HUKUM PERDATA dan pidana Dwi Syafitri (08) Kevin Shagiira H. (15) M. Rifa’il Kharist (19) M. Nalendra Wicaksono (20) Saveraga Putra Snyders (29) Sofia Nur Kamalita (30) Syafiq Wiratama I. (31) Yogi S. Nababan (37)
HUKUM PERDATA A. Pengertian Hukum Perdata B. Pembagian Hukum Perdata Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan /pribadi. B. Pembagian Hukum Perdata Dilihat dari bentuknya, dapat dibedakan menjadi Hukum Perdata dalam arti luas Keseluruhan ketentuan-ketentuan mengenai keperdataan, baik yang terdapat dalam BW dan yang terdapat dalam WVK, dalam hal ini BW merupakan ketentuan atau hukum yang bersifat Lex Generalis terhadap BW. Artinya apabila terjadi pertentangan antara BW dengan WVK tentang suatu kasus tertentu, maka berlaku azas Lex Spesialis Derograt Lex Generalis, jadi dalam hal ini WVK dapat mengalihkan/mengesampingkan BW, artinya yang diberlakukan adalah ketentuan WVK tersebut.
Hukum Perdata dalam arti sempit Ketentuan-ketentuan mengenai keperdataan yang terdapat dalam WVK (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) atau peraturan perundang-undangan lainnya tentang keperdataan yang berada diluar BW (KUHPer). Contoh : UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia. Dilihat dari pengertiannya dibedakan menjadi : Hukum Perdata Materiil Hukum Perdata Formil
Hukum Perdata Materiil : adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam bidang hukum perdata. [Hukum Perdata Materiil inilah yang lazim disebut Hukum Perdata saja]. Hukum Perdata Formil : adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan Hukum Perdata Materiil tersebut. [Hukum Perdata Formil merupakan materi Hukum Acara Perdata].
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih bersifat plural atau beraneka ragam, dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keaneka ragaman Hukum Perdata di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia. Keaneka ragaman hukum ini bersumber pada ketentuan dalam pasal 163 IS [Indische Staatsregeling] yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya atas tiga golongan yaitu → Golongan Eropa, Golongan Bumi Putera, Golongan Timur Asing.
Sistematika Hukum Perdata Sistematika Hukum Perdata terdiri dari 4 buku yaitu : Buku I : Tentang Orang [van personen] Buku II : Tentang Benda [van zaken] Buku III : Tentang Perikatan [van verbintenissen] Buku IV : Tentang Pembuktian dan Daluwarsa [van bewijsen verjaring]
Hukum yang bersifat pelengkap adalah : Hukum Perdata menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya dapat dibedakan dalam : Hukum yang bersifat pelengkap adalah : peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan- peraturan hukum mana yang hanya berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Hukum yang bersifat memaksa adalah : peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Hukum Perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan.
Manusia sebagai Subyek Hukum A. Manusia HUKUM ORANG [PERSONENRECHT] Manusia sebagai Subyek Hukum A. Manusia Manusia adalah pengertian biologis → gejala dalam alam, gejala biologikal yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya. Sedangkan Orang adalah pengertian yuridis → gejala dalam hidup bermasyarakat . Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah Orang atau Persoon. Di Indonesia menurut hukum yang berlaku, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi artinya manusia diakui sebagai Orang atau persoon. Karena itu setiap manusia diakui sebagai Subyek Hukum [Recht Persoonelijkheid] yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pada agama, golongan, kelamin, umur, warga negara ataupun orang asing. Ataupun tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa [pejabat] ataupun rakyat biasa semuanya sama.
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK HUKUM MANUSIA/ORANG/PERSOON (DIAKUI) SEBAGAI SUBYEK HUKUM (YAITU) PENDUKUNG HAK DAN KEWAJIBAN (DIMULAI) SEJAK LAHIR (DIAKHIRI) APABILA MATI
Dalam Hukum Perdata dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Dalam pasal 3 BW dinyatakan : “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”. Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain : Kewarganegaraan ; misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Tempat tinggal ; misalnya dalam pasal 3 PP No. 24/1960 dan pasal 1 PP No. 41/1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya. Kedudukan atau jabatan ; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara. Tingkah laku atau perbuatan ; misalnya dalam pasal 49 dan 53 UU No.1/1974 disebutkan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/wali atau berkelakuan buruk sekali.
