Hukum Pidana Korupsi Nama Kelompok : Randi Septian (20130610465) Panji anugrah putra (20130610467) Endah Sri Lestari (20130610478) Fitri Lestari (20130610480) Diah Safitri (20130610482)
ABSTRAK Bagi semua orang yang sungguh mencintai dan senantiasa mendambakan biokrasi yang baik dan pemerintahan yang bersih, setiap sikap kesiapan pertahanan atau tindakan perlawanan terhadap segala sunstansi korupsi dalam segala bentuk dan keserupaannya harus dilakukan dengan segera atau cepat, sukses, efisiensi, dan efektif. Disamping itu bahkan penerapan hukum khususnya terhadap kasus kasus korupsi justru kerap kali melanggar Hak Asasi Manusia. Jadi apa yang salah dan bagaimanakah segala sesuatu itu seharusnya terjadi sebagai jalan keluar dari berbagai situasi dan kondisi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi sebagai tindakan tercela manusia ini bahkan di yakini “sama tuanya” dengan tindakan tercelanya dari manusia yakni prostitusi. Hal ini berdampak negatif dimana korupsi dapat berkembang secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Berkembangnya korupsi secara kualitatif dapat di buktikan melalui kenyataan semakin banyaknya modus operandi tindak pidana orupsi itu sendiri, bahkan sampai pada gejala timbulnya tindak pidana pencucian uang UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan berkembangnya korupsi secara kuantitatif dapat di buktikan melalui data-data yang memperlihatkan kenaikan “peringkat” indonesia dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi di wilayahnya, yakni keadaan Indonesia di bandingkan dengan keadaan negara negara lain yang juga tercatat korupsi.
2.1 Rumusan Masalah 1. Dengan jalan apa dan upaya pemikiran hukum yang bagaimana agar korupsi di Indonesia ini bisa lebih lagi direduksi secara drastis, walau tidak dapat dijamin akan hilang sama sekali? 3.1 Tujuan 1. Untuk mengetahui jalan apa dan upaya pemikiran hukum yang bagaimana agar korupsi di Indonesia ini bisa lebih lagi direduksi secara drastis, walau tidak dapat dijamin akan hilang sama sekali.
BAB II PEMBAHASAN / ANALISIS PENGOLAHAN NILAI NILAI HUKUM SECARA FILOSOFIS -YURIDIS Melalui filsafat hukum dapat diketahui bahwa ada begitu banyak nilai nilai hukum yang dapat diolah dan dipilih untuk digunakan dalam penerapan hukum dan penegakan keadilan, seperti juga diajarkan oleh para tokoh pendiri mashab mashab hukum yang penting dan berpengaruh pandanganya bagi pelaksanaan hukum diseluruh dunia. Bagi para yuris pada umumnya sebagai suatu batas patokan ekstrim bagi penegakan hukum yakni : Kutup “pahit” yakni ajaran atau teori hukum yang menempatkan negara sebagai penguasa yang dapat dan berwenang melakukan apa saja terhadap rakyatnya dan rakyat hanya dapat bersikap “terima nasib” tanpa daya apapun untuk menolak atau menangkis.
Salah satu mashab yang terkenal akan kepahitan ajarannya ialah mashab formalistik yang di moori oleh Hans Kelsen (1881-1973) Menurut ajaran mashab formlistik ini, meskin betapapun buruknya produk legislatif misalnya sebuah undang undang ataupun peraturan peraturan hukum lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah / eksekutif, namun sepanjang undang undang atau peraturan hukum tersebut belum dicabut, maka tetaplah harus di berlakukan meskipun keberlakuan itu menimbulkan masalah atau persoalan persoalan yang merugikan rakyat maupun negara itu sendiri.
Kutup “manis” yakni kutup ajaran atau teori hukum yang menempatkan negara/pemerintah sebagai pengayom rakyat/seluruh masyarakat. dapatlah di terapkan kebijakan secara filosofis-yuridis bisa dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan dan penerapan hukum dalam memecahkan pesoalan korupsi di indonesia, yakni jala yang terbaik antara (the best way in beetwen ) kedua kutub ajaran tersebut yakni sebagai berikut : Terhadap para koruptor mutlak diperlukan paksaan bahkan dengan ancaman hukuman yang berat. Dalam penerapan hukum ada 3 nilai dasar yang merupakan “harga mati” yang tidak dapat ditawar tawar lagi dan harus diindahkan dan diwujudkan yakni kebaikan, kebenaran, dan keadilan.
