 tahun 2 – 1 – 1961 + 12 tahun = 2 – 1 – 1961 DP = 2 – 1 – 1961 + 1 hari = 3 – 1 - 1961

PENGHENTIAN DALUWARSA – STUITING – Pasal 80 1. Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan – stuiten – daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan- aturan umum. 2. Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.

Tindakan Penuntutan Perhatikan Pasal 14 UU Nomor 8 Tahun 1981 Penuntut umum mempunyai wewenang : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim.

Tindakan Penuntutan Tindakan penuntutan dalam arti luas Tindakan penuntutan dalam arti sempit: Pelimpahan berkas perkara ke pengadilan beserta terdakwa dan alat bukti kepada pengadilan untuk diadili.

PENANGGUHAN DALUWARSA - SCHORSING - Pasal 81 Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan prayudisial, menunda daluwarsa.

Penyelesaian di Luar Sidang (Afdoening buiten Process) Pasal 82 KUHP (1) Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum , dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. (2) Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat dalam ayat 1. (3) Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dahulu telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.

Penyelesaian di Luar Sidang (Afdoening buiten Process) Pasal 82 KUHP Hanya dapat dilakukan apabila: Tindak Pidananya adalah pelanggaran Hanya diancam pidana denda Caranya: Bayar denda maksimal (+ ongkos perkara bila tuntutan telah dilakukan) Kepada Pejabat berwenang (JPU)

….lanjutan penyelesaian di luar sidang Dasar Residive Pasal 82 ayat (1) TIDAK BERLAKU bagi Pelaku yang belum dewasa ( kurang dari 16 tahun)

ABOLISI Hak untuk menyatakan bahwa tuntutan pidana terhadap seseorang harus digugurkan atau suatu tuntutan pidana yang telah dimulai harus dihentikan

AMNESTI Hak untuk mengeluarkan pernyataan umum bahwa UU Pidana tidak akan menerbitkan akibat-akibat hukum apapun juga bagi orang-orang tertentu yang bersalah melakukan suatu atau beberapa tindak pidana tertentu

Hal-hal Yang Menyebabkan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana

Dalam KUHP 1. Matinya Terdakwa/Terpidana (Psl. 83) 2. Daluwarsa (Psl. 84, Psl. 85)

Di luar KUHP 1. Amnesti 2. Grasi Dasar hukum: Pasal 14 UUD’45

DALUWARSA Lewatnya tenggang waktu tertentu untuk menjalankan pidana; sehingga kewenangan jaksa untuk menjalankannya menjadi hapus.

Tenggang waktu (Psl. 84(2) KUHP) Untuk semua pelanggaran: 2 tahun Untuk Kejahatan percetakan: 5 tahun Untuk kejahatan lainnya: daluwarsa penuntutan + 1/3-nya Tidak ada daluwarsa untuk menjalankan pidana mati (Pasal 84 ayat (3))

Saat penghitungan tenggang daluwarsa Mulai pada keesokan hari sesudah putusan hakim dapat dijalankan (Psl. 85 ayat (1)) Putusan hakim dapat dijalankan: Saat putusan hakim BHT; tetapi mungkin ada putusan hakim yang perintahkan terdakwa untuk segera jalani pidananya, walaupun terdakwa ajukan upaya hukum biasa (banding, kasasi)

Pencegahan (stuiting) 1. Terpidana melarikan diri ketika jalani pidana: - tenggang waktu daluwarsa baru dihitung pada keesokan hari setelah melarikan diri 2. Pelepasan bersyarat dicabut: - keesokan hari setelah dicabut, mulai tenggang waktu daluwarsa baru TENGGANG WAKTU YANG TELAH DILALUI, HILANG SAMA SEKALI (TIDAK DIHITUNG)

Penundaan (schorsing) Penjalanan pidana ditunda menurut UU Selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada dalam tahanan) TENGGANG WAKTU SELAMA DITUNDA TIDAK DIHITUNG

GRASI Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden Diatur UU No. 05 tahun 2010 Putusan Pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi: 1. Pidana mati 2. Penjara seumur hidup 3. Penjara paling rendah 2 tahun