HUKUM KELUARGA [FAMILIERECHT] 1. Perkawinan A HUKUM KELUARGA [FAMILIERECHT] 1. Perkawinan A. Pengertian Perkawinan Menurut UU No.1/1974 pasal 1 : Perkawinan ialah : ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU No.1/1974 pasal 6 – 11 : Adanya persetujuan kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1); Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2-6); Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1); Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (pasal 8); Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal 9); Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (pasal 10); Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (pasal 11).
C. Pencatatan dan Tatacara Perkawinan Pencatatan : Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 dan 4 PP No. 9/1975). Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami/isteri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan UU yang dilanggar. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai.
Tatacara Perkawinan dilakukan menurut masing-2 hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai menanda – tangani akta perkawinan, maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi.
3. Putusnya Perkawinan pasal 38 UU No. 1/1974 adalah : Kematian Perceraian Atas keputusan Pengadilan
HUKUM HARTA KEKAYAAN Hukum Benda, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati. Hukum Perikatan, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih. Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan Hukum Benda (pasal 499-1232 BW) Hukum Perikatan (pasal 1233-1864 BW)
Hubungan hukum orang dengan benda menimbulkan hak kebendaan (zakelijk recht), yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda di dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan ini sifatnya mutlak (absolut) yang berarti hak kebendaan ini dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan setiap orang siapapun juga harus menghormatinya. Hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang menimbulkan hak perorangan (persoonlijk recht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang (yang berhak) untuk menuntut seseorang tertentu yang lain agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak perseorangan ini bersifat relatif (nisbi) yang berarti bahwa hak perseorangan ini hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja yang mempunyai hubungan hukum.
Hak kebendaan dapat dibedakan atas 2 macam yaitu : Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan * Hak Milik * Kedudukan Berkuasa (Bezit) * Hak Memungut Hasil * Hak Pakai dan Hak Mendiami Hak kebendaan yang memberikan jaminan * Jaminan Gadai * Jaminan Fiducia * Jaminan Hipotik * Hak Tanggungan
Dalam KUHPer diatur beberapa hak kebendaan, antara lain: Hak Eigendom (hak milik Barat) Hak pekarangan Hak Opstal Hak Erfpacht Hak pemakaian hasil Hak gadai Hak hipotik
Hukum Waris Ialah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Cara menyelenggarakan pembagian warisan, yaitu: Pewarisan menurut Undang-Undang Pewarisan berwasiat
Hukum Pidana A. Pengertian Hukum Pidana Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana Menentukan cara bagaimana sanksi itu dapat dikenakan
B. Jenis-Jenis Hukum Pidana Materiel ~ Formil Umum ~ Khusus Dikodifikasikan ~ Tidak Dikodifikasikan Nasional ~ Lokal Tertulis ~ Tidak Tertulis Internasional ~ Nasional HP Obyektif (ius poenale) ~ HP Subjektif (ius puniendi)
C. Fungsi Hukum Pidana: D. Tujuan Hukum Pidana: Melindungi kepentingan hukum orang/masyarakat/negara dari perbuatan-perbuatan yang hendak menyerangnya, dengan cara mengancam dengan sanksi berupa pidana (= nestapa) bagi orang lain. Karena demikian, hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium (obat terakhir jika hukum lain tak mampu). D. Tujuan Hukum Pidana: Aliran klasik (Beccaria, JJ Rousseau, Montesquieu): melindungi individu dari kekuasaan penguasa Aliran modern: melindungi individu/masyarakat dari kejahatan
