Mengapa Bisa Damai (2) Sikap tegas JK ini sekaligus berarti, dan memang diyakini oleh masing-masing pihak, bahwa negara amat netral di tengah kecamuk konflik antara dua komunitas. Netralitas negara dalam konflik berbau SARA, memang salah satu kepelikan tersendiri. Beruntung, dalam menyelesaikan konflik di Poso dan Ambon, netralitas tersebut bisa direfleksikan lewat cara JK menyelesaikan kedua konflik ini. Terlepas dari soal netralitas ini, yang pokok adalah negara harus terlibat secepat mungkin begitu konflik SARA sudah mulai tercium. Soal netralitas negara dalam konflik yang berbau SARA ini, Goenawan Mohamad juga menulis, “Perdamaian di Maluku itu yang ditandai oleh pertemuan di Malino -sebuah tempat nun di Sulawesi Selatan- juga membuat kita lebih tahu: ketika agama menjadi tanda identitas kelompok, ketika saling bunuh terjadi karena identitas itu, ada sesuatu yang diperlukan bersama, agar kehidupan tidak luluh lantak: kita memerlukan sebuah negara yang tak memihak. Dengan kata lain, sebuah negara yang diterima posisinya sebagai sesuatu yang tanpa identitas agama apa pun.” (Catatan Pinggir, Majalah TEMPO, 10 Maret 2002). KETIGA, materi yang menjadi kesepakatan bukan sekadar retorika tetapi memang substansi yang saling dipersoalkan selama ini. Untuk urusan substansi kesepakatan ini, JK memang mewanti-wanti betul agar saya mencatat segala hal yang diungkapkan oleh masing-masing pihak. Gunanya, agar tidak ada aspirasi dan keinginan mereka yang tidak tertampung dalam materi kesepakatan. Ia ingin sekali agar apa yang saya catat cocok dengan yang menjadi kemauan mereka. “Hamid, belum tentu yang mereka katakan dalam forum itu sejalan dengan isi pikiran mereka. Sebab, forum bisa juga berarti sarana untuk menampakkan diri saja. Jadi, kamu harus cek satu persatu mengenai itu. Bisa jadi lain yang dikemukakan dalam forum, lain lagi bila kamu berhadapan berdua,” perintah JK pada saya. Perintah ini sudah tentu sangat sulit sebab saya harus menghubungi siapa sesungguhnya yang mengatakan apa, dan minta konfirmasi. Alhamdullilah, setelah segalanya saya peroleh, saya laporkan pada JK. Lalu, ia minta memetakan catatan-catatan tersebut secara sistematis. Di sinilah kepiawaian seorang JK dalam menyelesaikan konflik. Ia amat teliti dalam hal detail dan masalah kecil. Ia tidak bergerak dalam tataran retorika dan sematik belaka, tetapi menjelajah dalam wilayah konkret yang praktis. JK dalam konteks ini, tidak ingin berlindung di balik retorika yang menawan. Ia sangat peduli apa yang sesungguhnya dikatakan itu adalah refleksi dari apa yang sebenarnya diinginkan. “Banyak pengalaman menunjukkan Hamid, pada umumnya perjanjian damai itu, selalu dengan bahasa indah yang sangat retorik, tetapi tidak ada subtansinya. Makanya, sering gagal dalam tahap implementasi. Dan itu bahaya. Sebab ketika perundingan damai gagal diterapkan, maka sangat sulit lagi untuk melakukan perundingan dan berikhtiar damai berikutnya. Masing-masing pihak sudah tidak memercayai lagi mekanisme perundingan untuk menyelesaikan soal,” kata JK suatu ketika pada saya. “Menurut saya, Hamid, hal utama yang mereka sebenarnya kehendaki adalah rasa damai dan rasa aman. Karena itu, mereka pasti tidak keberatan meminta negara untuk terlibat dalam konflik ini. Soal rasa keadilan, pasti juga menjadi aspirasi mereka. Nah, keadilan itu kan banyak kaitannya dengan persoalan penegakan hukum, toh. Ya, unsur ini adalah salah satu bagian dari yang mereka desakkan. Artinya, harus ada penegakan hukum yang menghukum siapa yang salah. Begitu juga soal harta kekayaan mereka yang hancur. Pasti mereka membayangkan hak-hak perdata mereka itu dipulihkan. Nah, sekali lagi, mereka pasti bersandar pada negara,” kata JK. “Saya juga berkeyakinan, Hamid, pasti kedua kubu kelak meminta adanya jaminan agar pihak-pihak luar tidak lagi bermain dan tinggal di sana. Masalahnya, kedua kubu saling mencurigai, dan faktanya memang demikian, menyadarkan rasa aman mereka kepada kekuatan-kekuatan luar,” tambah JK lagi. Ternyata memang, prediksi JK benar. Karena prediksi itu sudah diberi tahu, maka saya pun dengan mudah memetakan catatan saya. Dan, lebih mudah lagi menyusunnya dalam bentuk draf deklarasi damai. Ketika menegosiasikan draf tersebut ke masing-masing pihak, juga tidak