Studi Rokok Ilegal di Indonesia Survey di 6 Kabupaten: Tangerang, Lampung Selatan, Banyumas, Malang, Bandung, Gowa
TUJUAN RISET Mengestimasi besarnya rokok ilegal di Indonesia Menemukan faktor/motif seseorang dalam mengkonsumsi rokok ilegal Melihat pengaruh kenaikan harga dan reaksi perokok Menyediakan referensi studi rokok ilegal dan metodologi yang transparan
Manfaat Riset Memberikan bukti mengenai fakta-fakta peredaran rokok illegal yang dapat membantu menyusun kebijakan pengendalian tembakau yang lebih efektif Sebagai bukti dalam mendukung kelompok masyarakat dalam mengadvokasi kebijakan pengendalian tembakau
Latar Belakang UU No. 39 Tahun 2007 (Amandemen UUNo. 11 Tahun 1995) memperbolehkan pajak cukai hingga 57% dari harga jual rokok. Namun, saat ini, pajak rokok secara signifikan lebih rendah (sekitar 40%). Dalam dekade terakhir pertumbuhan ekonomi meningkat lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga rokok, sehingga rokok mejadi lebih terjangkau. Berbagai studi menyimpulkan bahwa kenaikan cukai dan pajak rokok yang dapat meningkatkan harga rokok efektif dalam mengurangi konsumsi rokok (The Economics of Tobacco and Tobacco Control, 2008). Meskipun tarif cukai meningkat setiap tahunnya, namun dalam PMK nomor 156, memutuskan tidak ada kenaikan cukai pada 2019 disertai dengan keputusan untuk simplifikasi tariff. Keengganan pemerintah menaikkan cukai rokok disebabkan oleh wacana yang selalu dibangun oleh industri rokok bahwa jika harga rokok meningkat maka perdagangan rokok illegal akan turut meningkat. Terbatasnya penelitian tentang rokok ilegal dan dampak kenaikan cukai yang dapat membantu menyusun kebijakan yang lebih baik.
Riset terdahulu Ahsan et al. (2014) Menggunakan gap analisis. Hasil estimasi menunjukkan bahwa besaran rokok ilegal di Indonesia sekitar 8-17% dari total konsumsi setiap tahunnya. Universitas Gajah Mada (2016) dibiayai oleh Dirjen Bea Cukai Menggunakan bungkus rokok yang dibeli dari semua retail. Hasil studi menyatakan bahwa besaran rokok ilegal di Indonesia 12,1% pada 2014. Diperbarui pada 2017 dengan hasil estimasi rokok ilega; sebesar 7%, sayangnya tidak ada informasi detail terkait dengan sampling. Tren penurunan rokok ilegal terlihat konsisten. Oxford Economics (2017) dibiayai oleh Philip Morris International Mengestimasi rokok ilegal dengan menggunakan bungkus rokok kosong, dengan 10.000 bungkus rokok yang diambil dari 45 kota. Hasil studi menunjukkan bahwa besaran rokok ilegal pada 2016 sebesar 12,2%. Studi ini juga mengestimasikan bahwa rokok ilegal akan menurun sebesar 9,7% pada 2017.
Riset terdahulu
Metodologi Penelitian Survei konsumen 1440 responden di 6 kabupaten Multistage random sampling Prevalensi perokok laki-laki dewasa Perokok aktif Bungkusan Eceran (batang/gram) Identifikasi rokok illegal Pita Cukai PHW 1201 bungkus rokok untuk diidentifikasi
Profil responden Usia % Jenis Kelamin Pendidikan Penghasilan/bulan 18-27 24,31 Laki-laki 99,24 Tidak tamat SD 6,88 IDR 50.000-2.000.000 58,32 28-37 27,84 Tamat SD 21,81 IDR 2.000.001-4.000.000 34,34 38-47 24,23 Tamat SMP 22,92 IDR 4.000.001-6.000.000 5,57 48-57 14,78 Perempuan 0,76 Tamat SMA 42,22 IDR 6.000.001-8.000.000 0,84 58-67 8,33 Lulusan PT 6,18 IDR 8.000.001-10.000.000 0,28 >68 0,49 >IDR10.000.000 0,77
Besaran rokok ilegal Konsumsi rokok ilegal di Indonesia tergolong kecil, kurang dari 2% atau tepatnya 1,67% Dari 1201 bungkus rokok yang dikumpulkan, hanya 20 bungkus yang teridentifikasi rokok ilegal
Faktor konsumsi rokok ilegal Walaupun sebagian besar perokok mengetahui bahwa rokok adalah barang kena cukai, kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa rokok ilegal itu ada. Hanya sekitar 20% perokok saja yang bisa membedakan antara rokok legal dan rokok ilegal.
