MEMAHAMI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PERKARA NOMOR 33/PUU-IX/2011 Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.
ACKNOWLEDGEMENT Bapak Dr. Iur. Agusman Damos, S.H., M.A. Bapak H.E. Rachmat Budiman Bapak Abdulkadir Jailani, S.H, M.H., M.A. Bapak dan Ibu yang berdinas di Kementerian Luar Negeri, khususnya Direktorat Perjanjian Internasional
FAKTA Pemohon berasumsi bahwa regionalisme ASEAN adalah alat penjajahan baru Pemohon berasumsi bahwa ASEAN adalah bentuk neo- koloniaslisme dan imperialisme Pemohon berasumsi bahwa Piagam ASEAN merupakan landasan hukum berlakunya AFTA dan FTA dengan negara- negara lain di luar negara anggota ASEAN Pemohon berasumsi bahwa pelaksanaan agenda ekonomi pasar bebas bertentangan dengan UUDNRI 1945
LANDASAN HUKUM DAN TEORI Pasal 24C Ayat 1 UUDNRI 1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Pasal 10 Ayat 1 huruf a UU MK menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ...”
LANJUTAN… Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan “Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang adalah perjanjian yang berhubungan dengan: Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan kemanan negara; Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; Kedaulatan atau hak berdaulat negara; Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; Pembentukan kaidah hukum baru; Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
LANJUTAN… Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karenanya setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme Pengujian Undang-Undang.
LANJUTAN… Pemohon tidak tahu di mana posisi UU pengesahan/ratifikasi dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga pemohon menggunakan beberapa pandangan para ahli HTN, antara lain: Prof. Jimly Asshiddiqie Prof. Arifin Soeriaatmaja Pemohon berasumsi bahwa UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN adalah jenis UU yang dimaksud dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Pemohon berasumsi dengan menggunakan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000, bahwa UU Nomor 38 Tahun 2008 adalah kaedah hukum baru kaidah hukum baru menyangkut sistem ekonomi dan pembangunanan ekonomi di Indonesia yang mengadopsi nilai-nilai dari luar yang tentu saja dapat diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945.
LANJUTAN… Pemohon berasumsi bahwa menurut Pasal 44 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 dijelaskan tentang lampiran dari Undang-Undang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang itu sendiri, sehingga karenanya termasuk juga sebagai objek yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
ISU HUKUM Apakah UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN adalah UU yang membuat berlakunya Piagam ASEAN di Indonesia?
ANALISIS Pendapat MK: [3.17] Ketentuan dalam Piagam ASEAN tidak berlaku secara serta merta dengan disahkannya UU Nomor 38 Tahun 2008 karena Pasal 5 Ayat 2 Piagam ASEAN menyatakan “Member States shall take all necessary measures, including the enactment of appropriate domestic legislation, to effectively implement the provisions of this Charter and to comply with all obligations of membership.” Pendapat MK ini benar adanya karena hukum internasional tidak pernah memaksa suatu negara untuk menerapkan secara langsung isi dari suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Menurut Vazquez, kalimat di atas menunjukkan Kalimat tersebut sebenarnya menggambarkan sifat dari perjanjian internasional tersebut bahwa “the treaty itself is not justiciable when the treaty’s term call for domestic implementing legislation.”
LANJUTAN… [3.18.3] Meskipun Negara Indonesia telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional, namun sebagai sebuah negara yang berdaulat Negara Indonesia tetap mempunyai hak secara mandiri untuk memutus keterikatan dengan perjanjian internasional yang telah dibuat atau yang padanya negara Indonesia terikat, setelah secara internal mempertimbangkan keuntungan atau kerugiannya baik untuk tetap terikat, ataupun untuk tidak terikat dengan mempertimbangkan risiko atas keputusan untuk keluar dari suatu perjanjian internasional. Bagian ini saya tidak sependapat karena Majelis terpengaruh oleh Pasal 18 UU Nomor 24 Tahun 2000 dan pendapat ahli hukum HTN. Dalam Konvensi Wina 1969 negara tidak boleh menarik diri dari sebuah perjanjian internasional secara unilateral karena dipastikan akan melanggar Pasal 26 tentang Pacta sunt Servanda, kecuali ada kondisi rebus sic stantibus.
