Nama : Irvan Saepulloh NIM :

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
SISTEM PEREKONOMIAN FENARO Rai.E - Mak.
Advertisements

PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM)
Program Magister Manajemen
KEBIJAKAN MONETER & KEBIJAKAN FISKAL
Tugas kelompok Ekonomi
TEORI PENGELUARAN NEGARA
A. Pengertian APBN dan APBD 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Transmisi Moneter.
Kebijakan moneter A. Ika Rahutami.
KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER
KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER
KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO DAN MIKRO Eny Lia purwandari A
PENGARUH PENAGIHAN PAJAK DAN KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK (SURVEY PADA KPP PRATAMA CICADAS BANDUNG) Disusun oleh : SHINTIANA SALAM.
Permintaan dan Penawaran Agregat (AD – AS)
PETA KOMPETENSI 4 Dapat menjelaskan peran BUMN dan BUMD sebagai sumber penerimaan publik 5 Dapat menjelaskan administrasi perpajakan 6 Dapat menganalisis.
Keseimbangan Empat Sektor
Pendapatan national Pertemuan 9.
Teori Ekonomi Keynes: Pasar Uang dan Pasar Tenaga Kerja
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM EKONOMI MAKRO DAN MIKRO
PERTEMUAN 10 APBN, KEBIJAKAN FISKAL DAN UTANG LN
TEORI EKONOMI MAKRO.
Garapan Drs. Puji Suharjoko
Mengukur Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dalam perhitungan pendapatan nasional (Y) LILI WINARTI, SP.MP.
Siklus Bisnis.
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
Tugas Ekonomi Pendapatan Nasional dan Inflasi
INFLASI.
Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Inflasi dan Indeks Harga
KEBIJAKAN MONETER.
PENGANTAR ILMU EKONOMI INFLASI DAN DEFLASI
KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER
KEBIJAKAN MONETER Yayat Sujatna
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Sektor Industri
KEBIJAKAN MONETER & KEBIJAKAN FISKAL
BAHAN AJAR EKONOMI Kelas X Semester 2.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM EKONOMI MAKRO DAN MIKRO
INFLASI.
INFLASI.
Kebijakan moneter.
TINJAUAN RINGKAS MENGENAI TEORI, MASALAH DAN KEBIJAKAN MAKROEKONOMI
Kebijakan Moneter.
Inflasi dan Indeks Harga
KEBIJAKAN EKONOMI LENI PRAMITA A
KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER: MODEL ANALISIS IS-LM
PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
NAMA : LUKMAN JATI U NO : 26 KELAS : XMIA7.
PERTUMBUHAN UANG DAN INFLASI
Ekonomi Makro (Konsep Dasar Ekonomi Makro)
Perkembangan Perekonomian Indonesia Setelah Krisis Moneter
PENGANTAR EKONOMI MAKRO
Garis Besar Materi Penyebab Krisis Moneter Indonesia
(Makroekonomi) Ruang Lingkup Analisis Ekonomi Makro
MATAKULIAH PENGANTAR ILMU EKONOMI TRIANI RATNAWURI,S.PD.,M.PD.
PENGARUH TARIF PAJAK TERHADAPTAX EVASION DAN IMPLIKASINYA PADA PENERIMAAN PAJAK (Survey pada KPP yang terdaftar di Kanwil Jawa Barat I) WINDY WIDIASTUTI.
PENGARUH DIVIDEN YIELD DAN ARUS KAS OPERASI TERHADAP RETURN SAHAM (Penelitian Pada Perusahaan Sektor Manufaktur Tahun ) KIRANA PRATIWI PUTRI
Pengaruh cash position dan debt to equity ratio terhadap dividend payout ratio pada pt. Recsalog geoprima skripsi oleh : lelly arumsari harswa
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENGHADAPI MASALAH EKONOMI
Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Model IS-LM
NAMA : IRMAN HERNADI NIM : KELAS : 4 AK2
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM EKONOMI MAKRO DAN MIKRO
KEBIJAKAN FISKAL. Pengertian kebijakan fiskal (Fiskal Policy )  Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian.
Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal
EKONOMI MIKRO dan EKONOMI MAKRO STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI PEMBELAJARAN.
Pengaruh Dividend Payout Ratio dan Return On Investment Terhadap Harga Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)
LINGKUNGAN EKONOMI By Nina Triolita, SE, MM.
Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan Fiskal dalam Hutang Pemerintah dan Pengaruhnya Bagi Perekonomian Negara Nama : Zuda Karimatur Rohmah NIM :
Teori Ekonomi Keynes: Pasar Uang dan Pasar Tenaga Kerja
Transcript presentasi:

