II. Dasar-dasar marketing Islam "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S Ali Imran (3):130) A. Periode Kemunculan Marketing Islam Perbankan syariah modern pertama kali lahir dalam bentuk tabungan pedesaan di Mit Ghamr Mesir tahun 1963.
Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Populasi Muslim yang besar ini merupakan potensi besar bagi perkembangan perbankan syariah. Fase Awal Perkembangan Perkembangan perbankan syariah bermula pada tahun 1991 dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan disusul kemudian oleh asuransi takaful tahun 1994.
Fase Pencerahan Tahun 1999 Majelis ulama Indonesia mendirikan Dewan Syariah Nasional (DSN). Lembaga yang beranggotakan para ahli hukum Islam dan praktisi ekonomi ini, bertugas untuk menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip- prinsip hukum Islam, untuk kemudian dijadikan pedoman dalam implementasi ekonomi syariah di Indonesia.
Fase Kebangkitan Didirikannya Perkumpulan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) atau yang juga sering disebut Islamic Economic Society pada tahun 26 maret 2001 dengan ketua pertamanya Dr. iwan Pontjowinoto. Pembentukan organisasi ini menandakan bahwa masyarakat muslim Indonesia telah menginginkan adanya sebuah percepatan dalam penerapan dan pengembangan sistem ekonomi yang sesuai dengan hukum Islam.
Pemasaran syariah sendiri berkembang seiring berkembangnya ekonomi syari’ah. Banyak perusahaan dan bank khususnya yang berada didalam pemasaran syariah yang telah menerapkan konsep yang ada didalam bisnis syariah dan telah mendapatkan hasil yang positif. Pasar syariah adalah pasar yang emosional (emotional market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rational market).
Dalam syariah marketing, bisnis yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insya Allah menjadi ibadah di hadapan Allah SWT. Ini akan menjadi bibit dan modal besar baginya untuk menjadi bisnis yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki karisma, keunggulan, dan keunikan yang tak tertandingi.
b. Spiritual marketing sebagai jiwa bisnis Spiritual marketing sangat kental dengan nilai-nilai syariah dan dalam implementasinya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kebenaran yang terpancar dari Al Quran dan Sunnah Nabi. Islam memandang bahwa setiap kegiatan bisnis harus berlandaskan nilai-nilai Ilahiah (Ketuhanan). Soul marketing adalah upaya menggerakkan daya tarik pasar rasional,emosional dan spiritual dengan tujuan agar memperoleh respons positif dari masyarakat.
Bisnis yang berlandaskan kepada nilai-nilai spiritual akan dapat menerangi lingkungannya, memberikan pencerahan kepada konsumen dan masyarakat, memancarkan cahaya kebenaran, di tengah-tengah ketidaktransparanan dan manipulasi bisnis. Contohnya seperti kecurangan, kebohongan, propaganda, iklan palsu, penipuan, kezaliman, dan sebagainya Sehingga, nila- inilai kebenaran yang dianut seseorang akan terpancar dalam kegiatan marketingnya sehari-hari.
Ada beberapa hal dalam membangun jiwa bisnis : 1. Membangun visi bisnis spiritual 2. Membangun silaturrahmi 3. Membangun customer partnership 4. Membangun kepercayaan (trust) 5. Memperkuat empati 6. Membahagiakan pelanggan 7. Membangun marketing with love 8. Menjual produk berkualitas 9. Membangun promosi yang simpatik 10. Membangun profesionalitas marketer 11. Menjadi peminjam yang terhormat.
c. Karakteristik marketing Islam Hermawan kartajaya dan Syakirsula mengingatkan bahwa marketing syariah itu bersifat universal (lintas agama,suku,ras,warna kulit,kebangsaan dan status) Ada empat karakter yang harus dimiliki marketer sebagai panduan menjalankan kegiatan pemasaran yaitu : 1. Teistis (religius) yakni marketer syariah harus membentengi diri dengan nilai-nilai spiritual karena marketing akrab dengan penipuan,sumpah palsu,riswah (suap),korupsi,kolusi dan wanita.
2. Etis (beretika) yakni sifat turunan dari Teistis yang mengedepankan akhlak,etika dan moral. Marketer harus mampu menjemput nilai-nilai moral,agar mewarnai budaya marketing yg lebih bermoral,beretika dan manusiawi. 3. Realitis (fleksibel) maksudnya adalah marketer harus profesional,santun dan rapi dalam penampilan serta tidak kaku dalam pergaulan. 4. Humanistis (manusiawi) maksudnya segala aspek kegiatan pemasaran hendaknya harus berlandaskan kepada upaya untuk memuliakan manusia, bukan merendahkan harkat dan derajad manusia serta peduli pada keadilan sosial