LANJUTAN… [3.23.1] bahwa terhadap perjanjian internasional, dalam hal ini ASEAN Charter yang mengambil bentuk hukum Undang-Undang, yaitu UU 38/2008 sebagai wadahnya, Mahkamah perlu menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: “Undang-Undang mempunyai kekuatan hukum mengikat atas substansi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut (objek) dan mengikat terhadap pihak-pihak yang membuat perjanjian (subjek) dalam hal ini adalah negara-negara yang membuatnya.” Saya berpendapat bahwa Majelis telah salah memahami makna UU karena UU hanya berlaku bagi negara dengan individu (pidana) dan individu dengan individu (perdata). UU Nomor 38 Tahun 2008 tidak mungkin berlaku bagi negara-negara karena negara lain karena yang berlaku bagi negara-negara adalah hukum internasional. Ini merupakan dasar pertimbangan yang salah dari Majelis.
LANJUTAN… [3.23.2] Undang-Undang berlaku sebagai norma hukum, maka negara Indonesia dan negara lain, dalam hal ini negara ASEAN wajib terikat secara hukum oleh UU 38/2008. Pertimbangan Majelis yang seperti ini jelas tidak dapat dibenarkan karena jurisdiksi negara dibatasi oleh jurisdiksi negara lain, dengan kata lain, UU Indonesia hanya berlaku di wilayah Indonesia, tidak mungkin diperluas hingga ke negara lain. Lihat: Kasus Kongo v. Belgia terkait dengan “international arrest warrant in absentia” dengan menggunakan UU transformasi Belgia. Pertimbangan menarik dari Majelis “Kewajiban yang dibebankan kepada suatu negara oleh perjanjian internasional tidaklah lahir karena perjanjian internasional bersangkutan telah disahkan sebagai Undang-Undang oleh pihak negara lain tetapi kewajiban tersebut lahir karena para pihak dalam hal ini negara-negara sebagai subjek hukumnya telah menyetujui bersama suatu perjanjian.” Memang benar, bahwa negara memiliki kewajiban di level internasional (kepada negara lain) dan kewajiban di level nasional. UU pengesahan perjanjian internasional merupakan kewajiban negara di level nasional, dan tidak ada korelasinya dengan kewajiban internasional yang diemban oleh negara kepada negara lain.
LANJUTAN… [3.23.3] Bahwa penggunaan UU sebagai bentuk formil dari persetujuan DPR kepada Presiden perlu ditinjau kembali. Sebenarnya dengan adanya putusan dari MK ini, publik menjadi lebih paham apa yang dimaksud dengan UU ratifikasi [saya lebih sepakat nama UU nya adalah UU persetujuan, disesuaikan dengan makna yang ditulis dalam Pasal 11 UUDNRI 1945] dan UU transformasi. Persetujuan DPR kepada Presiden sebenarnya tidak harus berbentuk UU tetapi bisa dengan nomenklature yang lain, seperti surat atau bentuk lain yang disepakati, karena munculnya UU ratifikasi/pengesahan tidak memberikan efek apapun bagi masyarakat di level nasional.
LANJUTAN… [3.24] Bahwa diakui bahwa isi dari ASEAN Charter adalah merupakan kebijakan makro dari negara dan keberlakuannya tidak bergantung pada hukum nasional, melainkan bergantung pada kesepakatan negara-negara ASEAN itu sendiri. Setiap perjanjian internasional keberlakuannya ditentukan oleh negara-negara yang membuat, dan selalu dimasukkan ke dalam “final provisions” pada bagian “entry into force”. Jika belum berlaku maka perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum di pengadilan internasional [3.25] Bahwa Majelis berpendapat bahwa dalil yang diajukan oleh Pemohon tidak beralasan.
LANJUTAN… [4] Bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum. [5] Bahwa Majelis menolak permohonan dari Pemohon untuk seluruhnya.
DISSENTING OPINIONS Dissenting opinions memiliki makna “berbeda dengan putusan Majelis dan memiliki alasan/pertimbangan hukum sendiri.” Bagi saya dissenting opinions yang disampaikan oleh Hakim Hamdan Zoelva dan Hakim Maria Farida, lebih pas jika disebut dengan “separating opinions” [digunakan oleh ICJ] atau “concurring opinions” [digunakan oleh pengadilan di AS]. Mengapa demikian? Karena kedua Hakim tersebut sebenarnya sepakat dengan putusan Majelis yaitu “menolak permohonan untuk seluruhnya”, namun kedua Hakim tersebut memiliki alasan/pertimbangan hukum sendiri.