Nama : Irvan Saepulloh NIM : 21108124 ANALISIS INFLASI TERHADAP PENERIMAAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH DI INDONESIA Pembimbing : Siti Kurnia Rahayu, SE., M.Ak., Ak Nama : Irvan Saepulloh NIM : 21108124

DEFINISI VaRIABEL Inflasi menurut Tajul Khalwaty (2000) Inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrisik) mata uang suatu negara. Pajak Pertambahan Nilai menurut Soemarso S.R (2003) Pajak pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan pada waktu perusahaan melakukan pembelian atas BKP/JKP yang dikenakan dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pengeluaran pemerintah menurut Sadono Sukirno (2000) Pengeluaran pemerintah adalah bagian dari kebijakan fiskal. yakni suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah tiap tahunnya yang tercermin dalam dokumenAPBN untuk nasional dan APBD untuk daerah/regional.

FENOMENA Fenomena Inflasi (X) Rusman Heriawan (2010) mengatakan tingginya inflasi Juli 2010 mencerminkan terjadinya pemulihan ekonomi pasca krisis global yang dialami dunia. Alasan kenapa inflasi tinggi karena memang Indonesia sedang mengalami hal yang sama yaitu pemulihan ekonomi yang menggairahkan masyarakat untuk melakukan konsumsi sehingga mendorong inflasi (Hardianto, 2010). Fenomena Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (Y) Abimayu (2004) mengatakan bahwa dalam pelaksanaan perpajakan termasuk PPN sering terjadi negosiasi antara petugas pajak dan wajib pajak dalam hal penetapan besarnya restitusi, pengawasan terhadap laporan keuangan wajib pajak, penagihan tunggakan, sampai dengan soal pengisian surat pemberitahuan tahunan. Lebih lanjut Abimayu (2004) juga mengatakan bahwa penerapan pajak termasuk PPN berkaitan dengan moral, kedisiplinan, dan kemampuan aparat perpajakan. Fenomena Pengeluaran Pemerintah (Z) Fenomena pengeluaran pemerintah di tahun 2011 kurang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pengeluaran pemerintah yang amat lambat bakal menyebabkan sejumlah implikasi pada perekonomian. Lambatnya pencairan pengeluaran APBN telah menghambat pertumbuhan ekonomi nasional dan menimbulkan masalah di sektor moneter. Ada dua implikasi dari lambatnya pencairan anggaran pemerintah yaitu dampak ke pertumbuhan ekonomi dan pengaruh ke sektor moneter karena bisa menambah tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah (Darmin Nasution, 2011).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dituangkan dalam suatu skema kerangka pemikiran sebagai berikut: INFLASI (X) PENGELUARAN PEMERINTAH (Z) PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (Y) Jurnal X ke Y The value-added tax (VAT) is often a major component of national fiscal structures. While its effects on allocative efficiency, inflation, income distribution, and tax administration have been addressed, little work exists on the theoretical base of a VAT, given its structure (Aguirre, Carlos A Shome, Parthasarathi, 1998). Jurnal X ke Z The proper focus of the political debate about government spending is its impact on their decisions. The evidence suggests that government spending has reduced investment almost dollar for dollar, that investment raises the real wage, and that increases in the real wage reduce inflation, hence the necessity for periodic recessions. To the extent that government spending adds to the government's debt, it reduces the value of future investments as well as current investment. The long-term effect on the tradeoff between unemployment and inflation - on real growth - would be entirely adverse (Treynor, Jack L, 1993). Jurnal Y ke Z Large government deficits raise the question of whether new taxes should be introduced. A value-added tax (VAT) is one candidate. Some critics believe, however, that increased tax revenues encourage increased government spending and that a VAT too easily raises additional revenue (Stockfisch, J A, 1985).

