MELIPUT BAHAN TULISAN Dr. Made Pramono, M.Hum.
Fakta, Peristiwa, dan Khayalan
Apa sajakah yang bisa disebut sebagai bahan tulisan? Yang bisa dikatagorikan sebagai bahan tulisan adalah fakta, peristiwa, gagasan, lamunan, keinginan, angan-angan (khayalan) dll. Apakah yang disebut sebagai fakta? Menurut KBBI, fakta adalah n hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Apakah yang disebut sebagai peristiwa? Menurut KBBI, peristiwa adalah n 1 kejadian (hal, perkara, dsb); kejadian yang luarbiasa (menarik perhatian dsb); yang benar-benar terjadi: memperingati — penting di sejarah; 2 pd suatu kejadian (kerap kali dipakai untuk memulai cerita): sekali –;
Mengapa gagasan, lamunan, keinginan, impian, khayalan dll Mengapa gagasan, lamunan, keinginan, impian, khayalan dll. juga bisa dijadikan bahan tulisan non fiksi? Karena banyak perubahan di dunia ini yang diawali dengan kombinasi antara fakta dan peristiwa dengan lamunan dan impian. Misalnya fakta dan peristiwa tentang tutup cerek yang bergerak-gerak karena didorong oleh uap air mendidih, ketika dikombinasikan dengan lamunan James Watt, telah mengubah dunia dengan mesin uapnya, yang kemudian berkembang menjadi berbagai mesin penggerak lain.
Mungkinkah khayalan murni dijadikan bahan artikel? Khayalan murni tidak hanya bisa dijadikan fiksi melainkan juga tulisan non fiksi. Dalam hal ini sebagai bahan artikel. Contohnya pernah ada artikel di Harian Kompas dengan judul: Seandainya Saya Menjadi Presiden. Isinya jelas murni khayalan. Namun karena bentuk tulisannya artikel, maka khayalan itu dibuat relevan dengan fakta dan peristiwa aktual saat ini.
Data Primer dan Sekunder
Apakah semua fakta, peristiwa dan khayalan bisa dijadikan bahan tulisan? Tidak semua fakta, peristiwa dan khayalan bisa dijadikan bahan tulisan. Yang bisa menjadi bahan tulisan hanyalah yang paling menarik bagi penulis. Meskipun setelah menjadi tulisan, belum tentu tulisan tersebut menarik bagi penerbit dan pembaca.
Apakah semua fakta, peristiwa dan khayalan yang menarik bagi penulis bisa langsung ditulis? Bisa saja. Tetapi hasilnya bisa tidak lengkap dan tidak akurat. Bagaimana agar fakta, peristiwa dan khayalan itu ketika ditulis bisa menjadi lengkap dan akurat? Caranya, fakta, peristiwa dan khayalan yang menarik itu, masih harus dikumpulkan, didokumentasikan, diseleksi, diberi sistematika (dikelompokkan secara sistematis), baru kemudian bisa ditulis. Kalau perlu dengan terlebih dahulu dianalisis.
Di manakah bisa diperoleh data primer dan data sekunder? Disebut apakah fakta, peristiwa dan khayalan yang telah didokumentasikan tersebut? Semuanya bisa disebut sebagai data. Ada data primer (dari tangan pertama) ada data sekunder (dari tangan kedua/bank data, perpustakaan dll), data tersier dst. Di manakah bisa diperoleh data primer dan data sekunder? Data primer harus didapat secara langsung dari sumber pertama. Sementara data sekunder dst. bisa diperoleh secara estafet melalui sumber-sumber tidak langsung.
Sumber Bahan
Apakah yang disebut sebagai sumber bahan? Yang disebut sebagai sumber bahan adalah alam (batu-batuan, bukit, gunung, sungai, rawa, danau, laut, salju, kawah gunung api, langit, awan, bulan, bintang, matahari dll); makhluk hidup (tumbuhan, binatang dan manusia dengan berbagai peralatannya); dan dunia spiritual/supranatural (Tuhan, malaikat, setan, jin, hantu, kuntilanak, drakula, vampir, kolor ijo dll).
Apakah semua obyek tersebut bisa dijadikan bahan tulisan? Benar. Asal menarik bagi penulis dan memungkinkan untuk diambil dan dikumpulkan. Dari manakah bahan-bahan itu bisa diambil dan dikumpulkan? Pertama, bahan tulisan bisa dikumpulkan sendiri secara langsung. Baik dengan cara pengamatan, penelitian maupun keterlibatan. Kedua, melalui sumber indivudual. Baik sumber primer (pelaku langsung) maupun sekunder (bukan pelaku langsung). Ketiga, melalui institusi (lembaga). Baik lembaga pemerintah, militer, keagamaan, BUMN, swasta, perguruan tinggi, media massa, LSM dll.
