Perbedaan wawancara & etika peliputan Sesion #11 Perbedaan wawancara & etika peliputan Dini Safitri M.Si Hubungan Masyarakat DIII Fakultas Ilmu Sosial
Tujuan wawancara jurnalistik Mendapatkan informasi Menjaring pendapat Pendalaman masalah dari narasumber Dalam pelaksanannya diperlukan kredibilitas narasumber 15/09/2018 © 2010 Universitas Negeri Jakarta | www.unj.ac.id |
Media Cetak Penampilan wartawan tidak diutamakan Penekanan pada merumuskan kata, rewrite (menulis ulang) jawaban, obyektif menyusun kata 15/09/2018 © 2010 Universitas Negeri Jakarta | www.unj.ac.id |
Radio Penampilan wartawan tidak diutamakan Penekanan pada penggambaran, probing, menjaga emosional dan nada suara Hasil akhir adalah tayangan audio, live Kemampuan wartawan lebih ditekankan kepada suara dan vokal/intonasi
Televisi Penampilan wartawan diutamakan Penekanan pada opening & closing probbing/rapport, menjaga emosional dan tampilan. Hasil akhir audio visual, live Kemampuan wartawan pada vokal/intonasi, mimik dan variasi gambar
Etika Peliputan Dalam peliputan, seringkali terjadi konflik antara wartawan dan narasumber. Tak jarang berita yang kita tayangkan menuai somasi dari narasumber. Untuk menghindari hal tersebut, jurnalis harus memiliki etika dalam peliputan. Etika peliputan di sini didasarkan pada Keputusan Komisi Peyiaran Indonesia No. 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia.
Pencegatan atau Doorstopping Dalam peliputan, kita seringkali harus mencegat narasumber untuk diwawancarai atau diambil gambarnya. Dalam dunia jurnalistik televisi, ini lazim disebut doorstopping. Doorstopping atau pencegatan adalah tindakan menghadang narasumber tanpa perjanjian untuk ditanyai atau diambil gambarnya. Dalam doorstopping atau pencegatan ini, berdasarkan pasal 22 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, wartawan televisi harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Hanya dapat mencegat narasumber di ruang publik. b. Tidak memaksa atau mengintimidasi narasumber. c. Menghormati hak narasumber untuk tidak menjawab atau tidak berkomentar.
Privasi Mereka yang Tertimpa Musibah Dalam peristiwa bencana, kecelakaan, atau kriminalitas, kita seringkali harus mengambil gambar atau mewawancarai para korban. Dalam hal ini, jurnalis televisi harus memperhatikan privasi para korban atau mereka yang tertimpa musibah. Sesuai dengan pasal 23 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, jurnalis televisi harus mengikuti ketentuan seperti berikut: Peliputan subyek yang tertimpa musibah harus dilakukan dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya. Tidak boleh memaksa, menekan, mengintimidasi korban kecelakaan, bencana, atau kejahatan serta mereka yang berduka. Tak boleh mewawancarai korban kejahatan asusila secara terperinci.
Narasumber Anak dan Remaja Kita harus hati-hati ketika mewawancarai atau menjadikan anak dan remaja Sebagai narasumber. Berkaitan dengan itu, Pasal 18 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, mengatur hal-hal sebagai berikut: Anak dan remaja di bawah 18 tahun tak boleh diwawancarai mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, misalnya tentang kematian orangtua, perceraian orangtua, atau perselingkuhan. Keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber harus dipertimbangkan. Anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses pengadilan, terlibat kejahatan seksual atau menjadi korban kejahatan seksual harus disamarkan atau dilindungi identitasnya.