1 LATAR BELAKANG 1 12
PENGELOLAAN PERIKANAN Di INDONESIA DASAR HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN Di INDONESIA Pasal 33 Undang-Undang Dasar RI tahun 1945. Undang-Undang No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Permen KP. Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Logbook Penangkapan Ikan. Kepmen KP. Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi SDI di WPPNRI. Permen KP. Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan di Laut Lepas. Permen KP. Nomor PER.16/MEN/2012 tentang Komnasjiskan. Kepmen KP. Nomor KEP.29/MEN/2012 tentang Pedoman Penyusunan RPP di Bidang Penangkapan Ikan. Permen KP. Nomor PER.1/MEN/2013 tentang Pemantau Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan. Permen KP. Nomor KEP.18/Permen KP/2013 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP-NRI Permen KP. Nomor PER.26/Permen/2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Permen No. 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon Permen KP. Nomor PER.14/MEN/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan NRI Permen 36/MEN/2014 tentang Andon Penangkapan Ikan VMS
PENGELOLAAN PERIKANAN (UU NO 45/2009 Tentang PERIKANAN) “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lainya yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati”. DEFENISI Pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. PASAL 6 PASAL 8 Metoda penangkapan tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan.
TUJUAN PENGELOLAAN PERIKANAN ( Pasal 3. UU NO. 45 TAHUN 2009 ) Meningkatkan Taraf Hidup Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan-kecil; Meningkatkan Penerimaan dan Devisa Negara; Mendorong Perluasan dan Kesempatan Kerja; Meningkatkan Ketersediaan dan Konsumsi Sumber Protein Hewani; Mengoptimalkan Pengelolaan Sumberdaya Ikan; Meningkatkan Produktivitas, Mutu, Nilai Tambah, dan Daya Saing; Meningkatkan Ketersediaan Bahan Baku Untuk Industri Pengolahan Ikan; Mencapai Pemanfaatan Sumberdaya Ikan, Lahan Pembudidayaan Ikan, dan Lingkungan Sumberdaya Ikan Secara Optimal; Dan Menjamin Kelestarian Sumberdaya Ikan, Lahan Pembudidayaan Ikan, dan Tata Ruang. Oleh karena itu sesuai dengan upaya yang terintegrasi tersebut, maka tujuan pengelolaan perikanan dapat diuraikan antara lain: meningkatkan taraf hidup nelayan kecil, dan oembudidaya ikan kecil, meneingkatkan penerimaan devisa negara, mendorong perluasan kesempatan kerja, meningkatkan sumber protein khewani dalam rangka ketahanan pangan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, menyediakan bahan baku industri dan menjamin kelestarian sumberdaya ikan.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN SISTEM & MEKANISME PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN Data Biologi dan Lingkungan Pemantauan (Monitoring) Riset dan Eksplorasi Pengkajian Stok SDI Sistem Statistik Perikanan Nasional Informasi Sosial Ekonomi Perumusan Kebijakan Pengelolaan SDI Informasi pemanfaatan SDI Konsevasi Pengalokasian dan Penataan Pemanfaatan Penyusunan Peraturan Perijinan Pengawasan (Surveillance) Pemanfaatan SDI
Wilayah PENGELOLAAN PERIKANAN Negara republik INDONESIA
ESTIMASI POTENSI SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Sumber : Lampiran I Kepmen KP No. KEP.45/MEN/2011
Kategori perahu/kapal Kapal yang beroperasi di WPPNRI KAPAL PERIKANAN YANG BEROPERASI DI WPPNRI 572, 573, 716, dan 717 Kategori perahu/kapal ● Size of Boats Kapal yang beroperasi di WPPNRI 572 573 716 717 Jumlah ● Total 43,813 71,016 35,963 25,397 Perahu Tanpa Motor Non Peowered Boat Sub Jumlah ● Sub Total 11,191 13,724 9,839 17,671 Jukung ● Dug out boat 1,585 10,399 2,752 11,800 Perahu Papan Plank built boat ● Kecil ● Small 3,222 2,331 4,767 3,553 ● Sedang ● Medium 5,721 897 1,277 1,551 ● Besar ● Large 663 97 1,043 767 Motor Tempel ● Outboard Motor 20,243 39,779 18,977 6,630 Kapal Motor ● Inboard Motor 12,379 17,513 7,147 1,096 Ukuran Kapal motor ● Size of Boat < 5 GT 7,868 8,546 5,307 403 5-10 GT 2,850 4,989 1,345 271 10-20 GT 787 1,881 280 201 20-30 GT 584 1,027 114 63 30-50 GT 27 144 41 22 50-100 GT 190 492 51 98 100-200 GT 72 417 9 21 200-300 GT - 1 4 300-500 GT 5 8 500-1000 GT 11 > 1000 GT
