UU wakaf dan peranannya dalam pembangunan ekonomi umat Oleh: Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA.
Wakaf merupakan salah satu sumber dana sosial yang potensial untuk mendukung pembangunan ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan umat, disamping zakat, infaq, dan shadaqah. Peran wakaf sebagai pranata keagamaan tidak saja bertujuan menyediakan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi mendukung salah satu cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yakni memajukan kesejahteraan umum. Konsensus nasional atas peran penting wakaf dalam mewujudkan kesejahteraan umum dapat dilihat dari adanya Peraturan Perundang- undangan atau legislasi nasional yang mengatur secara khusus mengenai wakaf. Peraturan perundang-undangan di bidang wakaf sebenarnya sudah lama ada. Sesuai dengan kebutuhan hukum pada saat itu pengaturannya lebih dikhususkan pada perwakafan tanah milik, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perawakafan Tanah Milik; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; dan Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/75/78 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
Implementasi peraturan perundang-undangan tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pelaksanaan kegiatan wakaf. Wakaf sebagai salah satu institusi keagamaan memberikan dukungan yang cukup besar dalam kegiatan pembangunan nasional, khususnya di bidang sosial keagamaan. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, dan lembaga sosial keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Namun dalam perkembangannya, pelaksanaan wakaf tidak cukup dipayungi oleh peraturan perundang-undangan yang hanya khusus mengatur mengenai wakaf tanah. Walaupun bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama, implementasi peraturan perundang-undangan mengenai wakaf tanah tersebut semakin dirasakan keterbatasannya dan belum mampu menjawab kebutuhan hukum yang lebih kompeks sehingga manfaat wakaf bagi pembangunan ekonomi secara lebih luas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat dirasakan kurang optimal. Kenyataan bahwa peran wakaf belum dapat optimal selain karena masih perlu ditingkatkannya pemahaman dan kesadaran masyarakat muslim, juga pengaturan dari aspek peraturan perundang-undangannya masih belum lengkap. Sejalan dengan ini, diperlukan pengaturan mengenai perwakafan yang lebih lengkap juga dituntut oleh perkembangan dan dinamisasi perluasan yang lebih kontektual dari suatu benda wakaf.
Untuk mendorong pengelolaan wakaf yang lebih optimal bagi pembangunan ekonomi, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat. Konsep tersebut disambut baik oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pada 11 Mei 2002 MUI menetapkan Fatwa MUI yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud). Pembentukan Fatwa MUI tersebut dipandang sebagai solusi yang cepat dan tepat untuk memenuhi kebutuhan hukum pada saat itu. Eksistensi Fatwa MUI sangat diperlukan untuk menutupi kekosongan hukum atau Peraturan Perundang-undangan nasional yang memang belum mengatur mengenai wakaf uang, menciptakan kepastian hukum pelaksanaan wakaf uang, mengupayakan agar pelaksanaan wakaf dapat berjalan dengan tertib, dan tentunya dengan adanya fatwa tersebut diharapkan dapat memacu pembangunan ekonomi dengan lebih cepat yang sesuai dengan prinsip syariah. Fatwa MUI merupakan perangkat aturan kehidupan masyarakat yang bersifat tidak mengikat dan tidak ada paksaan secara hukum bagi addresat-nya untuk mematuhi ketentuan fatwa tersebut. Namun melalui pola-pola tertentu, materi muatan yang terkandung dalam Fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan menjadi materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat umum.
Disahkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf melahirkan paradigma baru hukum wakaf di Indonesia. Dengan dinaikkan instrumen pengaturannya menjadi Undang-Undang yang merupakan jenis peraturan perundang-undangan tertinggi di bawah UUD NRI 1945 dan TAP MPR RI, tentunya lebih memberikan kekuatan dan kepastian hukum bagi pelaksanaan wakaf di Indonesia. UU No. 41 Tahun 2004 mengatur ruang lingkup wakaf secara lebih komprehensif dengan menimbang bahwa: lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum; dan wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang- undangan. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada dicantumkan kembali dalam UU No. 41 Tahun 2004, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut: Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, Undang-Undang ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan. Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Menurut Undang-Undang ini ruang lingkup wakaf tidak hanya dibatasi pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Wakaf dapat pula berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud, yaitu: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syariah. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir. Nazhir, selain perseorangan dapat pula berupa badan hukum atau organisasi. Dengan menekankan bentuk badan hukum atau organisasi diharapkan dapat meningkatkan peran kenazhiran untuk mengelola wakaf secara lebih baik. Persyaratan Nazhir disempurnakan dengan pembenahan manajemen kenazhiran secara profesional yakni amanah, mampu secara jasmani/rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, yaitu: dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah; dilakukan secara produktif, antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, ataupun sarana kesehatan; dan digunakan Lembaga Penjamin Syariah, yakni badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Undang-Undang ini juga menentukan mengenai penyelesaian sengketa perwakafan yang ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila penyelesaian sengketa perwakafan tidak berhasil ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan agama, dan atau mahkamah syariah.
Dalam rangka penegakan hukum, dalam Undang-Undang ini terdapat sanksi pidana dan sanksi administratif dengan ancaman pidana penjara sampai dengan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sedangkan ancaman sanksi administratif berupa: peringatan tertulis; penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah; dan penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW. UU No. 41 Tahun 2004 memuat beberapa ketentuan pendelegasian untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, antara lain ketentuan mengenai nazhir, akta ikrar wakaf, wakaf benda bergerak berupa uang, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, perubahan status harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, serta bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Keseluruhan peraturan pelaksanaan tersebut diintegrasikan ke dalam satu peraturan pemerintah, yaitu PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal itu dimaksudkan untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan Lembaga Keuangan Syariah, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan yang dikeluarkan oleh badan, lembaga, komisi yang dibentuk oleh Undang-Undang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan ini, heberapa peraturan yang dibentuk oleh Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, antara lain: Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang; Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perwakilan Badan Wakaf Indonesia; Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf; Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Wakaf Indonesia; Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Nazhir Wakaf Uang; Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perwakilan Badan Wakaf Indonesia; dan Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.
UU No. 41 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya sebagai hukum positif yang memberikan landasan hukum pelaksanaan wakaf di Indonesia seyogyanya mampu menjawab kebutuhan hukum bagi peningkatan peran wakaf dalam pembangunan ekonomi dan perwujudan kesejahteraan umat. Hal yang terpenting adalah dengan adanya kepastian hukum nasional di bidang wakaf, masyarakat dapat terdorong dan termotivasi untuk berwakaf. Untuk mencapai tujuan tersebut, peran pemerintah, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh agama sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan dan memberikan pemahaman terhadap peraturan yang ada, sehingga masyarakat mengetahui bahwa wakaf sekarang telah berkembang sedemikian rupa, tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum sesuai prinsip syariah. Demikian pokok pikiran yang dapat disampaikan dalam pembahasan mengenai “Undang-Undang Wakaf dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi Umat”, semoga bermanfaat.