Hukum Pidana Materiel di Indonesia Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946. Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918. Sumber lain: UU yang dibuat oleh RI (Korupsi, Lalu Lintas, Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dll) Hukum Pidana Materiel di Indonesia
Sejarah Pembentukan KUHP Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland dibuat : 1795 berlaku : 1809-1811 Code Penal (Perancis, Napoleon Bonaparte) berlaku 1811-1886 Wetboek van Strafrecht Nederlansch dibuat : 1881 berlaku : 1886 Asas Konkordansi Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33, 15 Oktober 1915 berlaku : 1 Januari 1918 Wetboek van Strafrecht Nederlansch Indie (WvSNI) Wetboek van Strafrecht (WvS) dapat dibaca “KUHP” UU No. 1/ 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia UU No. 73/1958 yang memberlakukan UU No. 1/ 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia
Sejarah Pemberlakukan Hukum Pidana di Indonesa Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total : 136 tahun
Sistematika KUHP Buku I Aturan Umum Pasal 1-103, Bab I - IX Buku II Kejahatan Pasal 104 - 488 Bab X - XXXXI Buku III Pelanggaran Pasal 489 - 569 Bab XXXXI - XXXXXX Hukum Pidana Khusus (Aturan Pidana dalam UU di luar KUHP) UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme, UU HAM, UU KDRT, dll
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Aspek Pembaharuan Hukum Pidana Struktur/Perangkat Hukum Pidana (Legal Structure Reform) kepolisian kejaksaan kehakiman advokat sipir LP, dll Materi Hukum Pidana (Criminal Law Reform) Kultur Hukum (Legal Culture Reform) hukum pidana materiel hukum pidana formil hukum pelaksanaan pidana ilmu hukum pidana (criminal science reform) perilaku hukum masyarakat
Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Pembaharuan Struktur Hukum Pidana Pembaharuan Materi Hukum Pidana Pembaharuan Kultur Hukum Pidana Pembaharuan Hukum Pidana Formil Pembaharuan Hukum Pidana Materiel Pembaharuan Hukum Pelaksanaan Pidana Secara Parsial Secara Global/Universal Di Dalam KUHP Di Luar KUHP RUU KUHP UU 1/1946, UU 20/1946, UU 8/1951, UU 73/1958, UU 1/1960, UU 16/Prp/1960, UU 18/Prp/1960, UU 1/1965, UU 7/1974, UU 4/1976, UU 27/1999 UU 7/1951, UU 20/2001, UU 22/1997, UU 5/1997, UU 23/1997, UU 25/2003, UU 15/2003
Beberapa Perubahan KUHP (Pembaharuan Hukum Pidana Materiel secara Parsial/Tambal Sulam) UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana merubah WvSNI menjadi WvS/KUHP perubahan beberapa pasal krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan (Pasal 10) UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi menambah kejahatan praktek dokter (Pasal 512a)
UU No. 73/1958 tentang Berlakunya UU No. 1/1946 di Seluruh Wilayah RI Menambah Pasal 52a, 142a, 154a UU No. 1/1960 tentang Perubahan KUHP Pasal 359 diperberat menjadi pidana penjara maks. 5 th atau kurungan maks. 1 th. Pasal 360 (1): penjara maks 5 th atau kurungan maks. 1 th. Pasal 360 (2): penjara maks. 9 bulan atau kurungan maks. 6 bulan atau denda maks. 300 UU No. 16 Prp/1960 tentang Beberapa Perubahan dlm KUHP dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 (1) menjadi Rp. 250,-
UU No. 18 Prp/1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Pidana denda dilipatkan 15 X UU No. 1/1965 tentang Pencegahan dan atau Penodaan Agama Menambah Pasal 156a Pasal 542 (Buku III) menjadi Pasal 303 bis (Buku II) dan memperberat pidananya UU No. 7/1974 tentang Penerbitan Perjudian UU No. 4/1976 tentang Perubahan KUHP dan Kejahatan Penerbangan Memperluas Pasal 3 dan 4 terhadap “pesawat udara” Menambah Pasal 95a, 95b, 95c Menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan
UU No. 27/1999 Kejahatan terhadap Keamanan Negara Menambah Pasal 107a-f UU No. 2/PnPs/1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati Mengganti Pasal 11 menjadi “ditembak mati” UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Merubah Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435.