Lampiran III : Kepmen No Lampiran III : Kepmen No. 45/2011 menunjukkan bahwa dari 127 stok ikan yang dipetakan potensinya, 35 stok ikan pada status tangkap moderat, sehingga 74,19% atau 92 sumberdaya pada situasi tangkap penuh atau tangkap lebih
Upaya penangkapan (Jumlah kapal) Dinamika Perikanan Peningkatan jumlah kapal tidak selalu menghasilkan peningkatan produksi ikan. SDI dapat lestari bila panenan paling banyak setara kemampuan pulih, yaitu maximum sustainable yield (MSY) dengan upaya penangkapan EMSY. Perikanan pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Namun, peningkatan jumlah kapal yang dioperasikan menyebabkan turunnya keuntungan yang diperoleh masing-masing unit kapal. Jumlah keuntungan seluruh kapal yang dioperasikan mencapai tingkat optimal pada upaya penangkapan EMEY, menghasilkan maximum economic yield (MEY). Upaya penangkapan (Jumlah kapal) EMSY EMEY
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI SAMUDERA HINDIA DAN SAMUDERA PASIFIK Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan WPPNRI 572, WPPNRI 573, WPPNRI 716, dan WPPNRI 717 Penetapan Potensi dan Alokasi Sumberdaya Ikan. Pengaturan Syarat-syarat Teknis Perikanan. Pengaturan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan. Penetapan Persyaratan Atau Standar Prosedur Operasional Penangkapan Ikan. Penetapan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Sumberdaya Ikan Serta Lingkungannya. Rehabilitasi dan Peningkatan Sumberdaya Ikan Serta Lingkungannya. Pengaturan Ukuran Atau Berat Minimum Jenis Ikan Yang Boleh Ditangkap. Pengaturan Jenis, Jumlah, Ukuran Dan Penempatan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Pengaturan Daerah, Jalur Dan Waktu Atau Musim Penangkapan Ikan. Lebih diperjelas lagi dalam pasal 7 UU no 31 tahun 2004, bahwa cakupan pengelolaan perikanan dimulai dengan adanya Rencana Pengelolaan Perikanan yang merupakan kaidah atau aturan yang seharusnya disusun berdasarkan konsensus para pemangku kepentingan. Di dalam rencana tersebut dikandung substansi terkait dengan besaran potensi dan alokasi sumberdaya ikan, JTB, masalah MCS, pencegahan pencemaran terhadap SDI, pengaturan ukuran, jenis dan jumlah ikan yang ditangkap, pengaturan jalur dan musim penangkapan ikan, pengaturan alat bantu penangkapan dan upaya-upaya rehabilitasi sumberdaya ikan dan lingkungannya. Oleh karena itu sangat jelas bahwa peran RPP baik berdasarkan pendekatan wilayah ataupun berdasarkan jenis adalah sangat penting, karena merupakan perpaduan elemen-elemen yang membentuknya.
2 REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATION (RFMOs) 16 12
Freedom of the High Seas Latar Belakang Pasal 87 UNCLOS Pasal 116 UNCLOS Freedom of the High Seas States have an additional obligation to co-operate with other state toward conservation and management of the living resources of the high seas Laut Lepas Freedom of the Fishing RFMOs Subject to the conditions laid down in Section 2 UNCLOS (Conservation and Management of the living resources of the high seas 17
lanjutan Pasal 118 UNCLOS: “Negara-negara harus melakukan kerja sama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerja sama untuk menetapkan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini”. Kebijakan yang diatur, RFMOs salah satunya adalah bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara bukan anggota pada kawasan pengelolaan, dikategorikan sebagai illegal fishing dan hasil tangkapannya dapat diembargo. 18
lanjutan UNCLOS, 1982 UNIA, 1995 Sebagai Flag state (UU No.17/1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982) Pasal 87,117,118 UNIA, 1995 (UU No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNIA) Sebagai Flag state Sebagai Coastal State Hak akses untuk memanfaatkan Sumberdaya Ikan di Laut Lepas 19
REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATION (RFMOs) Organisasi Perikanan Regional yang mengelola sediaan ikan yang beruaya jauh (Highly Migratory) dan Sediaan ikan yang beruaya terbatas (Stradling Fish Stock) (seperti tuna dan tuna likes species) Non FAO: Convention on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT); Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC); Inter-America Tropical Tuna Commission (IATTC); International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) Dibawah FAO: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Kontribusi (iuaran tahunan) anggota lebih besar 20
