PENGENDALIAN KECACINGAN DI INDONESIA
PENDAHULUAN Kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia : hasil pemeriksaan tinja pada anak SD tahun 2002 – 2009 di 398 SD di 33 provinsi menunjukkan rata2 prevalensi kecacingan adalah 31,8% Prov Sulsel (2009 – 2010): rata2 angka prevalensi kecacingan 27,28 %
Separuh kesakitan penduduk negara berkembang disebabkan oleh infeksi parasitik cacing tindakan paling cost effective adalah memberikan pengobatan kecacingan pada usia sekolah Pengendalian kecacingan dilaksanakan melalui UKS dengan SKB 4 menteri : Kementerian kesehatan, kementerian agama, kementerian dalam negeri dan kementerian diknas.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengndalian kecacingan, subdit filariasis dan kecacingan direktorat penyakit bersumber binatang menitik beratkan pada anak sekolah dasar infeksi tertinggi dibanding kelompok umur lain Prevalensi cacingan akan menurun bila infeksi pada anak SD dapat dikendalikan UKS
Untuk hasil maksimal program pendalian kecacingan di Indonesia menetapkan sasaran selain anak sekolah yaitu nak usia 1- 4 tahun mengingat dampak yang ditimbulkan pada usia dini yaitu kekurangan gizi yang menetap (persistent malnourish) yang dikemudian hari akan menimbulkan dampak pendek menurut umur (stunting) integrasi dengan program pemberian vit A di Posyandu
Deklarasi Bali (25 feb 2000) Konferensi internasional program mengurangi beban penyakit yang diakbatkan oleh parasit dan membawa peningkatan besar pada individu dan kesmas.
Tomkins & Watson (1989) : malnutrisi Infeksi Infeksi mengurangi asupan makanan, rate pertumbuhan, diare dan berkurangnya fungsi kekebalan tubuh
Penyakit kecacingan yang penting di Indonesia Banyak cacing yang dilaporkan menyebabkan infeksi pada man di Indonesia walaupun hanya bbrp spesies yang memiliki prevalensi tinggi dan terdistribusi luas. Golongan nematoda (soil transmitted & lymphatic filarias) Trematoda : Schistosoma japonicum(sulawesi), Fasciolopsis buski (kalimantan), T.Saginata & T.Solium (dibbrp prop)
Taeniasis Ditularkan melalui makanan dan tinja Taeniasis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing taenia dewasa Sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia yaitu spesies Taenia solium.
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini jika muncul sangat bervariasi seperti, gangguan syaraf, insomnia, anorexia, berat badan yang menurun, sakit perut dan atau gangguan pada pencernaan Taenasis biasanya tidak fatal, akan tetapi pada stadium larva cacing Taenia solium dapat menyebabkan sistiserkosis yang fatal. Larva penyebab sistiserkosis pada manusia adalah larva dari cacing Taenia solium pada babi
Telur/proglottids termakan oleh manusia Menetas di usus halus Migrasi ke jar lunak sistisersi Tersangkut pada jar mata, SSP atau jantung
sistiserkosis somatik : gejala antara lain gejala seperti epilepsi, sakit kepala, tanda tanda kenaikan tekanan intracranial atau gangguan psikiatri yang berat. Jika terjadi tekanan intracranial maka besar kemungkinan sistiserkosis ada pada SSP. Neurocysticercosis dapat menyebabkan cacat yang serius akan tetapi CFR nya rendah.
Diagnosis penyakit dapat dibuat dengan menemukan dan mengidentifikasi proglottids (segmen), telur atau antigen dari cacing dalam tinja atau dengan cara apus dubur. Bentuk telur cacing Taenia solium dan cacing Taenia saginata sukar dibedakan. Diagnosa spesifik dilakukan dengan cara membedakan bentuk scolex (kepala) dan atau morfologi dari proglottid gravid. Tes serologis spesifik sangat membantu dalam mendiagnosa sistiserkosis
Penyebab penyakit adalah Taenia solium biasanya terdapat pada daging babi dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (oleh cacing dewasa), dan bentuk larvanya dapat menyebabkan infeksi somatik (sistisersi). Cacing Taenia saginata, pada daging sapi hanya menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia oleh cacing dewasa.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Sering dijumpai di daerah dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging sapi atau babi mentah atau yang dimasak tidak sempurna, dimana kondisi kebersihan lingkungannya jelek sehingga babi, dan sapi makanannya tercemar dengan tinja manusia
Reservoir Manusia merupakan hospes definitif spesies Taenia sapi merupakan hospes perantara untuk spesies Taenia saginata babi merupakan hospes perantara untuk spesies Taenia solium.
Cara penularan Telur T. saginata yang dikeluarkan lewat tinja orang yan terinfeksi hanya bisa menular kepada sapi dan didalam otot sapi parasit akan berkembang menjadi Cysticercus bovis, stadium larva dari T. saginata. Infeksi pada manusia terjadi karena orang tersebut memakan daging sapi mentah atau yang dimasak tidak sempurna yang mengandung Cysticerci; di dalam usus halus cacing menjadi dewasa dan melekat dalam mukosa usus.
infeksi T. solinum terjadi karena memakan daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna (“measly pork”) yang mengandung cysticerci; cacing menjadi dewasa didalam intestinum. cysticercosis dapat terjadi secara tidak langsung karena orang tersebut menelan minuman yang terkontaminasi atau secara langsung dari tinja orang yang terinfeksi langsung kemulut penderita sendiri (aoutoinfeksi) atau ke mulut orang lain Apabila telur T. solinum tertelan oleh manusia atau babi, maka embrio akan keluar dari telur, kemudian menembus dinding usus menuju ke saluran limfe dan pembuluh darah selanjutnya dibawa keberbagai jaringan dan kemudian berkembang menjadi cysticercosis.