Pengaruh kenaikan harga dan reaksi perokok Dari 1440 responden, 82 persen perokok memiliki kebiasaan utama membeli rokok secara bungkusan dan 18 persen sisanya membeli eceran (batangan atau gram). Akan tetapi, sebagian perokok yang memiliki kebiasaan membeli rokok secara bungkusan ternyata juga membeli rokok secara eceran. Hanya 58 persen perokok yang sama sekali tidak membeli rokok eceran.
Elastisitas harga permintaan rokok substitusi pada simulasi kenaikan harga 50 persen dan 100 persen di enam wilayah penelitian
Kenaikan harga rokok 50% akan mendorong 12% perokok berhenti merokok dan 45% lebih akan mengurangi konsumsi rokok Kenaikan harga rokok sebesar 50% Lanjut merokok 87,93% Bertahan dengan merek yang sama 58,46% Mempertahankan tingkat konsumsi 27,81% Mengurangi tingkat konsumsi 30,65% Pindah ke merek yang lebih murah 29,47% 12,62% 16,85% Berhenti merokok 12,07%
Kenaikan 100% pada harga rokok akan mendorong 1/3 perokok berhenti merokok dan 40% lebih perokok mengurangi konsumsi rokok Kenaikan harga rokok sebesar 100% Lanjut merokok 68,52% Bertahan dengan merek yang sama 38,07% Mempertahankan tingkat konsumsi 15,33% Mengurangi tingkat konsumsi 22,75% Pindah ke merek yang lebih murah 30,44% 9,08% 21,36% Berhenti merokok 31,48%
Kesimpulan Rokok Ilegal tergolong langka di Indonesia. Kurang dari 2% bungkus rokok yang dikumpulkan dalam penelitian nasional terbaru teridentifikasi ilegal. Perdagangan rokok ilegal telah menurun dari waktu ke waktu, tren yang berlanjut telah dijelaskan oleh penelitian sebelumnya. Penurunan ini bersamaan dengan kenaikan pajak cukai dan harga rokok di Indonesia. Walaupun orang-orang dengan pendapatan lebih rendah cenderung untuk mengkonsusmsi rokok ilegal, namun konsumsi rokok ilegal bukanlah perilaku jangka panjang. Rendahnya tingkat perdagangan ilegal kemungkinan merupakan fungsi dari dominasi rokok kretek di pasaran yang mana merupakan hal unik di Indonesia, sementara penurunan perdagangan ilegal kemungkinan merupakan hasil dari peningkatan administrasi dan penegakan pajak, termasuk konsolidasi tingkatan pajak cukai dan perbaikan dalam stempel pajak. Penelitian baru di Indonesia menegaskan bahwa besarnya kenaikan harga yang disebabkan oleh kenaikan cukai akan menurunkan minat untuk merokok secara dramatis bahkan dapat mendorong hingga sepertiga perokok untuk berhenti.
Rekomendasi kebijakan Perlunya segera menaikkan cukai rokok secara signifikan (tidak inkremental) sebagai upaya untuk pengendalian dan penurunan prevalensi merokok serta untuk pembiayaan kesehatan Pemerintah tidak mempercayai ‘hoax’ yang dbangun industri mengenai potensi peningkatan peredaran rokok ilegal jika cukai rokok dinaikan sehingga tidak mengacaukan tujuan kebijakan pajak tembakau. Pemerintah harus terus menerapkan simplifikasi tingkatan pajak cukai serta berinvestasi lebih serius dalam hal administrasi dan penegakan pajak sebagai langkah terbaik untuk memerangi perdagangan ilegal. Untuk mengurangi penggunaan tembakau, kenaikan cukai yang lebih besar akan lebih efektif dibandingkan kenaikan cukai yang lebih kecil Pemerintah perlu meningkatkan cukai rokok untuk meningkatkan harga rokok sehingga sulit dijangkau Pemerintah harus konsisten dengan simplifikasi tarif jika ingin mengoptimalkan pengendalian konsumsi rokok Karena masih banyaknya perokok yang membeli rokok eceran, maka pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan penjualan rokok per bungkus untuk memberikan alternatif bagi perokok jika harga rokok naik
Terima Kasih PERKUMPULAN PRAKARSA Jln. Rawa Bambu I Blok A No Terima Kasih PERKUMPULAN PRAKARSA Jln. Rawa Bambu I Blok A No. 8-E RT 010 RW 06 Kel/Kec. Pasar Minggu, Jakarta 12520 Phone: +62 (21) 7811-798 perkumpulan@theprakarsa.org www.theprakarsa.org