PERLU BERPARTISIPASI DI RFMO? MENGAPA INDONESIA PERLU BERPARTISIPASI DI RFMO? Amanat UU 31/2004 yang telah diubah dengan UU 45/2009 tentang Perikanan Pengelolaan perikanan diluar wilayah WPP-RI diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum (Pasal 5 ayat 2) Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional (Pasal 10 ayat 2) Amanat UU No 17 Tahun 1995 karena Indonesia telah meratifikasi Unclos Amanat UU 21 tahun 2009 karena Indonesia telah meratifikasi United Nations Implementing Agreement (UNIA) 1995 terkait Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock Adanya kebutuhan nelayan Indonesia untuk memanfaatkan sumberdaya tuna dan species seperti tuna di laut lepas (Samudera Hindia, Samudera Pacific, Samudera Pacifik Bagian Timur, dan Samudera Atlantik) secara legal 21
ICCAT WCPFC IOTC IATTC CCSBT CCSBT WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN DUNIA (CONVENTION AREA) DIATUR OLEH REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATIONs (RFMOs) Status : Contracting Party (Perpres No. 9 Tahun 2007) Status : Member (Perpres No 61 tahun 2013) ICCAT WCPFC IOTC IATTC CCSBT CCSBT Status : Member 8 April 2008 (PerPres No. 109 Tahun 2007 ) Status : CNM, Juni 2013 IOTC : Indian Ocean Tuna Commission CCSBT : Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna WCPFC : Western and Central Pacific fisheries Commision IATTC : Inter-American Tropical Tuna Commission ICCAT : International Commssion for the Conservation of Atlantic Tunas Seluruh wilayah pengelolaan perikanan dunia (untuk komoditas tuna) sudah ada pengaturannya 22
Kewajiban Menjadi Anggota RFMOs Mematuhi semua resolusi dan conservation management measures (CMM) yang sudah diadopsi oleh masing-masing RFMOs; Mengadopsi semua resolusi dan conservation management measures (CMM) yang aplicable kedalam legislasi nasional; Membuat laporan tahunan; Melaporkan data dan informasi yang dipersyaratkan oleh resolusi seperti pendataan Eccologicaly Related Species (ERS); Mendaftarkan kapal-kapal yang menangkap tuna dan species seperti tuna ke RFMOs terkait Menghadiri pertemuan tahunan, compliance, dan working group yang relevan; 23
3 TINDAKAN MANAJEMEN 24 12
OTORISASI OTORISASI (SIPI) di Laut Lepas di WPP NRI Permen KP Permen KP Nomor: PER. 26/MEN/2013 tentang perubahan atas Permen KP Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI Permen KP Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas 25
Otorisasi (SIPI) HAK MENANGKAP IKAN TANGGUNG JAWAB REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATION (RFMOs) Otorisasi (SIPI) Article 6.1 CCRF: States and users of living aquatic resources should conserve aquatic ecosystems. The right to fish carries with it the obligation to do so in a responsible manner so as to ensure effective conservation and management of the living aquatic resource HAK MENANGKAP IKAN (The right to fish carries ) TANGGUNG JAWAB (the obligation to do so in a responsible manner so as to ensure effective conservation and management of the living aquatic resource) 26
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. SAAT INI TINDAKAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SESUAI (COMPATIBLE) DENGAN STANDAR INTERNATIONAL 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). 1. Penerbitan SIPI (otorisasi menangkap ikan). 2. Pendaftaran Kapal yang telah memperoleh SIPI agar tercantum dalam Record of Fishing Vessel setiap RFMOs; 3. Penandaan Kapal (Unique Vessel Identifier) 4. Pendataan kapal aktif (Active Vessel) 5. Penangkapan SBT berdasarkan kuota 6. Penerapan Catch Documentation Scheme untuk SBT. 27
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. SAAT INI TINDAKAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SESUAI (COMPATIBLE) DENGAN STANDAR INTERNATIONAL (Ianjutan…..) 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). 7. Penerapan IOTC Bigeye Statistical Document 8. Penerapan ICAAT swordfish Statistical Document. 9. Penerapan Certificate of Origin (NOAA Form 370) khusus untuk USA 10. Penerapan Captain Declaration (dolfin save) khsusus untuk USA 11. Kewajiban VMS 12. Observer program (Scientific dan at-sea transhipment) 13. Tindakan mitigasi terhadap ERS 28
