Kejujuran dalam Ilmu Uda Hatta mempunyai perhatian sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Dari dulu buku adalah nomor satu. Beliau adalah seorang pemimpin yang tidak punya harta, tetapi harta beliau adalah buku. Perpustakaan Uda Hatta adalah suatu perbendaharaan buku yang tidak ternilai harganya, sangat menjadi kebanggaan beliau. Kalau kami berkunjung, kami selalu diterima di perpustakaan. Hal ini dilakukan semenjak beliau pensiun, karena kegiatan beliau sehari-hari di sini. Bila saya datang, maka selalu pembicaraan menjurus pada keadaan fakultas, dan yang dipertanyakan mengenai kesehatan dan aktivitas mahasiswa dalam masyarakat. Saya memahami, sebab beliau berpolitik dari bangku sekolah, melawan penjajahan Belanda dulu. Juga yang menjadi perhatian bagi beliau kalau saya ceritakan bahwa di bidang administrasi sekolah di Notariat, ada gejala ketidak-jujuran dari tata usaha, sebab pernah angka ujian yang saya lihat, mereka tukarkan dengan angka rendah atau kurang atau mereka katakan angka saya salah tik. Saya ceritakan bahwa mutu dari Notariat dipertinggi dengan memperketat calon-calon yang lulus. Menurut beliau mempertinggi mutu adalah baik. Tetapi menukar angka atau mencari alasan agar tidak ada yang diluluskan, itu bukan pendidikan. Di zaman penjajahan hal itu tidak pernah terjadi, selama Uda bersekolah di sekolah Belanda. Beliau berkata, “Apalagi sekarang di zaman kemerdekaan ini, itu adalah sesuatu yang harus diberantas. Kalau seorang mahasiswa telah harus lulus, apalagi yang akan ditunggu? Negara membutuhkan ribuan lagi notaris-notaris, buat apa ditahan-tahan. Kalau seorang notaris bisa sukses di masyarakat dan tidak menyalah-gunakan kedudukannya sebagai seorang pejabat Pemerintah, kita tak usah ragu lagi.” Uda Hatta juga pernah mengajar di ABRI mengenai politik dan Pancasila, kalau saya tak salah. Mahasiswa beliau adalah perwira-perwira menengah. Suatu taktik dengan cara menekan seseorang adalah hal yang sangat tidak beliau sukai. Apabila seorang telah mampu dan menguasai suatu vak, maka kalau masih jatuh, akan beliau tolong dengan ujian lisan, sebab kita harus tahu dan selidiki, apa sebab mahasiwa itu jatuh dalam ujian. Secara psikis, sebagai seorang pengajar kita harus tahu itu. Pendapat berikut saya kemukakan pada Uda, “Biarpun seorang notaris itu akan mencari uang kalau dia telah lulus, tetapi jalan untuk lulus itu tidak usah pula dipersulit, sehingga ada yang mau menyogok guru. Ada angka yang disulap, ditukar atau diperjual-belikan oleh tata usaha atau siapa saja yang bisa memainkan angka-angka ini.” Uda Hatta mendengarkan segala penjelasan ini dengan sangat prihatin. Beliau berjanji akan memikirkan dan membicarakan ini dengan Rektor bila ada kesempatan yang baik. Waktu yang sangat tidak menentu ini dan kacau banyak menekan perasaan beliau. Cita-cita beliau belum tercapai sama sekali tetapi beliau telah uzur dan sakit-sakitan. Ny. Julinar Idris Koestono, Pribadi Manusia Hatta, Seri 1, Yayasan Hatta, Juli 2002