Masa inkubasi Gejala dari penyakit cysticercosis biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi Telur cacing akan tampak pada kotoran orang yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa antara 8 – 12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi Telur Taenia saginata akan terlihat pada tinja antara 10-14 minggu setelah seseorang terinfeksi oleh Taenia saginata dewasa.
Kerentanan dan kekebalan Setelah infeksi tidak terbentuk kekebalan terhadap cacing ini jarang di laporkan ada orang yang mengandung lebih dari satu jenis cacing pita dalam tubuhnya.
Ascaris Lumbricoides /cacing gelang, Trichuris Trichiura / cacing cambuk dan ancylostoma duodenale, necator americanus /Cacing Tambang penyakit cacing usus terutama yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminth) STH adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infekstif. Telur Ascaris Lumbricoides /cacing gelang, Trichuris Trichiura / cacing cambuk memerlukan tanah liat, lingkungan yang hangat dan lembab utk dapat berkembang menjadi infektif ancylostoma duodenale, necator americanus tanah berpasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung
Kecacingan merupakan penyakit rakyat dengan prevalensi yang cukup tinggi terutama pada masyarakat sosio ekonomi rendah di pedesaan. menyebabkan gangguan gizi, anemia, gangguan pertumbuhan dan tingkat kecerdasan. Dari prevalensi penyakit infeksi usus di suatu daerah atau negara, secara tidak langsung bisa diketahui persyaratan sanitasi dan kualitas kehidupan setempat
Ascaris Lumbricoides hidup dalam rongga usus manusia dan mengambil makanan terutama karbohidrat dan protein, 1 ekor cacing akan mengambil karbohidrat 0,14 gram/hari dan protein 0,035 gram/hari Akibat adanya cacing ascaris dalam tubuh, maka anak yang mengkonsumsi makanan yang kurang gizi dapat dengan mudah akan jatuh kedalam kekurangan gizi buruk, sedangkan cacing trichuris dan cacing tambang disamping mengambil makanan juga akan menghisap darah sehingga dapat menyebabkan anemia
Gejala penyakit parasit usus berlainan tergantung pada jenis patogen. Bila tertular cacing Nematode (Cacing gelang Ascaris lumbricoides, Cacing Ancylostoma, Cacing cambuk Trichuris trichiura), akan muncul gejala seperti sakit perut, diare,muntah ,kekurangan gizi dan berat badan menurun.Kalau terinfeksi berat, akan timbul komplikasi penyumbatan usus, anemia/kurang darah, penyumbatan saluran empedu danperadangan
pencegahan & pemberantasan Meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan kesehatan untuk mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah, air, makanan dan pakan ternak dengan cara mencegah penggunaan air limbah untuk irigasi memasak daging sapi atau daging babi secara sempurna. diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita
kewaspadaan enterik pada institusi dimana penghuninya diketahui ada menderita infeksi T. solium untuk mencegah terjadinya cysticercosis Perlu dilakukan tindakan tepat untuk mencegah reinfeksi dan untuk mencegah penularan kepada kontak. Pengawasan terhadap bangkai sapi atau bangkai babi hanya dapat mendeteksi sebagian dari bangkai yang terinfeksi; untuk dapat mencegah penularan harus dilakukan tindakan secara tegas untuk Membuang bangkai tersebut dengan cara yang aman, melakukan iradiasi atau memproses daging tersebut untuk dijadikan produk yang masak.
Jauhkan ternak babi kontak dengan jamban dan kotoran manusia. Disinfeksi serentak: Buanglah kotoran manusia pada jamban saniter; budayakan perilaku hidup bersih dan sehat secara ketat seperti membiasakan cuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar khsususnya untuk mencegah infeksi cacing Taenia solium. Lakukan evaluasi terhadap kontak yang menunjukkan gejala.
Pengobatan spesifik: Praziquantel (Biltricide®) efektif untuk pengobatan T. saginata dan Taenia solium. Niclosamide (Niclocide®, Yomesan®) saat ini sebagai obat pilihan kedua kurang cukup tersedia secara luas dipasaran. Berdasarkan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), blanket treatment perlu dilakukan di suatu daerah jika hasil surveilansnya menunjukkan angka kecacingan lebih dari 60-70 persen. Untuk cysticercosis tindakan operasi (bedah) dapat menghilangkan sebagian dari gejala penyakit tersebut.
Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.
KETERBATASAN PROGRAM kebijakan Depkes dalam pemberantasan kecacingan perlu dievaluasi karena tidak efektif, bahkan sia-sia, dan mengandung unsur skandal atau praktek KKN. Blanket treatment -- pemberian obat dua kali setahun kepada siswa tanpa pemeriksaan laboratorium -- yang sudah berjalan bertahun-tahun, dinilai tidak tepat. Tiga komponen penting perlu diperhatikan, yakni pemberian obat, penyuluhan yang local specific, dan pemberantasan penyakit berbasis lingkungan.
Di Depkes, program pemberantasan kecacingan antara lain ada di Subdit Diare Ditjen PPM-PLP dan UKS Ditjen Kesmas (diberikan bersama-sama penyuluhan kesmas dan PMT-AS). Keberhasilan program ini bisa dioptimalkan lewat program perbaikan sarana dan prasarana lingkungan yang ada di departemen lain (Departemen Pekerjaan Umum) dan pemda.