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. KE DEPAN TINDAKAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SESUAI (COMPATIBLE) DENGAN STANDAR INTERNATIONAL 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Sebagai tambahan terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan tuna yang telah dilaksanakan saat ini, kebijakan harvest strategy compatible dengan resolusi RFMOs akan dilaksanakan sebagai berikut : Pengurangan tertangkapnya juvenile bigeye dan yellowfin tuna di WPP-NRI 716 dan 717 melalui: Pelarangan purse-seine setting pada FAD selama 4 (empat) bulan (Juli s/d Okt) setiap tahun untuk purse-seine. Selama pelarangan setting (Juli s/d Okt), semua purse-seine wajib beroperasi dengan VMS on-line. Semua purse-seine wajib memiliki petugas pemantau diatas kapal selama beroperasi. 29
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. PENERAPAN PURSE-SEINE EFFORT LIMIT DI HIGH SEAS (SAMUDERA PASIFIK) 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Negara Effort Limit di High-Seas (Days) 2009 2010 2011 2012 2013 2014 China 988 13 7 206 - 26 Uni Eropa 403 495 330 429 Indonesia 500 (0) Japan 2.534 117 67 121 New Zealand 28 88 160 Korea 1.692 207 65 24 Taiwan 1.357 95 82 USA 1.739 394 579 1.270 Note (0) : dapat berubah tergantung actual data dari Indonesia 30
PENERAPAN BIGEYE LONGLINE CATCH LIMIT DI WPP-NRI 716 DAN WPP-NRI 717 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). CCMS CATCH LIMIT (ton) 2014 2015 2016 2017 CHINA 9.938 8.224 7.049 INDONESIA 5.889 5.889* JAPAN 19.670 18.265 16.860 KOREA 15.014 13.942 12.869 TAIWAN 11.288 10.481 9.675 USA 3.763 3.554 3.345 Note: * : dapat berubah (bertambah/berkurang), tergantung actual catch Indonesia. Catch Limit Negara Anggota lainnya maksimum 2.000 ton/tahun. 31
PENERAPAN KUOTA HASIL TANGKAPAN SBT 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). CCSBT : Kuota Indonesia Tahun 2008-2009 : 750 ton/tahun (initial) Tahun 2010-2011 : 651 ton/tahun Tahun 2012 : 685 ton/tahun Tahun 2013 : 710 ton/tahun Tahun 2014 : 750 ton/tahun (initial) 32
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. DISTRIBUSI KUOTA SBT 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Negara Kuota (ton/tahun) Japan 3.361 Australia 5.151 New Zealand 910 Korea 1.036 Taiwan Indonesia 750+ South Africa 150* Phillipines 45 European Union 10 33
UPAYA PENAMBAHAN KUOTA SBT INDONESIA 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Indonesia telah mengajukan penambahan kuota tangkapan SBT sebanyak 300 ton/tahun untuk tahun 2015-2017. Proposal telah dipresentasikan dan diperdebatkan pada CCSBT Annual Session di Adelaide, Oktober 2013. Semua klarifikasi negara peserta dapat direspon dengan baik. Sesuai prosedur CCSBT, penambahan initial quota, harus didahului dengan Quality Assurance Review (QAR), yang akan dilaksanakan Maret 2014. Rekomendasi QAR akan dilaporkan pada CCSBT Annual Session 2014. 34
PARTISIPASI DALAM PENENTUAN KUOTA DI SAMUDERA HINDIA 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Scientific Committee IOTC telah memberikan rekomendasi bahwa global TAC untuk : Yellowfin : 300.000 ton/tahun Bigeye : 100.000 ton/tahun Albacore : 33.000 ton/tahun Pembahasan Pertama kriteria alokasi kuota di Nairobi Januari 2011 (Indonesia mengusulkan 6 kriteria kwalitatif) Pembahasan Kedua tentang kriteria alokasi kuota dilaksanakan di Maldives Maret 2012. 35
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. NUMBER OF INDONESIA FLAGGED VESSELS IN RFMO RECORD OF VESSEL AUTHORIZED TO FISH FOR TUNA 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). RFMO December/year 2011 2012 2013 Sept 2014 IOTC 1.205 1.281 1.256 1.332 CCSBT 141 254 266 333 WCPFC 400 430 360 361 IATTC 7 Note: Indonesia was accepted as CNM in IATTC by June 2013 16
OBSERVER ON-BOARD PROGRAM 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Observer on board untuk mendata hasil tangkapan kapal 24 meter keatas Pada tanggal 1 Juli 2010, minimum 5 % dari jumlah kapal seluruhnya harus dicakup (IOTC), sedangkan WCPFC 30 Juni 2012. Untuk kapal dibawah 24 meter, 5% dari jumlah armada harus dicakup mulai January 2013 (IOTC) Untuk kapal yang menangkap SBT minimum coverage 10%. 37
