dalam Sistem Peradilan Pidana Pentingnya Pemulihan Hak-hak Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Abdul Haris Semendawai, S.H., L.L.M Ketua LPSK Disampaikan pada International Conference on Victimology and Victims Assistance in Indonesia Purwokerto, Jawa Tengah
Perkembangan Viktimologi Perubahan besar terwujud saat kongres di Milan, pada 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sejak awal berkembang tahun 1940-an, hingga didirikannya World Society of Victimology (WSV) pada 1977, viktimologi berikan pengaruh besar dalam perjalanan hukum pidana di beberapa negara di dunia. Prinsip dasar itu selanjutnya diadopsi PBB pada 11 Desember 1985 melalui deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.
UN Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power “Korban” berarti orang secara pribadi atau kolektif, menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Korban harus diperlakukan dengan rasa kasih dan dihormati martabatnya. Korban berhak menggunakan mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera atas kerugian yang dideritanya. Poin-poin Penting Orang bersalah yang bertanggung jawab atas perilaku mereka, harus memberi restitusi pada korban, keluarga atau tanggungannya. Restitusi mencakup pengembalian harta atau pembayaran atas kerugian. Apabila Kompensasi tidak sepenuhnya tersedia dari orang yang bersalah, negara harus berusaha memberi kompensasi keuangan pada korban yang menderita luka berat atau keluarga yang menjadi tanggungan. Korban harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial lewat sarana pemerintah, dan sarana sukarela. Korban diberi tahu tersedianya pelayanan kesehatan dan sosial dan bantuan lain yang berkaitan dan mereka diberi kesempatan memanfaatkannya.
vs Restorative Justice Retributive Justice vs Restorative Justice Penyelesaian perkara pidana yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban. Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan para pihak lebih banyak berperan mengatasi persoalannya. Putusan pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi pada korban, dan penghukuman kepada pelaku. Retributive Justice Lebih fokus pada pelaku dan mengenyampingkan hak-hak korban. Setiap penyelesaian perkara pidana dituntaskan dengan menghukum pelaku dengan tujuan menimbulkan efek jera dan membuat yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatannya. Restorative Justice
Ganti Kerugian dalam Peradilan Pidana Ganti Kerugian dalam Peradilan Pidana Penggabungan perkara ganti kerugian yang bersifat keperdataan dalam persidangan pidana merujuk Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.1.P.07.03. TH 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana. Perlindungan terhadap hak korban pidana diberikan dengan mempercepat proses mendapat ganti rugi yang dideritanya dengan menggabungkan perkara pidananya dengan permohonan ganti rugi, yang hakikatnya suatu perkara perdata. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi didefinisikan ganti kerugian pada korban atau keluarga oleh pelaku. Secara konsep, restitusi bergeser sebagai mekanisme yang berbeda dengan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam KUHAP. Pengaturan ganti kerugian dalam pidana mengalami transformasi dengan adanya pengaturan restitusi dalam PP No 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM yang Berat, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU TPPO. Definisi ganti kerugian dalam KUHAP hanya men-cakup ganti rugi bagi orang yang dirugikan karena kesalahan dalam mene-rapkan hukum acara pidana Pengaturan restitusi dalam UU TPPO tegas menyebut pengajuan restitusi tidak meniadakan hak korban melakukan gugatan secara perdata. Definisi ganti kerugian dalam KUHAP hanya mencakup ganti rugi bagi orang yang dirugikan karena kesalahan dalam menerap-kan hukum acara pidana
Lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban Asas kesamaan di depan hukum Ciri negara hukum Saksi-korban sangat menentukan proses peradilan pidana Saksi-korban dalam peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban No 31/2014 tentang Perubahan Atas UU No 13/2006 Pasal 50-68 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM. UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi: Perlindungan dan hak saksi dan korban; Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; Ketentuan pidana.
Syarat pemberian perlindungan Pasal 28: Perkembangan Viktimologi Syarat pemberian perlindungan Pasal 28: Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban Tingkat ancaman yang bahayakan saksi/korban Hasil analisis tim medis atau psikolog pada saksi/korban Rekam jejak pidana yang dilakukan saksi/korban Izin dimaksud tidak diperlukan, dalam hal: Orang tua/wali diduga sebagai pelaku tindak pidana pada anak Orang tua/wali menghalang-halangi anak memberikan kesaksian Orang tua/wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua/wali Anak tidak memiliki orang tua/wali Orang tua/wali anak tidak diketahui keberadaannya Perlindungan terhadap anak (Pasal 29A): Perlindungan LPSK terhadap anak dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua/wali. Jika dalam kondisi di atas, LPSK bisa minta izin berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat
Pemenuhan hak prosedural kepada kepada saksi dan korban: Pemenuhan hak prosedural dilakukan untuk mempersiapkan saksi dan/atau korban menghadapi pemeriksaan oleh aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Pemenuhan hak prosedural, termasuk pendampingan kepada saksi/korban sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemberian perlindungan, mengingat risiko dan ancaman. Layanan dukungan pemenuhan hak prosedural mencakup hak saksi korban yang tertera dalam Pasal 5 ayat (1).
Pemberian Layanan Bantuan Hak saksi dan korban dalam hal pemberian layanan bantuan dalam Pasal 6 ayat (1): Bantuan medis Bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia, misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman. Rehabilitasi psikologis Bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Rehabilitasi psikososial Semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan sprititual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Fasilitasi Restitusi RESTITUSI BERUPA: Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis Ganti kerugian akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana Pasal 7A, disebutkan korban tindak pidana berhak mendapat restitusi. Tindak pidana dimaksud ditetapkan melalui keputusan LPSK. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Diajukan sebelum putusan pengadilan, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada JPU untuk dimuat dalam tuntutannya. Diajukan setelah putusan pengadilan, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan.
Fasilitasi Kompensasi Selain mendapatkan hak seperti diatur Pasal 5 dan 6, korban HAM dan teorisme juga berhak atas kompensasi. Kompensasi bagi korban HAM berat diajukan korban, keluarga atau kuasa hukum kepada Pengadilan HAM melalui LPSK. Pelaksanaan pembayaran kompensasi diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kompensasi bagi korban teorisme dilaksanakan sesuai UU yang mengatur pemberantasan tindak pidana teorisme. Kompensasi bagi korban pelanggaran HAM dan tindak pidana terorisme (Pasal 7):
Permohonan dari Tahun ke Tahun
Simpulan Model penyelesaian perkara pidana saat ini sudah tidak lagi Model penyelesaian perkara pidana saat ini sudah tidak lagi berorientasi menghukum pelaku dengan tujuan menimbulkan efek jera. Namun, dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Putusan pengadilan nantinya dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi kepada korban, dan/atau penghukuman kepada pelaku. Dengan demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata pemidanaan, tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalamnya juga mengamanatkan lahirnya LPSK, menjadi jawaban atas perkembangan sistem peradilan pidana saat ini, yang tidak lagi berorientasi kepada pelaku tetapi juga berorientasi kepada kepentingan korban. Apalagi, keberadaan saksi dan/atau korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana.