SIMBOL – SIMBOL
Proses Simbolik adalah proses yang dilakukan manusia secara arbitrer (sewenang-wenang) untuk menjadikan hal-hal tertentu mewakili hal-hal lainnya. Contoh → X Y Dimana X = Bisa mewakili kancing dan Y = Bisa mewakili simpul, bila kita ganti X sama dengan kucing dan Y sama dengan anjing, maka bukanlah menjadi masalah, selama telah terjadi kesepakatan. Manusia bisa secara bebas mengubah kesepakatan yang telah dibuat. Kita, sebagai manusia secara unik bebas untuk menghasilkan, mengubah dan menentukan nilai-nilai bagi simbol-simbol sesuka kita.
Proses simbolik menembus kehidupan manusia dalam tingkat paling primitif sampai pada tingkat paling beradab. Contoh : Para prajurit, ahli obat-obatan, para polisi, perawat, raja memakai pakaian yang melambangkan kedudukan masing-masing. Contoh lainnya dalam bentuk seperti bangsa Viking mengumpulkan baju baja korban mereka, para mahasiswa mengumpulkan kunci-kunci keanggotaan perkumpulan-perkumpulan terhormat yang melambangkan kejayaan dalam bidang mereka masing-masing. Proses Simbolik dapat juga diartikan sebagai kebebasan untuk menciptakan simbol-simbol dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan simbol bagi simbol lainnya. Kemanapun kita berada, maka kita berhadapan dengan proses simbolik, karena kitalah yang bersepakat membuat dan menafsirkan symbol-simbol tersebut.
Semua pakaian dengan segala modelnya, seperti yang dikemukakan Thorsten Veblen dalam bukunya Theory of The Leisure Class (1899), Simbolik adalah bahan potongan dan hiasannya antara lain ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan mengenai kehangatan, kenyamanan dan kepraktisannya. Semakin bagus pakaian kita, semakin terbatas kebebasan kita untuk bertindak. Berkenaan dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan Amerika sejak zaman Veblen, banyak perubahan telah terjadi dalam cara-cara melambangkan status sosial. Pada zaman Veblen, kulit berwarna coklat gelap menunjukkan kehidupan di ladang pertanian dan pekerjaan rumah lainnya. Wanita-wanita yang bekerja diluar rumah saat itu bersusah payah melindungi diri mereka dari sinar matahari dengan payung, topi lebar, dan baju berlengan panjang. Namun dewasa ini kulit yang pucat menunjukkan keterkurungan di kantor-kantor dan pabrik-pabrik, sementara kulit berwarna coklat gelap mengisyaratkan kehidupan orang senang – berlibur kedaerah-daerah yang bermandikan matahari.
Selain pakaian, makanan juga bersifat simbolik Selain pakaian, makanan juga bersifat simbolik. Peraturan-peraturan makan dalam agama katholik, Yahudi dan Islam dilaksanakan untuk melambangkan ketaatan pada agama. Makanan-makanan khusus digunakan untuk melambangkan festival-festival dan peristiwa-peristiwa khusus hampir diseluruh negeri. Sebagai contoh ; kue buah ceri (cherry pie) pada hari lahir George Washington, minum bir bersama-sama di beberapa kota besar di jerman pada Oktoberfest, makan ketupat dan opor ayam pada Iedul Fitri pada mayoritas umat Islam di Indonesia (khususnya di pulau Jawa), makan ayam kalkun pada thanksgiving day di AS, dan lain-lain. Proses simbolik memungkinkan absurditas perilaku manusia, juga memungkinkan timbulnya bahasa dan oleh karenanya semua perolehan (prestasi) manusia bergantung pada bahasa. Proses simbolik memungkinkan timbulnya ketololan-ketololan yang bukan merupakan alasan bagi manusia untuk kembali ke keadaan seperti kucing dan anjing (keadaan yang melambangkan kehidupan yang sederhana, apa adanya, tidak neko-neko)
Diantara semua bentuk simbol bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus, dan berkembang. Manusia telah sepakat dalam kesalingbergantungannya selama berabad-abad untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah gigi dan bibir, secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka. Kita menyebut bahasa bagi sistem kesepakatan-kesepakatan tersebut. Contoh : Saya Lapar, dari ucapan tersebut tidak ada hubungan yang perlu antara simbol dan apa yang disimbolkan, orang dapat mengenakan pakaian berlayar, tanpa pernah mendekati perahu layar. Orang pun dapat mengeluarkan suara ”saya lapar” tanpa merasa lapar. Selain itu status sosial bisa dilambangkan dengan berbagai macam hal, seperti tato pada dada, arloji berantai emas atau seribu hiasan lainnya yang sesuai dengan budaya kita.
Proses simbolik tidak hanya berkenaan dengan kata-kata Proses simbolik tidak hanya berkenaan dengan kata-kata. Dalam drama (panggung, film, televisi), terdapat orang – orang diantara para penonton yang tidak sepenuhnya menyadari bahwa sebuah permainan merupakan seperangkat sajian yang fiktif dan simbolik. Seorang aktor adalah orang yang melambangkan orang-orang lain, baik yang nyata ataupun yang imajiner (masih ingat lagu dari Godbless yang berjudul panggung sandiwara?) Kata-kata dan simbol-simbol tak perlu dibahas secara panjang lebar bila kita telah sepakat dan selamanya sadar akan kebebasan simbol-simbol dari hal-hal yang disimbolkannya. Pencampur-adukan antara simbol-simbol dengan hal-hal yang disimbolkan - apakah itu pada individu-individu atau masyarakat - cukup serius dalam semua jenjang budaya sehingga menimbulkan masalah kemanusiaan yang berkepanjangan (untuk dapat merasa kaya, milikilah mobil mercedes, ingin dianggap soleh, gunakanlah kopiah haji, ingin dianggap dermawan, sering-seringlah menyumbang, meskipun mungkin terpaksa, dan lain-lain). Dengan adanya sistem-sistem komunikasi modern, masalah pencampur-adukan simbol-simbol verbal dengan realitas-realitas bahkan menjadi lebih penting lagi.
Sebagian besar pengetahuan yang kita miliki berasal dari orang tua kita, dari cerita orang lain, dan juga dari apa yang kita baca dibuku atau ditonton di televisi, dengan kata lain diterima secara verbal. Seluruh pengetahuan kita tentang sejarah, kita ketahui dan sampai pada kita hanya melalui kata-kata. Ini dapat kita sebut dengan dunia verbal. Banyak tempat di dunia ini yang belum pernah kita datangi, tetapi dapat kita ”ketahui”, karena informasi yang kita terima. Selain itu ada yang disebut dengan dunia ekstensional, atau dunia yang kita ketahui lewat pengalaman langsung yang kita sendiri rasakan, dunia yang telah kita alami secara empirik. Kita banyak mewarisi pengetahuan yang sia-sia, maksudnya adalah banyak kesalahan-kesalahan informasi yang diterima, sehingga akhirnya banyak bagian dari ”pengetahuan” yang kita miliki harus dibuang, ini dikarenakan ketidak-akuratan dunia verbal kita. Yang paling mudah untuk dimengerti sebenarnya adalah analogikan saja dunia verbal dengan peta, karena nantinya akan menjadi rujukan dalam mengejawantahkan ke dunia ekstensional. Tetapi harus diingat, ada dua cara untuk menciptakan peta tadi, yaitu dengan membiarkan peta tersebut diberikan kepada kita, atau menciptakan peta oleh kita sendiri bila akhirnya kita salah membaca peta yang diberikan kepada kita.
Terima Kasih