PENDAHULUAN Prinsip tersebut dihubungkan dalam lingkup intelektual dengan suatu pemikiran tertentu yang dinamakan dengan formalism dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Hal ini ditandai oleh suatu penghormatan untuk peranan logika dan matematika, serta alasan a priori yang diterapkan terhadap filsafat, ekonomi dan yurisprudensi, dengan sedikit keinginan untuk menghubungkannya secara empiris terhadap fakta-fakta kehidupan.
PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya prinsip di atas, ilmu empiris dan teknologi sangat mendominasi masyarakat Amerika, dan dengan perkembangan ini, bangkitlah suatu pergerakan intelektual yang hendak mengkaji filsafat dan ilmu-ilmu sosial, bahkan logika sebagai studi yang bersifat empiris, tidak berbasis pada formalism yang bersifat abstrak.
PENDAHULUAN Di Amerika pergerakan ini dihubungkan dengan beberapa tokoh, yaitu: Wiliam James dan Dewey dalam bidang filsafat dan logika, Veblen dalam ekonomi, Beard dan Robinson dalam bidang sejarah dan Holmes dalam yurisprudensi.
REALISM Pergerakan intelektual yang mendukung realisme (realism) dan menentang formalisme (formalism) diperkirakan mencapai popularitasnya di akhir tahun sembilan belas dua puluhan. Holmes, seorang hakim yang merupakan salah satu tokoh realis Amerika menyatakan kehidupan dari hukum merupakan pengalaman sebagaimana juga dengan logika,dan pandangannya tentang hukum sebagai prediksi tentang apa yang akan diputuskan pengadilan, menitikberatkan pada aspek empiris dan pragmatis dari hukum.Refleksi pandangan Holmes tentang hukum dapat dilihat dari kecenderungan karakter dari bidang ilmu sosiologi, terutama ketergantungannya terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.
REALISM Pergerakan intelektual yang mendukung realisme (realism) dan menentang formalisme (formalism) diperkirakan mencapai popularitasnya di akhir tahun sembilan belas dua puluhan. Holmes, seorang hakim yang merupakan salah satu tokoh realis Amerika menyatakan kehidupan dari hukum merupakan pengalaman sebagaimana juga dengan logika,dan pandangannya tentang hukum sebagai prediksi tentang apa yang akan diputuskan pengadilan, menitikberatkan pada aspek empiris dan pragmatis dari hukum.Refleksi pandangan Holmes tentang hukum dapat dilihat dari kecenderungan karakter dari bidang ilmu sosiologi, terutama ketergantungannya terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.
REALISM Pandangan-pandangan yang telah dikemukakan oleh Holmes, Dewey dan Veblen memberikan suatu deskripsi bahwa realisme atau “realism” adalah suatu paham yang mengkaji pengetahuan secara empiris dan pragmatis berdasarkan permasalahan yang dialami manusia dan solusi yang ditemukannya untuk memecahkan masalah tersebut.
KELOMPOK REALIS (FRANK) Frank memaparkan bahwa ada dua kelompok realis, yaitu: rule-skeptics ; kelompok yang menghubungkan ketidapastian hukum dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis secara prinsipil dan kelompok ini berusaha untuk menemukan persamaan-persamaan dalam putusan-putusan hakim. fact-skeptics ; kelompok yang berpikir bahwa putusan-putusan pengadilan yang tidak dapat diprediksi didasarkan pada fakta-fakta yang tidak jelas.
O.W HOLMES (The Path of Law) Holmes memandang hukum sebagai “prediksi” yang dilakukan oleh badan litigasi maupun para pengacara professional di tengah-tengah lapangan hukum.Pernyataan Holmes tentang hukum adalah putusan hakim dan bukan deduksi abstrak dari peraturan-peraturan umum, memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor empiris yang menimbulkan suatu sistem hukum.
TWINING W: The Bad Man Revisited Teori “ Bad Man” yang dikemukakan oleh Holmes menimbulkan beberapa kritik. Kritik-kritik tersebut, yaitu konsep-konsep seperti pengadilan atau pejabat hukum bergantung pada suatu sistem hukum; teori prediksi tentang hukum membuat suatu keadaan yang membingungkan terhadap ide tentang prediksi dengan ide tentang peraturan; teori prediksi tidak memenuhi syarat sebagai teori hukum karena teori ini tidak melibatkan pandangan-pandangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum seperti hakim, advokat dan legislator.
DEWEY, J: Logical Method and Law Keberadaan konsep logika yang dikembangkan dalam pemikiran hukum dan keputusan-keputusan dapat dikaji dengan memeriksa perbedaan-perbedaan nyata yang terletak diantara perkembangan hukum aktual dan syarat-syarat mutlak dari teori hukum. Holmes telah mengeneralisasikan hal di atas dengan menyatakan, “keseluruhan garis besar dari hukum adalah hasil dari suatu konflik pada setiap titik antara logika dan perasaan yang baik, elemen yang satu berjuang untuk mengungkapkan hasil-hasil yang bersifat tetap, sementara elemen yang lain membatasi dan pada akhirnya mengatasi usaha tersebut ketika hasil-hasil di atas menjadi kelihatan terlalu tidak adil. Dari pernyataan di atas, terdapat suatu makna tersirat, yakni logika bukanlah metode dari perasaan yang baik tetapi logika adalah suatu unsur yang memiliki hakikatnya sendiri, yang bertentangan dengan unsur-unsur dari keputusan-keputusan baik, yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan.