Secara konkrit, berupa apakah bahan tulisan tersebut? Secara konkrit, bahan tulisan tersebut berupa kliping koran/majalah, buku, brosur, booklet, poster, prasasti, daftar, katalog, pengumuman, iklan, undangan, e-mail, weeb site dll. Di manakah bahan tulisan paling banyak terhimpun? Secara umum, bahan tulisan paling banyak terkumpul di perpustakaan umum. Selain di perpustakaan, bahan tulisan juga bisa diperoleh di lembaga pemilik data seperti Badan Pusat Statistik, Gedung Arsip (nasional maupun daerah), Museum, lembaga penelitian, kantor berita dll.
Cara Pengumpulan Bahan
Bagaimanakah cara pengumpulan bahan tulisan? Bahan tulisan bisa dikumpulkan dengan pengamatan, penelitian dan keterlibatan langsung terhadap obyek. Bisa pula dengan mewawancarai sumber bahan, meminta secara gratis, bekerjasama (nama sumber ikut dicantumkan, honornya dibagi dua), membeli (baik cash maupun kredit) dan investigasi. Apakah fisik bahan tulisan harus diambil secara langsung oleh penulis? Kalau bahan tulisan itu berupa buku dan buku itu harus dikopi di perpustakaan atau dibeli di toko buku, maka pengambilannya harus dilakukan secara langsung terhadap fisik bahan.
Bagaimanakah kalau bahan fisik itu tidak bisa diambil secara langsung? Bahan tersebut bisa dipesan. Misalnya seorang penulis artikel yang tinggal di Yogya, memerlukan bahan berupa buku yang hanya ada di salah satu perpustakaan di Jakarta. Kalau dia datang ke Jakarta secara langsung, pasti akan berat di ongkos. Caranya, dia bisa menelepon petugas perpustakaan, minta dikopikan bahan tersebut, dikemas dan dikirimkan kepadanya. Petugas akan menyebutkan biayanya yang bisa ditransfer ke rekening perpustakaan atau petugas tersebut. Bukti transfer difax dan barang akan dikirim.
Apakah dimungkinkan hanya telepon saja atau mengekses di internet? Apakah tidak mungkin hanya mengambil satu atau dua halaman dari buku tersebut untuk difaxkan kepadanya? Bisa saja kalau yang diperlukan memang hanya beberapa halaman dari buku tersebut, dan petugas perpustakaan bersedia melayaninya. Apakah dimungkinkan hanya telepon saja atau mengekses di internet? Telepon hanya layak dilakukan untuk wawancara singkat atau konfirmasi kebenaran fakta, peristiwa atau data. Internet atau weeb bisa dimanfaatkan karena inilah cara paling murah dan mudah untuk memperoleh bahan tulisan.
Sistematika Pengelompokan Bahan
Apakah yang dimaksud dengan sistematika pengelompokan bahan? Sistematika pengelompokan bahan adalah cara agar bahan yang demikian banyak dan tidak beraturan menjadi rapi hingga lebih mudah dimanfaatkan sebagai bahan tulisan.
Bagaimanakah cara pengelompokan bahan-bahan tersebut? Secara umum, bahan dikelompokkan sesuai dengan bidangnya. Misalnya bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, humaniora dll. Bidang tersebut bisa dikelompokkan lagi menjadi sektor. Misalnya bidang ekonomi menjadi sektor industri, perdagangan, jasa, pariwisata, pertambangan, pertanian, perhubungan dll.
Bagaimanakah kalau pengelompokan dalam sektor tersebut masih membingungkan kita? Bahan tersebut bisa dikelompokkan lagi dalam sub sektor, sub-sub sektor dan komoditas. Misalnya sektor industri menjadi sub sektor industri logam, keramik, kayu, elektronik, otomotif dll. Sub sektor dikelompokkan lagi menjadi sub-sub sektor dan komoditas. Misalnya sub sektor industri logam secara spesifik bisa dirinci menjadi industri baja, aluminium, tembaga, emas, perak, dll. sampai ke komoditasnya. Misalnya industri panci aluminium, gelang perak, kabel tembaga dll.
Apakah ada cara pengelompokan selain bidang, sektor, sub sektor dan komoditas? Ada, yakni pengelompokan berdasarkan aspek hulu hilirnya (proses). Misalnya industri buku. Pelakunya adalah penerbit. Aspek hulunya adalah penulisan naskah, pembuatan foto, gambar, grafis dll. Aspek tengahnya adalah editing, seting/layout dan cetak/jilid. Aspek hilirnya adalah ekspedisi, toko buku (pamasaran) dan promosi. Selain itu masih ada aspek pendukung yakni administrasi, keuangan, PSDM dll.
Bagaimanakah dengan pengelompokan sumber bahan yang siap pakai? Sumber bahan yang siap pakai misalnya kliping, dokumentasi, buku dll. bisa dikelompokkan dalam index judul, index penulis dan index subyek/obyek. Bisa pula gabungan antara ketiganya.
