Kontrak Berjangka & Forward Menurut Pandangan Syariah Produk & Jasa Perbankan, Pasar Uang dan Pasar Modal Islam Kontrak Berjangka & Forward Menurut Pandangan Syariah
Riba, Gharar dan Maisir Dalam pandangan syariah, suatu transaksi terlarang ketika mengandung salah satu dari riba, gharar (risiko) berlebihan dan maisir (perjudian). Pembahasan yang dilakukan oleh ulama mengenai kontrak berjangka dan instrumen derivative lainnya umumnya terletak pada kandungan Gharar yang berlebihan di dalamnya. Gharar bisa didefinisikan sebagai penjualan dari probable items yang eksistensi dan karakteristiknya tidak pasti, karena sifatnya yang berisiko yang mana membuat perdagangan itu menyerupai perjudian (Mustafa Al-Zarqa). Gharar timbul ketika adanya ketidakpastian atau ketidakcukupan informasi (jahl) dalam persyaratan-persyaratan yang ada dalam suatu kontrak seperti harga, obyek transaksi, waktu penyerahan, tempat penyerahan dll.
Pengertian Kontrak Berjangka (1) Kontrak berjangka /kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan sekarang. Tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka komoditas emas, 1 unit emas akan diperdagangkan pada harga x dan akan diserahkan pada waktu penyerahan (delivery date), akhir bulan ketiga. Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan.
Pengertian Kontrak Berjangka (2) Kewajiban dari pembeli (long position) adalah menyerahkan 1 unit emas, sementara kewajiban penjual (short position) adalah membayar x unit uang. Meskipun dalam bursa berjangka, setiap trader wajib mendeposit sejumlah dana (margin) kepada clearinghouse, tidaklah mengakibatkan kewajiban kedua belah pihak tidak tertunda. Alasannya, jelas karena margin itu sendiri tidak diserahkan kepada counterpart dari kontrak dan biasanya kecil jumlahnya dibanding dengan besar kontrak.
Larangan terhadap Transaksi Kontrak Berjangka/Forward Mayoritas ulama bersepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang karena adanya kandungan Gharar yang berlebihan. Transaksi seperti ini dikenal juga dengan nama bai’ al-mudaf.
Kandungan Gharar dalam Kontrak Berjangka (1) Timbulnya penundaan kewajiban kedua belah pihak dalam kontrak berjangka membuat transaksi ini menjadi penjualan sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai oleh penjual (short sale), sehingga secara syariah termasuk dalam transaksi terlarang (kecuali untuk beberapa kontrak seperti salam dan istishna yang mayoritas ulama menerimanya). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penjualan semacam ini telah mendorong prilaku spekulatif berlebihan yang mengarah ke perjudian.
Kandungan Gharar dalam Kontrak Berjangka (2) Praktek yang terjadi pada kebanyakan bursa berjangka dimana penyerahan fisik sebagai cara penyelesaian kontrak bukanlah menjadi tujuan. Dalam banyak kasus di bursa berjangka, transaksi biasanya berakhir dengan cash settlement atau melalui offset/reversing trade sebelum delivery date, tanpa adanya penyerahan fisik. Kontrak berjangka yang memiliki underlying seperti indeks, penyerahan fisik sama sekali tidak memungkinkan. Ketidakpastian mengenai adanya penyerahan fisik ini membuat barang yang diperjualbelikan dalam kontrak berjangka diragukan eksistensinya atau malah sama sekali maya. Sehingga tidak diragukan lagi keghararannya.
Maisir dalam Kontrak Berjangka Sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game juga mendukung transaksi ini terjerembab menjadi maisir. Harga dari underlying good kontrak tersebut sangat volatile dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance yang jelas mendorong prilaku spekulatif.
Gharar dalam Kontrak Berjangka Selain gharar, kontrak berjangka juga membuka ruang terjadinya riba. Mudahnya, ambil contoh dalam suatu kontrak berjangka atau forward valuta asing. Seorang individu membeli $1000 dari suatu pihak spot pada rate $1:Rp.8500. Beberapa waktu kemudian individu tersebut masuk ke suatu kontrak berjangka/forward dengan counterpart yang sama untuk menjual $1000 pada forward rate $1: Rp9.500 setelah 1 bulan. Transaksi secara tidak langsung menunjukkan bahwa si individu tersebut meminjamkan uang Rp.8,5 juta dan menerima bunga sebesar Rp. 1 Juta setelah satu bulan. Ini mirip dengan transaksi repo dalam keuangan konvensional dan jelas ditolak oleh mayoritas ulama.