Asas Legalitas Zaman Romawi sampai zaman Louis XVI di Perancis, kesalahan seseorang ditentukan oleh raja reaksi Montesqueau : L’esprit des Lois (1748) J.J. Rousseau : Du Contract Social (1762) hasil Revolusi Perancis (1789) Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789) Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” Napoleon Bonaparte (Code Penal, 1810)
Asas legalitas formil Pasal 1 (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Konsekuensi : 1. Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensi: a. Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat dipidana. b. Larangan analogi 2. UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana. Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif) Asas legalitas formil
Asas legalitas materiel Perbuatan yang dianggap “jahat” menurut hukum adat/agama? Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diperbarui dg UU no.4 Th. 2004 Asas legalitas materiel RUU KUHP : “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”
Asas Temporis Delicti tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu Jika terjadi perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka dipakai ketentuan yang paling meringankan terdakwa. RUU KUHP : 1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan. 2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan. 3. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperolejh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas- batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru
4 Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Asas Teritorial Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia (Pasal 2 KUHP) Perluasan Pasal 3 kendaraan air pesawat udara
5 Pidana Pidana Pokok mati penjara kurungan denda tutupan Pidana Tambahan pencabutan hak-hak tertentu perampasan barang tertentu pengumuman putusan hakim
Pidana Mati Pidana Penjara Dijalankan oleh algojo dengan cara digantung (Pasal 11) Diubah dengan “tembak mati” (UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer) ..\..\..\..\..\Gambar\Death Penalty\Pictures\Bakar.jpg ..\..\..\..\..\Gambar\Death Penalty\Pictures\Suntik.jpg ..\..\..\..\..\Gambar\Death Penalty\Pictures\Gantung Kuwait.jpg ..\..\..\..\..\Gambar\Death Penalty\Pictures\Tembak.jpg ..\..\..\..\..\Gambar\Death Penalty\Pictures\Gas.jpg ..\..\..\..\..\Gambar\Death Penalty\Pictures\Rajam.jpg Pidana Penjara seumur hidup sementara/waktu tertentu 1 hari - 15 tahun 20 th jika ada alternatif mati/seumur hidup/waktu tertentu tu ada pembarengan/pengulangan
Pidana Percobaan Pelepasan Bersyarat dipidana penjara/kurungan maksimal 1 tahun, bukan kurungan pengganti tidak melakukan tindak pidana lagi sebelum masa percobaan habis mengganti segala kerugian Pelepasan Bersyarat telah menjalani 2/3 lama pidana, minimal 9 bulan syarat umum: tidak mengulangi tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik jika terpidana melanggar syarat, pelepasan bersyarat dapat dicabut
Pidana Kurungan Pidana Penjara Pidana Kurungan minimal 1 hari, maksimal 1 tahun jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan Pidana Penjara Pidana Kurungan maksimal 15/20 tahun maksimal 1 tahun Diberlakukan bagi pelaku tindak pidana berat/kejahatan Diberlakukan bagi pelaku tindak pidana ringan/pelanggaran Tidak dapat diberlakukan sebagai pengganti pidana denda Dapat diberlakukan sebagai pengganti pidana denda Tidak memiliki hak pistole Memiliki hak pistole (memperbaiki nasib selma di dalam kurungan)
Pidana Denda Pidana Tutupan minimal Rp. 3,75 jika tidak dibayar dapat diganti kurungan pengganti kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan persamaan denda dan kurungan, Rp 7,50/kurang = 1 hari, jika lebih dari Rp 7,50 maka dilipatkan. Sisanya dihitung 1 hari Pidana Tutupan boleh diputuskan bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati
Pidana dalam RUU KUHP Tujuan pemidanaan Pedoman pemidanaan Pengampunan hakim (rechtelijkpardon) Modifikasi pidana karena ada perubahan perilaku narapidana atau karena ada perubahan UU Elastisitas pemidanaan Pidana mati menjadi jenis pidana khusus Penambahan jenis pidana baru, yaitu pidana pengawasan dan kerja sosial (pidana pokok), serta pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat (pidana tambahan) Dikenal adanya tindakan (matregel) bagi pelaku yang tidak dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan karena gangguan jiwa Membedakan pidana dan tindakan bagi anak Ada penundaan pidana mati Mengenal minimum khusus pidana Pengkategorian pidana denda Menambah alasan memperingan pidana