HASIL CORRELATION Berdasarkan hasil perhitungan manual dan output dari pengolahan data menggunakan software SPSS 17 for windows diperoleh nilai koefisien korelasi antara inflasi dengan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar -0,502 artinya hubungan korelasi antara inflasi dengan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sangat kurang. Koefisien korelasi bertanda negatif menunjukkan hubungan inflasi dengan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak searah, artinya jika inflasi tinggi maka penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berkurang. Adapun tingkat signifikasinya adalah 0,000 yang artinya pengaruh tersebut signifikan karena < 0,05. Kesimpulannya adalah korelasi antara inflasi dengan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai sangat kurang dan signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan manual dan output dari pengolahan data menggunakan software SPSS 17 for windows diperoleh nilai koefisien korelasi antara inflasi dengan pengeluaran pemerintah sebesar -0,515 artinya hubungan antara inflasi dengan pengeluaran pemerintah sangat kurang. Koefisien korelasi bertanda negatif menunjukkan hubungan antara inflasi dengan pengeluaran pemerintah tidak searah, artinya jika inflasi tinggi maka pengeluaran pemerintah menurun. Adapun tingkat signifikasinya adalah 0,000 yang artinya pengaruh tersebut signifikan karena < 0,05. Kesimpulannya adalah korelasi antara inflasi dengan pengeluaran pemerintah sangat kurang dan signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan manual dan output dari pengolahan data menggunakan software SPSS 17 for windows diperoleh nilai koefisien korelasi antara penerimaan pajak pertambahan Nilai (PPN) dengan pengeluaran pemerintah sebesar 0,990 artinya hubungan antara penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan pengeluaran pemerintah sangat tinggi. Koefisien korelasi bertanda positif menunjukkan hubungan antara penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan pengeluaran pemerintah searah, artinya jika penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tinggi maka pengeluaran pemerintah akan tinggi pula. Adapun tingkat signifikasinya adalah 0,000 yang artinya pengaruh tersebutsignifikan karena < 0,05. Kesimpulannya adalah korelasi antara dividen kas dengan harga saham sangat tinggi dan signifikan. (hal 103-104)

KOEFISIEN DETERMINASI Inflasi dan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Pengeluaran Pemerintah Melalui nilai koefisien determinasi (R Square) dapat diketahui bahwa secara bersama-sama inflasi dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai memberikan kontribusi (pengaruh) sebesar 98,1% terhadap pengeluaran pemerintah. Sedangkan sisanya sebesar 1,9% merupakan pengaruh faktor lain diluar kedua variabel yang sedang diteliti. (hal 110) PENGUJIAN HIPOTESIS Secara Simultan Berdasarkan gambar 4.6 diatas dapat dilihat bahwa H0 ditolak, karena Fhitung sebesar 688,493 berada pada daerah penolakan H0, sehingga disimpulkan bahwa inflasi dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara simultan (bersama-sama) berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Inflasi dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai memberikan kontribusi/pengaruh secara simultan sebesar 98,1% terhadap pengeluaran pemerintah. (hal 115) Secara Parsial Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Pada gambar 4.7 diatas dapat dilihat bahwa H0 ditolak, karena thitung sebesar -3,073 berada pada daerah penolakan H0, yang berarti bahwa Inflasi secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Inflasi memberikan kontribusi/pengaruh secara parsial sebesar 25,2% terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). (hal 119-120) Inflasi terhadap Pengeluaran Pemerintah Pada gambar 4.8 diatas dapat dilihat bahwa H0 diterima, karena thitung sebesar -0,703 berada pada daerah penolakan H0, yang berarti bahwa Inflasi secara parsial tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Inflasi memberikan tdak memberikan kontribusi/pengaruh secara parsial terhadap pengeluaran pemerintah. (hal 122)

Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Pengeluaran Pemerintah Pada gambar 4.9 diatas dapat dilihat bahwa H0 ditolak, karena thitung sebesar 31,706 berada pada daerah penolakan H0, yang berarti bahwa penerimaan PPN secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Penerimaan PPN memberikan kontribusi/pengaruh secara parsial sebesar 96,9% terhadap pengeluaran pemerintah. (hal 124-125) KESIMPULAN Indonesia mengalami laju inflasi yang berfluktuatif, sehingga mempengaruhi dikeluarkannya seperangkat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bertujuan untuk memulihkan kondisi pada saat ini jika kita lihat perkembangan laju inflasi pada orde lama, orde baru dan pasca baru mempunyai persoalan-persoalan terkendali yang menyebabkan tinggi rendahnya laju inflasi di Indonesia. Penerimaan PPN terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tetapi pada tahun 2009 penerimaan PPN mengalami penurunan hal ini disebabkan karena buruknya kinerja administrasi penarikan pajak. Bagi pemerintah Indonesia meningkatkan penerimaan pajak merupakan tantangan besar dalam rangka memelihara kebijakan fiscal yang berkelanjutan (sustainable fiscal policy) dan sekaligus menciptakan stimulus bagi bergeraknya roda perekonomian masyarakat (fiscal stimulus). Pajak berperan dalam mengatur sumber-sumber ekonomi, alokasi, distribusi dan stabilitasi. Oleh karena itu pajak mempunyai fungsi strategis bagi Negara Republik Indonesia. Pengeluaran Pemerintah dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, sebagaimana teori Musgrave dan Rostow menyatakan perkembangan pengeluaran negara sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Menurut Wagner menyatakan berdasarkan pengamatan dari negara-negara maju, disimpulkan bahwa dalam perekonomian suatu negara, pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita negara tersebut. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Meningkatnya pengeluaran pemerintah ini berkaitan erat dengan naiknya pengeluaran untuk belanja pegawai.

SARAN Untuk menangulangi inflasi, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat. Tujuan kebijakan tersebut untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan kestabilan harga dengan tepat. Bahwa pada dasarnya tingkat inflasi di Indonesia cukup tinggi karena tingginya tingkat jumlah uang beredar dan tekanan perekonomian, Pemerintah seharusnya tetap dan benar-benar memegang teguh sikap yang penuh kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Hal ini ditujukan untuk menimbulkan dalam penyejukan terhadap perkembangan kegiatan ekonomi. Perlu dikaji ulang kebijakan perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena belajar dari negara-negara yang tax ratio pajak secara keseluruhannya sudah tinggi, mereka cenderung konservatif dalam kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini karena dimaklumi bahwa kebijakan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terkait langsung dengan kelancaran arus barang dan jasa yang merupakan prasyarat bergeraknya roda perekonomian dan akan menciptakan multiplier effect yang pada gilirannya akan meningkatkan potensi pajak secara keseluruhan. Dari sisi Aggregate Supply, kondisi ini memerlukan pengendalian dan penataan sektor riil secara efektif. Stimulus kebijakan fiskal ekspansif melalui pengeluaran pemerintah untuk investasi, kebijakan upah, kebijakan bea masuk impor bahan baku produksi, penataan sistem serta mekanisme kerja sektor riil menyangkut regulasi dan kelembagaan yang menggairahkan sektor produksi, merupakan alternative dalam mengendalikan tekanan inflasi.