Dua Tangis dan Ribuan Tawa Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang “baru” enam bulan. Ada yang bilang “sudah” enam bulan. Betapa relatifnya waktu ……. Selama enam bulan itu saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya tidak bisa bekerja kecuali hanya tidur lemas di bilik yang ada di belakang ruang kerja itu. Saya memang harus mewaspadai sakit perut melebihi sakit lainnya. Ini karena sakit perut bisa jadi merupakan tanda awal mulai bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Bisa jadi itu sebagai tanda awal bahwa hatinya orang lain yang sekarang saya pakai ini mulai dltolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter. Syukurlah sakit perut saya itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya memang tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat transplant yang masih harus saya minum setiap hari. Tiba-tiba saja, ketika hari mulai meninggi, ketika jadwal rapat penting sudah terlanjur dijadwalkan sakit itu sembuh sendiri …. Seingat saya, belum pernah saya absen selama enam bulan di PLN. Saya memang sudah berjanji kepada diri sendiri: selama enam bulan pertama tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik, tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Karena itu kalau biasanya dulu setiap bulan bisa dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini saya tidak kemana-mana. Bahkan janji saya ke dokter untuk setiap tiga bulan memeriksakan diri ke Tianjin sudah tidak bisa saya laksanakan. Padahal dulu saya selalu disiplin tiap tiga bulan ke sana untuk memeriksakan diri apakah transplant hati yang saya lakukan tiga tahun lalu tidak ada masalah. Kini sudah 8 bulan saya tidak memeriksakan diri. Saya juga harus minta maaf kepada famili, teman dekat dan pengurus berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan itu saya tidak bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan mereka dan bahkan selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi. Saya memang masih tercatat sebagai Ketua Umum Persatuan Perusahaan Surat Kabar se Indonesia, Ketua Umum Persatuan Barongsai Indonesia, Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia dan banyak lagi. Selama enam bulan itu tidak ada rapat yang bisa saya hadiri. Setelah lima bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh rupanya saya kurang gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan malam. Ini tentu tidak baik. Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat status saya tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus tetap hati-hati. Karena itu menginjak bulan keenam saya putuskan ini: berangkat kerja berjalan kaki saja. Maka setiap hari, jam 05.45 saya sudah berangkat kerja. Bukan supaya dianggap sok rajin,tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolah raga sambil menghirup CO2. Beruntung, rute dari rumah saya di dekat Pacific Place ke kantor pusat PLN di Jalan Trunojoyo bisa ditempuh dengan menghantas jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri kanannya penuh dengan pohon-pohon nan merimbun. Jam 06.30, ketika baru ada satu dua mikrolet mengasapi jalanan, saya (biasanya ditemani isteri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran. Hasilnya: selama satu bulan itu berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang 1 Kg lagi. Mula-mula berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak rumah-kantor itu juga terasa sangat jauh. Tapi kian lama menjadi kian biasa. Bahkan belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh. Betapa relatifnya jarak …….. Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini menjadi pemandangan biasa pada jam 07.00 sudah banyak orang Jepang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa relasi PLN lainnya. Bahkan seorang wanita yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu jadwal saya ini: sebelum jam 07.00 wanita itu sudah menangis di lobby untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu minta sangu untuk pulang karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya. Betapa relatifnya uang ……. Selama enam bulan itu saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali lagi di Komisi VII DPR-RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan. Tapi bukan berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat. Apalagi sering juga ide itu dikemukakan dengan jenakanya. Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal PLN. Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada rupanya muara. Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di ruang rapat itu, semua ide bisa bermuara. Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh …. Memang ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Kita ini siang malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku-ide, berbagi kue dan saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan. Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja tergantung yang mengisinya. Betapa relatifnya tempat… Sedih, senang, ketawa, menangis semuanya targantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa. Betapa relatifnya jiwa …… Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di kursi direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun. Setengah liar. Ini karena sebelum di PLN saya hampir tidak pernah membaca surat masuk. Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalau pun surat itu ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka untuk apa harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju ke yang lebih pas menjawabnya. Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima Surat-Surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk pertama kali dalam hidup saya, harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau beberapa kata yang sifatnya hanya basa-basi - sekedar untuk menunjukkan bahwa saya atasan mereka? Akhirnya saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat jarang saja. Mengapa saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya saya saja yang tahu persoalan itu? Mengapa saya harus memberi instruksi seolah-0Iah tampa instruksi mereka itu tidak tahu apa yang harus diperbuat? Maka jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi itu tidak ada tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca surat itu.Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan. Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan, akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi pidato kelak bisanya hanya akan minta petunjuk. Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari universitas-universitas terbaik di negeri ini. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal itu diberikan pada mereka. Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja Direktur Utama. Karena itu saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di kursi di depan Direktur Utama. Kalau saya lakukan itu, perasaam saya tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya. Saya tidak tahu dari mana lahirmya perasaan tidak enak itu. Mungkin karena dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu. Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini. Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukam belum tentu bisa duduk semestinya. Betapa relatifnya sebuah kekuasaan ….. Lalu apa yang sudah kita capai selama enam bulan? Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi kacaunya tegangam di Cianjur Selatan, ditemukannya cara mengatasi gangguan pohon dengan cara memasang pipa paralon di jaringan yang melintasi rimbunan ranting…dan sederet daftar yang secara baik dicatat oleh KSPKK. Tapi banyak juga yang bilang masih terlalu sedikit capaian itu. Bahkan ada yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di Komisi VI, bahwa Direksi PLN yang baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL….. Betapa relatifnya kepuasan …….. Itulah sebabnya, program-program, target-target, capaian-capaian sebaiknya tidak perlu terlalu ditonjol-tonjolkan. Semua itu sebaiknya kita perlakukan sebagai kulminasi dari hal yang lebih sublim: transendentasi jiwa. Kalimat terakhir itu tidak perlu dibaca ulang. Saya juga tidak terlalu mengerti apa yang baru saya tulis itu …. Dahlan Iskan CEO PLN