terlampau banyak kendala. KEEMPAT, kesuksesan mendamaikan Poso dan Ambon, harus diakui, banyak juga ditentukan oleh peran positif media massa, terutama saat-saat perundingan damai berlangsung di Malino. Serentak media massa cetak, radio, dan televisi, memborbardir pembaca, pendengar dan pemirsa mereka dengan berita tentang keharusan untuk menciptakan damai tanpa syarat. Kiat JK, lagi-lagi sangat andal. JK langsung menyewa SNG (Satellite News Gathering) dari Telkom. Gunanya adalah biar media elektronik bisa melaporkan secara live dan mengirim gambar dengan cepat tentang proses perundingan damai, langsung dari Malino. Bagi JK, segala ikhtiar damai yang berlangsung di Malino, harus diketahui masyarakat luas, khususnya di tempat-tempat konflik dan kekerasan berlangsung. “Kita menginginkan mereka yang tidak mau damai merasa malu bahwa mereka telah tertinggal sebab yang lain sudah mau damai,” begitu JK memandang betapa pentingnya media elektronik ke Malino. Dalam memanfaatkan teknologi SNG tersebut, JK tidak menghendaki pungutan dari media massa. Padahal, andaikan dipungut bayaran, tarifnya sekitar 5 juta rupiah per 10 menit pertama, dan itu bisa dibayar oleh media massa, kata Husein Abdullah, reporter RCTI saat itu. Dalam kaitan dengan media massa ini, JK menugasi saya mem-brief pers tiap dua jam, tentang perkembangan diskusi dalam meja perundingan. Maklum, diskusi dan perdebatan, dilangsungkan secara tertutup. Namun, media massa dibolehkan mengambil gambar sebelum sidang dimulai. Saya pun menemukan cara terbaik agar pesan JK tersebut saya laksanakan. Setiap saya mem-brief pers, saya menguraikan hal-hal yang mempersamakan mereka. Saya selalu berusaha menghindari penjelasan yang berkaitan dengan soal-soal dimana kedua belah pihak bersilangan. Bila ditanya tentang aspek perbedaan, saya selalu mengatakan, diskusi di dalam sangat dinamis dan seru. Karena dinamis, tentu saja ada hal-hal yang membuat mereka berbeda, tetapi justru perbedaan itulah yang mereka diskusikan dan ternyata mereka bertemu. Selain memberi briefing, JK juga membiarkan saya melakukan wawancara khusus dengan televisi. Belakangan saya baru tahu, JK memberi saya kesempatan itu agar informasi muncul dari satu pintu saja. “Kalau Anda sudah jelaskan, pers sudah tahu bahwa itu sudah dari saya,” kata JK suatu saat pada saya. Dalam hal berkomunikasi dengan pers, JK terbilang sangat beruntung. Pers sangat bersahabat dengan JK sebab pers selalu merasa, JK amat mudah dihubungi dan selalu ada hal baru yang dikatakan. Dan, ucapannya selalu original, tidak dipoles dengan mengutamakan gaya dan pencitraan. Jawabannya selalu layak kutip dan tidak menimbulkan penafsiran macam-macam. Modalitas inilah, yang antara lain, memudahkan perdamaian Poso dan Ambon. JK dengan mudah meminta peranan dan kontribusi pers untuk mempercepat proses perdamaian di Poso dan Ambon. Untuk urusan ini, JK telah berkali-kali melakukan komunikasi dengan para pimpinan media massa di Jakarta menyangkut niat dan ikhtiarnya mendamaikan kedua tempat tersebut, sebelum perundingan Malino berlangsung. Semuanya memberi komitmen mereka kepada JK. Maka, perundingan damai di Malino utnuk Poso dan Ambon pun jadi sukses. KELIMA, metode perundingan yang dipakai oleh JK, amat jitu dalam menciptakan perdamaian. Baik penyelesaian Poso maupun Ambon, sebelum perundingan Malino, JK mulai berkelana di Poso, menemui berbagai unsur dan elemen di masing-masing pihak. Hal serupa dilakukan di Ambon. JK melakukan perundingan sebenarnya di tempat konflik berlangsung sebelum mereka ke Malino. Dengan demikian, JK sudah mengetahui desah napas dan denyut jantung masing-masing pihak sebelumnya. Selain itu, dengan metode yang berjenjang itu, emosi masing-masing pihak sudah mulai mereda pada saat mereka saling berhadapan di meja perundingan resmi. Segala unek-unek sudah dikeluarkan jauh-jauh hari sebelum mereka bertemu dan saling bertatap mata di meja perundingan di Malino. Dengan metode ini, maka, pada saat perundingan formal di Malino berlangsung, setiap anggota perunding yang bicara dengan tema dan substansi yang sama ketika bertemu JK di Poso atau Ambon, dengan mudah JK mematahkannya dengan satu kalimat, “Tidak usah lagi angkat yang itu. Saya sudah tahu semua itu dari Anda, sebelum kita kemari.”