DEWEY, J: Logical Method and Law Di sisi lain Holmes juga secara tersirat menyatakan logika harus mengurangi pengaruh dari hukum kebiasaan, dan hal ini dapat disimpulkan dalam pernyataannya berikut. “ The actual life of law has not been logic: it has been experience “ Praktek di lapangan menunjukkan, para pejabat pemerintahan bahkan para hakim melakukan penyimpangan atau kolusi dalam memutuskan perkara daripada menggunakan silogisme dalam menetapkan peraturan sebagaimana masyarakat seharusnya diatur. Dari pernyataan di atas, Holmes sedang berpikir, logika sama dengan silogisme. Dalam pandangan silogisme, sesuai dengan bentuk logika baru yang dibuat oleh scholasticism, terdapat suatu antithesis antara pengalaman dan logika, antara logika dan perasaan baik (good sense). Dengan demikian dibutuhkan suatu jenis lain dari logika, yaitu ; silogisme, yang dapat mengurangi pengaruh dari kebiasaan dan yang akan memfasilitasi penggunaan dari perasaan baik berkaitan dengan masalah-masalah dari konsekuensi sosial. Silogisme memberikan pengaruh yang sangat besar dalam putusan-putusan hukum.
FRANK, J: LAW AND MODERN MIND Golongan pertama yang dinamakan rule-skeptics, bertujuan untuk mencapai kepastian hukum yang lebih besar. Mereka menganggap penting bagi pengacara untuk dapat memprediksikan putusan-putusan hakim yang mana tidak banyak dilakukan oleh orang lain sebelum mengajukan tuntutan hukum. Mereka percaya, mereka dapat menemukan gambaran dari persamaan-persamaan atau keteraturan-keteraturan dalam putusan hakim yang aktual di balik kitab-kitab peraturan, dan peraturan-peraturan yang bersifat riil tersebut dapat menjadi alat-alat prediksi yang lebih dipercaya, serta akan menjadi prediksi yang bermanfaat untuk tuntutan-tuntutan selanjutnya.[1] Dalam hal ini, golongan rule-skeptics memfokuskan kajiannya secara istimewa terhadap pendapat pengadilan di tingkat yang lebih tinggi. Dengan kata lain, golongan tersebut berusaha untuk menghasilkan prediksi yang akurat terhadap keputusan pengadilan di tingkat yang lebih tinggi ketika mereka mengajukan banding terhadap putusan pengadilan di tingkat sebelumnya.
FRANK, J: LAW AND MODERN MIND Suatu kekurangan dari asumsi pemikiran hukum tradisional yang dikemukakan oleh Frank adalah para pihak yang mencampurkan dua sikap, yaitu : “ This is true” atau “ “Ini benar”; dan “ This is should be true” atau “ Ini seharusnya benar ”. Dengan mencampurkan kedua sikap di atas, para pihak tanpa disadari berbalik dan kembali menyatakan, “ Inilah yang terjadi di pengadilan-pengadilan sekarang” ( “This is what now happens in courts”) dan “ Inilah yang saya inginkan terjadi di pengadilan-pengadilan “ ( “This is what I would like to have happen in courts. “ ), antara suatu gambaran dari suatu keberadaan dan suatu program di masa depan. Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan, para pihak yang tidak puas dengan keputusan pengadilan akan membuat suatu asumsi yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek pengadilan. Frank menyebut asumsi tesebut dengan istilah wish assumptions atau wish postulates atau programmatic postulates.
FRANK, J: LAW AND MODERN MIND Golongan ke dua yang dinamakan dengan fact-skeptics, juga memiliki hubungan dengan rule-skeptics, dan mereka juga mencari penjelasan dibalik peraturan-peraturan tertulis. Bersama dengan rule-skeptics mereka memiliki ketertarikan dalam beberapa faktor, mempengaruhi putusan pengadilan tinggi (upper-court decisions) yang seringkali tidak memberikan penjelasan secara langsung. Namun, fact-skeptics bergerak lebih jauh dari golongan rule-skeptics. Fokus dasar mereka adalah pengadilan tingkat pertama. Mereka menyatakan, sekalipun peraturan-peraturan hukum itu jelas dan pasti, sekalipun persamaan-persamaan dapat ditemukan dibalik peraturan-peraturan yang bersifat formal tersebut, namun hal tersebut mustahil, dan selalu menjadi mustahil, karena ketidakjelasan dari fakta-fakta yang mendasari putusan-putusan hakim. Memprediksi putusan-putusan mendatang dalam kebanyakan tuntutan-tuntutan hukum, belum dimulai atau belum dicoba. Disamping itu, mereka juga berpikir, dengan demikian usaha untuk meningkatkan kepastian hukum yang lebih besar adalah sia-sia dan usaha ini akan menyebabkan ketidakadilan daripada meningkatkan keadilan hukum.