PENDAPAT HAKIM HAMDAN ZOELVA Bahwa UU pengesahan hanyalah bentuk pengikatan diri Indonesia kepada perjanjian internasional, dan semata-mata sebagai bentuk adopsi suatu perjanjian internasional yang tidak serta merta berlaku sebagai UU yang dapat mengikat warganegara. Hakim Hamdan Zoelva memandang hukum internasional dari sisi hukum tata negara, sehingga beliau belum paham bahwa UU pengesahan bukan bentuk pengikatan diri pada perjanjian internasional (karena beliau melihat istilah ratifikasi dan di Konvensi Wina 1969 ratifikasi adalah salah satu bentuk “consent to be bound by a treaty”). Namun, Hakim Hamdan Zoelva benar jika UU pengesahan bukan merupakan UU yang membuat perjanjian internasional berlaku di Indonesia.
LANJUTAN… Perbedaan mendasar antara UU pada umumnya dengan UU pengesahan, yaitu: UU berlaku bagi setiap orang di Indonesia, sedangkan perjanjian internasional berlaku bagi negarasebagai subyek hukum internasional dan tunduk pada asas “pacta sunt servanda”. Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam perjanjian internasional tidak serta merta berlaku bagi setiap warganegara, seperti yang telah dicantumkan dalam Pasal 5 Ayat 2 Piagam ASEAN. Pemberian nama UU untuk persetujuan DPR kepada Presiden dirasa tidak tepat. UU persetujuan DPR kepada Presiden atas perjanjian internasional tidak dapat menjadi obyek “judicial review” di MK. Sebagai konsekuensinya adalah permohonan tidak dapat diterima.
LANJUTAN… Dissenting opinions dari Hakim Hamdan Zoelva ini menarik dan terkesan lebih keras dalam melihat kasus ini tetapi saya tidak sepakat jika beliau mengatakan bahwa permohonan ini seharusnya tidak diterima karena ini adalah kasus pertama di Indonesia terkait dengan keberadaan UU pengesahan perjanjian internasional sehingga ini bisa menjadi ilmu baru bagi mahasiswa hukum dalam memahami hukum internasional di Indonesia. Namun, jika di masa mendatang ada kasus yang mempermasalahkan keberadaan UU pengesahan perjanjian internasional, maka putusan MK ini dapat menjadi rujukan untuk tidak diterimanya kasus tersebut oleh MK
PENDAPAT HAKIM MARIA FARIDA Secara substansi perundang-undangan, isi UU pengesahan perjanjian internasional berbeda dengan UU pada umumnya, terutama pada bagian pembahasan dan batang tubuh. Dalam UU pengesahan hanya terdiri dari 2 pedoman, sedangkan untuk UU pada umumnya, dalam batang tubuh terdiri dari 98 pedoman, yang mana di dalamnya terdapat banyak norma yang terbagi dalam: Ketentuan umum Materi pokok yang diatur Ketentuan pidana (jika diperlukan) Ketentuan peralihan (jika diperlukan) Ketentuan penutup
LANJUTAN… Dalam UU pengesahan perjanjian internasional, persetujuan DPR kepada Presiden hanya terfokus pada proses ratifikasi yang akan dilakukan oleh Presiden atas perjanjian internasional yang ditujukan kepada NEGARA. Berbeda dengan UU pada umumnya, substansi peraturan perundang- undangan ditujukan kepada INDIVIDU yang berada di wilayah NKRI. Kesimpulannya adalah UU pengesahan perjanjian internasional tidak mengikat individu atau masyarakat tetapi hanya mengikat pihak yang berjanji, yaitu negara. Permohonan pemohon seharusnya tidak dapat diterima (niet ontvankelijkverklaard)
KESIMPULAN UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN bukan merupakan UU yang membuat perjanjian internasional berlaku di Indonesia, tetapi bagi Indonesia; UU pengesahan adalah bentuk dari persetujuan DPR kepada Presiden untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 UUDNRI 1945; Ratifikasi tidak membuat perjanjian internasional mengikat individu/masyarakat, tetapi mengikat pihak yang berjanji, yaitu negara; dan UU pengesahan bukan merupakan obyek “judicial review” di Mahkamah Konstitusi.
TERIMAKASIH