Kelompok 9 Risnawati Halawa Elson Dachi Josep Ebenezer Lase Jefri Yehezkiel Nehe
budaya birokrasi yang sehat, menekankan pentingnya kejujuran serta kepercayaan. Kedua hal inilah yang memungkinkan lancarnya birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jika perbaikan sikap mental (mental attitude), perilaku (behavior), kejujuran (honesty), dan kepercayaan (trust) tidak segera dilakukan, maka pelayanan yang baik, cepat, jujur dan bersih untuk mencapai kesejahteraan rakyat, termasuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), akan sulit terwujud. persepsi masyarakat terhadap pelayanan birokrasi yang sering mendapatkan hambatan, menilai bahwa “menghambat atau memperlambat pelayanan adalah kebiasaan birokrat untuk mencari keuntungan pribadi”. Hal ini tampak sesuai dengan pandangan yang luas dari masyarakat, bahwa birokrat itu memiliki pandangan “if it could be made difficult why someone invented easy”.
Kualitas pelayanan birokrasi tidak terlepas dari faktor manajemen dan kepemimpinan (leadership). Sebagai mesin penggerak pemerintahan, birokrasi pada dasarnya luwes dan akan berjalan sesuai panutan dari atas. “ritme” birokrasi sangat tergantung oleh siapa yang menggerakkan dari atas (top leader) sebuah birokrasi bertujuan untuk mengelola secara sistemik pelayanan bagi kepentingan masyarakat banyak, namun lambat-laun bergeser fungsinya menjadi “mesin besar”yang mengeruk keuntungan dari masyrakat. Sehingga yang tersisa adalah kepentingan aparat pemerintah yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi yang besar. Inilah yang kerapkali mewarnai proses perjalanan birokrasi institusi-institusi pelayanan publik di Indonesia.
Birokrasi sebagai faktor penggerak utama berjalannya kebijakan pemerintah, sudah saatnya mengutamakan kepentingan masyarakat, karena dewasa ini masyarakat sudah semakin mengerti akan hak dan kewajibannya yang diatur oleh hukum. Untuk merubah birokrasi menjadi lebih baik merupakan pekerjaan semua pihak dengan memberikan kontrol dan kontribusi dalam perubahannya. Tanpa adanya itu, sangat sulit birokrasi yang sehat akan terwujud dan memberikan pelayanan maupun kebijakan kepada publik yang optimal. Hal ini menunjukkan, bahwa ternyata tidak ada jaminan bahwa seseorang yang berpendidikan baik umum maupun agama, berdampak pada perilakunya sehari-hari, meski seharusnya mempunyai korelasi positif dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Beberapa kebiasaan buruk dalam kehidupan birokrasi Indonesia, yaitu: Terutama menyangkut jam kerja, Banyaknya ditemui pegawai berada diluar kantor ketika masih jam kerja, Banyak pegawai yang biasa datang siang dan pulang lebih cepat tanpa dikenai sanksi oleh atasan, buruknya citra birokrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan sebagai aparatur negara disebabkan juga oleh pola hubungan yang paternalistic. Mulder (1985), menunjukan bahwa posisi seorang bawahan dan atasan diamankan dengan hubungan antara menghormati “bapaknya”, yang secara praktis termanifestasi dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus dalam berbicara atasannya.
Sebagai akibatnya, birokrasi menjadi tak terkendali yang memunculkan praktek maladministrasi, seperti adanya perhatian yang salah dan tidak memberi peran serta. Perhatian yang salah itu misalnya, pengambilan keputusan tidak tepat dalam mengidentifikasi inti masalah, lalu dengan cepat mengambil tindakan itu. Tidak memberi kesempatan peran serta pihak lain dalam mengambil keputusan, seringkali tidak memiliki pemahaman yang lengkap tentang keputusan yang diambil. berdasarkan kenyataan tersebut, diperlukan suatu upaya untuk membersihkan citra negatif PNS, dan memulai melangkah secara pasti untuk membentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif.
Upaya yang harus diwujudkan untuk menjadi sosok aparatur yang ideal yaitu moral para pengabdi negara juga harus ditanamkan sejak dini sebelum dan sewaktu bekerja dilingkungan pemerintahan, jika menginginkan perubahan positif terhadap birokrasi. Atmosoedirdjo memberikan satu gambaran bahwa peranan birokrasi yang begitu menentukan antara lain dapat dilihat di Eropa Barat yang birokrasinya sudah berkembang sejak pertengahan abad 17 relatif tenang dan stabil terhadap gejolak internal maupun eksternal yang melandanya seperti perubahan politik kabinet, perubahan undang-undang dan sebagainya, dikarenakan kemampuan mesin birokrasinya yang dapat menanggung dan menetralisirnya. Hakikat budaya birokrasi indonesia merupakan akumulasi perilaku aparatur birokrasi yang tercermin dari sikap dari tingkah
Laku dan tutur kata dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Kebobrokan bitrokrasi kita, khususnya berkaitan dengan sifat feodal, korup dan sogok, phobia terhadap kritik, boros dan mewah, arogansi, mencari kambing hitam, cepat puas diri, tidak adil, kurang komitmen, kurang koordinasi, semua itu menjadi patologi birokrasi yakni; suatu birokrasi sebagai lembaga yang tidak sehat yang sukar diharapkan menghasilkan kinerja yang optimal. Harrison dan Haungtington mendefinisikan budaya sebagai “community specific ideas about what is true, good, beautyful and efficient”. Bila dilihat pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami budaya birokrasi, maka sifat hakikat kebudayaan yang juga berlaku dilingkungan birokrasi adalah kebudayaan sebagai suatu kumpulan aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Budaya menjalankan sejumlah fungsi didalam sebguah organisasi: Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang, Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi. Lako mengemukakan bahwa untuk membangun strategi budaya birokrasi yang kuat, adaptif dan transformatif beberapa strategi yang harus ditempuh yaitu: Merekrut dan mengembangkan pola kepemimpinan yang transfoormasional,
Mendesain kembali strategi manajemen sumber daya manusia (SDM) berbasis pada budaya birokrasi, Mendesain kembali strategi sistem organisasi agar sesuai dengan trend lingkungan stakeholders dan pergeseran paradigma dari variabel-variabel mega-environments, Mendesain kembali struktur organisasi yang memisahkan tugas dan tanggung jawab struktural dan fungsional secara jelas dan tegas, Merancang bangun kembali sistem manajemen dan sistem pengendalian yang berbasis pada sharred vallues budaya birokrasi. Dengan demikian segala struktur birokrasi yang ada dapat terwujud dengan efektif dan efisien.
Kesimpulan Birokrasi bertujuan untuk mengelola secara sistemik pelayanan bagi kepentingan masyarakat banyak. Yang menjadi tugas dan tanggung jawab seorang birokrat tidak lain yaitu untuk memberi pelayanan yang baik terhadap semua masyarakat bukan memberikan pelayanan bagi dirinya sendiri. Membangun budaya birokrasi adalah membangun adat kebiasaan birokrat yang mencerminkan pola pikir, pola sikap dan pola bertindak untuk kepentingan umum. Dengan demikian semua srtuktur yang ada dapat tercapai dengan efektif dan efisien.
Sekian Terima kasih Sekian Terima kasih