Filosofi Wibawa Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949, saya telah kembali dari gerilya ke Jakarta melanjutkan pekerjaan mengkonsolidir kedudukan Bank Negara Indonesia yang sebelumnya berpusat di Yogyakarta, kemudian dipindah ke Jakarta. Dalam pekerjaan sehari-hari, pada waktu-waktu tertentu saya tetap mengadakan hubungan dengan Wakil Presiden Hatta untuk mendapatkan arahan dan bimbingan dalam membina Bank Negara Indonesia tersebut, yang tugasnya pada waktu itu bukan lagi sebagai bank sentral, tetapi sebagai lembaga keuangan negara untuk membangun ekonomi nasional. Yang sering ditandaskan oleh Bung Hatta adalah sifat kejujuran dan kemauan bertanggung jawab yang harus dimiliki tiap-tiap pemimpin. Apalagi dalam soal perbankan, yang pada hakikatnya pada saat itu baru saja dikenal oleh bangsa Indonesia. Saya tetap teringat tentang apa yang dikatakan Bung Hatta, suatu pandangan beliau sebagai berikut: “Dengan kejujuran dan tanggung jawab, kita dapat memangku jabatan dengan penuh wibawa. Janganlah kita hanya mempunyai wibawa karena kita memangku suatu jabatan.” Prinsip ini terbukti sewaktu beliau telah meninggalkan pemerintahan dan bukan lagi menjadi wakil presiden. Masyarakat Indonesia dari kalangan bawah sampai yang tertinggi tetap mengakui kewibawaan beliau, sehingga beliau dirasakan tetap sebagai pelindung bangsa dan masyarakat Indonesia. Dalam kesehariannya, beliau senantiasa dikunjungi orang yang ingin mendapatkan bantuan moral. Tragisnya, ada juga orang-orang baik dari pihak swasta maupun pemerintah, datang kepada beliau hanya untuk menyampaikan keluhan saja. Sedikit sekali yang datang untuk menggembirakan hati Bung Hatta. Walau demikian, beliau senantiasa menerima tamu-tamu tersebut dan senantiasa pula memberikan nasihat bahwa tiap-tiap orang harus mempunyai perasaan tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaan yang dilakukan. Jika kita tidak setuju dengan sesuatu hal, tetapi toh harus mengerjakannya, kenapa kita tidak menolak saja dan jika perlu mengorbankan kedudukan yang dimiliki? Menurut pengalaman Bung Hatta, sedikit sekali orang yang mempunyai moral yang begitu kuat dan mau berkorban bukan untuk kepentingan sendiri. Pandangan beliau ini rasanya tetap dipertahankan sampai hayat terakhir. Mr. A. Karim, Pribadi Manusia Hatta, Seri 7, Yayasan Hatta, Juli 2002