Agroteknonologi, Universitas Gunadarma MORAL EKONOMI PETANI Agroteknonologi, Universitas Gunadarma
PENGERTIAN MORAL EKONOMI Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian.
J.C. Scott menyatakan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan defenisi kerja mereka tentang eksploitasi pandanga mereka tentang pungutan – pungutan terhadap hasil produksi mereka mana yang dapat ditolerir mana yang tidak dapat.
Pasar Kapitalistik di Asia Tenggara mengacaukan “Moral Ekonomi” Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.
Ekonomi Moral dengan Ciri Khas “Desa” dan “Ikatan Patron-Klien” Pendekatan ekonomi-moral menunjuk “desa” dan “ikatan patron-klien” sebagai dua institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas. Fungsi Operasional Desa: menjamin suatu ‘pendapatan minimum’, dan meratakan kesempatan serta resiko hidup warganya dengan jalan memaksimumkan keamanan dan meminimalkan resiko warganya.
Dalam ikatan ini pihak patron memiliki kewajiban untuk memberi perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya. Dia juga harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan kliennya. Sebaliknya, pihak klien memiliki kewajiban untuk menunjukkan perhatian dan kesetiaan kepada patronnya layaknya seorang anak kepada bapaknya. sebuah ikatan patron-klien bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masih-masing pihak dengan terjalinnya hubungan yang saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima.
Desa dan ikatan patron-klien ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Desa berperan dalam mengatur distribusi sumber-sumber kehidupan yang tersedia di dalam desa untuk menjamin tersediannya sumber-sumber kehidupan yang dibutuhkan warganya, sementara ikatan patron-klien menjadi institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan, sumber-sumber kehidupan di dalam desa, dari si kaya kepada si miskin melalui praktik-praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa. Jaminan yang diberikan desa dan ikatan patron-klien tertuju pada pemenuhan kebutuhan subsisten warga desa.
Kondisi yang Membentuk Etika Subsistensi “etika subsistensi”, yakni kaidah tentang “benar dan salah”, yang membimbing petani dan warga komunitas desa mengatur dan mengelola sumber- sumber kehidupannya (agraria) dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dalam komunitas.
Dalam pilihan tindakan secara kolektif, prinsip moral menekankan : Pengorbanan yang harus dikeluarkan termasuk risikonya (2) Hasil yang mungkin diterima, bila menguntungkan maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3) Proses aksi yaitu dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak (4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi mereka saja yang diikuti atau didukung.
Ada dua perilaku ekonomi terkait penulisan scott yang dikritik popkin, yaitu: 1. Perilaku ekonomi subsisten (Scott) Perilaku ekonomi subsisten adalah perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal. 2. Perilaku ekonomi rasional (Popkin) Perilaku ekonomi rasional kecenderungan masyarakat petani untuk menganut pemikiran rational peasant.
Moral ekonomi pedagang Pedagang cendrung terperangkap ditengah dan dalam hal ini bisa disebut sebagai tengkulak karena mereka tidak hanya menaggung resiko kerugian secara ekonomi tetapi juga resiko terhadap diskriminasi dan kemarahan petani.
Evers (1994:10) telah menemukan 5 solusi atau jalan keluar yangberbada yang di lakukan oleh para pedagang menghadapi delema tersebut, yaitu: Imigrasi pedagang minoritas Pembentukan kelompok-kelompok etnis atau religius Akumulasi status kehormatan (modal budaya) Munculnya perdagangan kecil dengan ciri” ada uang ada barang” Depersonalisasi (ketidakterlekatan) hubungan- hubungan ekonomi
Persoalan-persoalan moral ekonomi yang sering terjadi di masyarakat yaitu: 1. Seorang manajer pabrik pokok menghadapi delema moral ekonomi antara menggunakan pilihan mekanisme pabrik sehingga mengakibatkan PHK massal atau tetap menggunakan cara produksi lama dengan risiko keuntungan yang di perolehnya tidak sebesar mengunakan mesin baru. 2. Seorang manajer pabrik gula menghadapi delema moral antara melaksanakan ritual upacara yang dilakukan sebelum giling tebu pertama kali. Upacara tersebut merupeken tradisi yang telah berlangsung puluhan tahun dan dalam pelaksanaanya memakan biaya yang besar.
3. Segala macam bentuk suap, kolusi, korupsi, nepotisme, menipulasi dan berbagai bentuk tindakan penyalahgunaan wewenang lainnya yang dilakukan pejabat berwenang. Apalagi terjadi di tengah pnderitaan dan kemiskinan masyarakat sekitar dengan tujuan memperkaya diri jelas merupakan persoalan moral selain tentunnya persoalan hukum. 4. Berbagai bentuk moral hazzard (permanfaatan kesempatan sekecil mungkin untuk tujuan memperkaya diri atau dalam bahasa jawa sering diekspresikan dengan ungkapan) merupakan persoalan moral ekonomi. Sebagai contoh dalam kebijakan pemerintah mengenai pengurangan subsidi BBM akan dilakukan pembedaan harga bensin untuk mobil dan motor. 5. Pada 1998, sesaat telah terjadinya krisis moneter, banyak masalah sosial baru yang muncul, seperti anak jalanan.
TERIMAKASIH
Referensi Prihtanti, T.M. 2014. Modul Perkuliahan Sosiologi Pettanian. Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana