ZAT PENGATUR TUMBUH SEBAGAI FAKTOR KULTUR JARINGAN KELOMPOK B 3 : 1. CICILIA DEBORA MAAREBIA 13031108037 2. GLADYS TUMANDUK 13031108011 3. KARRINA TIOW 13031108071 4. SOFYANI LAMPONGAJO 1303110800 5. MERCIEL PONDAAG 13031108055 6. MEISYE MELALE 13031108023 7. PISMAN WENDA 13031108009 8. VESTER WORUNG 13031108059 9. JULIO NAJOAN 13031108060 10. MEYCO BAGUNDA 13031108039
ZAT PENGATUR TUMBUH Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. Fungsi ZPT tersebut adalah untuk merangsang pertumbuhan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ (Gunawan, 1987). Zat Pengatur Tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin.
PERANAN ZPT DALAM KULTUR JARINGAN Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) pada kultur jaringan sangat menentukan keberhasilan kultur. Penelitian pada berbagai macam jenis tanaman, baik tanaman sayuran, buah-buahan ataupun tanaman perkebunan menggunakan metode Mohr untuk pemakaian ZPT, yaitu penggunaan kombinasi ZPT antara kelompok sitokinin dan kelompok auksin. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ZPT adalah konsentrasi, urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu. Jenis yang sering digunakan adalah golongan Auksin seperti Indole Aceti Acid (IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), 2,4-D, CPA dan IBA. Golongan Sitokinin seperti Kinetin, Benzil adenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA. Golongan Gibberelin seperti GA3. Golongan zat penghambat tumbuh seperti Ancymidol, Paclobutrazol, TIBA, dan CCC.
Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan LANJUTAN Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan tanaman sangat penting, yaitu untuk mengontrol organogenesis dan morfogenesis dalam pembentukan dan perkembangan tunas dan akar serta pembentukan kalus.
Auksin mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik, 1987). Untuk memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali auksin diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi.
SITOKININ Zat pengatur tumbuh BA (benzyl adenin) paling banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan dengan kinetin (Zaer dan Mapes, l982). BA mempunyai struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi lebih efektif karena BA mempunyai gugus benzil (George dan Sherington, l984). Flick et al. (1993) menyatakan bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BA dibandingkan terhadap kinetin dan 2-iP sehingga BA lebih efektif untuk produksi tunas in vitro. A
Di samping sitokinin BA atau kinetin, penggunaan LANJUTAN Pada banyak jenis tanaman zat pengatur tumbuh 2-iP merupakan sitokinin yang mempunyai daya aktivitas lebih lemah dibandingkan dengan sitokinin lainnya sehingga jarang digunakan. Pada tanaman nilam penggunaan 2-iP menghasilkan tunas yang lemah dan kurus (Seswita et al., 1996). Di samping sitokinin BA atau kinetin, penggunaan thidiazuron (TDZ) dapat pula meningkatkan kemampuan multiplikasi tunas.
Penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu PENGGUNAAN SITOKININ DAN AUKSIN UNTUK MEMACU MULTIPLIKASI TUNAS PADA BEBERAPA TANAMAN Penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media dapat memacu proliferasi tunas karena adanya pengaruh sinergisme antara zat pengatur tumbuh tersebut (Thorpe, 1987; Davies, 1995). Contohnya pada tanaman obat langka pulasari (Alyxia stellata) kombinasi BA dan NAA menghasilkan tunas lebih banyak (Lestari dan Mariska, 1992), tanaman krisan menggunakan kombinasi BA 1 mg/l + GA3 mg/l diperoleh faktor multiplikasi tunas tertinggi (Karim et al., 2003), dan tanaman tangguh menggunakan kinetin 3 mg/l + IAA 10 mg/l (Lestari et al., 1999).
PENGGUNAAN AUKSIN UNTUK MEMACU PERAKARAN pada tanaman tertentu pembentukan akarnya sangat sulit sehingga diperlukan media tumbuh baru yang mengandung auksin. Pada tunas in vitro pule pandak, lada, vanili, dan lain-lain dapat menghasilkan akar dengan menggunakan IBA atau IAA. Pada tanaman inggu, penggunaan IAA 1 mg/l menghasilkan akar terbanyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada tanaman tangguh menggunakan media MS + NAA 1 mg/l dapat dihasilkan akar (Lestari et al., 1999).
LITERATUR Jurnal Endang G. Lestari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. http://rifki-nurwahyu.blogspot.co.id/2012/05/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kultur.html