Ada Singa di Pesta Kembang Api Togura Setelah menceritakan indahnya kembang api di Jepang dalam menyambut tibanya musim panas yang membara di negeri Sakura ini, saya akan menceritakan sisi lain yang terdapat dalam festival atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut matsuri. Lezatnya aneka Penganan Pesta tentunya tak jauh-jauh dengan yang namanya makanan. Maka tak heran jika setiap pesta kembang api dilaksanakan, sepanjang jalan di sekitar tempat penyelenggaraan kembang api pun akan dipenuhi oleh lapak-lapak pedagang makanan. Makanan yang dijual beraneka macam, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Yang biasa hingga yang unik. Yang enak hingga yang kurang enak, ha-ha-ha... kalau yang ini tentunya tergantung lidah dan nasib Anda dalam memilih lapak mana yang menjual makanan sesuai lidah Anda. Namun, yang menarik perhatian saya pertama-tama adalah Es Ogura. Ups .. bukan mentang-mentang saya berada di kota Togura maka es yang saya pilih adalah Es Ogura ha-ha-ha... karena ini nggak ada sangkut pautnya antara nama kota dan nama es. Namun, seperti alasan diadakannya festival ini adalah untuk menyambut musim panas, maka udara saat itu memang gerah euy … dan es serut yang kemudian dikasih sirup bernama Ogura ini menjadi begitu fokus dalam pandangan saya. "Beli 1 yang rasa melon, bang," begitulah kira-kira kata saya pada si penjual es jika diterjemahkan. Dalam tempo yang sesingkat singkatnya alias nggak sampai 10 detik, es itu pun sudah ada di tangan saya. Wow...! Siropnya enak banget… melonnya berasa seperti permen karet, wangi sekali. Benar-benar segelas es serut terasa kurang. Tapi… mau beli lagi kok sayang duit huaaaa… pasalnya tuh es serut mahal bener… Bayangkan, cuma es batu diserut halus kemudian dikasih sirop 1 sendok makan, harganya 300 yen (1 yen sekarang sekitar Rp 107). Hiks … terpaksa aku harus nahan iler ajah… Setelah sejam berjalan-jalan, perut terasa mulai berontak. Akhirnya beli daging sapi yang ditusuk-tusuk seolah sate, tapi bukan sate… karena dagingnya gede-gede, terus diasapnya juga nggak pake lama. Daging sapi ini bernama Karubi. Kalau Anda ke Matsuya (wartegnya Jepang), juga ada menu bernama Karubi. Nah, rasanya hampir sama, cuma bedanya kalau di Matsuya, dagingnya tipis-tipis, yang di model sate disini dagingnya jumbo dan ketika dimakan, “Owalaaahhhh … enak banget cui … kayak lagi makan steak tapi digigit. Dagingnya yang berlemak sangat mudah di sobek. Dagingnya yang gendut pula, membuat ketika digigit berasa banget kres gurihnya. Lalu daging berbumbu manis tersebut juga bumbunya mak cleng nyesep banget sampe kemana-mana. “Bos, beli 1 tusuk lagi bos...,” begitulah kira kira permohonan saya pada si pedagang Karubi yang setengah tua. Satu tusuk sate Karubi tersebut harganya 500 yen atau berarti yah sekitar Rp 50.000 per tusuknya. Mahal siiih … tapi enak gak nahan, jadi yah mau gimana lagi? Jalan satu-satunya ya cuma nambah he-he-he… dan 2 tusuk sate berdaging tebal itu pun menjadi pengganjal perutku malam itu. Ups … ada lagi ding… beli sate ayam .. tapi yang ini kurang enak jadi ceritanya agak malas malas gimana gitu hehehee … Padahal waktu di stasiun kereta di Tokyo, beli sate macam itu, enak sekali. Ya itu tadi seperti kata saya di depan, enak gak enak ya tergantung nasib memilih lapak he-he-hee…. Sebetulnya, ada juga lapak yang menggugah selera, yaitu sebuah lapak yang menjual permen, namun isinya asli buah buahan. Jadi misalnya rasa Jeruk, maka buah Jeruk dikupas lalu dicelupkan dalam sebuah adonan lengket semacam karamel gitu. Isi buahnya macam-macam, ada jeruk, anggur, apel dan lain lain. Tapi saya nggak beli, soalnya kerongkongan lagi kering nih, butuh air, ngga butuh yang lengket lengket he-he-he… ntar lain kali aja dicoba. Selain terdapat aneka penganan, di pesta Hanabi kali ini juga ada yang istimewa, yaitu