Tindkan tegas berupa penjatuhan sanksi terhadap setiap orang yang terbukti bersalah adalah wajib hukumnya demi terwujudnya Kepastian hukum dan keketatan hukum. Namun di sudut lain, tindakan penghargaan atau apresiasi dan sikap pertimbangan yang arif atas itikad baik dan kebenaran setiap orang yang terbukti dalam pemeriksaan adalah sama wajibnya hukumnya. Apabila telah tercapainya nilai nilai hukum tersebut diatas, maka dengan sendirinya penerapan hukum itu akan berhasil untuk menghasilkan dan mengejewantahkan.
B.PEMIKIRAN/PENALARAN HUKUM DALAM PENYEMPURNAAN PERATURAN PERATURAN DAN KETENTUAN KETENTUAN HUKUM YANG DIPERLUKAN. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegak hukum yang menjadi “pos terdepan” dalam pemberantasan ataupun mencegah tindak pidana korupsi diIndonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat yakni UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun yang menyebabkan pemberantasan korupsi di indonesia belum juga maksimal menurut pandangan kami ialah karena adanya hal yang tidak tepat atau kurang tepat yang justru terdapat pada beberapa pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana orupsi yakni tentang Penyuapan Dan Orang Orang Yang Disuap , yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 , pasal 6 ayat 1 dan pasal 13.
Akibatnya kalau hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa negara atau pemerinta telah dua kali melanggar Hak Asasi Manuisia sang peyuap yang korban tersebut yakni : Pelanggaran atas Hak Asasi Manusia untuk dapat menikmati kehidupan pribadi bersama sanak keluarga yang berupa pelanggran atas serangkaian hak asasi. Pelanggaran hak setiap orang untuk mendapatkan perindungan, pemajuan , penegakan dan pemenuhan hak asasinya secara baik, benar, dan adil.
Dengan perkataan lain negara terutama pemerintah telah gagal dua kali dalam melaksanakan kewajibannya bagi rakyat atau warga masyarakat yang menjadi korban korupsi oknum aparat yakni : Pertama : gagal dalam menertibkan kerja aparatnya, mengingat masih ada saja oknum aparatnya yang korups dan memeras rakyat atau waga masyarakat. Kedua : gagal dalam mengadakan peraturan hukum yang tepat, arif dan adil serta pengadilan yang seharusnya bisa membedakan antara pelaku dan korban
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Sikap kesiapan pertahanan atau tindakan perlawanan terhadap segala substansi korupsi dalam segala bentuk dan keserupaannya harus dilakukan dengan segera atau cepat, sukses, efisiensi, dan efektif. Hal ini dapat dan harus dilaksanakan melalui jalan pemikiran yang logis yang tepat dalam filsafat hukum dan logika hukum itu sendiri (penalaan hukum), sehingga segala hasil baik dari penerapan hukum dapat dirasakan dan dinikmati oleh setiap orang, yakni birokrasi yang baik dan pemerintahan yang bersih yang berisi dengan kemurnian hakiki atau esensial nilai nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan jauh dari korupsi dan berbagai tindakan melawan hukum.
3.2 saran Dalam upaya penanggulangan itu janganlah anasir perasaan hukum itu sampai lebih mendominasi anasir logika hukum, agar jangan upaya yang “keblabasan” dan malahan menimbulkan persoalan atau masalah lainnya. 2. Mungkin cara atau jalan pembasmian orupsi yang logis beriku ni boleh menjadi pemikiran para yuris pada umumnya dan para penegak hukum pada khususnya yakni sebagai berikut : Koruptor tidak perlu dipenjara, sebab biarpun di penjara mereka masih merasa kaya dengan masih adanya harta mereka yang berhasil, mereka sembunyikan entah dimana.