PENERAPAN TINDAKAN MITIGASI ECOLOGICALLY RELATED SPECIES (ERS) 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Penggunaan circle hook (sea-turtle) Penggunaan tori line (sea-birds) Pembatasan ukuran alat penangkap ikan (oceanic gillnet maks 2,5 km) 38
PENERAPAN PENUTUPAN DAERAH PENANGKAPAN IOTC 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Penutupan daerah penangkapan di Samudera Hindia pada tahun 2011 dan 2012 (jam 00 tanggal 1 Feb s/d jam 24 tanggal 1 Maret ). DPI : 0-10 LU ; 40 dan 60 BT Penutupan daerah penangkapan untuk purse-seine di Samudera Hindia setiap bulan November, pada wilayah 0-10 LU : 40-60 BT. 39
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. IOTC CLOSURE AREA 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). 40
PENERAPAN PENUTUPAN DAERAH PENANGKAPAN DI WCPFC 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). WCPFC : Telah menutup 4 high seas pocket di Samudera Pasific (untuk purse-seine sejak 2010) DJPT sudah mengeluarkan surat pemberitahuan kepada stakeholders mengenai penutupan daerah penangkapan 41
WCPFC CLOSURE AREA
4 ISU DAN TANTANGAN 43 12
Isu di ZEE dan Laut Lepas Overfishing. Penurunan stock. Maraknya praktek IUU (Illegal, Unreported dan Unregulated) Fishing Ecological Related Species (ERS). Meningkatnya fishing effort. Pengoperasian kapal purse-seine menggunakan Fish Agregated Device (FAD) Kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan Nasional, Regional (RFMO) dan Internasional 44
ISU DI LAUT TERITORIAL DAN PERAIRAN KEPULAUAN Armada purse-seine yang menggunakan FAD dapat : - Merubah pola migrasi tuna (juvenile and mature). - Menangkap ukuran tuna yang lebih kecil (baby tuna). - Penelitian yang kurang tepat (Lack of research). 2. Praktek penangkapan ikan tuna merusak di beberapa daerah di Indonesia. 3. Tingginya armada artisanal 4. Accuracy perkiraan stock. 5. Accuracy information mengenai supply and market chain of tuna. 45
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. ISU LAIN DI INDONESIA YANG MENJADI PERHATIAN RFMO DAN KOMUNITAS INTERNASIONAL 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Penangkapan tuna dengan bom. Penangkapan lumba-lumba (umpan cucut ?) Penangkapan sea-turtle (Harus membuat NPOA) Penangkapan shark secara tidak terkendali. Mitigasi Sea-birds ( harus membuat NPOA) 46
5 MANAGEMENT ACTION 47 12
10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. MANAGEMENT ACTION 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan. 10. Penerapan Kuota hasil tangkapan (lanjutan). Partisipasi Indonesia di RFMOs harus semakin berperan Pengelolaan perikanan berbasis spesies/komoditas Peningkatan pemahaman pelaku usaha/nelayan Indonesia terhadap peraturan yang diadopsi RFMO Kepatuhan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk dipantau melalui VMS Kepatuhan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk melaporkan hasil produksi penangkapan Meningkatkan kemampuan Indonesia untuk menyampaikan laporan data produksi tuna dan species sperti tuna di ZEEI dan konvensi area 48
Hal yang harus diketahui Pengelolaan Tuna secara regional telah dilakukan melalui kombinasi 3 (tiga) tindakan pengelolaan: 1. Input Control, misalnya: Pembatasan jumlah izin, ukuran kapal, fishing days (effort). 2. Output Control, misalnya: Pembatasan hasil tangkapan (catch limit) 3. Technical Control, misalnya: Pengendalian Alat Tangkap, Alat Bantu Penangkapan (rumpon).
Hal penting yang harus dilakukan untuk melindungi kepentingan kita bersama 1. Indonesia harus keluar dari comfort zone. Coming together is a beginning Keeping together is a process Working together is a success 2. Bekerja sendiri-sendiri seharusnya sudah berakhir, agar kita dihormati oleh negara lain.
Hal penting yang harus dilakukan untuk melindungi kepentingan kita bersama (lanjutan) 3. Mempromosikan penerapan 3 prinsip good governance dalam pengelolaan tuna, yaitu: Transparansi, Partisipasi, Akuntabiliti 4. Transparansi Data: Data hasil tangkapan (Bigeye, Yellowfin dan cakalang) Daerah penangkapan (Teritorial, ZEE, Laut lepas). Distribusi catch (domestik dan ekspor) Jumlah hari operasi (Fishing days) Jumlah Setting pada rumpon
Terima kasih 52