Meliput dan Wawancara
Apakah yang disebut sebagai meliput dan wawancara? Meliput adalah “hunting” informasi. Hingga kegiatannya bisa hanya datang ke perpustakaan, pertunjukan, bencana alam, kecelakaan, pembangunan jembatan dll. tanpa perlu melakukan wawancara. Pekerjaan konkrit yang dilakukan adalah pengamatan lapang (kondisi setempat, masyarakat dll. kalau perlu dipotret), pengumpulan data (docopy, dicatat), menonton (untuk pertunjukan, pertandingan), membaca (di perpustakaan), makan dan berbelanja (untuk menulis rubrik restoran/menu atau belanja) dll.
Mengapa banyak pihak yang menganggap meliput hanya sebagai wawancara? Karena banyak penerbit yang mempekerjakan wartawan yang tidak memiliki standar pendidikan kewartawanan (jurnalistik), dan penerbitan tersebut tidak melakukan inhouse training pendidikan kewartawanan. Akibatnya, pekerjaan meliput hanya diartikan sebagai mendatangi narasumber dan mewawancarainya. Datang ke seminar juga hanya untuk meminta makalahnya dst.
Apakah meliput bisa dilakukan dengan tanpa persiapan? Tidak mungkin. Bahkan untuk meliput perang, seorang wartawan mutlak dilengkapi dengan pengetahuan kemiliteran, bahkan juga peralatannya seperti rompi anti peluru. Persiapan untuk meliput konser misalnya, juga harus disertai dengan pengetahuan mengenai grup musik tersebut, jenis musiknya, sejarahnya, fansnya dll. Wawancara harus dilakukan dengan cara diskusi, bukan sekadar tanya-jawab. Untuk itu wartawan mutlak memerlukan pengetahuan standar mengenati subyek yang akan dibicarakan dengan narasumber.
Apakah dalam meliput seseorang harus merekam hasil wawancara dan memotret peristiwa atau obyek yang diliputnya? Sebaiknya hasil wawancara dicatat dan sekaligus direkam dengan alat perekam. Rekaman dimaksudkan untuk melengkapi hasil catatan serta untuk bukti apabila ternyata narasumber membantah hasil wawancaranya setelah dimuat media massa. Foto dimaksudkan untuk menunjukkan bukti otentik bahwa penulis artikel/feature benar-benar mendatangi lokasi dari obyek yang ditulisnya.
Bisakah seseorang menulis artikel atau feature tanpa mendatangi obyek yang akan ditulisnya secara langsung? Dalam menulis artikel, seseorang bisa tidak perlu mendatangi obyek yang ditulisnya secara langsung. Namun dalam menulis feature, penulis mutlak harus melakukan peliputan.
Hak Cipta dan Kode Etik
Apakah semua bahan bisa diambil untuk dijadikan tulisan? Tidak semuanya bisa. Sebab bahan tulisan ada yang memilikinya dan dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku secara universal (Intellectual Property Right = Hak Kekayaan Intelektual / HAKI).
Bagaimanakah kalau kita tidak melakukan hal tersebut? Apakah berarti bahan-bahan yang ada pemiliknya dan dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta itu tidak bisa dijadikan sebagai bahan tulisan? Masih bisa. Caranya dengan meminta ijin, bekerjasama, membeli, hanya mengambil bagian yang diperlukan (maksimal 10% dari total) dengan menyebutkan sumbernya. Bagaimanakah kalau kita tidak melakukan hal tersebut? Kalau pemilik bahan tahu, kita bisa dituntut secara pidana (plagiat), perdata atau niaga (melalui Pengadilan Niaga).
Bagaimana dengan bahan-bahan tulisan yang tidak ada pemiliknya dan tidak dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta? Dalam dunia penulisan, masih ada yang disebut kode etik atau etika penulisan. Salah satunya dengan wajib menyebut sumber atau justru menyembunyikannya. Wajib menyebut sumber, bertujuan untuk menghormatinya. Sementara wajib menyembunyikan, bertujuan demi keamanan dan kenyamanan sumber tersebut. Misalnya, ketika H.B. Jassin selaku Pemimpin Redaksi Majalah Sastra diadili karena memuat cerpen Ki Panji Kusmin (nama samaran), berjudul Langit Makin Mendung pada tahun 1960an, maka dia tetap menyembunyikan identitas sang penulis sampai meninggalnya. Media massa pun (majalah Tempo), baru bersedia mengungkap identitas Ki Panji Kusmin setelah H. B. Jassin Meninggal dunia tahun 2000an.
Bagaimanakah kalau kode etik dilanggar? Pelanggaran kode etik tidak ada sanksi hukumnya. Tetapi sanksi sosial dan moral akan ada. Misalnya seorang penulis bisa diblacklist (dikucilkan) oleh penerbitan. Mayarakat tidak mau lagi membeli bukunya dsb.