Alasan Penghapus Pidana Alasan Pemaaf (sisi sobyektif) pelakunya Alasan Pembenar (sisi obyektif) perbuatannya Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44) Daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48 (setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat (noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1)) Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50) Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1)
Alasan Penghapus Pidana dalam RUU KUHP Asas Culpabilitas (asas kesalahan) yaitu “tiada pidana atau tindakan tanpa kesalahan” (kecuali nanti berlaku pertanggungjawaban yang ketat atau strict liability/liability without fault) Menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental Alasan Pemaaf: a. tidak mengetahui/sesat mengenai keadaan atau hukumnya (error facti dan error iuris) kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan. b. daya paksa c. pembelaan terpaksa yang melampaui batas d. dengan iktikad baik melaksanakan perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang Alasan Pembenar: a. melaksanakan aturan perundang-undangan b. melaksanakan perintah jabatan c. keadaan darurat d. pembelaan terpaksa
8 th 12 th 18 th 21 th Sidang Anak Pidana Anak UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak pidana dan tindakan tindakan 8 th 12 th 18 th 21 th Sidang Anak
Jika masih dapat dibina, maka diserahkan kembali ke orang tua/wal Jika tidak dapat lagi dibina, maka diserahkan Departemen Sosiali < 8 th
8 th < 12 th hanya dikenai TINDAKAN: Jika diancam pidana mati/penjara seumur hidup, maka diserahkan ke negara untuk dididik, dibina, atau dilatih kerja Jika diancam pidana selain pidana mati/penjara seumur hidup, maka diserahkan kepada (1) ortu/wali, (2) negara, atau (3) Depsos atau organisasi sosial 8 th < 12 th
dikenai PIDANA DAN TINDAKAN 12 th < 18 th
Pidana Pokok Anak 1. Pidana Penjara jika diancam pidana mati/seumur hidup, maka diganti pidana penjara maksimal 10 th. maksimal pidana penjara ½ dari maksimal pidana penjara orang dewasa 2. Pidana Kurungan maksimal pidana kurungan ½ dari maksimal pidana kurungan orang dewasa 3. Pidana Denda maksimal pidana denda ½ dari maksimal pidana denda orang dewasa jika tidak terbayar, diganti latihan kerja maksimal 90 hari, maksimal 4 jam sehari 3. Pidana Pengawasan 3 bulan – 2 tahun
Pidana Tambahan bagi Anak Perampasan barang tertentu Pembayaran ganti rugi
6 Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana 1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan Aturan umum delik aduan Pasal 72-75 Aturan khusus delik aduan Pasal 284 (perzinahan) Pasal 332 (melarikan wanita) 2. Dituntut untuk kedua kalinya Ne bis in idem Pasal 76: a. telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap b. orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama c. perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu 3. Matinya terdakwa (Pasal 77)
4. Daluwarsa (Pasal 78) a. pelanggaran dan kejahatan percetakan 1 tahun b. kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun 6 tahun c. kejahatan yang diancam pidana penjara >3 tahun 12 tahun d. kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup 18 tahun 5. Ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82). 6. Abolisi atau amnesti
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dalam Rancangan KUHP terdakwa meninggal dunia 2. Presiden memberikan amnesti atau abolisi 3. maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II 4. maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. 5. telah ada putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap. telah kadaluwarsa percetakan 1 tahun diancam dengan denda atau pidana penjara paling lama 1 tahun 2 tahun diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 tahun diancam dengan pidana penjara >3 tahun 12 tahun diancam dengan pidana mati atau pidana penjara/seumur hidup 18 tahun 7. tindak pidana aduan yang pengaduannya ditarik kembali 1
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana 1. Matinya terdakwa (Pasal 83) 2. Daluwarsa (Pasal 84-85) a. pelanggaran 2 tahun b. kejahatan percetakan 5 tahun c. kejahatan lainnya = daluwarsa penuntutan ditambah 1/3 d. pidana mati tidak ada daluwarsa 3. Grasi RUU KUHP 1. terpidana meninggal dunia. 2. Presiden memberikan amnesti atau grasi yang berupa pembebasan terpidana dari kewajiban menjalankan pidana. 3. kedaluwarsa.