ada Kagura. Kagura adalah pertunjukkan tarian dan nyanyian dalam sebuah matsuri (festival) yang dipersembahkan bagi dewa sebagai sebuah hiburan. Diyakini, ketika ada matsuri, maka disitulah dewa akan turun dengan cara meminjam tubuh manusia (penari kagura). Salah satu jenis Kagura yang saya lihat disini adalah Shishimai, yaitu pertunjukkan dimana penarinya menggunakan jubah dan topeng berbentuk wajah singa. Um, mirip barongsai, cuman singa yang ini nggak lincah kayak barongsai yang lompat lompat dan ngejer angpao. Singa yang ini justru lari ke kanan ke kiri kayak orang mabok, main seruduk aja. Ya, ya, ya… akhirnya terjawab sudah, mengapa dari tadi saya melihat banyak sekali pria menggunakan baju bertuliskan petugas sukarela yang kerjanya mengamankan area. Ya tentu saja supaya nggak ada pengunjung yang keseruduk. Namun meski sudah dijaga, tetep aja deh, ada peserta yang keseruduk dan jatuh, he-he-he... seru juga. Disebut-sebut, Shishimai memiliki majinai, yaitu sesuatu kekuatan gaib untuk mengusir roh-roh jahat yang membawa kesialan dan bahaya. Untuk itu, kata teman saya, jika ada pertunjukkan shishimai, banyak orang menanti untuk menonton dan beberapa berusaha untuk memegangnya, supaya jika ada roh jahat yang melekat, bisa terusir. Ups .. pantes aja, ketika waktunya pertunjukkan dimulai, para pengunjung festival atau matsuri ini langsung berbaris rapi sekali di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh shishimai. Shishimai sendiri muncul pada abad ke-16 di daerah Ise dan kemudian pada abad ke-17 sampailah ke Edo dan akhirnya menyebar sampai ke seluruh pelosok Jepang. Oya dan yang menarik perhatian saya juga adalah bagian belakang shishimai. Yaitu terdapat gerobak 2 tingkat, dimana tingkat bawah berisi para pemain musik tradisional Jepang, lalu tingkat atasnya berisi para wanita yang biasa disebut geisha. Mereka berdandan lengkap dengan baju cantik dan rambut yang digelung. Melambai-lambaikan tangan dan sesekali berdiri untuk menari lembut. Setelah melihat iring-iringan shishimai, tak lama kemudian saya mendengar suara teriakan teriakan semacam yel-yel. Suara tersebut nyaris terdengar gaduh karena tak cuma 2 atau 10 orang saja, melainkan puluhan orang. Ketika saya menerobos gerombolan penonton di jalanan, oowww... ternyata terdapat beberapa pria dengan menggunakan pakaian adat Jepang dengan kepala di ikat kain sedang mengangkat tandu yang memiliki banyak lampion dan beratap indah. “Ini Omikoshi,” kata teman saya. Koshi artinya adalah tandu. Ini merupakan kendaraan mewah bagi para bangsawan zaman baheula sebelum ditemukannya alat transportasi semacam sepeda pancal. Nah seiring dengan berjalannya waktu dan maraknya penemuan alat transportasi yang lebih oke, tandu ini akhirnya digunakan dalam acara acara matsuri yang dimaknakan sebagai tandu untuk menandu Dewa yang datang ke acara Matsuri. Katanya sih, Omikoshi ini juga lebih dari sekadar sebuah pesta untuk menghibur para Dewa, namun lebih dari itu, menjadi pemersatu baik peserta maupun penonton, untuk terus melestarikan dan mempertahankan budaya Jepang. Hal ini terlihat dari beberapa yel yel yang diteriakkan dan juga sebuah makna, mengapa sebuah tandu harus diarak oleh sedemikian banyak orang. Luar biasa yah... Oya, setelah mendengar suara pria-pria berteriak, saya juga mendengar suara yel-yel dengan suara puluhan wanita. Ooowww... ternyata sejak tahun 1980-an, wanita sudah diperbolehkan untuk ikut mengangkat Omikoshi, bahkan kini banyak juga terdapat pengangkat Omikoshi yang terdiri dari anak-anak. Hmm... Matsuri yang sangat menarik. Saya jadi berpikir, andai Indonesia juga mau mengadakan festival-festival bernuansa kedaerahan di tiap daerahnya, … dijamin pariwisata dalam negeri akan terlihat sangat menarik dan tentunya tak akan ada budaya kita yang direbut atau diakui oleh negara lain. Sugoiiii!!!