PELANGGARAN KODE ETIK ADVOKAT (TONNY GUNAWAN) Presented by : Kelompok 3
CONTOH KASUS DK Peradi Jatim berhentikan sementara advokat senior Jumat, 12 Juli 2013 - 20:45 WIB SURABAYA (WIN): Advokat senior Tonny Gunawan diputus bersalah dan diberhentikan sementara selama 12 bulan sebagai pengacara. Majelis Dewan Kehormatan Perhimpunan Adokat Indonesia (Peradi) Jatim, menyatakan Tonny terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Putusan ini sebagai buntut dari pelaporan H. Yahya (pengadu I) dan Zainal Arifin (pengadu II) terkait pertemuan keduanya yang merupakan lawan hukum dalam sebuah perkara. Dalam sidang kode etik yang digelar di kantor Peradi Jatim, itu, Toni disebut melakukan pelanggaran berat dengan menemui lawan kliennya dalam berperkara. Tak hanya itu, pria keturunan itu juga disebut melakukan pemaksaan dalam pertemuan yang terjadi pada 4 Mei 2012 tersebut.
Dalam putusan yang dibacakan Majelis Dewan Kehormatan Peradi Jatim yang diketuai Trimoelja D. Sorjadi, disebutkan jika Tony sebagai teradu telah melanggar UU No. 18/2003 tentang advokat pasal 6 huruf b dan d, KEAI pasal 2 dan pasal 7 huruf f. Ia terbukti melakukan tindakan menyalahi etik dengan memaksa pengadu I, yakni H. Yahya untuk menandatangani pernyataan tertanggal 25 Mei 2012. “Menyatakan teradu telah melakukan pelanggaran kode etik. Menghukum teradu dengan pemberhentian sementara selama 12 bulan dan membebankan biaya perkara sebesar Rp 3,5 juta,” ujar Trimoelja bacakan surat putusannya. Menurut Tri, sebagaimana advokat itu biasa disapa, Tony Gunawan merupakan advokat senior yang telah paham kode etik, namun memberikan keterangan tidak jujur selama proses persidangan sejak 26 April, 10 Mei dan 31 Mei 2013.
Teradu juga disebut melakukan tindakan tidak terpuji sebagai advokat, dengan memanfaatkan keterbatasan fisik dan kesehatan Pengadu I yang berusia 81 tahun untuk memaksa menandatangani surat pernyataan yang tidak dibenarkan. “Sebagai pertimbangan yang meringankan, teradu bersikap sopan selama persidangan,” jelas Tri. Peristiwa pelanggaran kode etik bermula saat Tony Gunawan menjadi kuasa hukum Domiri, yang terlibat kasus gugatan pengosongan tanah berupa tambak seluas 23. 010 meter persegi di Desa Sawahan, Buduran Sidoarjo, 4 Mei 2012 lalu. Saat itu, Domiri diketahui memiliki tanah di lokasi yang sama, namun menumpang sertifikat milik H. Yahya dan Zainal Arifin sebagai Pengadu I dan II. Singkat cerita, Tony dilaporkan menemui Pengadu II di rumahnya dengan dugaan hendak melakukan pemaksaan agar yang bersangkutan mengakui Awal Lestari sebagai kuasa hukum pengadu. Tindakan inilah, yang dianggap melanggar kode etik advokat dan dilaporkan kepada dewan kehormatan Peradi Jatim. Sementara itu, Tonny yang ditemui usai sidang, menyatakan mengajukan banding atas putusan itu. Ia mengaku jika kedatangannya ke Pengadu II tak lain untuk menyelesaikan perkara lain yang menjerat kliennya, Arief Rahman.
“Saya ini tidak sengaja bertemu dengan H. Yahya “Saya ini tidak sengaja bertemu dengan H. Yahya. Saya datang ke sana karena ada keperluan lain terkait kasus penipuan yang menyeret nama klien saya. Jadi bukan untuk kasus gugatan pengosongan tanah,” jelasnya. Lebih lanjut, Ia akan segera ajukan banding terkait putusannya. Ia merasa jika kasus yang membelitnya tidak diputus sesuai unsur keadilan dan kebijakan. Ia bahkan menuding Ketua Dewan Kehormatan Peradi Jatim, Trimoelja kurang mengetahui duduk persoalan yang melatarbelakangi kasusnya. “Yang pasti saya ajukan banding,” tutupnya.
ANALISIS MASALAH Melihat kronologis dari contoh kasus yang telah di paparkan diatas secara singkat dapat disimpulkan termasuk dalam pelanggaran dalam kasus profesi advokat, advokat adalah ”orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi syarat menurut undang-undang” . Tonny Gunawan sebenarnya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai advokat harus pemberi jasa hukum harus bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; suatu hal yang telah dilakukan oleh Tonny merupakan pelanggaran dalam kode etik advokat, dalam pasal 6 UU No 18 tahun 2003 menjelaskan : Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan : a) Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya; b) Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; c) bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang- undangan, atau pengadilan; d) Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; e) Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela; f) Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Dalam KEAI (Kode Etik Advokad Indonesia) Pasal 2 Menjelaskan : “Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.” Dalam pasal 7 huruf (F) KEAI menjelaskan juga : “Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.”
Menurut Pasal 7 UU No. 18/2003 Tentang Advokat: 1) Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa: a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan; d. Pemberhentian tetap dari profesinya. 2) Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. 3) Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
T E R I M A K A S I H S E M O G A B E R M A N F A A T